• Tidak ada hasil yang ditemukan

Elastisitas Permintaan Pangan dan Non Pangan

VII. PERILAKU KONSUMSI RUMAHTANGGA PETANI PAD

7.4. Elastisitas Permintaan Pangan dan Non Pangan

Dalam pengertian secara umum perilaku konsumsi rumahtangga tidak dipengaruhi oleh perubahan harga input dan harga output, dalam hal ini pendapatan rumahtangga diasumsikan tetap, namun pada Model Rumahtangga Pertanian (MRP) pendapatan rumahtangga seringkali berubah dengan berubahnya

harga input (harga pupuk dan upah tenaga kerja) serta harga output pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dengan usahatani sebagai sumber utama pendapatan akan mengikuti besar kecilnya keuntungan yang diperoleh dari hasil usahatani. Dengan demikian perilaku konsumsi rumahtangga akan ditentukan oleh keberhasilan usahatani. Untuk mengetahui pengaruh keuntungan terhadap perilaku konsumsi rumahtangga petani maka nilai elastisitas permintaan rumahtangga pertanian dihitung berdasarkan rumus pada Tabel 9 dan nilai rata- rata komponen pembentuk elastisitas permintaan rumahtangga pertanian seperti tertera pada Tabel 39.

Tabel 39. Nilai Rata-Rata Komponen Pembentuk Elastisitas Permintaan Pangan dan Non Pangan Rumahtangga Pertanian terhadap Harga dan Upah di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Uraian Jenis Lahan Efisiensi Keuntungan

Irigasi T. Hujan Tinggi Rendah

Pangsa konsumsi padi 0.2266 0.2917 0.2273 0.2789

Pangsa konsumsi sayur 0.0371 0.0530 0.0379 0.0520

Pangsa pangan dibeli 0.2474 0.3077 0.2303 0.3226

Pangsa non pangan 0.2562 0.2478 0.2321 0.2719

Pangsa upah TKP 0.0013 0.0011 0.0011 0.0013

Pangsa upah TKW 0.0009 0.0009 0.0008 0.0010

Pangsa waktu luang pria 0.7562 0.6438 0.7441 0.8473

Pangsa waktu luang wanita 0.7366 0.6838 0.6146 0.7745

Pangsa keuntungan 0.6925 0.5948 0.8887 0.5367

Pangsa pengeluaran rumahtangga untuk pangan masih lebih besar daripada pengeluaran untuk konsumsi non pangan. Alokasi pendapatan untuk pangan lebih dari 60 persen ditemukan pada rumahtangga lahan tadah hujan dan rumahtangga yang memiliki keuntungan rendah, sedangkan pada rumahtangga lahan irigasi dan keuntungan tinggi pangsa pengeluaran pangan kurang dari 60 persen. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hermanto et al. (1996), Sawit et al. (1997); Erwidodo (1998) dan Suryana (2003b) mendapatkan bahwa

rumahtangga dengan pendapatan yang lebih rendah maka pangsa pengeluaran pangannya lebih besar dibanding pangsa pengeluaran non pangan, dan pengeluaran beras masih mendominasi pengeluaran untuk pangan. Hal ini menyiratkan bahwa rumahtangga lahan irigasi dan keuntungan tinggi relatif lebih sejahtera dari rumahtangga lahan tadah hujan dan efisiensi rendah karena pangsa pengeluaran pangan dapat dijadikan indikator kesejahteraan rumahtangga.

Proporsi konsumsi pangan pokok yang diproduksi rumahtangga (padi dan sayur) terhadap pendapatan total rumahtangga pada lahan tadah hujan dan rumahtangga dengan keuntungan rendah lebih besar dibanding rumahtangga lahan irigasi dan rumahtangga dengan keuntungan tinggi, sebaliknya terhadap konsumsi barang pasar rumahtangga lahan irigasi dan keuntungan tinggi mempunyai proporsi yang lebih tinggi. Proporsi pengeluaran padi pada semua kelompok rumahtangga berkisar antara 22 – 30 persen dengan proporsi terbesar pada rumahtangga lahan tadah hujan (29.17 persen) dan proporsi terendah diperoleh pada rumahtangga lahan irigasi (22.66 persen). Perbedaan ini terkait dengan konsumsi beras per kapita dimana rumahtangga lahan tadah irigasi dan keuntungan rendah konsumsi beras masing-masing sebesar 120.85 kg/kapita dan 120.82 kg/kapita dan rumahtangga lahan irigasi dan efisiensi tinggi sebesar 114.85 kg/kapita dan 115.66 kg/kapita.

Terhadap curahan waktu kerja anggota keluarga rumahtangga petani lahan irigasi dan tingkat keuntungan tinggi lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga daripada tenaga kerja keluarga. Hal ini dikarenakan rumahtangga lahan irigasi dan keuntungan tinggi mempunyai pendapatan yang lebih tinggi untuk

membayar tenaga kerja yang disewa dibandingkan rumahtangga lahan tadah hujan dan efisiensi rendah.

Dalam menganalisis pola konsumsi pangan dengan menggunakan Model Rumahtangga Konvensional (MRK) diasumsikan pendapatan rumahtangga tetap, akan tetapi pada MRP pendapatan rumahtangga selalu berubah dengan berubahnya harga input dan harga output. Tabel 40 menampilkan elastisitas permintaan pada MRP yang pembahasannya dibandingkan dengan hasil estimasi elastisitas permintaan pada MRK (Tabel 36 dan Tabel 37).

Perubahan elastisitas permintaan pada MRK dan elastisitas permintaan pada MRP terletak pada tanda dan besaran nilai elastisitas. Perubahan tanda elastisitas lebih banyak terjadi pada rumahtangga lahan sawah tadah hujan (terdapat 11 tanda elastisitas yang berbeda) dibandingkan dengan rumahtangga lainnya.

Dari sisi perubahan besaran elastisitas permintaan pada MRP menjadi lebih kecil (lebih inelastis) daripada elastisitas permintaan pada MRK seperti ditunjukkan pada perubahan permintaan padi terhadap harganya sendiri pada semua rumahtangga. Perubahan harga padi akan mengubah keuntungan dan akan menggeser kurva permintaan ke kanan atau ke kiri sehingga mengakibatkan perubahan jumlah yang diminta. Di sisi lain perubahan harga padi menyebabkan perubahan pendapatan rumahtangga sehingga garis pendapatan akan bergeser ke kanan jika harga meningkat atau bergeser ke kiri jika harga turun. Dampak dari bergesernya garis pendapatan akan mempengaruhi barang yang diminta oleh rumahtangga. Efek positif keuntungan terlihat pada semua rumahtangga terhadap permintaan produksi rumahtangga ditunjukkan dengan nilai elastisitas pada MRP

menjadi kurang elastis (secara absolut nilai elastisitas lebih kecil) dari nilai elastisitas pada MRK.

Tabel 40. Elastisitas Permintaan Pangan dan Non Pangan Rumahtangga Pertanian terhadap Harga dan Upah di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009

Harga Jenis Permintaan

Padi Sayur Pangan dibeli Non pangan Lahan sawah irigasi :

1. Padi -0.5614 0.1311 0.8173 0.7610 2. Sayur -0.0062 -0.8988 -0.0892 -0.0862 3. Pangan dibeli 0.0087 0.1406 -0.6883 -0.4319 4. Non pangan 0.1329 0.2752 0.0359 -0.7327 5. Upah TKP 0.2422 -0.0367 0.1152 -0.1467 6. Upah TKW -0.2004 0.0049 0.0346 0.0602 7. Pupuk -0.1844 -0.0621 -0.3990 -0.3683

Lahan sawah tadah hujan :

1. Padi -0.6037 -0.3713 1.1551 2.5865 2. Sayur 0.2318 -0.2872 -0.0113 1.9393 3. Pangan dibeli -0.0768 -0.1163 -0.7113 0.0201 4. Non pangan -0.1653 0.2163 0.1500 -0.4977 5. Upah TKP 0.0049 -0.0202 0.0200 0.0385 6. Upah TKW -0.0066 0.0003 -0.0095 -0.0176 7. Pupuk -0.0171 0.0205 -0.0752 -0.1667

Efisiensi keuntungan tinggi :

1. Padi -0.6678 0.1679 1.0592 0.9102 2. Sayur -0.0117 -0.8840 -0.0342 -0.0619 3. Pangan dibeli 0.1553 0.0170 -0.6689 0.2200 4. Non pangan -0.1440 0.0155 -0.6696 -0.6735 5. Upah TKP 0.0080 0.2195 -0.1307 -0.1509 6. Upah TKW 0.0702 -0.2353 -0.0047 -0.0294 7. Pupuk 0.1174 -0.1949 0.3084 -0.0806

Efisiensi keuntungan rendah :

1. Padi -0.7587 0.0907 0.4961 0.0933 2. Sayur -0.0129 -0.8850 -0.0352 -0.0725 3. Pangan dibeli 0.1497 0.0172 -0.7035 0.1699 4. Non pangan -0.1464 0.0153 -0.6845 -0.6952 5. Upah TKP 0.0080 0.2195 -0.1306 -0.1507 6. Upah TKW 0.0702 -0.2353 -0.0046 -0.0292 7. Pupuk 0.0709 -0.1177 0.1863 -0.0487

Berbeda dengan pengaruh perubahan harga padi dan harga sayur terhadap permintaannya sendiri yang menjadi kurang elastis, tidak demikian yang terjadi

terhadap permintaan barang pasar (pangan yang dibeli dan non pangan) menjadi lebih elastis dengan tanda positif pada semua kelompok rumahtangga kecuali pada rumahtangga dengan efisiensi tinggi. Hasil ini mengindikasikan bahwa perubahan harga output akan mengubah daya beli rumahtangga terhadap barang pasar. Oleh karena itu implikasi yang dapat dibuat adalah masih diperlukan kebijakan harga output terutama harga padi untuk meningkatkan daya beli rumahtangga petani.

Perubahan nilai elastisitas secara absolut menjadi lebih kecil pada MRP mengindikasikan bahwa keuntungan usahatani mempunyai efek positif yang sebagian menutupi efek negatif dari efek substitusi dan efek pendapatan. Namun bila nilai elastisitas pada MRP lebih besar dari nilai elastisitas pada MRK untuk produk rumahtangga berarti efek keuntungan yang negatif akan menambah efek negatif substitusi dan efek negatif pendapatan.

Hasil penelitian Sawit (1983) elastisitas harga sendiri permintaan padi kurang elastis pada MRP dibandingkan pada MRK, yaitu -0.55 dibanding -0.74. Perbedaan ini menyiratkan efek positif keuntungan dari peningkatan harga padi terhadap konsumsi, efek positif ini sebagian akan menghilangkan (offsets) efek negatif dari substitusi dan pendapatan dari kenaikan harga terhadap konsumsi. Berbeda dengan padi elastisitas harga sendiri permintaan palawija lebih tinggi pada MRK jika dibandingkan dengan elastisitas pada MRP (-1.34 dengan -0.45), arti dari ini adalah efek keuntungan dari peningkatan harga palawija adalah negatif dan menambah efek negatif dari substitusi dan pendapatan.

Efek keuntungan tidak ditemukan dari perubahan harga barang pasar karena konsumsi barang tidak diproduksi oleh rumahtangga (pangan yang dibeli dan non pangan) sehingga besarnya perubahan lebih disebabkan oleh berubahnya

harga barang pasar tersebut dan perubahan pendapatan sehingga perubahan proporsi konsumsi barang tidak disebabkan oleh adanya efek keuntungan. Nilai elastisitas harga sendiri permintaan non pangan pada kelompok rumahtangga berdasarkan efisiensi terlihat hampir sama antara nilai elastisitas pada MRK dan MRP. Hal ini disebabkan bahwa permintaan barang pasar tidak dipengaruhi oleh efek keuntungan karena perubahan permintaan barang pasar lebih disebabkan oleh perubahan harga sendiri dan pendapatan rumahtangga. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Sawit (1993) elastisitas harga sendiri permintaan barang pasar hampir sama pada MRP dan MRK, yaitu -0.51 di MRK dan -0.58 pada MRP.

Upah tenaga kerja tidak berhubungan secara langsung dengan tingkat keuntungan yang diperoleh dari usahatani. Perubahan upah tenaga kerja akan mengubah pendapatan rumahtangga yang kemudian digunakan untuk mengubah permintaan konsumsi rumahtangga. Pada rumahtangga berdasarkan efisiensi terlihat bahwa perubahan upah tenaga kerja mempunyai pengaruh yang hampir sama terhadap permintaan pangan dan non pangan, ditunjukkan oleh besaran elastisitas yang hampir sama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang kecil atas alokasi waktu dan proposi upah terhadap pendapatan rumahtangga.

Upah tenaga kerja membuat elastisitas silang terhadap permintaan padi menjadi lebih elastis pada rumahtangga lahan irigasi, sedangkan pada kelompok rumahtangga lainnya elastisitas silang upah tenaga kerja dengan permintaan produksi rumahtangga mendekati nol, sedangkan upah tenaga kerja pria terhadap permintaan barang pasar menjadi lebih elastis pada MRP. Hasil yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Singh dan Janakiram (1986) memperoleh

elastisitas silang upah tenaga kerja terhadap padi pada MRP menjadi kurang elastis, sedangkan terhadap pangan yang dibeli dan non pangan mendekati nilai nol (0.0156 dan 0.047). Perbedaan ini disebabkan bahwa rumahtangga menjual tenaga kerja keluarga untuk bekerja di sektor pertanian dan non pertanian sehingga dengan perubahan upah tenaga kerja pria menyebabkan perubahan pendapatan yang akan mengubah permintaan terhadap barang pasar.

Beberapa hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sawit (1993) bahwa elastisitas permintaan pada MRP untuk komoditas pertanian terhadap upah di Malaysia adalah negatif, yaitu -0.08 (Barnum dan Squire, 1979) sedangkan di Taiwan sebesar -0.03 (Lau et al., 1978). Dalam penelitian ini perbedaan upah tenaga kerja pria terhadap permintaan padi memberikan nilai elastisitas dengan tanda positif, sedangkan pengaruh yang negatif diberikan oleh perubahan upah tenaga kerja wanita terhadap permintaan padi. Perbedaan ini diduga lebih disebabkan oleh tenaga kerja pria lebih banyak mengkonsumsi beras karena lebih banyak melakukan kegiatan yang memerlukan energi, sedangkan bagi tenaga kerja wanita dalam hal ini ibu rumahtangga dengan adanya perubahan upah akan lebih meningkatkan konsumsi sayur. Puspita (2004) menyatakan bahwa peran ibu pada rumahtangga petani lebih mengutamakan mengisi perut dengan mengolah hasil produksi rumahtangga dan sehari-hari memasak nasi dan sayur untuk keluarga.

Perubahan pendapatan petani juga disebabkan oleh perubahan harga pupuk. Pengaruh harga pupuk terhadap permintaan konsumsi pangan dan non pangan relatif kecil dan mendekati nol pada semua kelompok rumahtangga, kecuali rumahtangga efisiensi tinggi. Hal ini disebabkan karena proporsi

keuntungan pada rumahtangga efisiensi tinggi cukup besar, yaitu 88.87 persen dari pendapatan rumahtangga. Walaupun harga pupuk ada yang memberikan pengaruh yang positif terhadap permintaan pangan, namun pengaruh tersebut relatif kecil. Hasil yang sama dari penelitian Sawit (1994) mendapatkan elastisitas harga pupuk terhadap permintaan padi (-0.015), palawija (-0.010) dan barang pasar (-0.015).

Singh dan Janakiram (1986) memperoleh perubahan harga pupuk terhadap konsumsi pangan yang dibeli dan non pangan masing-masing sebesar -0.078 dan -0.235. Sementara itu Susila (2005) mendapatkan perubahan harga pupuk terhadap konsumsi pangan rumahtangga mendekati nol, yaitu -0.013. Anwar (2005) juga mendapatkan hasil bahwa pengaruh perubahan harga pupuk terhadap pangsa pengeluaran pangan rumahtangga relatif kecil, yaitu kurang dari satu persen.

Implikasi penting dari analisis perilaku konsumsi rumahtangga adalah bahwa pola konsumsi rumahtangga petani dipengaruhi oleh harga gabah dan tidak dipengaruhi oleh harga pupuk karena petani membeli pupuk pada harga yang bersubsidi sehingga kontribusi biaya pupuk yang relatif kecil, yaitu antara lima sampai tujuh persen dari biaya usahatani sehingga proporsi biaya pupuk terhadap pendapatan total rumahtangga semakin kecil. Dampak kebijakan harga output (harga gabah) lebih besar terhadap konsumsi rumahtangga dibandingkan dampak kebijakan harga pupuk sehingga masih diperlukan adanya perbaikan harga gabah di tingkat petani.

Dokumen terkait