• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN

B. Peran Politik Saudagar Laweyan

Pada sebelum kemerdekaan kampung Laweyan memegang peranan yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,di Laweyan ini pada tahun 1911 muncul organisasi politik yang bernama Sarekat Dagang Islam ( SDI ) yang didirikan oleh KH. Samanhudi.

a. Sejarah berdirinya Sarekat Dagamg Islam (SDI)

Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Timur Asing. Pada saat itu, pedagang-pedagang tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Indonesia lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara kaum pribumi.

SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).

commit to user

SDI yang berdasarkan koperasi dengan tujuan memajukan perdagangan pribumi dengan panji-panji Islam yang menaunginya. SDI berbeda dengan organisasi pergerakan pendahulunya yaitu Boedi Oetomo yang merupakan perkumpulan kaum priyayi. SDI sejak berdirinya diarahkan untuk memajukan Agama Islam dan untuk kepentingan rakyat.

Organisasi ini juga dimaksudkan untuk lebih memperkuat golongan- golongan pedagang Indonesia terhadap pedagang-pedagang China yang saat itu memegang peranan sebagai leveransian bahan-bahan yang diperuntukan oleh perusahaan yakni kain moni putih, bahan pembuat batik dan alat-alat untuk memberi warna dalam proses pembuatan. Haji Samanhudi dan kawan-kawan merasa dipermainkan oleh leveransin-leveransin China, sehingga timbul keinginan untuk memperkuat diri dalam menghadapi leveransin China tersebut dengan mendirikan perkumpulan yang semula bersifat ekonomi dengan nama Sarekat Dagang Islam (Susanto Tirtoprodjo, 1970 : 26).

Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:

a. Mengembangkan jiwa dagang.

b. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.

c. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat

rakyat.

d. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam. e. Hidup menurut perintah agama.

SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI

mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral

dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.

Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.

Perubahan nama menjadi Sarekat Islam, berawal dari saat perkumpulan SDI tersebut menyusun statuennya. Pada saat menyusun statuten tersebut Haji Samanhudi meminta bentuan seorang terpelajar yang bekerja pada sebuah perusahaan dagang di Surabaya, yakni Oemar Said Tjokroaminoto. Selanjutnya Tjokroaminoto menyarankan agar perkumpulan tersebut tidak membatasi dirinya hanya untuk golongan pedagang saja, tetapi diperluas jangkauannya maka nama SDI diganti menjadi SI (Susanto Tirtoprodjo, 1970 : 24).

b. Tujuan Organisasi SDI

Dalam akta notaris tertanggal 10 september 1911 yang memuat anggaran dasar SI di tetapkan tujuan organisasi sebagai berikut:

1. Memajukan perdagangan,

2. Memberi pertolongan kepada anggota-anggota yang mengalami kesusahan,

3. Memajukan kepentingan rohani dan jasmani bagi pribumi4. Memajukan kehidupan keagamaan islam (C. S. T. Kansil yulianto, 1986 : 26).

Melihat tujuan-tujuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa SI merupakan organisasi penjelmaan kembali dari SDI, seperti tertulis dalam tujuan yang pertama.

c. Masuknya Pengaruh Komunisme

SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh

commit to user

Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.

Dengan usaha yang baik, mereka berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.

Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:

a. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri- sendiri. Pemimpin cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen adalah ketua SI Semarang.

b. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang. c. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan

membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV.

d. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang melanda pada tahun 1917 di Semarang.

SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto), Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.

Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan- Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan

mengecam beleid(Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI

Semarang juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).

d. Perkembangan Sarekat Islam Pra Kemerdekaan

Berlainan dengan organisasi Boedi Oetomo sebagai pendahulunya, yang dalam perakteknya, medapatkan anggota-anggotanya dari kalangana atas saja (priyayi), SI merupakan organisasi yang menyentuh semua lapisan masyarakat pribumi seperti yang diinginkan sejak lama.Konggres SI yang pertama diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 26 januari 1913, di pimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Dalam konggres itu ia menerangkan bahwa SI bukan partai politik, dan SI tidak beraksi melawan pemerintahan kolonial Belanda.

Walaupun demikian, dengan Agama Islam sebagai landasan persatuan dan kesatuan penuh untuk mempretinggi derajat pribumi. SI tersebar keseluruh Pulau Jawa dan beberapa tempat berdiri cabang-cabang SI yang jumlah anggotanya sangat besar, seperti di Jakarta misalnya, jumlah anggotanya kurang lebih 12.000 orang (Drs. M. A. Gani,1984: 89).

Pemerintah kolonial Belanda tidak senang melihat perkembangan SI yang begitu pesat. SI dwengan dasar keagamaannya, mempunyai potensi ayng

commit to user

luar biasa untuk menghimpun pengikut diantara rakyat. Meskipun tujuannya mencangkup kegiatan sosial ekonomi, menerbitkan kehidupan keagamaan Islam, mempertinggi taraf kehidupan rakyat pada umumnya, menganjurkan kepatuhan kepada pemerintah, namun penguasa kolonial menyadari penuh kekuatan massa dari SI. Menghadapi situasi yang demikian dinamik dan mengandung unsur-unsur revolusioner itu, pemerintah menempuh jalan sangat hati-hati. Fikirim seorang penasehat kepada organisasi SI. Disamping itu Gubenur Jendral Idenburg meminta nasehat dari penasehat dari para residennya untuk menetapkan kebijaksanaan politiknya terhadap SI (Noegroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, 1977 : 188).

Hasilnya adalah permohonan pengurus besar SI untuk dapat pengakuan badan hukum ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Penolakan tersebut dimuat dalam keputusan Gubernur Jendral pada tanggal 30 juni 1913. Keputusan tersebut menjelaskan bahwa yang ditolak untuk menjadi perkumpulan yang berbadan hukum adalah SI seluruhnya sebagai suatu perkumpulan yang sentralistik.

Cabang-cabang SI sebagai organisasi tingkat lokal dan daerah masing- masing dapat di beri status badan hukum.Pemerintah kolonial Belanda yang sudah terikat oleh kesanggupan akan memberi dan mengakui badan hukum untuk SI lokal. Akhirnya pada tahun 1914 harus merealisasikan 56 buah cabang SI lokal sebagai organisasi yang berbadan hukum (SusantoTirtoprodjo, 1984 : 28).

Perkembangan selanjutnya Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada 1915, berdasarkan sentral ini dimaksudkan untuk memajukan dan mambantu SI di dalam menjalankan dan memelihara hubungan serta kerjasama di antara mereka. Permintaan CSI untuk diakui sebagai organisasi berbadan hukum dikabulkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan surat keputusan tanggal 18 maret 1916.

Dalam keputusan itu ditegaskan, bahwa CSI diwajibkan mengawasi tindakan dari pengurus serta anggota-anggota SI lokal, disusun pula pengurus pertama CSI, H. O. S. Tjokroaminoto sebagai ketua, Abdul Muis sebagai wakil ketua bersama Haji Gunawan. Untuk menghargai jasa pendiri organisasi SI, maka CSI mengangkat Haji Samanhudi sebagai ketua kehormatan.

Selanjutnya SI mengadakan konggres di bandung pada tanggal 17-24 juni 1916 yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Pengurus ini dinamakan Konggres Nasional pertama tingkat nasional SI.Pada konggres SI tahun 1917 di Jakarta muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua SI lokal Semarang. Namun konggres itu memutuskan bahwa azas perjuangan SI ialah mendapatkan zeif bestuur atau pemerintah sendiri, selain ditetapkan pula azas yang kedua berupa perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat, sejak itupula Tjokroaminoto dan Abdul Muis mewakili SI dalam Dewan Rakyat.Sudah disebutkan diatas bahwa keanggotaana SI terus meningkat dan ini terbukti dalam konggres tahun 1918 ketiga di Surabaya.

Anggotanya mencapai 450.000 yang berasal dari 87 SI lokal. Sementara itu pengaruh Semaun semakin menjalar ketubuh SI. Tahun 1919 untuk SI, adalah suatu tahun penghebatan propaganda kapital asing yang terutama dihantam. Jumlah anggota meningkat mencapai 2.000.000 orang.

Meski SI tidak revolusioner, pimpinan memandang perlu memikirkan dan mencari arah aksi baru. Konggres SI yang ke empat (26 Oktober-2 November 1919 di Surabaya) terutama membicarakan soal sekitar kerja dan diputuskan juga akan mengadakan beberapa komite penyidik, untuk mempelajari soal-soal yang penting bagi pergerakan rakyat, sebuah penyidikan akan digunakan memperbaiki aksinya. Tetapi dengan ini semuanya SI hendaknya mencapai barang yang diatas kekuatannya. SI sudah melalui puncak kebesarannya, kekuasaannyapun telah turun pula karena terbawa oleh kabar-kabar tentang banyak uang iuran yang kalut dan lagi karena dilakukan oleh anggota ISDV sesudah revolusi di Rusia. Maka mereka ini menyatakan dirinya komunis. Sehingga jumlah anggota SI turun dengan cepat (A. K. Pringgodigdo, 1980 : 9-10).

Tahun 1920 dari beberapa kekuatan ingin membelokan SI dari relnya semula, yakni dari ajaran Islam. Misalnya Darsono, yang hendak mengubah Si menjadi Sarekat Internasional dan ada pula yang ingin mengubahnya dengan nama Sarekat Hindia. Penyelewengan ini tidak sampai terjadi, kerena kesejukan pemimpin-pemimpinnya, yang duduk dalam puncak pimpinan, nahwa azas Islam dipegang teguh untuk seterusnya. Pada tahun 1920 ini, diadakan kembali

commit to user

konggres nasional ke tujuh di Madiun dan SI resmi berubah menjadi partai politik dengan sekaligus merubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).

Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini ada kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam 6-10 Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Anggota SI harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari unsur-unsur komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta pengecualian bagi PKI. Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima dengan mayoritas suara. Saat itu anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun turut pula dikeluarkan, karena disiplin partai tidak memperbolehkannya.

Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 di Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan pendidikan kader SI dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk menggerakkan SI Merah untuk menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti nama menjadi "Sarekat Rakyat". Kemudian pada tahun 1929 berubah lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pada tanggal 5 januari 1973 berubah kembali menjadi Sarekat Islam.

C. Peran Dan Eksistensi Saudagar Laweyan Dalam Membangun

Dokumen terkait