• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1. Kajian Teori

2.1.2. Ekuitas Merek (Brand Equity)

Merek menurut David A. Aaker (1997:9) adalah “nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang dan jasa dari seorang penjual atau sebuah

kelompok penjual tertentu, dengan demikian membedakannya dari barang-barang dan jasa yang dihasilkan para kompetitor”.

Menurut American Marketing Assosciation dalam Kotler (1995:523) merek adalah “nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksud untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seseorang atau sekelompok penjual untuk membedakan dengan produk pesaing”.

Senada dengan yang diungkapkan Paul Temporal (2006) “The first thing to recognise when we talk about brands is that they are not just names, terms, symbols, designs or combinations of these, although it is true to say that such things can differentiate certain products and companies from others”.

Merek dapat juga didefinisikan menjadi beberapa dimensi yaitu sebagai berikut:

1. Its central organising thought – defining it for internal & stakeholder use in one sentence

2. Its slogan - defining it for use with customers in one sentence 3. Its personality – what would it be like if it were a human being? 4. Its values – what does it stand for/against?

5. Its tastes/appearance - what does it look like? What does it sound like? What does it like and dislike?

6. Its stories - what are the stories you tell about how it all came about/what sort of brand it is?

7. Its emotional benefits – how it avoids/reduces pain or increases pleasure

8. Its hard benefits – the “pencil sell”

Manfaat merek menurut Kotler (1995:528) bagi penjual adalah (1) memudahkan penjual untuk memproses pesanan dan menelusuri masalah yang ada, (2) merek dan tanda dagang penjual memberikan perlindungan hukum atas tampilan produk yang unik, yang tanpa itu akan dapat ditiru oleh pesaingnya, (3) merek memberikan penjual kesempatan untuk menarik pelanggan yang setia dan

menguntungkan, (4) merek membantu penjual untuk mensegmentasi pasar, (5) merek yang baik membangun citra perusahaan.

Merek tidak hanya bermanfaat bagi penjual tetapi juga bermanfaat bagi pembeli dan masyarakat (Simamora 2001:63). Manfaat merek bagi pembeli adalah menceritakan sesuatu kepada pembeli tentang mutu dan membantu perhatian pembeli terhadap produk-produk baru. Bagi masyarakat mutu produk lebih terjamin dan konsisten, meningkatkan efisiensi membeli karena informasi lebih lengkap dan meningkatkan inovasi produk baru.

Nilai suatu produk dapat dilihat dari manfaat fungsional produk dan nilai total. Nilai total mengandung nilai objektif ditambah nilai yang disumbangkan merek. Sumbangan merek terhadap nilai total produk adalah ekuitas merek (Simamora, 2001:3).

Definisi ekuitas merek menurut David A. Aaker (1997:23) adalah “seperangkat asset dan liabilitas yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan”.

Menurut David W. Cravens (1998:20) ekuitas merek adalah “seperangkat asset merek dan hutang yang dikaitkan dengan sebuah merek, nama dan simbolnya, ditambahkan atau dikurangi dari nilai-nilai yang diberikan dalam sebuah produk atau jasa bagi sebuah perusahaan dan atau bagi konsumen perusahaan tersebut”.

Definisi ekuitas merek dalam penelitian ini mengacu pada definisi ekuitas berbasis konsumen (customer based brand equity), dimana menurut Keller dalam

Asyhari (2003) yaitu efek diferensial pengetahuan konsumen pada tanggapan konsumen terhadap pemasaran suatu merek. Definisi tersebut menunjukkan bahwa ekuitas merek berasal dari reaksi konsumen yang lebih positif terhadap merek tertentu dibandingkan dengan merek pesaing, berdasarkan pengetahuan konsumen terhadap merek tersebut yang terefleksikan pada persepsi, preferensi dan perilaku terhadap aspek pemasaran suatu merek.

Kemampuan ekuitas merek dalam menciptakan nilai bagi perusahaan dan pelanggan atas dasar lima elemen tersebut menurut A. Aaker (1997:25) dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Konsep Ekuitas Merek

brand royalty perceived quality brand awareness brand association other propnetary brand assets brand equity

Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat: • interpretasi/proses informasi • rasa percaya diri dalam

pembelian

• pencapaian kepuasan dari pelanggan

Memberikan nilai kepada

perusahaan dengan memperkuat: • efisiensi dan efektivitas

program pemasaran • brand loyalty • harga/laba • perluasan merek • peningkatan perdagangan • keuntungan kompetitif

Suatu merek memiliki ekuitas yang tinggi atau rendah dapat diindikasikan oleh loyalitas merek (brand loyalty), kesadaran terhadap merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association), dan aset-aset lain seperti paten, trade mark, dan hubungan dengan perantara. Bila dimensi utama dari ekuitas merek yaitu loyalitas merek, kesadaran merek, persepsi kualitas dan asosiasi merek sudah sangat kuat, maka aset ekuitas merek lainnya juga akan kuat (Durianto 2001:7).

2.1.2.1. Kesadaran Merek (Brand Awareness)

Kesadaran merek menurut David A.Aaker (1997:90) adalah “kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Peran kesadaran merek dalam merek tergantung pada sejauh mana kadar kesadaran yang dicapai oleh suatu merek”.

Tingkat-tingkat kesadaran merek membentuk piramida kesadaran merek. Tingkat kesadaran merek menurut David A.Aaker (1997:92) adalah (1) tidak menyadari merek (brand unware) : konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek, level paling rendah dalam piramida kesadaran, (2) pengenalan merek

(brand recognation) : konsumen pada kategori produk tahu tetapi tidak ingat merek, begitu melihat atau diingatkan, konsumen akan ingat, tingkat minimal dari kesadaran merek, (3) pengingatan kembali merek (brand recall) : konsumen sudah ingat merek pada kategori di luar kepala, (4) puncak pikiran (top of mind) : merek yang pertama muncul kalau mengingat sebuah kategori produk, merek yang masuk kategori ini menjadi pimpinan atasi merek-merek yang ada dalam pikiran seseorang.

Kesadaran merek memberi nilai menurut A. Aaker dalam Durianto (2001:56) melalui: (1)Anchor to which other assiciation can be attached artinya suatu merek dapat digambarkan sebagai suatu jangkar dengan beberapa rantai yang menggambarkan asosiasi dari merek tersebut. (2) Familiarity – liking artinya dengan mengenal merek akan menimbulkan rasa terbiasa, suatu kebiasaan dapat menimbulkan keterkaitan kesukaan yang kadang-kadang dapat menjadi suatu pendorong dalam membuat keputusan. (3) Subtance/commitment artinya kesadaran akan nama dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi perusahaan. Jika kualitas dua merek sama maka kesadaran merek akan menjadi faktor penentu dalam mengambil keputusan. (4) Brand to consider artinya menyeleksi dari suatu kelompok merek-merek yang dikenal untuk dipertimbangkan merek-merek mana yang akan diputuskan dibeli. Jika merek tidak tersimpan dalam ingatan, merek tersebut tidak dipertimbangkan dalam benak konsumen. Biasanya merek yang disimpan dalam ingatan konsumen adalah merek yang paling disukai dan yang dibenci.

Kesadaran merek akan melibatkan upaya mendapatkan identitas nama dan menghubungkannya ke kategori produk. Agar kesadaran merek dapat dicapai dan diperbaiki menurut Durianto (2001:57) dapat ditempuh dengan cara: (1) pesan yang disampaikan harus mudah diingat dan tampil beda, (2) memakai slogan atau jingle yang menarik, (3) menggunakan simbol, (4) perluasan merek, (5) menggunakan isyarat yang sesuai dengan kategori produk, merek atau keduanya, (6) melakukan pengulangan untuk meningkatkan pengingatan.

Membangun kesadaran merek menurut Simamora (2001:76) pendekatannya dapat dilakukan dengan cara: (1) menjadi berbeda dan dikenang, (2) slogan atau jingle, (3) pemakaian simbol, (4) publisitas, (5) sponsor kegiatan, (6) perluasan merek, (7) menggunakan tanda-tanda.

Kesadaran merek pada penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan konsumen untuk mengenal atau mengingat merek. Adapun tingkatan kesadaran merek yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) tidak menyadari merek (brand unware), konsumen tidak menyadari adanya suatu merek, (2) pengenalan merek

(brand recognation), konsumen tahu produk tetapi tidak mengingat merek, begitu melihat atau diingatkan, konsumen akan ingat merek tersebut, (3) pengingatan kembali merek (brand recall), konsumen mengingat merek di luar kepala, (4) puncak pikiran (top of mind), merek yang pertama muncul jika mengingat sebuah produk.

2.1.2.2. Asosiasi Merek (Brand Association)

Asosiasi merek menurut David A. Aaker (1997:160) adalah “segala sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Keterkaitan asosiasi dengan merek akan lebih kuat jika dilandaskan pada banyak pengalaman”. Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai, sehingga membentuk

brand image di dalam benak konsumen.

Fungsi asosiasi bagi konsumen dan perusahaan menurut Durianto (2001:69) adalah (1) help process/retrieve information (membantu proses penyusunan informasi), (2) differentiate (membedakan) suatu merek dengan merek yang lain, (3) reason to buy (alasan membeli) dapat membangkitkan

berbagai atribut produk atau manfaat bagi konsumen yang dapat memberikan alasan spesifik bagi konsumen untuk membeli atau menggunakan merek tersebut, (4) creative positive attidude / feelings (menciptakan sikap atau perasaan positif) atas dasar pengalaman konsumen sebelumnya serta pengubahan pengalaman tersebut menjadi lain dari pada yang lain, (5) basis for extentions (landasan untuk perluasan) dengan menciptakan kesesuaian antara merek dan sebuah produk baru.

Menurut Durianto (2001:70) asosiasi merek umumnya dihubungkan dengan hal-hal sebagai berikut:

(1) product attributes (atribut produk), (2) intangibles atributes (atribut tak terwujud), (3) customer’s benefit (manfaat bagi pelanggan), (4) relative price (harga relatif), (5) application (penggunaan), (6) user / customer

(pengguna / pelanggan), (7) celebrity / person (orang terkenal / khalayak), (8) life style / personality (gaya hidup / kepribadian), (9) product class

kelas produk, (10) competitor’s (para pesaing), (11) country / geographic area (negara / wilayah geografis).

Definisi asosiasi merek pada penelitian ini adalah persepsi konsumen mengenai karakteristik atau atribut produk yang dimilikinya. Adapun tingkatannya mengacu pada pengukuran asosiasi merek menurut Rahmad Cahyadi (1998:24) yang meliputi tiga hal yaitu: (1) value (merek sebagai produk) menekankan pada manfaat secara fungsional, (2) brand personality (merek sebagai orang) memberikan satu jalur emosi pada merek dan manfaat yang dapat diambil oleh seseorang, (3) organizational assosiation (merek sebagai organisasi) dapat membantu bila merek tersebut memiliki kesamaan pada atribut bila dibandingkan dengan pesaing.

2.1.2.3. Persepsi Kualitas Merek (Brand Percieved Quality)

Kesan kualitas merek menurut David A. Aaker (1997:124) adalah “persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan”. Definisi kesan kualitas menurut Simamora (2001: 78) adalah “persepsi pelanggan terhadap kualitas atau keunggulan suatu produk atau layanan ditinjau dari fungsinya secara relatif dengan produk-produk lain”.

Manfaat yang diberikan oleh kesan kualitas menurut David A.Aaker (1997: 126) adalah (1) alasan untuk membeli: kesan kualitas merupakan alasan suatu merek dipertimbangkan dan dibeli, (2) diferensiasi dan pemposisian produk: jika kita ingin memilih aspek tertentu sebagai keunikan dan kelebihan produk maka yang dipilih adalah aspek yang memiliki kesan kualitas yang tinggi, (3) harga optimum: sebuah merek yang memiliki kesan kualitas tinggi memiliki alasan untuk menetapkan harga tinggi bagi produknya, (4) minat saluran distribusi: distributor lebih mudah menerima produk yang dianggap konsumen memiliki kesan kualitas yang tinggi, (5) perluasan merek: sebuah merek yang memiliki kesan kualitas tinggi dapat digunakan sebagai merek produk lain yang yang berbeda.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesan kualitas mengenai apa yang dipertimbangkan konsumen dalam menilai kualitas menurut David A. Aaker (1997:133) dapat diketahui dari dimensi kualitas produk dan dimensi kualitas pelayanan.

Mengacu pada pendapat David A. Garvin dalam Durianto (2001:98) dimensi kesan kualitas dapat dibagi menjadi tujuh yaitu: (1) kinerja: melibatkan

berbagai karakteristik operasional utama produk, (2) pelayanan: mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut, (3) ketahanan: mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut, (4) keandalan: konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya, (5) karakteristik produk: bagian-bagian tambahan dari produk

(feature) yang biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika kedua produk terlihat hampir sama.

Dimensi kesan kualitas untuk konteks jasa yang sering digunakan adalah penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam Simamora (2001: 80) kualitas layanan dibagi menjadi lima yaitu: (1) aspek fisik

(tangible): penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, dan material komunikasi, (2) keandalan (reliability): kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara akurat, (3) kompetensi (assurance): pengetahuan dan kesopanan para karyawan dan kemampuan mereka untuk menciptakan keyakinan akan kualitas pelayanan dalam diri konsumen, (4) tanggung jawab (responsiveness):

kesediaan untuk membantu konsumen dan daya tanggap karyawan terhadap permintaan pelayanan dalam waktu yang singkat, (5) empati (emphaty): perhatian dan kesungguhan memahami kebutuhan konsumen.

Membangun kesan kualitas yang kuat menurut David A. Aaker dalam Durianto (2001: 104) dapat dilakukan dengan memperhatikan: (1) komitmen terhadap kualitas, (2) budaya kualitas, (3) informasi masukan dari pelanggan, (4) sasaran/ standar yang jelas, (4) kembangkan karyawan yang berinisiatif.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan kualitas yang tinggi menurut Simamora (2001: 81) yaitu: (1) komitmen terhadap kualitas, (2) budaya kualitas, (3) masukan pelanggan, (4) pengukuran/ sasaran/ standar kualitas, (5) mengijinkan karyawan berinisiatif, (6) harapan-harapan pelanggan.

Persepsi kualitas merek pada penelitian ini dapat didefinisikan sebagai persepsi konsumen terhadap kualitas suatu produk. Adapun 5 aspek persepsi kualitas merek dalam penelitian ini, yaitu: (1) aspek fisik (tangible): penampilan fisik fasilitas sarana prasarana sekolah, peralatan, guru dan karyawan, (2) keandalan (reliability): kemampuan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan, (3) kompetensi (assurance): pengetahuan dan kesopanan serta kemampuan guru dan karyawan untuk menciptakan keyakinan akan kualitas sekolah dalam diri konsumen, (4) tanggung jawab (responsiveness): kesediaan untuk membantu dan daya tanggap guru dan karyawan dalam menghadapi permintaan murid dan orang tua murid, (5) empati (emphaty): perhatian dan kesungguhan memahami kebutuhan murid.

2.1.2.4. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)

Loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Loyalitas merek dapat menjadi aset perusahaan jika dikelola dan dimanfaatkan dengan benar.

Fungsi loyalitas merek menurut Durianto (2001:127) adalah (1) reduced marketing cost (mengurangi biaya pemasaran), (2) trade leverge (meningkatkan perdagangan), (3) attracting new customer (menarik minat pelanggan baru), (4)

provide time to respond to competitive threats (memberi waktu untuk merespons ancaman pesaing).

Menurut David A. Aaker (1997: 56) ada beberapa tingkatan dalam loyalitas yaitu: (1) switcher (berpindah-pindah) biasanya memilih produk karena harganya murah. Semakin tinggi tingkat perpindahan merek menandakan pelanggan tidak loyal. Peran merek sangat kecil dalam keputusan pembelian; (2)

habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan) membeli berdasarkan kebiasaan karena merasa puas dengan merek tertentu. Pada tingkat ini tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk berpindah ke merek lain terutama jika peralihan tersebut membutuhkan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan lain; (3) satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) adalah pelanggan yang puas terhadap merek tertentu tetapi tetap berpindah pada merek lain walaupun harus menanggung biaya peralihan (switcing cost). Biasanya pesaing menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya; (4) likes the brand (menyukai merek) merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Adanya keterkaitan emosional antara pelanggang dengan merek tertentu; (5) committed buyer (pembeli yang komit) merupakan pelanggan yang setia. Mereka bangga menggunakan suatu merek dan tidak segan-segan mempromosikan atau merekomendasikan pada orang lain.

William M. Darden dalam Simamora (2001:122) cenderung melihat loyalitas dari sifat-sifat pembeli. Loyalitas dibagi menjadi empat golongan, yaitu: (1) kelompok yang membeli secara fanatik pada suatu produk, (2) kelompok yang mencoba merek lain untuk membenarkan keputusan pembelian dia sebelumnya, (3) kelompok yang mencoba merek lain hanya untuk menambah pengetahuan saja, dan (4) kelompok yang tidak peduli pada merek.

Definisi loyalitas merek dalam penelitian ini adalah ukuran keterkaitan konsumen dan suatu produk. Beberapa tingkatan loyalitas merek yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) switcher (berpindah-pindah), konsumen memilih sekolah dengan biaya pendidikan paling murah; (2) habitual buyer (konsumen yang bersifat kebiasaan), konsumen memilih sekolah karena sudah pernah menyekolahkan anak di sekolah yang sama atau warga sekitar biasanya menyekolahkan anak di sekolah tersebut, tidak ada alasan untuk memilih sekolah lain; (3) satisfied buyer (konsumen yang puas dengan biaya peralihan) adalah konsumen yang puas terhadap sekolah tertentu tetapi tetap berpindah sekolah walaupun harus menanggung biaya peralihan (switcing cost); (4) likes the brand

(menyukai merek) merupakan konsumen yang sungguh-sungguh menyukai sekolah tersebut karena ada keterkaitan emosional; (5) committed buyer

(konsumen yang komit) merupakan konsumen yang setia. Mereka bangga menyekolahkan anak di sekolah tersebut dan tidak segan-segan mempromosikan atau merekomendasikan pada orang lain.

Dokumen terkait