PERILAKU PRODUKSI DAN KONSUMSI
RUMAHTANGGA PETANI PADI
DI SULAWESI TENGGARA
DEWI SAHARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul “PERILAKU PRODUKSI DAN KONSUMSI
RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis
di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2011
ABSTRACT
DEWI SAHARA. The Production and Consumption Behavior of Rice Farm Households in Southeast Sulawesi (HARIANTO as Chairman, NUNUNG KUSNADI and KUNTJORO as members of the Advisory Committee)
The objectives of this study are : (1) to analyse the profit efficiency and factors affecting inefficiency of profit for paddy and non-paddy farming based on the technology and wetland agro-ecosystem, (2) to assess the response of output supply and input demand toward the changes of output and input prices based on wetland agro-ecosystem, (3) to asses the response of farm households’ consumption toward the changes of output and input price and the households’ income based on the wetland agro-ecosystem and profit efficiency, and (4) to compare the response of farmer households’ consumption as pure consumer and their response as producer and consumer based on wetland agro-ecosystem, and the profit efficiency. The stochastic frontiers profit function, and output and input share functions were used to analyse the production behavior, whilst, the Almost Ideal Demand System Model was used to analyse the consumption behavior. The research findings showed that the rice farm households for irrigated lands with improving technology have the highest profit efficiency compared to others. Inefficient profit was influenced by the experices of farmers in farming, education level and the number of family member. The parameter estimation results by employing output and input share function showed that there was the greater impact of rice price toward output supply and inputs demand compared to fertilizer price. Meanwhile, the household expenditure share function showed that the rice farmers around the area of research were responsive for price changes of rice because rice is a main commodity, but they were less responsive on price changes of fertilizer. Aventhough they were responsive on the changes of rice price, but it became less sensitive when they were as producers and consumers. The policy implications and further research suggestions are: (1) to increase the productivity and profitability of rice farming still require wisdom specific technology and irrigation facilities development, (2) to enhance farmers' income needs to improve the price policy through improving the Government Purchasing Price standard of rice, and (3) for further research, the nutrient content of fertilizer should be considered on the production analysis, and the types of farm household and the kinds of data should be expanded, as well as, the distinguish type of purchased food should be based on the nutrient content by using the farm households model.
RINGKASAN
DEWI SAHARA. Perilaku Produksi dan Konsumsi Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara (HARIANTO sebagai Ketua, NUNUNG KUSNADI dan KUNTJORO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Rumahtangga petani padi tidak hanya menghasilkan padi (single commodity) melainkan juga menghasilkan tanaman pangan selain padi ( multi-commodity). Sebagai podusen bahan pangan, petani mengkonsumsi bahan pangan produksi sendiri dan membeli di pasar sehingga rumahtangga petani padi tidak saja sebagai produsen namun juga sebagai konsumen.
Peningkatan permintaan pangan menyebabkan perhatian pemerintah terhadap kebijakan pangan lebih diarahkan pada komoditi padi, baik dari sisi teknologi maupun ekonomi. Kebijakan dari sisi teknologi mencakup berbagai program pengembangan dan penelitian, dimulai dari adanya program Bimas, Insus dan Supra Insus diiringi dengan pembangunan jaringan irigasi, hingga adanya program Prima Tani dan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu, sedangkan kebijakan dari sisi ekonomi dengan diterapkannya kebijakan subsidi pupuk dan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap gabah dan beras yang sering diperbaharui setiap tahun. Perubahan kebijakan harga tersebut menyebabkan perubahan harga di tingkat petani, baik harga gabah maupun harga pupuk. Perubahan harga tersebut menyebabkan berubahnya keuntungan usahatani dan pendapatan rumahtangga.
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh harga output dan harga input terhadap efisiensi produksi dan inefisiensi produksi padi dan non padi berdasarkan teknologi dan agroekosistem lahan sawah, (2) mengkaji respon penawaran output dan permintaan input terhadap perubahan harga output dan harga input pada rumahtangga petani berdasarkan agroekosistem lahan sawah, (3) mengkaji respon konsumsi rumahtangga petani terhadap perubahan harga dan pendapatan rumahtangga berdasarkan agroekosistem lahan sawah dan efisiensi keuntungan, dan (4) membandingkan respon konsumsi rumahtangga petani sebagai konsumen murni dan respon konsumsi rumahtangga petani sebagai produsen dan konsumen berdasarkan agroekosistem lahan sawah dan efisiensi keuntungan.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Konawe sebagai sentra lahan sawah irigasi dan Kabupaten Konawe Selatan sebagai lahan sawah tadah hujan. Populasi yang digunakan adalah petani padi dengan menggunakan sampel sebanyak 312 rumahtangga petani. Analisis produksi dalam penelitian ini menggunakan fungsi keuntungan stokastik frontir untuk efisiensi produksi, model Seemingly Unrelated Regression (SUR) untuk pangsa output dan pangsa input, dan analisis konsumsi menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS model).
irigasi dengan sumber inefisiensi adalah pengalaman usahatani, pendidikan dan jumlah anggota keluarga. Dari hasil tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas padi dan peningkatan keuntungan petani dapat diperoleh dengan memperbaiki teknologi produksi dan adanya sarana pengairan.
Hasil analisis fungsi pangsa output dan pangsa input menunjukkan bahwa petani lebih responsif terhadap perubahan harga padi dalam mengambil keputusan produksi dibandingkan dengan perubahan harga pupuk. Demikian juga dengan keuntungan usahatani lebih ditentukan oleh harga padi dan upah tenaga kerja dibandingkan oleh harga pupuk. Hal ini mengimplikasikan bahwa harga padi mempunyai dampak yang lebih besar terhadap penawaran padi dan permintaan input dibandingkan dengan subsidi harga pupuk.
Hasil analisis konsumsi rumahtangga menunjukkan bahwa perilaku konsumsi rumahtangga petani lebih responsif terhadap perubahan harga padi, sedangkan perubahan harga barang pasar kurang direspon oleh petani. Hal ini disebabkan bahwa usahatani padi masih menjadi sumber pendapatan utama rumahtangga sehingga perubahan harga padi akan mempengaruhi petani untuk menjual atau mengkonsumsi hasil usahatani. Rumahtangga yang memiliki pendapatan yang lebih rendah (rumahtangga lahan tadah hujan rumahtangga efisiensi rendah) lebih responsif terhadap perubahan harga. Hal ini berkaitan dengan daya beli rumahtangga dimana rumahtangga dengan pendapatan rendah akan dengan lebih cepat merealokasi pendapatan pada saat terjadi perubahan harga.
Rumahtangga petani sebagai produsen dan konsumen menjadi kurang responsif terhadap perubahan harga padi karena adanya efek keuntungan yang mempengaruhi pendapatan dan konsumsi pangan dan non pangan. Hal ini menandakan terdapat perbedaan respon antara rumahtangga petani sebagai konsumen murni dan rumahtangga petani sebagai produsen dan konsumen. Perubahan harga pupuk kurang direspon oleh semua kelompok rumahtangga sehingga konsumsi rumahtangga petani tidak dipengaruhi oleh harga pupuk.
Secara keseluruhan elastisitas harga pada rumahtangga lahan tadah hujan dan efisiensi rendah lebih elastis daripada rumahtangga lahan sawah irigasi maupun rumahtangga dengan efisiensi tinggi. Hal ini mengindikasikan jika usahatani masih menjadi sumber pendapatan utama maka rumahtangga akan cepat melakukan penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga jika terjadi perubahan harga komoditas karena daya beli rumahtangga menjadi berubah.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
PERILAKU PRODUKSI DAN KONSUMSI
RUMAHTANGGA PETANI PADI
DI SULAWESI TENGGARA
Oleh :
DEWI SAHARA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka :
1. Prof. Dr. Husein Sawit
Ahli Peneliti Utama Pusat Sosial Eknomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
2. Dr. Ir. Mat Syukur, MS
Judul Disertasi : Perilaku Produksi dan Konsumsi Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara
Nama Mahasiswa : Dewi Sahara
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Nomor Pokok : H363070141
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Harianto, M.S.
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S.
Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Kuntjoro
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan kasih sayang dan rahmat-Nya kepada penulis
sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai
tugas akhir dari tugas belajar di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Terselesaikannya seluruh proses pendidikan doktor ini tidak dapat lepas
dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu
meluangkan waktu disela kesibukan beliau yang sangat padat untuk
memberikan bimbingan dan kesempatan untuk selalu maju sejak dari tahap
awal penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, penyusunan disertasi
hingga ujian. Hal ini yang membuat penulis merasa terdorong untuk segera
menyelesaikan tugas pendidikan di IPB.
2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang
selalu menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan membuka wawasan dan
cara berpikir penulis untuk memperdalam kajian disertasi, disela-sela
kesibukan dan waktu beliau yang padat untuk memberikan bimbingan
kepada mahasiswa lainnya.
3. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu
memberikan waktu dan saran serta masukan yang sangat membantu untuk
menyempurnakan penulisan disertasi.
4. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS dan Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji
pertanyaan, dan kritik atas penulisan disertasi agar menjadi lebih konsisten
dengan teori.
5. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian atas pertanyaan dan saran-saran untuk perbaikan pada
Ujian Tertutup, serta ilmu-ilmu yang telah diberikan pada penulis selama
masa perkuliahan.
6. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MS selaku Pimpinan Sidang pada Ujian
Tertutup atas pertanyaan, masukan, dan saran perbaikan yang diberikan pada
penulis.
7. Prof. Dr. Husein Sawit dan Dr. Ir. Mat Syukur, MS selaku Penguji Luar
Komisi pada Ujian Terbuka yang telah berkenan meluangkan waktu dan
bersedia menjadi penguji luar komisi pada saat Ujian Terbuka. Terimakasih
atas saran dan koreksi yang diberikan sebagai masukan bagi penulis.
8. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc atas masukan,
pertanyaan dan koreksi yang diberikan pada penulis pada saat Ujian
Terbuka.
9. Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
yang telah mengusulkan penulis untuk melanjutkan pendidikan program
doktor di IPB.
10. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atas izin dan dana
yang diberikan selama penulis menyelesaikan pendidikan program doktor di
IPB.
11. Keluarga penulis, yaitu kedua orangtua penulis Bapak Soendoyo dan Ibu S.
berdoa untuk keberhasilan dan kebahagiaan penulis. Kakak-kakak penulis,
Mas Suryo dan Mas Guntur, terimakasih atas bantuan dan jasa yang telah
diberikan hingga penulis bisa mencapai pendidikan tertinggi.
12. Suami penulis Thomas Cahyo Purwo Negoro atas pengertian dan
kesediaannya memberikan waktu pada penulis untuk menyelesaikan tahap
akhir pendidikan dan kedua mertua penulis Bapak Soemarno Witoatmodjo
dan Ibu Mamik Sri Suharmi atas doa yang selalu dipanjatkan agar penulis
bisa menyelesaikan pendidikan dengan cepat dan sukses.
13. Gubernur Sulawesi Tenggara dan Bupati Konawe Selatan atas bantuan biaya
penelitian yang diberikan.
14. Kepala Desa Wawouru, rekan-rekan penyuluh, Ketua Gapoktan, para
enumerator dan responden di desa yang penulis jadikan lokasi penelitian atas
kesediaannya membantu penulis dalam melakukan penelitian dan
memberikan data yang diperlukan.
15. Rekan-rekan penulis di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian angkatan 2005,
2006, 2007 dan 2008, terutama angkatan 2007 yang telah menjadi teman dan
sahabat dalam menghadapi suka dan duka selama perkuliahan. Kebersamaan
merupakan kunci dan motivator bagi penulis untuk mencapai kemajuan.
16. Rekan-rekan di Sekretariat Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian atas perhatian,
bantuan administrasi dan dukungan yang diberikan.
17. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu
per satu, penulis juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang
Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat
balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Harapan penulis semoga disertasi ini
bermanfaat bagi kita dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan dapat
menambah referensi bagi yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 6 Desember 1968
dari pasangan Bapak Soendoyo dan Ibu S. Retnowati. Penulis adalah anak ketiga
dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah
menengah atas di Kota Rembang, yaitu pada SD Katolik Rembang, SMP Negeri I
Rembang dan SMA Negeri 1 Rembang. Selanjutnya pendidikan sarjana (S1)
penulis selesaikan pada tahun 1992 di Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi
Universitas Hasanuddin Makassar. Pada tahun 1996 penulis diterima bekerja di
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara dan lulus
sebagai CPNS pada tahun 1998.
Pada tahun 1999 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan Pascasarjana (S2) di Fakultas Pertanian Program Studi Ekonomi
Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan beasiswa dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, lulus pada tahun 2001. Kemudian tahun
2007 penulis kembali mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke
Program Pascasarjana (S3) di Institut Pertanian Bogor pada Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jenjang karier penulis dimulai pada tahun 2004 sebagai tenaga fungsional
peneliti dengan jabatan Ajun Peneliti Madya. Pada tahun 2007 hingga sekarang
jabatan fungsional penulis sebagai Peneliti Muda pada Balai Pengkajian
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xx
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15
2.1. Kinerja Usahatani Padi ... 15
2.2. Produksi Tanaman Pangan ... 18
2.3. Penelitian Terdahulu ... 22
2.3.1. Penelitian tentang Efisiensi ……...….... 22
2.3.2. Penelitian tentang Penawaran dan Permintaan Pangan ………... 25
2.3.3. Penelitian tentang Konsumsi Pangan Rumahtangga 28 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ... 33
3.1. Teori Produksi ... 33
3.1.1. Fungsi Produksi Multi Input dan Multi Output ... 33
3.1.2. Efisiensi Produksi ... 36
3.2. Teori Permintaan Konsumen ... 37
3.2.1. Perilaku Memaksimumkan Utilitas ... 38
3.2.2. Utilitas Tidak Langsung dan Minimisasi Pengeluaran ... 41
3.2.3. Sifat-Sifat Fungsi Permintaan ………….……... 43
3.3. Model Empiris dalam Penelitian ... 47
3.3.1. Model Ekonomi Rumahtangga ... 47
3.3.2. Model Keuntungan Translog ... 57
3.3.3. Model Almost Ideal Demand System …………... 59
3.4. Hipotesis ... 61
IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 63
4.1. Penentuan Tempat Penelitian ... 63
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 64
4.3. Pengambilan Sampel ... 65
4.4. Perumusan Model dan Analisis Data ... 66
4.4.1. Analisis Perilaku Produksi Rumahtangga Petani ... 66
4.4.2. Analisis Perilaku Konsumsi Rumahtangga Petani ... 71
4.4.3. Estimasi Pengaruh Keuntungan terhadap Konsumsi 74 4.5. Definisi Operasional ………... 76
V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA ... 79
5.1. Karakteristik Petani Padi ... 79
5.2. Pola Tanam dan Diversifikasi Usahatani …...……….. 84
5.2.1. Pola Tanam Lahan Sawah ... 84
5.2.2. Diversifikasi Usahatani ... 86
5.3. Keragaan Usahatani Padi ... 90
5.3.1. Input Produksi ... 90
5.3.2. Produktivitas Padi ... 96
5.3.3. Analisis Usahatani Padi ... 98
5.3.3. Usahatani Sayur ... 100
5.4. Ekonomi Rumahtangga Petani Padi ... 104
5.4.1. Curahan Waktu Anggota Rumahtangga Petani Padi 104
5.4.2. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Padi ... 106
5.4.3. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Petani Padi .... 108
VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA ...
6.1. Estimasi Parameter Fungsi Keuntungan Stokastik Frontir .. 113
6.1.1. Efisiensi Keuntungan Usahatani ... 115
6.1.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Keuntungan ... 118 6.2. Analisis Penawaran Output dan Permintaan Input ... 120
6.3. Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input ... 125
6.3.1. Elastisitas Penawaran Output ... 126
6.3.2. Elastisitas Permintaan Input ... 130
VII. PERILAKU KONSUMSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA ... 133 7.1. Estimasi Parameter Fungsi Permintaan ... 134
7.1.1. Estimasi Parameter Fungsi Permintaan Rumah- tangga Petani Padi Lahan Sawah Irigasi ... 134
7.1.2. Estimasi Parameter Fungsi Permintaan Rumah- tangga Petani Padi Lahan Sawah Tadah Hujan ... 140
7.2. Respon Perubahan Harga ... 143
7.2.1. Elastisitas Harga Sendiri ... 144
7.2.2. Elastisitas Harga Silang ... 148
7.3. Respon Perubahan Pendapatan ... 152
7.4. Elastisitas Permintaan Pangan dan Non Pangan Rumahtangga Pertanian ... 153
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 163
8.1. Kesimpulan ... 163
8.2. Saran-Saran ... 165
DAFTAR PUSTAKA ... 167
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia, Tahun 2000 – 2008... 3
2. Perkembangan Kebijakan Harga Gabah dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Urea, Tahun 2000-2009 ... 4
3. Perkembangan Konsumsi Beras dan Non Beras, Tahun 2000-2009 6
4. Perkembangan Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Sayuran di
Sulawesi Tenggara, Tahun 2000 – 2008... 8
5. Pencapaian Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Peserta
Prima Tani di Sulawesi Tenggara, Tahun 2008 ...…... 17
6. Perkembangan Produksi Padi dan Ketersediaan Beras di Indonesia, Tahun 2000-2008 ... 20
7. Perkembangan Produksi Bahan Pangan Utama di Indonesia, Tahun 2000-2008 ... 21
8. Perkembangan Produksi Bahan Pangan Utama di Sulawesi Tenggara, Tahun 2000-2008 ... 22
9. Rumus Elastisitas Permintaan Pangan dan Non Pangan
Rumahtangga Pertanian terhadap Harga dan Upah ... 75
10. Jumlah Petani Padi Berdasarkan Usia, Pendidikan dan Pengalaman
Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 80
11. Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi
Tenggara, Tahun 2009 ……….. 82
12. Kepemilikan Lahan dan Status Petani Padi di Sulawesi Tenggara,
Tahun 2009 ... 84
13. Jumlah Petani Padi dan Penerapan Pola Tanam Lahan Sawah di
Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 86
15. Rata-rata Jumlah dan Nilai Ternak di Tingkat Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 90
16. Jumlah Petani Padi dalam Menerapkan Teknologi Non Biaya
Usahatani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 91
17. Jumlah Petani Padi yang Menggunakan Pupuk Usahatani Padi di
Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 93
18. Rata-rata Penggunaan Input Produksi per Hektar Usahatani Padi di
Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 94
19. Rata-rata Curahan Waktu Tenaga Kerja Usahatani Padi di
Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 96
20. Analisis Usahatani Padi per Hektar di Sulawesi Tenggara, Tahun
2009 ... 98
21. Rata-rata Penggunaan Input Produksi per Hektar Usahatani Sayur
di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 101
22. Analisis Usahatani Sayur per Hektar di Sulawesi Tenggara, Tahun
2009 ... 102
23. Jumlah Rumahtangga Petani Padi Berdasarkan Jenis Kegiatan Anggota Rumahtangga di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 104
24. Rata-rata Curahan Waktu Aktivitas Tenaga Kerja Keluarga Petani
Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 105
25. Alokasi Waktu Tenaga Kerja Petani Padi di Sulawesi Tenggara,
Tahun 2009 ... 106
26. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 107
27. Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi
Tenggara, Tahun 2009 ... 109
28. Rata-rata Pengeluaran Pangan Berdasarkan Pola Empat Sehat Lima Sempurna Rumahtangga Petani Padi di Sulawesi Tenggara,
Tahun 2009 ... 110
29. Estimasi Parameter Fungsi Keuntungan Stokastik Frontir Usahatani Padi dan Usahatani Sayur di Sulawesi Tenggara, Tahun
30. Nilai Efisiensi Keuntungan Usahatani Usahatani Padi dan
Usahatani Sayur di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 116
31. Sumber-Sumber Inefisiensi Keuntungan Usahatani Padi dan
Usahatani Sayur di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 118
32. Estimasi Parameter Fungsi Pangsa Output dan Pangsa Input Usahatani Padi dan Usahatani Sayur di Sulawesi Tenggara, Tahun
2009 ... 121
33. Elastisitas Penawaran Output, Permintaan Input dan Keuntungan Usahatani Padi dan Usahatani Sayur terhadap Harga dan Upah di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 125
34. Estimasi Parameter Fungsi Permintaan Rumahtangga Petani Padi Lahan Sawah Irigasi di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 136
35. Estimasi Parameter Fungsi Permintaan Rumahtangga Petani Padi Lahan Sawah Tadah Hujan di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 141
36. Elastisitas Harga Sendiri Permintaan Pangan dan Non Pangan Rumahtangga Petani Padi terhadap Harga dan Upah di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 145
37. Elastisitas Harga Silang Permintaan Pangan dan Non Pangan Rumahtangga Petani Padi terhadap Harga dan Upah di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 149
38. Elastisitas Permintaan Pangan dan Non Pangan Rumahtangga Petani Padi terhadap Pendapatan di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 153
39. Nilai Rata-Rata Komponen Pembentuk Elastisitas Permintaan Pangan dan Non Pangan Rumahtangga Pertanian terhadap Harga dan Upah di Sulawesi Tenggara, Tahun 2009 ... 154
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Maksimisasi Utilitas dengan Kendala Garis Anggaran ……….. 40
2. Utilitas Tidak Langsung pada Tingkat Harga dan Pendapatan …….. 42
3. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan terhadap Perubahan Harga ... 45
4. Respon Perubahan Pendapatan ..…...………... 46
5. Respon Perubahan Harga terhadap Konsumsi pada Rumahtangga
Petani ... 55
6. Kerangka Pemikiran Model Rumahtangga Petani Padi ... 56
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Penurunan Elastisitas Penawaran Output dan Permintaan Input ... 177
2. Penurunan Elastisitas Permintaan Model Almost Ideal Demand System ……... 179 3. Rumus Elastisitas Permintaan yang Diturunkan dari Model
Rumahtangga Pertanian ... 182
4. Prosedur Estimasi Parameter Fungsi Keuntungan Stokastik Frontir Usahatani Padi dan Usahatani Sayur Petani Peserta Prima Tani Lahan Sawah Irigasi di Sulawesi Tenggara dengan Metode
Maximum Likelihood ………... 188
5. Hasil Estimasi Parameter Fungsi Keuntungan Usahatani Padi dan Usahatani Sayur Petani Peserta Prima Tani Lahan Sawah Irigasi di
Sulawesi Tenggara dengan Metode Maximum Likelihood ... 190 6. Prosedur Estimasi Parameter Fungsi Pangsa Output dan Pangsa
Input Lahan Sawah Irigasi dan Lahan Sawah Tadah Hujan di Sulawesi Tenggara dengan Metode Seemingly Unrelated Regression …………... 192 7. Hasil Estimasi Parameter Fungsi Pangsa Output dan Pangsa pada
Lahan Sawah Irigasi di Sulawesi Tenggara dengan Metode
Seemingly Unrelated Regression... 194 8. Hasil Estimasi Parameter Fungsi Pangsa Output dan Pangsa Input
Lahan Sawah Tadah Hujan di Sulawesi Tenggara dengan Metode
Seemingly Unrelated Regression... 198 9. Hasil Uji-F Model Sistem Permintaan Pangan dan Non Pangan
Tanpa dan Dengan Restriksi ……. ………... 203
10. Prosedur Estimasi Parameter Fungsi Permintaan Rumahtangga Petani Padi Lahan Sawah Irigasi dan Lahan Sawah Tadah Hujan di Sulawesi Tenggara dengan Metode Seemingly Unrelated Regression ………...………... 203 11. Hasil Estimasi Parameter Fungsi Permintaan Rumahtangga Petani
Padi Lahan Sawah Irigasi di Sulawesi Tenggara dengan Metode
12. Hasil Estimasi Parameter Fungsi Permintaan Rumahtangga Petani Padi Lahan Sawah Tadah Hujan di Sulawesi Tenggara dengan
Metode Seemingly Unrelated Regression …..…... 210 13. Hasil Estimasi Parameter Fungsi Permintaan Rumahtangga Petani
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan
hidup. Pangan juga merupakan hak dasar (basic right) bagi setiap warga negara, oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pangan sesuai
dengan yang dibutuhkan. Masalah pangan merupakan permasalahan yang
kompleks terkait dengan kepentingan banyak individu dengan segala perbedaan
yang mendasari kepentingan itu. Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah
untuk menjembatani adanya beberapa kepentingan yang dimulai dari proses
produksi hingga konsumsi.
Dari sisi produksi, perhatian pemerintah terhadap produksi komoditas
tanaman pangan khususnya produksi padi nasional sudah lebih dari 50 tahun
dengan melakukan berbagai program peningkatan produksi dimulai dengan
adanya program Bimas, Insus dan Supra Insus. Pada dasarnya program tersebut
merupakan program introduksi teknologi baru pada budidaya tanaman padi yang
dikenal dengan istilah Panca Usahatani, yaitu penggunaan varietas unggul,
pemupukan, penanaman, pemakaian obat-obatan dan pengairan yang didukung
dengan pembangunan infrastruktur di pedesaan seperti jaringan irigasi,
transportasi, lembaga penyuluhan dan penelitian.
Keberhasilan program-program tersebut ditandai dengan dicapainya
swasembada beras pada tahun 1984, namun keberhasilan program tersebut tidak
dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama yang ditandai dengan merosotnya
pemerintah kembali membuat gerakan peningkatan produksi tanaman pangan
melalui program Gerakan Mandiri Padi, Palawija dan Jagung (Gema Palagung)
pada tahun 2001, Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi
Teknologi Pertanian (Prima Tani) pada tahun 2006 -2009 dan Sekolah Lanjutan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) yang dimulai pada tahun 2010. Walau
dua program terakhir tidak dikhususkan untuk komoditas tanaman pangan namun
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan program Prima Tani dan
SLPTT lebih banyak diimplementasikan untuk petani tanaman pangan khususnya
petani padi. Pengembangan teknologi pada kedua program tersebut lebih
disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat yang dikenal dengan teknologi
spesifik lokasi.
Pencapaian produksi padi sawah dengan adanya program-program tersebut
selama kurun waktu 2000 – 2008 menunjukkan peningkatan produksi sebesar 1.92
persen per tahun dan produktivitas meningkat 1.38 persen per tahun dengan
perluasan lahan sebesar 0.75 persen per tahun, sedangkan produktivitas padi
ladang pada kurun waktu tersebut menunjukkan peningkatan produksi lebih
tinggi, yaitu 2.09 persen per tahun dengan laju produktivitas 3.29 persen per tahun
dan luas areal menurun sebesar 0.81 persen per tahun (Tabel 1). Angka-angka
tersebut menunjukkan bahwa produktivitas padi lahan sawah irigasi lebih tinggi
daripada produktivitas padi lahan sawah tadah hujan, dan peningkatan produksi
padi lebih disebabkan dengan peningkatan produktivitas dibandingkan dengan
perluasan areal. Inovasi teknologi dibandingkan dengan perluasan areal sehingga
untuk meningkatkan produksi padi pada masa yang akan datang lebih tepat
Tabel 1. Perkembangan Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia, Tahun 2000 – 2008
Padi Sawah Padi Ladang
Tahun Luas Panen
(ha)
Produksi (ton)
Prodv. (ku/ha)
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Prodv. (ku/ha)
2000 10 617 600 49 207 201 46.34 1 175 875 2 691 651 22.89
2001 10 419 375 47 895 512 45.97 1 080 622 2 565 270 23.74
2002 10 456 979 48 899 065 46.76 1 064 187 2 590 629 23.34
2003 10 394 516 49 378 126 47.50 1 093 518 2 759 478 25.23
2004 10 799 472 51 209 433 41.66 1 123 502 2 879 035 25.63
2005 10 733 576 51 317 758 47.81 1 105 484 2 833 339 25.63
2006 10 713 014 51 647 490 48.21 1 073 416 2 807 447 26.15
2007 11 041 225 54 199 693 49.09 1 106 412 2 957 742 26.73
2008 11 257 753 57 169 771 50.78 1 069 672 3 156 154 29.51
Rata-rata 10 726 989 51 464 606 47.12 1 089 602 2 818 637 25.43
r (%/tahun) 0.75 1.92 1.38 -0.81 2.09 3.29
Sumber : Departemen Pertanian, 2010
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah pada bidang produksi hingga
saat ini adalah dengan intervensi harga melalui kebijakan harga output dan
kebijakan harga input sejak tahun 1969. Kebijakan harga tersebut selain untuk
memotivasi petani dalam berproduksi juga untuk meningkatkan pendapatan
petani dengan menetapkan Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian diubah
menjadi Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) pada tahun 2002 selanjutnya
menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada tahun 2005 mencakup HPP
Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG) dan HPP beras yang
diperbaharui setiap tahun, serta masih diberlakukannya kebijakan harga pupuk
bersubsidi.
Perkembangan kebijakan harga dari tahun 2000 – 2009 ditampilkan pada
Tabel 2. Walau harga yang diterima petani masih dibawah HPP, namun dampak
dari perubahan HPP tersebut dapat meningkatkan harga di tingkat petani.
Demikian pula terhadap kebijakan harga input melalui harga pupuk, meskipun
pemerintah menaikkan subsidi harga pupuk namun harga yang dibayar petani
dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan harga gabah dan harga pupuk
menciptakan efek samping, yaitu harga jual gabah petani lebih rendah dari HDG
atau HDPP serta harga beli pupuk bersubsidi oleh petani di atas HET. Fakta
tersebut menggambarkan bahwa kebijakan harga gabah dan harga pupuk belum
efektif sampai di petani karena terdapat perbedaan harga antara HPP dan HET
dengan harga yang diterima maupun yang dibayar oleh petani.
Tabel 2. Perkembangan Kebijakan Harga Gabah dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Urea, Tahun 2000-2009
(Rp)
Tahun HPP GKP Harga Gabah
Petani
HET Urea Harga Urea
Petani
2000 1 012 00950.50 1 115 1 093
2001 1 123 1 092.00 1 050 1 027
2002 1 230 1 224.25 1 050 1 357
2003 1 230 1 222,67 1 150 1 280
2004 1 250 1 211.20 1 150 1 400
2005 1 730 1 500.00 1 150 1 430
2006 1 730 2 115.33 1 200 1 450
2007 2 000 2 192.00 1 200 1 600
2008 2 240 2 438.11 1 200 1 650
2009 2 400 2 687.59 1 200 1 800
r (%/tahun) 10.59 12.88 0.89 6.21
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010a dan Departemen Pertanian, 2010
Kajian Kariyasa dan Adnyana dalam Kariyasa (2003) bahwa harga gabah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan yang diterima petani
mendekati HPP, artinya harga di tingkat petani masih belum sesuai dengan
harapan, sedangkan harga pupuk yang lebih tinggi dari HET disebabkan tidak
tersedianya pupuk pada waktu yang diperlukan. Demikian pula kajian di Provinsi
Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa rata-rata
harga gabah yang diterima petani hanya sekitar Rp 1500/kg GKP atau sekitar
86.7% dari HPP yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2005 (Kariyasa, 2007).
atas HPP. Hal ini disebabkan bahwa HPP bukan lagi merupakan batas harga
dasar yang memerlukan pengamanan khusus agar harga pasar tidak melampaui
dari HPP sehingga HPP lebih merupakan harga rujukan bagi petani dan harga
yang terjadi lebih ditentukan oleh mekanisme pasar, sedangkan harga sebelum
tahun 2006 merupakan peralihan dari harga dasar menjadi HPP.
Kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah digunakan sebagai faktor
pendorong bagi peningkatan produksi padi, namun secara statistik HPP gabah dan
HET pupuk Urea tidak mempengaruhi produksi padi, pengaruh yang nyata
terhadap produksi adalah harga yang diterima petani. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan harga secara langsung tidak menjadi pemacu peningkatan produksi,
akan tetapi memacu peningkatan harga di tingkat petani. Oleh karena itu,
keberhasilan peningkatan produksi padi lebih ditentukan oleh harga yang diterima
petani dibandingkan dengan kebijakan harga. Oleh karena itu perlu
memperhatikan perubahan harga di petani dalam mengambil suatu keputusan
yang berkenaan dengan proses produksi.
Dari sisi konsumsi, kebutuhan beras untuk waktu mendatang diperkirakan
mencapai 36.32 juta ton karena hampir semua (97.07 persen) penduduk Indonesia
mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok dan terjadinya peningkatan
konsumsi beras per kapita per tahun. Analisis data Susenas menunjukkan bahwa
konsumsi beras penduduk Indonesia pada tahun 2004 sebesar 99.04
kg/kapita/tahun menjadi 107.80 kg/kapita/tahun pada tahun 2008, bahkan jika
perhitungan konsumsi beras dengan pendekatan neraca bahan makanan agregat,
yaitu kebutuhan konsumsi rumahtangga dan kebutuhan industry maka kebutuhan
Permintaan beras lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan bahan
pangan lainnya karena beras digunakan untuk konsumsi rumahtangga, stok beras
nasional, dan berkembangnya industri makanan yang berbahan baku beras. Selain
itu beras masih menjadi makanan pokok bagi masyarakat sehingga kebutuhan
konsumsi beras per kapita lebih tinggi dibandingkan kebutuhan konsumsi pangan
selain beras. Perkembangan permintaan beras dan permintaan pangan non beras
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Beras dan Non Beras, Tahun 2000-2009
Tahun Konsumsi (kg/kapita/tahun)
Beras Jagung Umbi Sayur Ikan Buah
2000 120.00 46.71 17.50 31.28 18.63 39.99
2001 133.00 37.62 17.93 27.98 19.29 56.14
2002 100.70 33.78 21.26 47.5 15.40 57.40
2003 127.89 37.74 21.84 35.36 22.84 65.80
2004 099.04 37.50 19.32 37.49 23.18 69.01
2005 105.00 39.27 18.97 37.68 18.60 63.08
2006 119.00 20.17 17.41 40.37 23.08 69.78
2007 120.20 22.18 18.37 40.14 28.05 72.93
2008 107.80 20.04 10.50 41.20 21.65 50.96
2009 101.15 20.80 12.34 42.38 24.84 65.78
r (%/th) 0-0.58 -6.49 -1.99 05.81 05.67 07.52
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010b dan Departemen Pertanian, 2010
Tabel 3 memperlihatkan bahwa konsumsi beras dalam rumahtangga
selama 10 tahun terakhir menurun rata-rata 0.58 persen per tahun, demikian pula
dengan konsumsi jagung dan umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa
konsumsi beras masyarakat Indonesia sudah mulai menurun dan kemungkinan
bersubstitusi dengan makanan jadi karena permintaan beras per kapita dengan
memperhitungkan industri sebesar 139 kg/kapita/tahun. Dengan demikian
pemerintah masih tetap memprioritaskan pengembangan komoditas padi
makanan utama masyarakat Indonesia. Konsumsi pangan lainnya (ikan, sayur dan
buah) menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi menggambarkan telah
membaiknya pola pangan masyarakat.
Produksi padi di Indonesia dihasilkan dari lahan sawah irigasi, lahan
sawah tadah hujan, lahan lebak dan rawa dengan sumbangan produksi tertinggi
diperoleh dari lahan sawah irigasi diikuti dengan lahan sawah tadah hujan.
Hingga saat ini usahatani padi masih menjadi usahatani dominan yang dilakukan
di lahan sawah dibandingkan dengan usahatani tanaman pangan lainnya. Namun
pada umumnya petani tidak hanya mengusahakan tanaman padi melainkan juga
dengan tanaman pangan lainnya (multi-crop) karena usahatani padi merupakan usahatani yang rentan terhadap perubahan iklim (Sumaryanto, 2008) dan
keterbatasan air irigasi. Oleh karena itu untuk menjaga risiko gagal produksi
maka petani padi melakukan diversifikasi usahatani antara usahatani padi dengan
usahatani tanaman yang lain.
Diversifikasi usahatani telah banyak dilakukan oleh petani di berbagai
wilayah di Indonesia. Di Kalimantan Selatan, kegiatan usahatani padi dilakukan
hingga dua kali setahun, sedangkan usahatani sayuran diusahakan pada sebagian
lahan sawah bagi petani yang mempunyai lahan cukup luas atau diusahakan pada
surjan yang dibuat di areal persawahan (Zuraida dan Hamdan, 2008). Tanaman
sayuran juga merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang dipilih oleh petani
padi di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Konawe dan Kabupaten
Konawe Selatan. Walaupun harga sayur cukup berfluktuasi dan merupakan
sawah maupun di lahan kering. Beberapa jenis sayuran yang dominan diusahakan
oleh petani di Sulawesi Tenggara disajikan pada Tabel 4.
Table 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sayuran di Sulawesi Tenggara, Tahun 2003 – 2008
Jenis Tanaman Tahun %/tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Luas panen (ha) :
1. Bayam 482 1 171 822 1 055 1 225 716 23.21
2. Kacang panjang 0 816 1 397 1 221 1 579 1 854 1 101 12.94
3. Kangkung 447 1 977 0 792 1 031 1 054 0 662 55.51
4. Ketimun 364 562 569 573 536 423 05.76
5. Terung 284 0 859 0 760 0 954 0 970 0 580 35.59
6. Cabai 696 1 544 1 338 1 644 1 419 1 038 18.17
7. Tomat 404 1 000 0 715 1 067 1 037 0 613 -8.03
Produksi (ton) :
1. Bayam 794 2 942 2 119 2 243 2 687 1 715 46.41
2. Kacang panjang 2 961 7 763 5 505 6 417 7 605 3 521 22.89
3. Kangkung 1 062 3 002 4 556 5 833 6 947 2 178 42.58
4. Ketimun 1 653 2 641 2 931 2 911 2 313 1 455 02.49
5. Terung 1 796 4 805 6 379 5 371 7 616 2 560 31.98
6. Cabai 1 447 3 058 1 538 2 732 2 417 1 572 18.55
7. Tomat 1 287 5 089 3 895 5 090 5 258 2 220 49.63
Produktivitas (ku/ha) :
1. Bayam 16.50 25.10 25.80 21.26 21.93 24.00 09.98
2. Kacang panjang 36.30 55.57 45.10 41.64 41.02 32.00 00.62
3. Kangkung 23.80 35.40 57.53 56.58 65.91 32.90 15.20
4. Ketimun 45.40 46.99 51.51 50.80 43.15 34.40 -4.72
5. Terung 63.24 55.94 83.93 56.30 78.52 44.14 00.25
6. Cabai 20.79 67.06 36.20 58.37 57.88 53.61 45.91
7. Tomat 25.06 50.90 54.50 47.70 50.70 36.22 37.17
Sumber : Departemen Pertanian, 2010
Produktivitas sayuran di Sulawesi Tenggara relatif masih rendah jika
dibandingkan dengan produktivitas sayuran di daerah lain. Zuraida dan Hamdan
(2008) mendapatkan produktivitas terung di Kalimantan Selatan sebesar 11.3
ton/ha, produktivitas kacang panjang di Samarinda sebesar 11.15 ton/ha
(Wijayanti, 2006) dan produktivitas kangkung di Sumatera Utara sebesar 12.50
ton/ha (Kartika, 2007). Walaupun produktivitas sayuran belum mencapai
maksimal, namun petani padi masih tetap mengusahakan karena usahatani
[image:31.595.82.483.180.516.2]sebagaimana usahatani padi. Hasil produksi tidak saja untuk konsumsi sehari-hari
tetapi juga untuk dijual sehingga dapat menambah pendapatan rumahtangga.
Pendapatan rumahtangga petani sebagian berasal dari usahatani sehingga
fluktuasi produksi akan mempengaruhi keuntungan dan tingkat kesejahteraan
rumahtangga petani. Oleh karena itu untuk menstabilkan dan meningkatkan
pendapatan rumahtangga petani maka pemerintah telah melakukan upaya dengan
memberikan kebijakan harga output (kebijakan harga gabah) dan kebijakan harga
input. Bagi petani padi yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha tani, maka
kebijakan tersebut akan mempengaruhi perilaku petani terhadap produksi maupun
terhadap konsumsi karena rumahtangga petani padi selain berperan sebagai
produsen juga berperan sebagai konsumen. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian untuk melihat perilaku produksi dan konsumsi pada rumahtangga petani
yang memiliki lebih dari satu jenis usahatani khususnya pada rumahtangga petani
padi di Sulawesi Tenggara.
1.2. Perumusan Masalah
Sektor pertanian di Sulawesi Tenggara masih memegang peranan yang
cukup penting sebagai penyedia bahan pangan, penyumbang devisa, penyerap
tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat tani. Kontribusi sektor
pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar
dibandingkan sektor lainnya, yaitu mencapai 36.44 persen (BPS. 2010). Meskipun
sumbangan sub sektor tanaman pangan relatif kecil jika dilihat dari luas
penggunaan tanah, namun sub sektor tanaman pangan mempunyai andil yang
cukup besar bagi ketahanan pangan daerah sebagai penghasil padi dan bahan
Sebagian besar petani tanaman pangan di Sulawesi Tenggara
mengusahakan padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah,
kedelai, kacang hijau dan sayuran, namun petani tidak hanya mengusahakan satu
jenis komoditi tertentu melainkan beberapa komoditi yang ditanam di lahan sawah
maupun di lahan kering. Dalam berusahatani petani menghadapi masalah
produktivitas yang rendah, baik produktivitas padi maupun non padi. Hal ini
disebabkan oleh luas kepemilikan lahan yang sempit, modal dan penggunaan
input yang terbatas serta kondisi infrastruktur lahan yang kurang memadai. Modal
yang terbatas merupakan kendala bagi petani untuk memperoleh produksi
maksimal karena petani tidak dapat menggunakan input produksi secara optimal.
Kondisi lain yang terjadi adalah kualitas sumberdaya manusia khususnya petani
tanaman pangan relatif masih rendah sehingga akses terhadap informasi dan
teknologi terbatas. Infrastruktur lahan seperti kesuburan tanah, ketersediaan air
irigasi dan jalan usahatani yang kurang memadai tanpa disertai input produksi
yang seimbang juga menjadi penyebab rendahnya produktivitas usahatani.
Melihat produktivitas tanaman pangan yang masih rendah maka
pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi
karena produksi hasil usahatani merupakan indikator bagi kesejahteraan
rumahtangga. Produksi yang diperoleh akan dijual dan dikonsumsi dengan
proporsi yang berbeda sesuai dengan kemampuan petani menyediakan pangan
bagi anggota keluarga (Purwantini dan Ariani, 2008). Namun hingga saat ini
produktivitas tanaman pangan masih stagnan dan pendapatan petani hanya cukup
Selama ini kebijakan pangan pemerintah lebih diarahkan pada komoditi
padi, baik dari sisi teknologi maupu n dari sisi ekonomi. Hal ini terlihat dari
adanya program Bimas, Insus dan Supra Insus disertai dengan pembangunan
jaringan irigasi, hingga program Prima Tani dan SLPTT yang lebih banyak
diintroduksikan kepada petani padi, sedangkan kebijakan dari sisi ekonomi
dengan menetapkan kebijakan harga baik kebijakan harga input maupun
kebijakan harga output.
Kebijakan harga input dengan memberikan subsidi pupuk untuk tanaman
pangan dan kebijakan harga output dengan menetapkan Harga Dasar Gabah
(HDG) yang sekarang menjadi HPP gabah dan HPP beras. Walaupun subsidi
pupuk diberikan untuk tanaman pangan namun penggunaan pupuk bersubsidi
lebih banyak untuk tanaman padi, sehingga diasumsikan subsidi pupuk untuk
tanaman padi. Kebijakan pemerintah tersebut bias ke padi sehingga akan
mempunyai dampak yang berbeda bagi petani yang mengusahakan padi dan
tanaman lainnya dalam mengambil keputusan produksi diantara tanaman padi dan
non padi.
Kebijakan teknologi produksi lebih diarahkan ke lahan sawah
dibandingkan lahan kering karena sebagian besar produksi padi dihasilkan dari
lahan sawah. Lahan sawah di Sulawesi Tenggara seluas 96 991 ha, terbagi atas
lahan sawah irigasi seluas 73 766 ha dan lahan sawah tadah hujan seluas 23 225
ha. Dengan adanya lahan sawah irigasi dan non irigasi maka petani memiliki
pilihan untuk mengusahakan tanaman padi dan non padi di lahan sawah dengan
Agroekosistem lahan sawah yang berbeda menyebabkan produktivitas
lahan juga berbeda. Produktivitas lahan sawah irigasi rata-rata lebih tinggi dari
produktivitas lahan sawah non irigasi. Hal ini dapat dilihat dari produktivitas padi
sawah irigasi sebesar 4.33 ton per hektar dibandingkan dengan 2.74 ton per hektar
produktivitas padi ladang, produktivitas kedelai lahan sawah irigasi sebesar 2.80
ton per hektar dibandingkan 1.6 ton per hektar produktivitas kedelai di lahan non
irigasi (Pesireron, 2010). Dengan perbedaan hasil tersebut maka pendapatan yang
diperoleh petani juga berbeda sehingga petani pada kedua jenis lahan tersebut
mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan harga output maupun harga
input di dalam mengambil keputusan produksi dan konsumsi.
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana respon produksi padi dan non padi terhadap perubahan harga
output dan harga input pada agroekosistem lahan yang berbeda?
2. Bagaimana respon konsumsi rumahtangga petani terhadap perubahan harga
output dan harga input pada agroekosistem lahan yang berbeda?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian bertujuan untuk mempelajari perilaku produksi
dan konsumsi rumahtangga petani padi baik rumahtangga petani lahan sawah
irigasi maupun rumahtangga petani lahan sawah tadah hujan. Secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh harga output dan harga input terhadap efisiensi produksi
dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi pada usahatani padi dan non
2. Mengkaji respon penawaran output dan permintaan input terhadap perubahan
harga output dan harga input pada rumahtangga petani berdasarkan
agroekosistem lahan sawah.
3. Mengkaji respon konsumsi rumahtangga petani terhadap perubahan harga dan
pendapatan rumahtangga berdasarkan agroekosistem lahan sawah dan efisiensi
keuntungan usahatani.
4. Membandingkan respon konsumsi rumahtangga petani sebagai konsumen
murni dan respon konsumsi rumahtangga petani sebagai produsen dan
konsumen berdasarkan agroekosistem lahan sawah dan efisiensi keuntungan
usahatani.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Tenggara pada dua
kabupaten, yaitu kabupaten Konawe sebagai sentra produksi padi lahan sawah
irigasi dan Kabupaten Konawe Selatan sebagai sentra produksi padi lahan sawah
tadah hujan. Ruang lingkup dan keterbatasan penelitian adalah :
1. Responden adalah petani padi yang pernah mengikuti program Prima Tani dan
yang tidak mengikuti program Prima Tani.
2. Pola tanam yang diamati adalah pola tanam pada tahun 2009 dimana tidak
semua petani menanam padi sebanyak dua kali sehingga untuk kepentingan
analisis dibatasi pada data Musim Tanam pertama (MT I/2009).
3. Rumahtangga petani menghasilkan lebih dari satu jenis komoditi sehingga
pendekatan analisis multi output didasarkan pada produksi yang dijual dan
palawija dan tanaman tahunan) diperhitungkan nilainya sebagai pendapatan
rumahtangga.
4. Analisis produksi dan konsumsi dengan pendekatan multi input dan multi
output pada rumahtangga petani dibedakan antar jenis lahan sawah.
5. Analisis produksi menggunakan model keuntungan stokastik frontir untuk
mengetahui efisiensi produksi dan model Seemingly Unrelated Regression
(SUR) untuk mengetahui pangsa penawaran output dan pangsa permintaan
input, sedangkan analisis konsumsi menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS).
6. Data konsumsi pangan rumahtangga dilakukan dengan merecall data konsumsi selama satu minggu terakhir, sedangkan konsumsi non pangan
dengan mencatat pengeluaran rumahtangga selama satu bulan.
7. Analisis produksi pada penelitian ini diduga dengan dua metode yang berbeda,
yaitu dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) untuk analisis efisiensi produksi dan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) untuk analisis pangsa output dan pangsa input.
8. Metode MLE selanjutnya digunakan untuk mengestimasi respon konsumsi
pangan dan non pangan yang diturunkan dari Model Rumahtangga Pertanian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Usahatani Padi
Hingga saat ini beras masih menduduki peringkat pertama dalam konsumsi
pangan rumahtangga. Selama beras masih menjadi makanan pokok penduduk
Indonesia maka pemerintah sangat berkepentingan terhadap perberasan nasional
baik dari sisi produksi, distribusi maupun kestabilan harga. Berbagai kebijakan
telah dirumuskan untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan proses
produksi, perdagangan dan konsumsi beras di dalam negeri dimulai dari
kebijakan harga gabah, subsidi input produksi dan kebijakan harga beras.
Produksi padi di Indonesia dewasa ini ditandai dengan : (1) luas
penguasaan lahan usahatani padi relatif sempit yaitu rata-rata seluas 0.3 ha per
petani, (2) sekitar 70 persen petani padi termasuk golongan masyarakat miskin
atau berpendapatan rendah, (3) sekitar 60 persen petani padi net consumer beras, dan (4) rata-rata pendapatan rumahtangga petani dari usahatani padi hanya sekitar
30 persen dari total pendapatan keluarga (Suryana et al., 2001). Dari sisi konsumsi, beras merupakan sumber utama intake energi masyarakat Indonesia. Harianto (2001) menyatakan bahwa konsumsi energi per kapita beras sebesar
54.3 persen, sedangkan Rosegrant et al. (1998) menyatakan bahwa konsumsi kalori dan protein pangsa beras masing-masing mencapai 60 persen dan 50
persen. Hasil Susenas tahun 1993 menunjukkan bahwa beras mempunyai pangsa
terbesar (24.30 persen) dari total pengeluaran masyarakat untuk konsumsi
makanan.
Mengingat pentingnya peran beras bagi kehidupan individu, rumahtangga
berkesinambungan. Perluasan produksi padi telah diarahkan ke luar Pulau Jawa
karena lahan di Pulau Jawa telah mengalami konversi, salah satunya di Sulawesi
Tenggara. Sulawesi Tenggara mempunyai potensi sumberdaya alam untuk
mendukung program perberasan nasional. Lahan sawah di Sulawesi Tenggara
seluas 110 498 ha terdiri dari sawah irigasi seluas 95 005 ha atau 85.98 persen dan
sisanya (14.02 persen) merupakan lahan sawah tadah hujan. Produktivitas padi
sawah irigasi mencapai 4.06 ton/ha, sedangkan produksi padi ladang atau padi
sawah tadah hujan mencapai 2.43 ton/ha (BPS Sulawesi Tenggara, 2008).
Produktivitas padi yang diperoleh tergolong masih rendah mengingat
potensi hasil yang diberikan bisa mencapai 6-8 ton/ha (Sunantra, 2002).
Peningkatan produktivitas padi dapat ditingkatkan dengan menerapkan teknologi
spesifik lokasi yang sekaligus dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani. Berbagai teknologi untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani
telah banyak dilakukan oleh pemerintah dimulai dari Bimas dan Inmas hingga saat
ini melalui Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian (Prima Tani) dan Sekolah Lanjutan Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SLPTT). Teknologi pada kedua program tersebut dengan melakukan perbaikan
komponen teknologi yang disesuaikan dengan kondisi agroklimat wilayah
setempat sehingga diperoleh teknologi spesifik lokasi dengan harapan agar petani
mendapatkan output maksimal dengan biaya input yang lebih sedikit. Hasil
produksi dengan menerapkan komponen teknologi spesifik lokasi disajikan pada
Tabel 5. Pencapaian Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Petani Peserta Prima Tani di Sulawesi Tenggara, Tahun 2008
Jenis Sawah/ Musim Tanam
Produktivitas (ton/ha)
Biaya Produksi (Rp.000/ha)
Penerimaan (Rp.000/ha)
R/C
1. Lahan sawah irigasi1) :
a. MT I/2007 3.50 3 100 5 950 1.92
b. MT II/2007 5.20 3 585 8 840 2.47
c. MT I/2008 2.50 3 152 5 000 1.59
2. Lahan sawah tadah hujan2) :
a. MT I/2007 2.03 3 222 3 654 1.13
b. MT II/2007 3.66 3 697 6 588 1.78
c. MT I/2008 2.50 2 796 4 875 1.74
Sumber : 1)Abidin, 2008 dan 2)Hilman, 2008
Berdasarkan analisis usahatani pada Tabel 3 terlihat bahwa biaya maupun
penerimaan dari usahatani padi pada Musim Tanam kedua (MT II/2007)
meningkat relatif tinggi dari MT sebelumnya yang dicerminkan oleh nilai R/C
ratio karena pada MT II petani mulai menerapkan komponen teknologi Prima
Tani. Pada lahan sawah irigasi pendapatan petani meningkat sebesar Rp 2 405
000 dan pada lahan sawah tadah hujan meningkat sebesar Rp 432 000, namun
pada tahun kedua Prima Tani (MT I/2008) produksi dan pendapatan yang
diperoleh petani menurun dibanding MT sebelumnya baik di lahan sawah irigasi
maupun lahan sawah tadah hujan. Hal ini disebabkan adanya serangan Organisma
Pengganggu Tanaman (OPT) terutama hama tikus yang menyerang tanaman pada
stadium vegetatif yang menyebabkan kehilangan hasil. Di sisi lain produksi padi
pada lahan sawah irigasi menurun selain disebabkan oleh serangan hama tikus
juga disebabkan oleh terjadinya bencana banjir. Oleh karena itu produktivitas
yang dicapai pada MT I/2008 rata-rata hanya sebesar 2.5 ton/ha.
Lepas dari masalah faktor eksternal diluar kendali petani, dari hasil
analisis tersebut terlihat bahwa dengan menerapkan komponen teknologi pada
dengan mengikuti kegiatan Prima Tani dapat meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan petani sehingga petani dapat mengetahui dan mengambil sikap atas
perubahan teknis selama proses produksi. Syam dan Sahara (2007) menyatakan
bahwa inovasi teknologi merupakan kunci sukses dan strategis dalam memacu
produksi padi mengingat lahan di Sulawesi Tenggara tergolong lahan yang kurang
subur dengan dominasi jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) sehingga
dengan memperbaiki kesuburan lahan menjadi faktor penting untuk meningkatkan
produksi.
2.2. Produksi Tanaman Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air yang
diolah menjadi makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh manusia, termasuk
didalamnya bahan tambahan, bahan baku dan bahan lainnya yang digunakan
selama proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan
minuman. Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk
mempertahankan hidup dan kehidupan, dalam arti setiap individu memerlukan
pangan untuk melakukan aktivitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh
karena itu pangan merupakan kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi terlebih
dahulu sebelum kebutuhan lainnya.
Hingga saat ini masalah pangan utama tidak dapat dilepaskan dari
komoditi beras karena dominasi beras dalam pola pangan pokok tidak tergantikan
oleh jenis pangan pokok lain yang disebabkan oleh cita rasa beras lebih enak dan
gizinya lebih baik jika dibandingkan dengan bahan pangan pokok lain seperti
sangat tinggi, yaitu sebesar 91.18 persen dan memenuhi hingga 45 persen dari
total food intake dari pola konsumsi masyarakat (Nurmalina, 2007).
Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan
dengan bertambahnya penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita. Di sisi
lain upaya peningkatan produksi dihadapkan pada berbagai kendala dan
tantangan, seperti konversi lahan sawah subur yang semakin sempit,
penyimpangan iklim, gejala kelelahan teknologi dan penurunan kualitas tanah
yang menyebabkan pelandaian produksi. Hal senada dikemukakan oleh Allen dan
Dusen (1988) bahwa pertanian modern dengan bahan-bahan kimiawi yang
diaplikasikan pada proses produksi selama beberapa tahun seperti pupuk dan
pestisida telah menyebabkan kemerosotan sifat-sifat tanah, percepatan erosi tanah
dan penurunan kualitas tanah. Kenyataan ini menginterpretasikan bahwa upaya
peningkatan produksi pertanian tidak cukup hanya dengan menambahkan input
produksi, namun diperlukan upaya yang menyeluruh sesuai dengan kondisi
wilayah setempat.
Perkembangan produksi dan konsumsi padi selama sembilan tahun
terakhir (2000 – 2008) menunjukkan kecenderungan meningkat relatif lambat
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1.93 persen per tahun (Tabel 6). Persediaan
beras dalam negeri dicukupi dari produksi domestik dan impor. Selama periode
tersebut impor meningkat rata-rata sebesar 19.46 persen per tahun. Impor
berfluktuasi antar tahun dan mencapai angka tertinggi pada tahun 2002 yaitu
sebesar 3.71 juta ton beras dan setelah itu kembali menurun.
Peningkatan produksi beras tidak setinggi peningkatan produksi padi
bisa mencapai 2.5 persen (Darwanto, 2009). Di samping itu juga digunakan untuk
memenuhi permintaan antara atau permintaan industri pengolahan tepung, pakan
dan benih serta cadangan pangan. Dengan melihat data Tabel 6 maka kebutuhan
konsumsi lebih besar dari ketersediaan beras sehingga untuk memenuhi konsumsi
dilakukan dengan mengimpor beras. Impor beras menjadi dilema bagi pemegang
kebijakan antara kepentingan produsen dan konsumen, oleh karena itu impor
beras dapat dieliminir dengan melakukan efisiensi baik dari proses produksi ( on-farm activities) maupun pada kegiatan pasca panen sehingga dapat mengurangi tingkat kehilangan hasil (waste) yang cukup besar (Darwanto, 2003).
Tabel 6. Perkembangan Produksi dan Ketersediaan Beras di Indonesia, Tahun 2000-2008
Tahun
Produksi Padi (000 ton
GKG)
Produksi Beras (000 ton)
Tersedia untuk Konsumsi
(000 ton)
Kebutuhan Konsumsi
(000 ton)
Impor (000
ton)
2000 51 899 32 779 29 393 30 903 1 510
2001 50 461 31 891 28 579 29 985 1 406
2002 51 490 32 542 29 161 32 871 3 710
2003 52 138 32 951 29 528 32 288 2 760
2004 54 088 34 184 30 633 31 265 0 976
2005 54 151 34 830 30 574 30 879 0 305
2006 54 455 34 959 31 463 32 243 0 780
2007 57 157 35 300 31 770 32 370 0 600
2008 60 326 35 800 32 220 32 970 0 750
r (%/tahun) 1.93 1.12 1.17 0.89 19.46
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010b dan Departemen Pertanian, 2010.
Komoditas pangan sebagai sumber karbohidrat lainnya seperti jagung,
kedelai dan ubi kayu tingkat konsumsinya masih dapat dipenuhi dari produksi
domestik dimana rata-rata pertumbuhan jagung dan ubi kayu masing-masing
sebesar 7.16 persen per tahun dan 3.92 persen per tahun (Tabel 7). Data tersebut
[image:43.595.81.483.372.572.2]tertentu masih mengkonsumsi pangan non beras walau sebagian besar konsumsi
pangan pokok masyarakat sudah beralih ke beras. Di sisi lain komoditas kedelai
mengalami penurunan baik dari luas panen maupun produksi. Penurunan luas
panen disebabkan oleh berkurangnya areal tanam yang disebabkan oleh biaya
produksi kedelai relatif lebih mahal dan harga kedele dalam negeri relatif rendah
sehingga tidak menutup biaya produksi.
Tabel 7. Perkembangan Produksi Bahan Pangan Utama di Indonesia, Tahun 2000-2008
Jagung Kedelai Ubi Kayu
Tahun Luas
Panen (ha)
Produksi (ton)
Luas Panen
(ha)
Produksi (ton)
Luas Panen
(ha)
Produksi (ton)
2000 3 500 318 9 676 899 824 484 1 017 634 1 284 040 16 089 020
2001 3 285 866 9 347 192 678 848 826 932 1 317 912 17 054 648
2002 3 126 833 9 654 105 544 522 673 056 1 276 533 16 913 104
2003 3 358 511 10 886 442 526 796 671 600 1 244 543 18 523 810
2004 3 356 914 11 225 243 565 155 723 483 1 255 805 19 424 707
2005 3 625 987 12 523 894 621 541 808 353 1 213 460 19 321 183
2006 3 345 805 11 609 463 580 534 747 611 1 227 459 19 986 640
2007 3 630 324 13 287 527 459 116 592 534 1 201 481 19 988 058
2008 4 001 724 16 317 252 590 956 775 710 1 204 933 21 756 991
Pertumbuhan (%/tahun)
1.94 7.16 -2.78 -1.93 -0.77 3.92
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010b
Produksi padi di Indonesia sebagian besar atau 56 persen dihasilkan dari
Pulau Jawa, 22 persen dari Pulau Sumatera, 10 persen dari Pulau Sulawesi dan 7
persen tersebar di berbagai pulau lainnya. Produksi padi di Sulawesi Tenggara,
didominasi oleh lahan sawah irigasi dan sebagian kecil dari lahan sawah tadah
hujan. Bagi petani tanaman pangan di Sulawesi Tenggara padi merupakan
komoditas primadona sebagai sumber pendapatan rumahtangga. Perkembangan
produksi padi selama periode 2000-2008 cenderung meningkat dengan rata-rata
4.02 persen per tahun yang disebabkan oleh peningkatan luas panen sebesar 2.90
[image:44.595.107.511.285.472.2]Tabel 8. Perkembangan Produksi Bahan Pangan Utama di Sulawesi Tenggara, Tahun 2000-2008
Padi Jagung Ubi Kayu
Tahun Luas
Panen (ha)
Produksi (ton)
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
2000 85 799 314 955 41 882 87 141 18 023 203 222
2001 71 497 263 477 28 771 60 385 13 430 152 817
2002 79 251 298 813 33 789 68 148 15 293 181 851
2003 91 230 334 307 37 927 87 650 15 174 210 742
2004 84 888 320 115 37 927 78 147 15 569 263 972
2005 91 585 339 847 32 665 73 153 14 820 256 467
2006 93 826 349 430 33 343 74 672 14 825 238 039
2007 110 498 423 316 40 975 97 037 14 933 239 271
2008 102 520 405 256 37 249 93 064 12 190 217 727
r (%/tahun) 2.90 4.02 0.05 2.68 -4.03 2.10
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010
Walaupun produksi padi menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi,
namun hal ini belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan utama di
Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan memperhitungkan jumlah produksi dan
kebutuhan konsumsi beras per kapita per tahun, maka Provinsi Sulawesi Tenggara
masih mengalami defisit beras sebesar 40 384 ton pada tahun 2008 (Darwanto,
2009). Meskipun defisit beras, tingkat pertumbuhan bahan pangan yang lain juga
mengalami peningkatan, yaitu produksi jagung meningkat rata-rata 2.68 persen
per tahun dan produksi ubi kayu meningkat 2.10 persen per tahun. Hal ini
menyiratkan bahwa kedua komoditas tersebut masih menjadi bahan pangan
alternatif bagi sebagian penduduk Sulawesi Tenggara.
2.3. Penelitian Terdahulu
2.3.1. Penelitian tentang Efisiensi
Efisiensi merupakan permasalahan utama dalam proses produksi sehingga
banyak peneliti yang melakukan penelitian tentang efisiensi usahatani. Terdapat
[image:45.595.85.484.118.276.2]usahatani yaitu dengan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dan fungsi
keuntungan stokastik.
Efisiensi produksi dengan pendekatan fungsi produksi telah dilakukan oleh
Ahmad et al. (2002) untuk menganalisis efisiensi produksi gandum di Pakistan. Hasil penelitian usahatani gandum di Pakistan menunjukkan bahwa petani
mencapai efisiensi teknis sebesar 68 persen dan 32 persen merupakan inefisiensi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi diantaranya adalah jumlah anggota
keluarga, pendidikan, pendapatan dan ukuran lahan yang mempunyai hubungan
negatif dengan inefisiensi, artinya bila faktor-faktor tersebut dapat dikurangi maka
usahatani gandum akan semakin efisien.
Ogundari dan Ojo (2006) menganalisis efisiensi teknis, efisiensi alokatif
dan efisiensi ekonomi pada usahatani ubi kayu (cassava) di Osun State Nigeria dengan menggunakan data dari 200 petani ubi kayu. Fungsi produksi stokastik
dan fungsi biaya diaplikasikan untuk mengetahui efisiensi produksi dan efisiensi
alokatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu di Osun State
Nigeria dalam skala pengembalian yang menurun dengan nilai return to scale
sebesar 0.84 yang berarti petani ubi kayu sudah efisien di dalam mengalokasikan
sumberdaya yang dimiliki. Selain itu nilai efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi
yang diperoleh rata-rata sebesar 0.90, 0.89 dan 0.81. Kesimpulan yang diperoleh
dari penelitiannya adalah bahwa usahatani ubi kayu skala kecil sudah efisien di
dalam mengalokasikan sumberdaya dengan keterbatasan yang dimiliki.
Penelitian efisiensi produksi dengan menggunakan fungsi keuntungan
stokastik frontir telah dilakukan oleh Rahman (2003) yang menganalisis efisiensi
dengan metode maximum likelihood. Faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani adalah biaya tenaga kerja, ternak dan pupuk dimana
proporsi biaya tenaga kerja mendominasi biaya usahatani. Elastisitas keuntungan
menunjukkan bahwa petani padi responsif terhadap perubahan harga padi dan
lahan yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas 1.92 dan 0.97. Petani padi beroperasi
pada tingkat efisiensi 0.77 mengindikasikan bahwa petani masih dapat
meningkatkan keuntungan dengan memperbaiki efisiensi teknis dan efisiensi
alokatif. Dengan tidak efisiennya petani berusahatani maka petani mengalami
kehilangan keuntungan dari faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi, yaitu
status kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani, kontak
dengan penyuluh, tingkat infrastruktur, tingkat kesuburan tanah dan tingkat
pendapatan dari luar pertanian. Implikasi kebijakan yang disarankan adalah
dengan memperbaiki infrastruktur pedesaan dan meningkatkan jasa penyuluhan.
Di bidang peternakan, Nganga et al. (2010) menganalisis efisiensi usaha ternak kecil di Kenya dengan mengaplikasikan fungsi keuntungan stokastik
frontier. Dengan asumsi bahwa petani konsisten dengan keputusan untuk
memaksimalkan keuntungan dan inefisiensi keuntungan berbeda antar petani
dengan adanya perbedaan sosial ekonomi maka analisis fungsi keuntungan
stokastik frontir menunjukkan bahwa biaya pakan dan biaya obat-obatan
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keuntungan sedangkan inefisiensi
disebabkan oleh pengaruh dari umur, pendidikan, pengalaman dan ukuran usaha.
Dengan hasil seperti itu maka peternak sapi baru mencapai efisiensi sebesar 0.60
sehingga implikasi penting