• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.3. Interpretasi

5.3.1. Faktor-Faktor Internal

Rutinitas kerja redaksi (manajemen pemberitaan) dari perencanaan hingga koran terbit memberikan pengaruh bagi perkembangan sebuah wacana. Di Kompas sendiri, perencanaan sudah dilakukan seminggu sebelumnya sehingga setiap hari sudah jelas apa yang hendak dikerjakan. Selain itu, Kompas juga merancang berita-berita tematis setiap harinya. Moh. Nasir mengatakan perencanaan ini membuat kompas tidak kehilangan arah atau kebingungan dalam pemberitaan. Perencanaan berfungsi untuk menyiapkan agenda setiap minggunya. Perencanaan biasanya dilakukan setiap rabu sekaligus evaluasi internal secara menyeluruh yang berhubungan dengan redaksional. Tim editor juga ikut membantu dan menyusun perencanaan hari demi hari pada masing-masing desk (rubrik).

Setiap pagi juga selalu ada rapat yang dipimpin oleh Pemred (pemimpin redaksi) untuk mematangkan rencana hari itu dan biasanya jika ada peristiwa lebih besar atau menarik yang baru saja terjadi, rencana sebelumnya akan ditinggalkan. Masing-masing kepala desk, akan berkoordinasi dengan para wartawan di lapangan dan memberikan tugas yang hendak dikerjakan para wartawan. Mereka akan selalu berkoordinasi dan mengawasi sejauh mana pekerjaan para wartawan dan wartawan sendiri sudah memahami aturan-aturan (guidelines) jurnalistik yang berlaku di dalam Kompas.

Setelah para wartawan meliput, mengumpulkan materi, mereka harus menulis dan mengirimkan (mengumpulkan) tulisan ke desk mereka masing- masing. Editor masing-masing desk akan melihat tulisan tersebut, melakukan editing, mengubah, kemudian membawa beberapa artikel ke rapat budgeting pada

jam 4 sore untuk penentuan halaman utama (headline) surat kabar dan halaman utama masing-masing rubrik. Pada rapat ini semua didiskusikan secara ketat mulai dari isi, narasumber, bahasa dan lain sebagainya. Rapat ini adalah semacam evaluasi. Setelah rapat, kepala desk melaporkan hasil rapat kepada masing-masing wartawan. Artikel yang sudah diputuskan pada rapat diteruskan ke bagian sunting dan penyelaras bahasa untuk proses editing akhir dan kemudian surat kabar siap dicetak atau diterbitkan.

Dari sistem manajemen pemberitaan Kompas dapat dipahami bahwa konstruksi berita (wacana) tidaklah dilakukan oleh satu orang, tapi dilakukan oleh banyak pihak dan wartawan tidak bisa membuat keputusan sendiri. “Jam 4, rapat budgeting, menilai berita yang masuk. Kita bicarakan semuanya di sini… wartawan tidak bisa milih… tidak diframing satu orang, tapi bareng-bareng. Istilahnya itu, sudut pandangnya, anglenya itu dibicarakan bareng-bareng” jelas Moh. Nasir. Oleh karena itu, wacana-wacana CSR yang ditemukan dari hasil analisis di atas bukanlah hasil konstruksi dari wartawan saja tetapi dari banyak pihak, editor, sunting, tim penyelaras bahasa, dan termasuk juga para pimpinan redaksi.

Faktor internal lain yang mempengaruhi proses produksi adalah struktur (model manajemen) dan ideologi yang dihidupi perusahaan. Kompas sendiri mengutamakan visi kemanusiaan (humanisme transendental) di seluruh aktivitasnya. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi hal pokok yang ingin Kompas bela dan perjuangkan. Kompas ingin membela yang papa dan juga menghibur mereka yang mapan. Kompas ingin mengangkat harkat dan martabat manusia lewat karyanya dengan menyediakan dan menyebarkan informasi yang benar dan

terpercaya. Kompas ingin menjadi acuan dan memberi arah haluan (trendsetter) seperti arti namanya sendiri di dalam masyarakat.

Dengan semangat kebersamaan (humanisme transendental) yang dihidupi perusahaan, Kompas berusaha keluar dari ikatan-ikatan primordialisme (Hamad, 2004; Sularto (ed.) 2007). Ini bisa dilihat dari sejarah Kompas yang dua kali mengalami pelarangan terbit karena dianggap provokatif (dinilai aliran kiri) masa itu yaitu tanggal 2-5 oktober 1965 dan 21 januari-5 februari 1978. Pak Ojong pada kedua peristiwa tersebut adalah peribadi yang idealis (melawan) sedangkan Pak Jakob adalah pribadi yang realistis. Pak Ojong selanjutnya menyadari bahwa keputusan Pak Jakob sangat tepat dan dalam manuskrip Falsafah Perusahaan Kita, ia menulis: “Manusia mesti mati. Meskipun begitu, kita sedih bila ada yang mati. Perusahaan tidak usah mati. Perusahaan bisa hidup berabad-abad lamanya. Oleh karena itu kita lebih sedih lagi, bila suatu perusahaan mesti mati” (Tim Buku Kompas, 2008; Sularto (ed.) 2007).

Dari tulisan PK Ojong tersebut dapat dilihat bahwa motivasi menjaga perusahaan supaya tetap hidup dan berkembang untuk tujuan orang banyak (karyawan), menjadi lebih penting. Jika dilihat dari sejarah, kedua pendiri Kompas sepertinya lebih cenderung mendukung dan berjuang mengembangkan ekonomi sosial yang berorientasi pada mekanisme pasar. Akhirnya, Kompas tampak seolah-olah menjadi perusahaan yang sosialis sekaligus kapitalis. Uang dan humaniora berjalan serentak. Ini seperti istilah Tumus Lumus dalam yang diartikan Jakob sebagai “kerja mencapai target, kerja prediktif, mencapai hasil dengan tangible and intangible profit” (Sularto (ed.), 2007). Jadi wajar saja kalau

wacana-wacana dimensi ekonomi tampak lebih dominan dengan melihat semangat yang dihidupi tersebut.

Untuk model manajemen, organisasi kerja Kompas lebih didasarkan pada prinsip kemitraan dan privilege para perintisnya serta prinsip long life employment. Tipe kepemimpinan individual Pak Ojong berkembang dengan aspek partisipatif pada masa Pak Jakob. Sistem manajemen ke bawah (terhadap karyawan) diaplikasikan model manajemen partisipatif, ke atas (terhadap pimpinan) diaplikasikan model manajemen korporasi. Perusahaan dikembangkan sebagai patembayan, yang pada tahun 2006 diperkenalkan istilah working community dengan prinsip high human touch. Model manajemen tersebut bisa dikatakan sudah ada sejak awal (intisari) dan sekarang sudah mendarah daging dalam diri Kompas. Kompas menolak visi perusahaan keluarga karena itu dikhawatirkan menjadi awal mula korupsi dan kehancuran perusahaan. Perusahaan dibangun berdasarkan prinsip kasih, saling bekerja sama dan membantu (gotong royong). Metode pembelajaran yang dilakukan adalah dialog kerja senior-yunior dimana senior selalu menjadi mentor bagi yunior (Sularto (ed.), 2007). Kebiasaan ini masih dilakukan hingga saat ini, dimana senior selalu membangun komunikasi dengan orang muda, memberikan wacana, obrolan, sikap dan pengetahuan-pengetahuan para pendahulu (pendiri).

Dalam merekrut wartawan, para calon dilihat sebagai mitra bisnis. Mereka sebaiknya belum pernah bekerja diperusahaan lain sehingga etos kerja mereka mudah disesuaikan dengan etos pendiri (Sularto (ed.), 2007). Siapa saja bisa menjadi wartawan/karyawan Kompas dan latar belakang pendidikan tidak menjadi masalah. Bagi Kompas, karakter (attitude) lebih penting daripada

kecerdasan pikiran (aptitude). Para karyawan atau wartawan harus akrab dengan media cetak, perpustakaan, toko buku, peka dengan sosial dan perkembangan publik. Sebagai mitra bisnis, berarti bisa dipahami relasinya bukan hanya sekedar humanis tetapi juga ekonomis, artinya harus memberikan keutungan.

Dokumen terkait