• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. LANDASAN TEORI ................................................................ 14-48

2.2. Empati

2.2.1 Definisi Empati

Empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain agar dapat memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaannya. Secara sederhana kata-kata empati merujuk pada sikap dan perasaan yang merasakan dan memahami kondisi emosi orang lain. Tetapi untuk lebih memahami batasan-batasan dari empati, tentunya kita mesti memahami definisi empati dari dari berbagai teori dan para ahli. Adapun pendapat dari para ahli mengenai empati diantaranya sebagai berikut, Empati memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).

Rogers (dalam Taufik, 2012) menawarkan dua konsepsi dari empati. Pertama, melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat dengan komponen-komponen yang saling berhubungan. Kedua, dalam memahami orang lain tersebut, individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan memahami orang lain tersebut. Empati dapat disimpulkan dengan kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman tersebut serta untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain.

Dengan kata lain empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang lain (Hurlock,1994). Empati adalah 1) memproyeksikan perasaan sendiri pada satu kejadian suatu obyek alamiah atau suatu karya estesis. 2) realisasi dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain.

Menurut Stein (dalam Davis, 1990) empati adalah sepenuhnya keunikan dan perbedaan yang mencolok dari proses hubungan intersubjektif yang didalamnya ditemukan tahapan yang bertingkat dan memberikan kita sesuatu yang telah dilakukan, agak seperti realitas setelah kejadian. Tiga tahapannya adalah simpati, perasaan belas kasihan, dan perubahan diri.

Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif, kognitif, pengalaman, atau keduanya. Ada kesepakatan bahwa dua komponen yang diperlikan adalah empati menyiratkan kemampuan perspektif tertentu dalam berbicara dan juga berperilaku prososial, yaitu berbagi dan membantu orang lain. Dengan kata lain sebagai kesadaran sosial dan kepekaan sosial. Keduanya untuk mengenali dan memahami perasaan, kebutuhan dan persepsi dari orang lain (Garton & Gingat, 2005).

Menurut Hoffman (2000) empati adalah suatu respon afektif (perasaan) terhadap situasi orang lain dari pada situasi diri sendiri. Sedangkan Eisenberg (2000) berpendapat bahwa empati merupakan respon afektif yang berasal dari pemahaman kondisi emosional orang lain, yaitu apa yang sedang dirasakan oleh orang lain pada waktu itu.

Cotton (dalam Garton & Gringat, 2005) empati didefinisikan sebagai kemampuan afektif untuk berbagi dalam perasaan orang lain dan kemampuan

kognitif untuk memahami perasaan orang lain dalam perspektif dan kemampuan untuk berkomunikasi terhadap empati seseorang serta perasaan dan pemahaman yang lain dengan cara lisan verbal dan nonverbal.

Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan proses afektif dan kognitif yang memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka, seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga memahami situasi dan kondisi emosional dari sudut pandang orang lain.

2.2.2 Aspek-Aspek Empati

Davis (1980) menjelaskan empat aspek empati antara lain, yaitu:

1. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut Galinsky & Ku (dalam Taufik, 2012) mendefinisikannya sebagai menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain. Perspective taking secara psikologis dan sosial penting dalam keharmonisan interaksi antar individu. Seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Hal ini erat kaitannya dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012) perspective taking

 Membayangkan bagaimana seseorang akan berpikir dan merasakan apabila ia berada pada situasi anggota kelompok lain.

 Membayangkan bagaimana seorang anggota kelompok lain berpikir dan merasakan.

2. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tidankan dari karakter khayalan dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton.

3. Empathic concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain.

4. Personal distress, yaitu reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain yang diekspresikan dengan perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin yang berlebihan dan rasa tidak berdaya. Personal distress bisa disebut empati negatif (negative empathic).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek empati menurut Davis (1980) meliputi: perspective taking, fantasy, empathic concern,dan personal distress. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan keempat aspek tersebut menjadi independent variabel.

2.2.3 Pendekatan pada Empati

Memahami lebih jauh dari teori empati, tidak terlepas dari penjelasan-pernjelasan dari berbagai pendekatan. Diantaranya ada dua pendekatan yang digunakan untuk memahami teori empati, yakni teori dari Baron-Cohen & Wheelwright (2004), yang membagi empati ke dalam dua pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Afektif

Pendekatan afektif mendefinisikan empati sebagai kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain (Taufik, 2012). Dalam pandangan afektif, perbedaan definisi empati dilihat dari seberapa besar dan kecilnya respon emosional pengamat pada emosi yang terjadi pada orang lain.

Terdapat empat jenis empati afektif, menurut Stotland, Sherman & Shaver yaitu: 1) perasaan pada pengamat harus sesuai dengan orang yang diamati; 2) perasaan pada pengamat sesuai dengan kondisi emosional orang lain namun dengan cara yang lain; 3) pengamat merasakan emosi yang berbeda dari emosi yang dilihatnya, disebut juga sebagai empati kontras; sedangkan Baston menambahkan 4) perasaan pada pengamat harus menjadi satu untuk perhatian atau kasih sayang pada penderitaan orang lain (dalam Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).

b. Pendekatan Kognitif

Pendekatan kognitif merupakan aspek yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Eisenberg & Strayer (dalam Baron-Cohen & Wheelwright 2004) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) dan orang lain. Sedangkan menurut Leslie, adanya pemisahan antara perspektif sendiri, menghubungkan keadaan mental orang lain (dalam Baron-Cohen & Wheelwright, 2004), dan menyimpulkan kemungkinan isi dari kondisi mental mereka, serta mengingat kembali ketika hal yang sama terjadi.

2.2.4 Pengukuran Empati

Pengukuran empati yang saat ini tengah dikembangkan diarahkan kepada kategori usia dewasa dan anak-anak, untuk kategori usia remaja biasanya menggunakan alat ukur untuk orang dewasa. Pengukuran empati untuk anak-anak, biasanya menggunakan media gambar. Pengukuran empati tersebut disajikan dalam bentuk narasi atau slide, audiotape, dan videotape.

Beberapa alat ukur empati (Taufik, 2012), diantaranya : 1. FASTE

FASTE (The Feshbach Affective Situation Test of Empathy) telah secara luas digunakan untuk mengukur empati pada anak-anak. Alat ukur ini didesain secara khusus untuk digunakan pada anak-anak usia empat tahun hingga delapan tahun. FASTE terdiri dari delapan gambar yang meliputi slide-slide bergambar anak-anak dengan narasi. Meski sudah banyak yang menggunakan alat ukur ini oleh ilmuan psikologi, namun tidak luput dari kritikan tajam para peneliti lainnya. Kritikan yang diberikan berkisaran tentang bias gender. Ada tiga bias gender pada alat ukur tersebut, yaitu bias gender antara gender gambar anak-anak yang ada dalam slide, subjek yang mengikuti eksperimen, dan gender si peneliti sendiri.

Setelah mendapat serangan tajam dari para peneliti, Fesbach mencoba untuk merevisi menjadi FPATE. Pada tes ini anak-anak menyaksikan tayangan film yang dapat membangkitkan emosi kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, atau ketakutan. Untuk mengontrol bias gender, setelah menonton tayangan

tersebut anak-anak diberikan seperangkat tes yang menunjukkan anak laki-laki atau anak perempuan sebagai karakter utama.

2. QMEE dan BEES

Alat tes lainnya QMEE. Alat tes ini dibuat oleh Merhabian dan Epstein pada tahun 1971, yang mengukur tanggapan-tanggapan emosional, alat ini dianggap berhasil dalam mengungkap beberapa kasus psikoterapi. The QMEE secara luas banyak digunakan untuk mengukur empati pada orang tua. Alat ini terdiri atas 33 pernyataan yang merefleksikan reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku emosional orang lain dan situasi-situasi emosional yang beragam. Respon jawaban terhadap anat ini dilakukan dengan menjawab skala 1-9 (diberi angka 0 hingga +4, 0 hingga -4). Item-item negatif diskor terbalik dan semua Item-item ditotal.

3. IRI

Pada tahun 1980, Davis membuat alat ukur empati yang diberi nama

Interpersonal Reactivity Index (IRI) yaitu pengukuran yang mengarah pada pengukuran multidimensional dan disposisional. Alat ukur ini memiliki alat ukur yang terpisah dari aspek-aspek keahlian sosial, namun kntraknya saling berkaitan. Instrumen ini terdiri dari empat sub-skala item, dengan jumlah 28 item. Adapun kecenderungan respon dari responden berdasarkan bentuk skala likert. Empat subskala yang ada pada alat ukur ini, yaitu : 1)

4. Empathy Questionnaire (EQ)

Baron-Cohen dan Wheelwright (2004), membuat alat ukur empati setelah memberikan kritikannya terhadap skala IRI, mereka membuat alat ukur empati baru dari penggabyngan alat ukur sebelumnya, diaplikasikan dalam bidang klinis dan sangat sensitif dalam mengukur individu yang kurang empatik yang disebut Empathy Questionnaire (EQ). EQ berhasil mengidentifikasi beberapa kelompok orang-orang yang didiagnosa memiliki kecenderungan autis dan psikopat.

Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah Interpersonal Reactivity Index (IRI). Skala baku empati dari Davis (1980) dengan melihat empati dari empat aspek : perspective taking, fantasy, empathic concern,dan personal distress. Jumlah skala 28 item baku dan dengan model skala likert.

Dokumen terkait