• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.4. Eksplanasi

Dalam masa sepuluh tahun terakhir ada banyak peristiwa penting yang terjadi di Indonesia baik itu yang menggembirakan maupun yang menyedihkan (mengecewakan) dan Kompas hidup di dalamnya sebagai saksi yang mengabadikan peristiwa-peristiwa tersebut lewat pemberitaannya (lihat

Lampiran 8). Melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir, penulis menyadari bahwa hampir semua elemen standar ISO 26000 Standard Social Responsibility (2009) yaitu pengembangan masyarakat, konsumen, praktik kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, HAM, dan tata kelola organisasi masih merupakan masalah serius di Indonesia. Kasus Hambalang, Bank Century (berubah nama jadi Bank Mutiara) berikut beberapa nama seperti Gayus, Nazaruddin, Malinda Dee, Bibit-Candra, Antasari Azhar, Sri Mulyani dan Anas Urbaningrum adalah salah satu contoh korupsi yang melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah, perusahaan dan juga lembaga yang lain namun hingga saat ini, masalah tersebut belum ada kejelasan bagi masyarakat luas. Masalah korupsi yang satu belum selesai, masalah korupsi yang lain bermunculan sehingga membuat persoalan korupsi seperti benang kusut yang sulit diuraikan. Berbagai kepentingan politik dalam memperebutkan kekuasaan pun ikut memperkeruhnya.

Kasus bencana alam juga banyak melanda Indonesia. Tsunami Aceh (2004) dan Gempa Yogyakarta (2006) adalah dua bencana yang membutuhkan waktu lama untuk pulih kembali baik secara pembangunan maupun psikologis masyarakat. Dua bencana nasional ini belum juga pulih, bencana lain sudah menimpa Indonesia lagi seperti gempa bumi Sumatera Barat, gempa Simeule Aceh, Tsunami Mentawai, Gunung merapi Yogykarta, Gunung Sinabung Sumut, dan Gunung kelud. Selain itu, beberapa daerah Indonesia juga berlangganan bencana alam seperti banjir dan longsor. Masalah insiden kereta api, pesawat terbang, dan kapal laut juga banyak terjadi sepuluh tahun terakhir.

Masalah lain yang melibatkan perusahaan dan pemerintah seperti Lumpur lapindo, pembabatan dan pembakaran hutan, penolakan pembangunan pabrik- pabrik oleh masyarakat, persoalan upah buruh, dan lain sebagainya juga merupakan masalah-masalah yang sering berujung tidak jelas, tidak selesai dan tenggelam oleh isu-isu lain yang mungkin lebih menarik bagi sebuah media. Persolan HAM juga menjadi hal sangat serius di Indonesia seperti masalah Papua, pengungsi Rohingya yang banyak terdampar di Indonesia, masalah Timor Leste, LGBT dan terorisme. Ada banyak peristiwa lain yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir.

Dari penjelasan sebelumnya pada tahap interpretasi ditemukan bahwa wacana yang muncul setiap tahun dan dominan adalah lingkungan, ekonomi, bisnis, perbankan, pendidikan, korporasi, komitmen, pembangunan, komunitas, kelompok rentan, kemitraan, kesehatan dan ‘CSR’. Wacana-wacana yang relevan dengan berbagai peristiwa di atas seperti HAM, bencana alam,

buruh/ketenagakerjaan, korupsi, etika dan hukum masih kurang mendapat perhatian.

Mengapa wacana yang berkembang lebih condong ke arah dimensi ekonomi? Dari jumlah data yang sudah dijelaskan sebelumnya, tahun 2007-2010 adalah tahun yang paling banyak menyinggung soal isu CSR. Setelah tahun 2010 (202 data), jumlahnya malah turun sangat drastis dan hanya ada 35 data pada tahun 2016. Selain itu, jumlah advertisement jauh lebih banyak daripada kategori yang lain selama sepuluh tahun terakhir. Faktor penyebabnya bisa berhubungan dengan UU No. 40 tahun 2007 tentang CSR (perseroan terbatas) yang baru ditetapkan pertengahan tahun 2007. Selain itu, krisis moneter yang melanda dunia pada tahun 2008 juga memberikan dampak yang besar bagi banyak perusahaan, termasuk perusahaan yang ada di Indonesia. Banyak perusahaan ikut terpuruk akibat krisis tersebut. Oleh karena itu, banyak perusahaan berjuang menjaga eksistensi perusahaannya dengan berbagai strategi termasuk salah satunya merespon undang-undang CSR yang baru ditetapkan sebagai bagian dari strategi bisnis, pencitraan ataupun kepatuhan perusahaan terhadap hukum lewat liputan (press release) atau pemasangan iklan. Selain itu, perusahaan dan pemerintah memiliki kecenderungan memaknai tanggung sosial perusahaan semata-mata hanya karena peluang sumber daya finansial yang dapat segera dicurahkan perusahaan untuk memenuhi kewajiban atas regulasi yang berlaku dan tentu itu akan mereduksi arti CSR itu sendiri (httpkadin- indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-167-3770-15042009.pdf diakses pada 26 Juli 2017).

Pertumbuhan ekonomi (diketahui dengan cara membandingkan nilai PDB (Produk Domestik Bruto) tahun sekarang dengan tahun sebelumnya) dapat juga menjadi alasan lain. Pada tahun 2007 (6, 28%) dan 2008 (6,7%) perekonomian Indonesia mengalami peningkatan sedangkan tahun 2009 (4,0%) mengalami penurunan yang signifikan sehingga terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional di berbagai sektor perekonomian. Tahun 2010 (6,4%) mengalami peningkatan namun pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan yaitu 2011 (6,2%), 2012 sebesar 6,0%, 2013 sebesar 5,6%, 2014 sebesar 5,0% dan 2015 sebesar 4,8% (OECD, 2016; OECD, 2015; BPS, 2013). Pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh situasi politik suatu negara yang bisa mempengaruhi pergerakan pasar dan minat para investor. Sepuluh tahun terakhir kondisi dan situasi politik Indonesia juga diwarnai oleh kasus-kasus korupsi yang menggerogoti berbagai badan partai dan juga lembaga pemerintahan sehingga persoalan ekonomi dan bisnis juga menjadi perhatian penting terutama bagi media (http://ekonomi.kompas.com/read/2016/08/01/102002526/bi.gejolak.politik.berkai tan.erat.dengan.kepercayaan.pasar diakses pada 31 Juli 2017).

Kompas yang juga merupakan perusahaan bisnis, tentu juga berusaha menjaga dirinya agar tetap hidup (eksis) dan berkembang dalam situasi perekonomian dan politik di Indonesia. Lagi pula, Kompas (media) adalah salah satu unit bisnis di bawah naungan Kompas Gramedia yang bisa mempengaruhi unit bisnis yang lain. Jika dilihat dari sejarah Kompas yang bertransformasi menjadi korporasi besar dengan berbagai unit bisnis diluar media misalnya hotel dan manufaktur, Kompas tampak juga sangat serius mengembangkan unit-unit bisnisnya seperti harapan Pak Ojong. Perusahaan tidak usah mati. Perusahaan

bisa hidup berabad-abad lamanya. Kompas sadar betul, dirinya tidak hanya bergerak di dunia media, tetapi juga di dunia bisnis. Kompas sendiri merasa memiliki tanggungjawab untuk menghidupi para karyawannya (long life employment) dan memberi lapangan pekerjaan baru bagi banyak orang. Hal semacam ini dikhawatirkan oleh Kovach dan Rosenstiel (2006) dan Harsono (2010) bisa merusak idealisme sebuah media (jurnalisme) jika terjebak dalam dunia bisnis. Christiani (2015) menjelaskan globalisasi, perkembangan teknologi, dan pertumbuhan media mengarah pada kapitalisme, yaitu spasialisasi, baik dalam bentuk integrasi horizontal (misalnya menanamkan modal pada perusahaan lain) maupun vertikal (misalnya mendirikan pabrik kertas). Spasialiasasi berdampak pada lunturnya prinsip keberagaman kepemilikan dan keberagaman isi, sesuai Pasal 18 UU Penyiaran. Perkembangan kapitalisme dan teknologi turut serta memengaruhi media massa dalam perannya sebagai ruang publik. Konglomerasi membawa keuntungan bagi pemilik modal, tetapi tidak bagi masyarakat. Masyarakat hanya ditempatkan sebagai konsumen.

Kompas mengaku secara politik netral, tidak memihak kelompok manapun seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Wacana CSR yang cenderung dikonstruksi secara positif dapat dipahami sebagai sikap Kompas yang lebih mendukung berbagai perusahaan agar tetap hidup. Ini semacam prinsip simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Kompas mendapat keuntungan dari iklan, perusahaan mendapatkan citra yang lebih baik dari pemberitaan media. Hubungan ekonomis tersebut mempengaruhi wacana-wacana yang sifatnya mengkritik (memberi citra negatif terhadap perusahaan karena berbagai pengabaikan tanggung jawab yang dilakukan oleh perusahaan) sehingga kurang berkembang

atau dominan. Misalnya saja dalam kasus lingkungan, hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2007-2015 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang belum menjalankan perusahaan sesuai standar lingkungan yang dibuat oleh pemerintah (PROPER, 2015). Banyak juga perusahaan masih sekedar mematuhi undang-undang sebagai kewajiban semata (aspek legal/hukum dalam model piramida Carrol) (lihat

Gambar 5.5). Dengan adanya hubungan ekonomis tersebut, wacana persoalan lingkungan yang berkaitan dengan perusahaan terutama yang menjadi mitra Kompas menjadi sulit diutarakan secara tegas dan lugas.

Gambar 5. 5 Hasil Proper 2002-2015

Jika melihat sistem atau model manajemen pemberitaan Kompas, hampir semua fungsi (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi) benar-benar

diperhatikan dengan serius dan ketat sehingga hampir bisa dipastikan berita yang tercetak sudah lulus sensor. Setiap bidang sudah memahami panduan (guidelines) kerja masing-masing, bahkan panduan peliputan (Buku Panduan Kompas, 2008) untuk masing-masing rubrik sudah disiapkan untuk para wartawan di lapangan. Jadi berita adalah karya bersama dan kemudian dapat dipahami mengapa Kompas lebih memilih menggunakan penulis dengan nama inisial bukan byline. Atau lebih jauh lagi, integrasi vertikal (perluasan institusi pada level unit produksi yang berbeda) dilakukan untuk perluasan kontrol terhadap proses produksi dari hulu sampai hilir (Mosco, 2009 dalam Christiani, 2015).

Hal ini sebenarnya sangat disayangkan bila kekhawatiran Kovach benar- benar terjadi pada Kompas mengingat Kompas sebagai media publik sebenarnya memiliki peran dalam menyampaikan apa yang sedang terjadi, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki akses, pengetahuan atau pengalaman terkait isu yang disampaikan (keadilan informasi). Fungsi Kompas sebagai media selain fungsi ekonomi, fungsi menghibur dan fungsi informatif ada juga fungsi lain seperti, fungsi kontrol, fungsi swadaya, dan fungsi pengawalan hak-hak warga negara. Harus diingat bahwa pertama-pertama loyalitas jurnalisme adalah kepada warga dan tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran sehingga perusahaan yang tidak menjalankan perusahaan secara bertanggungjawab semestinya harus disampaikan kepada masyarakat supaya masyarakat dapat menilai perusahaan tersebut. Wartawan di lapangan adalah seseorang yang bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan (menyambung lidah yang tertindas)

tetapi usaha wartawan tersebut akan sia-sia jika sensor yang dilakukan di ruang redaksi semata-mata hanya untuk menyelamatkan perusahaan secara ekonomis (Harsono, 2010; Kovach dan Rosenstiel, 2006; Ishwara, 2005).

Dokumen terkait