Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh :
Amalia Setianingrum NIM: 1110070000136
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iii NIM : 1110070000136
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PENGARUH EMPATI,
SELF-CONTROL, DAN SELF-ESTEEM TERHADAP PERILAKU
CYBERBULLYING PADA SISWA SMAN 64 JAKARTA” adalah benar
merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindak plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 2015
Amalia Setianingrum
v
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2015
Amalia Setianingrum
vi
Yakinlah akan ada sesuatu yang menantimu selepas banyak
keesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmu terpana hingga
kau lupa pedihnya rasa sakit (Ali bin Abi Thalib)
Aku persembahkan karya sederhana dari hati untuk
yang terkasih Ibu, Ayah, Kakak, Sahabat, dan semua,
yang begitu berarti keberadaannya.
vii B) Maret 2015
C) Amalia Setianingrum
D) The Effects Empathy, Self-Control, and Self-Esteem Toward Cyberbullying
among students SMAN 64 Jakarta
E) xiv+ 90 Page + Appendix
F) This research was condudted to know the dynamics of personality in perpetrators of cyberbullying. The authors theorized that the variables of empathy (perspective taking, fantasy, empathic concern, and personal distress), control (behavior control, cognitive control, and decisional control), and self-esteem affect cyberbullying. These variables will be the eighth of views which variables affest the behavior of cyberbullying.
This study uses a quantitative approach, used CFA (Confirmatory Factor Analysis) to test the measuring instrument and the multiple regression analysis to test hypotheses. Samples were 200 students of SMAN 64 Jakarta taken by non-probability sampling technique. To measure cyberbullying behavior researchers create their own measuring instrument refers to the theory of Willard (2007), to measure empathy researchers using standard measurement tools made Davis (1980), namely Interpersonal Reactivity Index (IRI), for self-control researchers create their own measurement tool which refers in theory Averill (1973), and to measure the self-esteem of researchers using standard measuring devices Rosenberg (1965).
The results showed that empathy and self-control significantly influence the behavior of cyberbullying with a contribution of 24.2%. Then from eight independent variables studied, there are four dimensions that influence the behavior of cyberbullying that perspective taking, empathic concern, behavior control, and decisional control.
Kata kunci: cyberbullying, empati, self-control, self-esteem
viii
sayang yang begitu besar sampai detik ini hingga penulis dapat menyelesaikan skripri ini.
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari doa, dukungan dari berbagai pihak, baik bersifat materil maupun nonmateril. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si, Dekan Fakultas Psikologi beserta jajarannya atas doa dan dukungannya terhadap semua mahasiswa mahasiswinya.
2. Neneng Tati Sumiati, M.Si.Psi terima kasih atas kesabaran dan pengertian dalam memberikan bimbingan, masukan, kritik dan nasehat semoga senantiasa Allah berikan kesehatan dan kebahagiaan.
3. Kepala sekolah SMAN 64 Jakarta Bapak Drs. Nana Juhana, M.Pd atas izin yang telah diberikan dan pak Zulhadi serta guru-guru yang ikut membantu saat pengumpulan data di SMAN 64 Jakarta.
4. Para responden yang sudah bersedia mengisi kuesioner untuk keperluan data peneliti. Semoga Allah berikan kebahagiaan dan membalas kebaikan responden.
5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi atas segala bantuan dan
ketulusannya membantu mahasiswa menyelesaikan tugas akademik.
ix
sayang yang senantiasa memberikan dukungan, mengajarkan banyak hal, Osin dan Zulaika (almh). Kalian bagian terpenting dari perjalanan hidup penulis. Semoga kebaikan senantiasa ada di dalam kehidupan kalian dan semoga kakak Eka selalu tenang di alam sana.
8. Sahabatku, mama Kaila (Hasti), Atiqoh, Naqiyah, Triani, Rere. Terimakasih atas kebersamaan, dukungan, gelak tawa bersama yang selalu akan dirindukan penulis. Kebersamaan ini telah memberikan banyak hal yang bermakna dikehidupan penulis.
9. Keluarga besar Psikologi 2010, Aniq, Atiqoh, Naqiyah, Triani, Rere, Putri, Yunita, Nashwa, Anjar, Temil, Teteh, Meida, Fatin, Septi, Fahri, Dian, Adila dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Semoga kesolidan senantiasa terjaga. Terimakasih telah melengkapi sejarah hidup penulis.
10. Keluarga besar KOPRI PMII Ciputat, kak lia, ujo, wia, yani, qory, ala, lia, khumaeroh dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Yang menemani dan mengajarkan banyak hal
tentang arti kehidupan dalam keberagaman.
Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih untuk
segala doa, dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Jakarta, Maret 2015
x
1.2. Pembatasan dan Perumusan masalah ... 9
1.2.1. Pembatasan masalah... 9
1.2.2. Perumusan masalah ... 10
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
1.3.1. Tujuan penelitian ... 11
2.1.2. Bentuk aktivitas cyberbullying ... 15
2.1.3. Elemen cyberbullying ... 17
2.1.4. Pengukuran cyberbullying ... 19
2.1.5. Faktor yang mempengaruhi cyberbullying ... 20
2.2. Empati ... 22
2.3.2. Aspek-aspek self-control ... 31
2.3.3. Pengukuran self-control ... 33
2.4. Self-Esteem ... 34
2.4.1. Definisi self-esteem ... 34
2.4.2. Karakretistik self-esteem ... 35
2.4.3. Pengukuran self-esteem ... 37
2.5. Remaja... 38
xi
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 49 -70
3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 49
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 50
3.3. Instrumen Penelitian... 50
3.3.1. Instrumen Pengumpulan data ... 50
3.3.2. Alat ukur penelitian ... 52
3.4. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian ... 55
3.4.1. Uji validitas konstruk cyberbullying... 57
3.4.2. Uji validitas konstruk empati ... 58
3.4.3. Uji validitas konstruk self-control ... 63
3.4.4. Uji validitas konstruk self-esteem ... 66
3.5. Teknik Analisis Data ... 67
3.5. Prosedur Penelitian... 69
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 71 - 83 4.1. Gambaran Subjek Penelitian ... 71
4.2. Hasil Analisis Deskriptif ... 71
4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ... 72
4.4. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 76
4.5. Proporsi Varian ... 81
xii
Tabel 3.4 Blueprint Skala Self-control... 54
Tabel 3.5 Blueprint Skala Self-esteem... 55
Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Konstruk Cyberbullying... 58
Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Konstruk Perspective Taking... 59
Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Konstruk Fantasy... 60
Tabel 3.9 Hasil Uji Validitas Konstruk Empathic Concern... 61
Tabel 3.10 Hasil Uji Validitas Konstruk Personal Distress... 62
Tabel 3.11 Hasil Uji Validitas Konstruk Behavior Control... 64
Tabel 3.12 Hasil Uji Validitas Konstruk Cognitive Control... 65
Tabel 3.13 Hasil Uji Validitas Konstruk Decisional Control... 66
Tabel 3.14 Hasil Uji Validitas Konstruk Self-esteem... 67
Tabel 4.1 Subjek Penelitian... 71
Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif... 72
Tabel 4.3 Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian... 73
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian... 74
Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi... 78
Tabel 4.6 Tabel ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV... 78
Tabel 4.7 Koefisien Regresi... 79
1
Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Kasus tentang bullying di sekolah sudah menjadi hal yang banyak terjadi
dari tiga puluh tahun lalu. Menurut Olweus (dalam Aoyama, 2010) bullying
merupakan perilaku agresif yang ditandai dengan tindakan berulang. Biasanya
bullying melibatkan tindakkan melecehkan dan mengancam seseorang secara
verbal, mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti
(intimidasi), atau menyerang secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul).
Namun, pada beberapa tahun terakhir bentuk baru dari bullying muncul dengan
memanfaatkan beragam teknologi yang ada. Peningkatan akses terhadap teknologi
bukan hanya memberikan dampak positif dalam interaksi sosial dan pembelajaran
yang kolaboratif bagi siswa, tetapi juga membawa masalah yang harus
mendapatkan perhatian lebih, dalam penanganannya. Media-media sosial yang
seharusnya mempermudah dan mengeratkan hubungan antar manusia, justru
dalam beberapa kasus menjadi sarana untuk saling melukai dengan kata-kata.
Contohnya, banyak anak yang merasa lebih hebat dan berkuasa mengganggu anak
dan hinaan dengan mengakses teknologi, baik melalui internet maupun pesan
singkat dengan telpon genggam. Hal ini disebut cyberbullying. Bentuk dari
bullying yang dilakukan di dunia maya ini memiliki “pemain” yang jauh lebih
luas yang dapat melibatkan semua kalangan, baik dari pelajar sekolah dasar,
menengah, mahasiswa, bahkan kaum pekerja.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 82 juta orang
dan capaian Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna
internet tersebut, 80% di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Untuk
pengguna facebook, Indonesia di peringkat ke-4 terbesar dunia. Dari angka
tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Sedangkan, berdasarkan data Asia Pacific Digital Marketing Year Book 2012 lalu,
jumlah pengguna Facebook di Indonesia sudah mencapai lebih dari 40 juta. Dari
jumlah itu, sebanyak 59% pengguna dari kalangan remaja usia 13-18 tahun, atau
41% pengguna berusia 18-24 tahun. Dengan menggunakan data statistik di atas,
tentu saja kelompok usia tersebut sangat rentan pada masalah penyimpangan
perilaku di media sosial ketimbang orang dewasa. Anak-anak yang menggunakan
akses tersebut dapat melakukan apa saja di jejaring sosial. Bahkan tanpa disadari
apa yang mereka lakukan saat bersosial media, bisa mengarah terjadinya
cyberbullying.
Menurut survei global yang dilakukan The Health Behavior in
School-Aged Children (HBSC) (Kaman, 2013), Indonesia merupakan negara dengan
Indonesia ternyata mengalahkan kasus bullying di Amerika Serikat yang
menempati posisi ketiga. Ironisnya, kasus bullying di Indonesia lebih banyak
dilakukan di jejaring sosial. Sebagai negara dengan jumlah populasi yang banyak
di dunia, Indonesia memiliki jumlah pengguna Facebook terbesar keempat di
dunia. Selain itu, Indonesia juga „menyumbang‟ 15% tweet setiap hari untuk
Twitter. Bahkan, Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik (2012) lebih dari 60% pengakses internet berumur dibawah 7 - 18 tahun.
Penelitian yang dilakukan pada siswa SMP dan SMA di beberapa kota di
jawa tengah, hasil menunjukkan telah terjadi perilaku cyberbullying sebanyak
28% meski dampak yang ditunjukkan belum begitu serius (Rahayu, 2012).
Sedangkan dari Data hasil survei yang dilakukan Juwita (2009) menyatakan
bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi mengenai kasus bullying dibanding
dengan kota Jakarta dan Surabaya. Tercatat sekitar 70,65 % kasus Bullying terjadi
di SMP dan SMA di Yogyakarta. Jadi dapat diasumsikan individu yang memiliki
kecenderungan lebih besar untuk melakukan cyberbullying pada remaja rentang
usia 13 tahun – 18 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja
memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap cyberbullying.
Selain itu, berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke KPAI (Komisi
Perlindungan Anak Indonesia) 2014 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik,
108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di
lingkungan sekolah. Tingginya kasus pada remaja yang terjadi dapat
bermacam-macam motifnya, seperti salah satunya untuk menjadi pusat perhatian dan
mengirimkan gambar yang memalukan melalui media elektronik yang bahkan
dapat menimbulkan perkelahian di dunia nyata. Perilaku tersebut kadang kurang
disadari oleh remaja yang merupakan salah satu perilaku cyberbullying. Seperti
yang pernah terjadi pada siswa SMAN 64 Jakarta, dengan alasan tersebut peneliti
menjadikan sekolah tersebut tempat penelitian.
Kasus nyata yang sering terjadi di Indonesia adalah twitwar atau perang
twitter. Beberapa waktu lalu yang terjadi kasus bully pada Bastian salah satu
personil grup musik, ada yang mengungah foto Bastian yang mencium seorang
gadis yang menjadi banyak komentar cacian karena Bastian yang masih berumur
15 tahun dan menjadi public figure. Selain itu, baru-baru ini terjadi kasus
pengungahan video Chelsea Ishan yang sedang berganti baju. Video yang
diunggah oleh orang yang tidak diketahui tersebut diduga untuk menjatuhkan
Chelsea Ishan yang karirnya sedang „naik daun‟ tersebut, banyak yang akhirnya
mem-bully tetapi dengan bijaknya sikap yang ditunjukkan Chealsea Ishan yang
tidak menghiraukan video tersebut dan menghimbau dalam kampanye stop
bullying. Kasus lainnya yang sempat membuat ramai di media sosial Twitter,
kasus Farhat Abbas yang mengejek dan menjelekkan Ahmad Dhani atas kasus
yang dialami oleh anak Ahmad Dhani yang akhirnya sampai dengan pelaporan
Ahmad Dhani pada pihak kepolisian dan anak Ahmad Dhani yang tersulut emosi
hingga ingin membuat pertarungan tinju dengan Farhat Abbas. Dari beberapa
kasus tersebut, dapat menjelaskan maraknya kasus cyberbullying yang terjadi di
Indonesia. Tindakan cyberbullying ini terjadi tanpa dapat pengawasan baik dari
tersebut yang tetap membuat leluasanya pelaku cyberbullying melakukan
tindakannya.
Cyberbullying merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan
teknologi yang tidak dikontrol, dimana seorang anak dapat menulis teks atau
menunggah gambar dengan tujuan untuk menjelek-jelekan dan menghina orang
lain dengan niat mempermalukan orang lain. Selain itu tulisan dan gambar yang
diunduh dapat mengundang komentar dari pihak ketiga untuk ikut berkomentar
(bystander) yang sering mengikuti untuk melecehkan dan mempermalukan
korban. Sehingga dapat memperparah dampak bagi korban cyberbullying
(Camfield, 2006). Sedangkan pelaku bullying menunjukkan rasa empati yang
kecil untuk teman sebaya mereka. MenurutMenesini, et.al (dalam Dilmac, 2009),
pelaku bullying sebenarnya sadar akanperasaan orang lain namun tidak dapat atau
tidak mau mengizinkan perasaan itu mempengaruhi mereka dan anak-anak pelaku
bullying juga cenderung ingin dapat mengontorol teman-temannya (Gourneau,
2012).
Penelitian lainnya menemukan bahwa rendahnya respon empati secara
utuh berpengaruh pada perilaku cyberbullying. Pada siswa pelaku cyberbullying
memiliki respon empati yang rendah dibandingkan siswa yang bukan pelaku
cyberbullying (Steffgen, Konig, Pfetsch, & Melzer, 2011). Pada penelitian lainnya
tentang empati dan cyberbullying, dimensi empati dibagi menjadi dua yaitu : (1)
afektif empati (2) cognitif empati (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).
kognitif empati mempengaruhi tingginya perilaku cyberbullying pada remaja
perempuan maupun laki-laki (Ang & Goh, 2010). Menjadi penting untuk
mengetahui kecenderungan sikap empati secara afektif maupun kognitif pada
remaja untuk upaya lebih lanjut dalam intervensi dalam pengurangan perilaku
cyberbullying. Dalam penelitian ini bertujuan melihat peran empati pada
cyberbullying. Secara khusus, untuk melihat apakah pelaku cyberbullying
memiliki empati yang rendah dibanding dengan yang bukan pelaku cyberbullying.
Alasan lain yang membuat lebih banyak lagi pelaku cyberbullying karena
pelaku dapat menyembunyikaan identitas atau anonimitas (Heirman & Walrave,
2008). Penyamaraan atau penyembunyian identitas sebenernya membuat pelaku
cyberbullying merasa tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya,
sehingga mudah terlibat dalam permusuhan dan perilaku agresif. Menurut
Pellegrini (dalam Dilmac, 2009), menyebutkan pelaku bullying memiliki
emosional tinggi dan kontrol diri rendah, namun hingga saat ini, belum ada jurnal
atau penelitian yang menyebutkan secara jelas bahwa tipe kepribadian tertentu
menentukan kecenderungan seseorang untuk menjadi pelaku ataupun korban
cyberbullying. Sedangkan pada penelitian remaja di Singapura dan Malaysia
ditemukan agresivitas sebagai mediator dari perilaku cyberbullying (Ang, Tan, &
Mansor, 2011). Dalam penelitian tersebut, remaja pelaku cyberbullying cenderung
memiliki sikap agresivitas yang tinggi yang salah satu faktor pemicunya
Hasil penelitian Denson, DeWall, dan Finkel, (2012) yang menyatakan
bahwa kegagalan self control dapat memberikan kontribusi untuk tindakan yang
paling agresif yang menyertakan kekerasan. Ketika agresi mendesak menjadi
aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk
berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai dengan
standar pribadi atau standar sosial yang dapat menekan perilaku agresif tersebut.
Masih sedikit studi yang mengaitkan self-control yang rendah terhadap pelaku dan
korban bullying, meskipun fakta bahwa self-control yang rendah telah
diidentifikasi sebagai prediktor yang penting dari perilaku penyimpangan dan
kejahatan dalam studi empiris yang telah ada (Gottfredson & Hirschi, 1990).
Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa secara langsung maupun
tidak langsung rendahnya self-control mempengaruhi perilaku pelaku maupun
korban dalam cyberbullying (Vazsonyi, Machackova, Sevcikova et al., 2012).
Penelitian Holt, Bossler dan May (2012) tentang tindakan cybercrime dan
kenakalan pada remaja, menemukan hasil bahwa pelaku cybercrime dan
kenakalan pada remaja dipengaruhi oleh rendahnya self-control dan kelompok
teman dengan perilaku yang menyimpang. Rendahnya self-control tidak hanya
menentukan perilaku kriminal, tetapi juga menentukan perkembangan ikatan
sosial yang terjadi, Self-control yang rendah dapat mengganggu ikatan sosial
seseorang (Wright, Caspi, Moffitt, & Silva, 1999). Dari hasil penelitiannya,
Chapple (2005) menyimpulkan bahwa self-control yang rendah menyebabkan
penolakan dari rekan sesama (peer rejection), hubungan dengan rekan atau
Masa remaja adalah saat ketika perkembangan identitas sangat penting.
Selama periode ini, proses pembentukan identitas sebagian besar tergantung pada
isyarat dan peraturan dari lingkungan sosial (stereotip sosial) (Hurlock, 1994).
Oleh karena itu, remaja cenderung mencari perilaku dan situasi yang membantu
mereka menghargai diri mereka sendiri secara positif dan menghindari
orang-orang yang membuat mereka merasa buruk tentang siapa diri mereka. Hal ini
berhubungan dengan persepsi dan penerimaannya sendiri mengubah anak dan
memainkan peran penting dalam mengarahkan pertumbuhan pribadi.
Dari literatur sebelumnya menunjukkan bahwa pengalaman dengan
cyberbullying memiliki efek negatif pada perkembangan remaja. Salah satunya
adalah self-esteem seseorang. Beberapa penelitian menyebutkan rendahnya
self-esteem ditemukan pada korban cyberbullying bukan pada pelaku cyberbullying
(Salmivalli, Kaukiainen, Kaistaniemi, & Lagerspetz, 1999). Sedangkan penelitian
lainnya menyebutkan baik pelaku ataupun korban cyberbullying sama-sama
memiliki self-esteem yang rendah dibandingkan individu yang tidak pernah
mengalami cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2010; Fong-Ching et al, 2013).
Sementara penelitian terbaru menyebutkan tidak adanya pengaruh self-esteem
dengan bullying di sekolah maupun cyberbullying (Robson & Witenberg, 2013).
Dari beberapa hasil penelitian tentang self-esteem tersebut menjadi menarik untuk
diteliti pada penelitian ini untuk lebih melihat keadaan self-esteem pada pelaku
Dari data-data dan beberapa hasil penelitian di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa perilaku cyberbullying pada remaja merupakan
permasalahan yang harus mendapatkan perhatian dalam pencegahan dan
pemecahan solusi yang tepat. Untuk remaja, dapat dengan memberikan kesadaran
atas perilaku yang dilakukan memiliki dampak psikologis bagi orang lain,
intervensi sedini mungkin untuk remaja yang menjadi pelaku cyberbullying
dengan pendidikan internet sehat bagi setiap anak-anak dan remaja di sekolah.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena masih kurangnya penelitian tentang
cyberbullying di Indonesia. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul
penelitian yaitu “Pengaruh empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta”
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan masalah
Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan
masalah. Adapun pokok permasalahan yang menjadi batasan permasalahan dalam
penelitian ini adalah perilaku cyberbullying yang dipengaruhi oleh
variabel-variabel lain diantaranya empati, self-control, dan self-esteem. Adapun penjelasan
mengenai variabel-variabel tersebut sebagai berikut:
1. Cyberbullying dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk bullying yang
dilakukan melalui media elektronik seperti menghina, mengancam,
pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui
media sosial.
2. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir,
merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang
tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa
yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut.
3. Adapun yang dimaksud self-control adalah kemampuan seseorang dalam
mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang
sesuai dengan yang diyakini, dibagi berdasarkan pada aspek behavior
control, cognitive control, dan decisional control (Averill, 1973).
4. Yang dimaksud dengan Self-esteem adalah sikap individual, baik positif
atau negatif terhadap dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan yang utuh.
5. Subjek penelitian siswa SMAN 64 Jakarta
1.2.2 Perumusan Masalah
Setelah melalui tahap identifikasi masalah dan tahap seleksi masalah, peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
2. Apakah terdapat pengaruh perspective taking dari variabel empati
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
3. Apakah terdapat pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku
4. Apakah terdapat pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
5. Apaka terdapat pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
6. Apakah terdapat pengaruh behavior control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
7. Apakah terdapat pengaruh cognitive control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
8. Apakah terdapat pengaruh decisional control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
9. Apakah terdapat pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying
pada siswa SMAN 64 Jakarta?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan penelitian ini ialah :
a. Untuk menguji pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap
perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
b. Untuk menguji pengaruh perspective taking dari variabel empatiterhadap
perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
c. Untuk menguji pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku
cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
d. Untuk menguji pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap
e. Untuk menguji pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap
perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
f. Untuk menguji pengaruh behavior control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
g. Untuk menguji pengaruh cognitive control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
h. Untuk menguji pengaruh decisional control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
i. Untuk menguji pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada
siswa SMAN 64 Jakarta.
1.3.2 Manfaat penelitian ini dilihat dari segi teoritis dan praktis sebagai berikut:
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam ranah psikologi, terutama ranah psikologi pendidikan serta
memberikan informasi bagi pembaca yang berniat melakukan penelitian
mengenai dinamika karakteristik pada pelaku cyberbullying.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan informasi dan prevention bagi remaja dan para pendidik agar
dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku cyberbullying
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan
skripsi Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi
beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini :
Bab 1. Pendahuluan
Bab pendahuluan memuat empat sub bab yaitu latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab 2. Kajian Teori
Pada bab ini dipaparkan teori-teori yang berhubungan dengan variabel penelitian,
yaitu cyberbullying, empati, self-control, dan self-esteem. Selanjutnya dipaparkan
kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.
Bab 3. Metode Penelitian
Bab ini berisi uraian tentang populasi dan sampel termasuk teknik sampling,
variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, instrumen
pengumpulan data, uji validitas konstruk dan hasilnya, teknik analisis data dan
prosedur penelitian.
Bab 4. Hasil Penelitian
Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran subjek penelitian, deskripsi data,
analisis data dan hasil uji hipotesis. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel-tabel.
Bab 5. Kesimpulan, Diskusi dan Saran
14
penelitian. Berisi tentang teori Cyberbullying, empati, self-control, dan
self-esteem.
2.1Cyberbullying
2.1.1 Definisi Cyberbullying
Cyberbullying adalah perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang, menggunakan bantuan alat elektronik yang dilakukan berulang
dan terus menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri (Smith,
Mahdavi, Carvalho, Fisher, Russell, & Tippett, 2008). Sedangkan menurut
Kowalski (2008), cyberbullying mengacu pada bullying yang terjadi melalui
instant messaging, email, chat room, website, videogame, atau melalui gambar
atau pesan yang dikirim melalui telepon seluler. Sedangkan Willard (2007)
mendefinisikan sebagai perilaku kejam kepada orang lain dengan mengirim hal
berbahaya atau terlibat dalam bentuk lainnya dengan media internet atau teknologi
digital.
Menurut Li (2010) cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan
melalui alat komunikasi seperti e-mail, telepon selular, instant messaging atau
jaringan world wide. Sedangkan Hiduja & Patchin (2007) mendefinisikannya
sebagai bahaya yang disengaja dan berulang melalui media elektronik. Sedangkan
perilaku individu atau kelompok dengan media sosial yang bertujuan untuk
melecehkan seseorang dengan segaja.
Dari beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa cyberbullying
adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik yang berisi hal
menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain
yang berupa pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau
melalui media online.
2.1.2 Bentuk Aktivitas Cyberbullying
Menurut Willard (2007), tipe aktivitas pada cyberbullying yaitu :
a. Flaming, pertengkaran online menggunakan bahasa kasar dan vulgar.
b. Harassment, perilaku yang berulang kali mengirimkan pesan yang kasar
dan menghina.
c. Denigration, mengirimkan atau mem-posting berita mengenai seseorang
untuk merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut.
d. Impersonation, berpura-pura menjadi orang lain dan mem-posting hal-hal
yang dapat membuat seseorang berada dalam masalah atau merusak
reputasinya.
e. Outing, menyebarkan informasi memalukan mengenai orang lain secara
online.
f. Trickery, menghasut seseorang untuk menceritakan rahasia atau informasi
g. Exclusion, dengan sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari sebuah
kelompok online.
Sedangkan Australian Federal Police (2013) menambahkan bentuk dari
cyberbullying, yaitu Cyber-stalking (penguntitan di dunia maya), yaitu upaya
seseorang menguntit atau mengikuti orang lain dalam dunia maya dan
menimbulkan gangguan bagi orang lain tersebut.
Menurut Office for Internet Safety (2008), aktivitas yang sering dilakukan
oleh pelaku cyberbullying adalah :
a. Personal Intimidation, mengirimkan pesan singkat berisi ancaman,
menulis komentar yang kasar pada profil online korban, atau pesan via
instant messaging.
b. Impersonation, membuat akun profil dan website palsu yang mengarah
pada korban. Dapat juga dengan melibatkan mendapat akses pada akun
profil dan menggunakannya untuk berpura-pura menjadi pemilik akun
tersebut untuk mengontak akun lainnya dan kemudian mem-bully.
c. Exclusion, perilaku memblokir seseorang dari kelompok atau komunitas
online populer seperti Kaskus, Facebook atau Twitter.
d. Personal humilition, perilaku mem- posting gambar atau video penyiksaan
atau dipermalukan secara offline.
e. False reporting, membuat laporan palsu atau melaporkan pengguna lain
untuk perilaku tertentu kepada penyedia layanan media sosial agar akun
Sedangkan pada penelitian ini, bentuk aktivitas cyberbullying mengacu pada
Willard (2007) yaitu, Flaming, Harassment, Denigration, Impersonation, Outing
& Trickery, dan Exclusion.
2.1.3 Elemen Cyberbullying
Pada umumnya terdapat 3 elemen baik dalam setiap praktek bullying dan
cyberbullying: pelaku (cyberbullies), korban (victims) dan saksi peristiwa
(bystander).
1. Pelaku (cyberbullies)
Camodeca dan Goossens (dalam Kowalski, 2008) karakteristik anak yang
menjadi pelaku cyberbullying adalah memiliki kepribadian yang dominan
dan dengan mudah dan menyukai melakukan kekerasan. Cenderung lebih
cepat tempramental, impulsif dan mudah frustasi dengan keadaan yang
sedang dialaminya. Lebih sering melakukan kekerasan terhadap orang lain
dan sikap agresif kepada orang dewasa dibandingkan dengan anak lainnya.
Sulit dalam menaati peraturan. Terlihat kuat dan menunjukkan rendahnya
rasa empati pada orang yang dia bully. Pandai memanupulasi dan berkelit
pada situasi sulit yang di hadapi. Sering terlibat dalam agresi proaktif,
agresi yang disengaja untuk tujuan tertentu dan agresi reaktif, reaksi
defensif ketika diprovokasi.
2. Korban (victims)
Seorang remaja yang biasanya menjadi target cyberbullying biasanya
dan mereka yang cenderung sensitif, pasif, dianggap lemah dan biasanya
mereka yang jarang bergaul atau keluar rumah (Kowalski, 2008).
Sedangkan dalam National School Climate Center (Marden, 2010)
karakteristik remaja yang menjadi target atau korban cyberbullying adalah
sensitif, menarik diri dari lingkungan sosial, pasif, mengalami masalah
dengan kesehatan mental, sering membiarkan orang lain mengendalikan
diririnya, dan cenderung depresi. Dalam beberapa penelitian, korban
cyberbullying cenderung memiliki self-esteem lebih rendah dibandingkan
teman sebayanya. Hal tersebut yang membuat dirinya mengalami
kecemasan sosial dan cenderung menghindari kontak sosial (Campfield,
2006).
3. Saksi Peristiwa (bystander)
Saksi peristiwa adalah seseorang yang menyaksikan penyerangan perilaku
bully pada korbannya. Saksi peristiwa dapat dengan bergabung dalam web
dan meninggalkan komentar yang menyakitkan, atau tanpa melakukan
apapun kecuali mengamati perilaku bullying (Marden, 2010). Sedangkan
menurut Willard (2007), bystander terbagi menjadi dua, yaitu: 1) harmful
bystander, pengamat yang mendukung peristiwa bullying atau terus
mengamati kejadian tersebut dan tidak memberi bantuan apapun kepada
korban, dan 2) helpful bystander, pengamat yang berusaha menghentikan
bullying dengan cara memberikan dukungan kepada korban atau memberi
2.1.4 Pengukuran Cyberbullying
Beberapa alat ukur dalam penelitian terdahulu cyberbullying adalah CBQ
(Cyberbullying Quesionare) terdiri dari 21 multiple choise yang dikembangkan
dalam penelitian yang dilakukan untuk korban anak usia 11-16 tahun (Smith et al.,
2008). Kemudian Menesini, Nocentini, & Palladino (2012) mengevaluasi
sekaligus merevisi alat ukur cyberbullying and cybervicitimization Scale. Setiap
skala terdiri atas 18 item yang mengukur frekuensi cyberbullying. Alat ukur
Revised Cyber Bullying Inventory (RCBI) dikembangkan oleh Topcu and
Erdur-Baker (2010) yang terdiri dari 14 item untuk cyberbullying dan 14 item untuk
cybervictimization.
Sedangkan di Indonesia penelitian tentang cyberbullying mengembangkan
alat ukur sendiri. Pratiwi (2011) mengukur perilaku cyberbullying dengan alat
ukur yang dibuat sendiri yang mengacu pada teori Willard (2007) berupa beberapa
aktivitas dalam cyberbullying. Terdiri atas 32 item untuk melihat aktivitas pelaku,
24 item untuk korban dan 17 item untuk pengamat. Permatasari (2012)
menggunakan alat ukur cyberbullying berdasarkan aktivitas cyberbullying. Alat
ukur tersebut terdiri atas 10 item bentuk cyberbullying, 6 item tujuan
cyberbullying dan 7 item dampak cyberbullying dan sampel yang digunakan
dalam penelitian remaja SMA di Yogyakarta.
Pada penelitian ini, peneliti membuat sendiri alat ukur cyberbullying yang
mengacu pada aktivitas cyberbullying pada teori Wilard (2007). Alat ukur terdiri
menggunakan bahasa kasar dan vulgar, (Harassment) berulang kali mengirimkan
pesan yang kasar, kejam, dan mengolok-olok, (Denigration) mengirimkan atau
memposting rumor mengenai seorang untuk merusak pertemanan atau reputasi
orang tersebut, (Impersonation) berpura-pura menjadi orang lain dan
mengirimkan atau memposting hal-hal yang dapat membuat seseorang berada
dalam masalah atau merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut. (Outing &
Trickery) menghasut seseorang untuk menceritakan rahasia atau informasi
pribadinya dan menyebar rahasia atau informasi memalukan mengenai orang lain
secara online, dan (Exclusion) secara sengaja mengeluarkan seseorang dari
kelompok online secara kasar.
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying
Hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh terhadap
bullying dalam literatur sebagai faktor yang berperan terjadinya cyberbullying,
menurut Li (2010) seperti :
1. Bullying tradisional
Pada penelitian Riebel, jager & Fischer (2009) terdapat hubungan antara
bullying yang terjadi secara langsung dengan dunia maya. Maka memungkinkan
bullying yang dimulai secara langsung menjalar ke dunia maya. hal tersebut
memberikan lahan baru bagi pelaku bullying untuk menghina orang lain.
2. Jenis kelamin
Banyak penelitian yang telah menunjukkan bahwa laki-laki lebih
3. Budaya
Penelitian Li (2010) mengindikasikan budaya merupakan prediktor yang kuat
dalam cyberbullying yang sejalan dengan penelitian Baker (2010) mengenai
bullying yang memainkan peran penting dalam terjadinya bullying dan
cyberbullying.
4. Penggunaan internet
Besarnya kebutuhan akan penggunaan internet bagi manusia memberikan
dampak yang positif, tetap memberikan dampak resiko yang mungkin terjadi.
Dalam hal kehidupan sosial, salah satu ancaman yang serius adalah
cyberbullying. Cyberbullying terjadi pada dunia maya, menjadi masuk akal
untuk berasumsi intensitas penggunaan seseorang dalam penggunaan internet
dapat menjadikan sebagai pelaku atau korban dari dampak buruk yang dapat
diakibatkan dari interaksi pada dunia maya.
Pada penelitian Hoff dan Mitchell (2009) menemukan beberapa faktor
penyebab dari tindakan cyberbullying yang dikeompokkan pada dua kategori
utama, cyberbullying yang disebabkan oleh isu relasi, seperti : (a) putus
hubungan, (b) kecemburuan, (c) pada kecacatan, agama, dan gender, dan (d)
kelompok atau geng; dan cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti :
2.2Empati
2.2.1 Definisi Empati
Empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menempatkan diri
di tempat orang lain agar dapat memahami dan mengerti kebutuhan dan
perasaannya. Secara sederhana kata-kata empati merujuk pada sikap dan perasaan
yang merasakan dan memahami kondisi emosi orang lain. Tetapi untuk lebih
memahami batasan-batasan dari empati, tentunya kita mesti memahami definisi
empati dari dari berbagai teori dan para ahli. Adapun pendapat dari para ahli
mengenai empati diantaranya sebagai berikut, Empati memungkinkan individu
untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan
mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka (Baron-Cohen & Wheelwright,
2004).
Rogers (dalam Taufik, 2012) menawarkan dua konsepsi dari
empati. Pertama, melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat
dengan komponen-komponen yang saling berhubungan. Kedua, dalam memahami
orang lain tersebut, individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga
bisa merasakan dan memahami orang lain tersebut. Empati dapat disimpulkan
dengan kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan
menghayati pengalaman tersebut serta untuk melihat situasi dari sudut pandang
Dengan kata lain empati merupakan kemampuan untuk menghayati
perasaan dan emosi orang lain (Hurlock,1994). Empati adalah 1) memproyeksikan
perasaan sendiri pada satu kejadian suatu obyek alamiah atau suatu karya estesis.
2) realisasi dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain.
Menurut Stein (dalam Davis, 1990) empati adalah sepenuhnya keunikan
dan perbedaan yang mencolok dari proses hubungan intersubjektif yang
didalamnya ditemukan tahapan yang bertingkat dan memberikan kita sesuatu
yang telah dilakukan, agak seperti realitas setelah kejadian. Tiga tahapannya
adalah simpati, perasaan belas kasihan, dan perubahan diri.
Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang
lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif, kognitif, pengalaman, atau
keduanya. Ada kesepakatan bahwa dua komponen yang diperlikan adalah empati
menyiratkan kemampuan perspektif tertentu dalam berbicara dan juga berperilaku
prososial, yaitu berbagi dan membantu orang lain. Dengan kata lain sebagai
kesadaran sosial dan kepekaan sosial. Keduanya untuk mengenali dan memahami
perasaan, kebutuhan dan persepsi dari orang lain (Garton & Gingat, 2005).
Menurut Hoffman (2000) empati adalah suatu respon afektif (perasaan)
terhadap situasi orang lain dari pada situasi diri sendiri. Sedangkan Eisenberg
(2000) berpendapat bahwa empati merupakan respon afektif yang berasal dari
pemahaman kondisi emosional orang lain, yaitu apa yang sedang dirasakan oleh
orang lain pada waktu itu.
Cotton (dalam Garton & Gringat, 2005) empati didefinisikan sebagai
kognitif untuk memahami perasaan orang lain dalam perspektif dan kemampuan
untuk berkomunikasi terhadap empati seseorang serta perasaan dan pemahaman
yang lain dengan cara lisan verbal dan nonverbal.
Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati
merupakan proses afektif dan kognitif yang memungkinkan individu untuk
memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami
emosi yang dipicu oleh emosi mereka, seolah-olah masuk dalam diri orang lain
sehingga memahami situasi dan kondisi emosional dari sudut pandang orang lain.
2.2.2 Aspek-Aspek Empati
Davis (1980) menjelaskan empat aspek empati antara lain, yaitu:
1. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil
sudut pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut Galinsky &
Ku (dalam Taufik, 2012) mendefinisikannya sebagai menempatkan diri
sendiri ke dalam posisi orang lain. Perspective taking secara psikologis
dan sosial penting dalam keharmonisan interaksi antar individu.
Seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk
memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang
terlihat. Hal ini erat kaitannya dengan daya kognisi, kemampuan setiap
orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung
dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012) perspective taking
Membayangkan bagaimana seseorang akan berpikir dan merasakan
apabila ia berada pada situasi anggota kelompok lain.
Membayangkan bagaimana seorang anggota kelompok lain
berpikir dan merasakan.
2. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara
imajinatif dalam mengalami perasaan dan tidankan dari karakter khayalan
dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton.
3. Empathic concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang
lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain.
4. Personal distress, yaitu reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain
yang diekspresikan dengan perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin yang
berlebihan dan rasa tidak berdaya. Personal distress bisa disebut empati
negatif (negative empathic).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek empati
menurut Davis (1980) meliputi: perspective taking, fantasy, empathic
concern,dan personal distress. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
keempat aspek tersebut menjadi independent variabel.
2.2.3 Pendekatan pada Empati
Memahami lebih jauh dari teori empati, tidak terlepas dari
penjelasan-pernjelasan dari berbagai pendekatan. Diantaranya ada dua pendekatan yang
digunakan untuk memahami teori empati, yakni teori dari Baron-Cohen &
a. Pendekatan Afektif
Pendekatan afektif mendefinisikan empati sebagai kemampuan menselaraskan
pengalaman emosional pada orang lain (Taufik, 2012). Dalam pandangan afektif,
perbedaan definisi empati dilihat dari seberapa besar dan kecilnya respon
emosional pengamat pada emosi yang terjadi pada orang lain.
Terdapat empat jenis empati afektif, menurut Stotland, Sherman & Shaver
yaitu: 1) perasaan pada pengamat harus sesuai dengan orang yang diamati; 2)
perasaan pada pengamat sesuai dengan kondisi emosional orang lain namun
dengan cara yang lain; 3) pengamat merasakan emosi yang berbeda dari emosi
yang dilihatnya, disebut juga sebagai empati kontras; sedangkan Baston
menambahkan 4) perasaan pada pengamat harus menjadi satu untuk perhatian
atau kasih sayang pada penderitaan orang lain (dalam Baron-Cohen &
Wheelwright, 2004).
b. Pendekatan Kognitif
Pendekatan kognitif merupakan aspek yang menimbulkan pemahaman terhadap
perasaan orang lain. Eisenberg & Strayer (dalam Baron-Cohen & Wheelwright
2004) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati
adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) dan orang lain.
Sedangkan menurut Leslie, adanya pemisahan antara perspektif sendiri,
menghubungkan keadaan mental orang lain (dalam Baron-Cohen & Wheelwright,
2004), dan menyimpulkan kemungkinan isi dari kondisi mental mereka, serta
2.2.4 Pengukuran Empati
Pengukuran empati yang saat ini tengah dikembangkan diarahkan kepada kategori
usia dewasa dan anak-anak, untuk kategori usia remaja biasanya menggunakan
alat ukur untuk orang dewasa. Pengukuran empati untuk anak-anak, biasanya
menggunakan media gambar. Pengukuran empati tersebut disajikan dalam bentuk
narasi atau slide, audiotape, dan videotape.
Beberapa alat ukur empati (Taufik, 2012), diantaranya :
1. FASTE
FASTE (The Feshbach Affective Situation Test of Empathy) telah secara
luas digunakan untuk mengukur empati pada anak-anak. Alat ukur ini
didesain secara khusus untuk digunakan pada anak-anak usia empat tahun
hingga delapan tahun. FASTE terdiri dari delapan gambar yang meliputi
slide-slide bergambar anak-anak dengan narasi. Meski sudah banyak yang
menggunakan alat ukur ini oleh ilmuan psikologi, namun tidak luput dari
kritikan tajam para peneliti lainnya. Kritikan yang diberikan berkisaran
tentang bias gender. Ada tiga bias gender pada alat ukur tersebut, yaitu bias
gender antara gender gambar anak-anak yang ada dalam slide, subjek yang
mengikuti eksperimen, dan gender si peneliti sendiri.
Setelah mendapat serangan tajam dari para peneliti, Fesbach mencoba untuk
merevisi menjadi FPATE. Pada tes ini anak-anak menyaksikan tayangan
film yang dapat membangkitkan emosi kebahagiaan, kesedihan, kemarahan,
tersebut anak-anak diberikan seperangkat tes yang menunjukkan anak
laki-laki atau anak perempuan sebagai karakter utama.
2. QMEE dan BEES
Alat tes lainnya QMEE. Alat tes ini dibuat oleh Merhabian dan Epstein pada
tahun 1971, yang mengukur tanggapan-tanggapan emosional, alat ini
dianggap berhasil dalam mengungkap beberapa kasus psikoterapi. The
QMEE secara luas banyak digunakan untuk mengukur empati pada orang
tua. Alat ini terdiri atas 33 pernyataan yang merefleksikan reaksi mereka
terhadap perilaku-perilaku emosional orang lain dan situasi-situasi
emosional yang beragam. Respon jawaban terhadap anat ini dilakukan
dengan menjawab skala 1-9 (diberi angka 0 hingga +4, 0 hingga -4).
Item-item negatif diskor terbalik dan semua Item-item ditotal.
3. IRI
Pada tahun 1980, Davis membuat alat ukur empati yang diberi nama
Interpersonal Reactivity Index (IRI) yaitu pengukuran yang mengarah pada
pengukuran multidimensional dan disposisional. Alat ukur ini memiliki alat
ukur yang terpisah dari aspek-aspek keahlian sosial, namun kntraknya saling
berkaitan. Instrumen ini terdiri dari empat sub-skala item, dengan jumlah 28
item. Adapun kecenderungan respon dari responden berdasarkan bentuk
skala likert. Empat subskala yang ada pada alat ukur ini, yaitu : 1)
4. Empathy Questionnaire (EQ)
Baron-Cohen dan Wheelwright (2004), membuat alat ukur empati setelah
memberikan kritikannya terhadap skala IRI, mereka membuat alat ukur
empati baru dari penggabyngan alat ukur sebelumnya, diaplikasikan dalam
bidang klinis dan sangat sensitif dalam mengukur individu yang kurang
empatik yang disebut Empathy Questionnaire (EQ). EQ berhasil
mengidentifikasi beberapa kelompok orang-orang yang didiagnosa memiliki
kecenderungan autis dan psikopat.
Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah Interpersonal Reactivity
Index (IRI). Skala baku empati dari Davis (1980) dengan melihat empati dari
empat aspek : perspective taking, fantasy, empathic concern,dan personal
distress. Jumlah skala 28 item baku dan dengan model skala likert.
2.3 Self-control
2.3.1 Definisi Self-control
Dalam pengertian yang umum self-control lebih menekankan pada pilihan
tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas, tidak
melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa kini maupun masa
yang akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat. Dalam kamus psikologi
(Chaplin, 2006), definisi kontrol diri atau self control adalah kemampuan individu
untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau
Calhoun dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang
mengaruskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu
hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu
harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain.
Kedua, Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar
yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut
dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut
individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Disamping itu kontrol diri
memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca
situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola
faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri
dalam melakukan sosialisasi (Calhoun & Acocela, 1990).
Menurut Hurlock (1994) mengatakan bahwa kontrol diri muncul karena
adanya perbedaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, motivasi, dan
kemampuan mengelola potensi dan pengembangannyaa. Self-control berkaitan
dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta
dorongan-dorongan dalam dirinya. Menurut konsep ilmiah pengendalian emosi berarti
mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat di
terima secara sosial. Memang konsep ilmiah menitik beratkan pada pengendalian,
tetapi tidak sama artinya dengan penekanan. Mengontrol emosi berarti mendekati
suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi
Menurut Rothbaum (dalam Tangney, Baumiester, & Boone, 2004)
menyatakan bahwa self-control secara luas dianggap sebagai kapasitas untuk
berubah dan beradaptasi sehingga menghasilkan sesuatu lebih baik secara optimal
antara diri dan dunia. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan
cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu
cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial
yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat perilakunya lebih responsif
terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar
interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self control adalah
kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk
menentukan tindakan yang sesuai dengan yang diyakini, sehingga dapat menekan
kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan. Pada masa-masa remaja ditandai
dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat mengkontrol
dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut emosinya atau
tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga ada yang
sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang
dilakukannya.
2.3.2 Aspek-Aspek Self Control
Berdasarkan konsep Averill (1973), terdapat tiga aspek :
1. Behavior Control
Merupakan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung
menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi
dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration)
dan kemampuan memodifikasi stimulus. Kemampuan mengatur
pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa
yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau aturan
perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu
individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur
stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan
suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang
dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan
tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung,
menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir dan membatasi
intensitasnya.
2. Cognitive Control
Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak
diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan
suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis
atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu
memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian
(appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu
keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan
individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa
dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
3. Decesional Control
Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu
tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol
diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu
kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk
memilih berbagai kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua
komponen, yaitu : mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa,
dimana individu dapat menahan dirinya.
Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek tersebut, kontrol
diri ditentukan dengan sejauh mana salah satu aspek tersebut mendominasi atau
terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol dirinya.
2.3.3 Pengukuran Self-control
Ada beberapa alat ukur yang dapat mengukur self-control, diantaranya :
1. Kendall & Wilcox (dalam Wang, 2002) membuat skala pengukuran baku
yang diberi nama Self-control Rating Scale (SCRS) yang terangkum
kedalam 33 item baku.
2. Self-control Scale (Tangney, Baumiester, & Boone, 2004) yang terdiri dari
10 item baku yang mengukur self-control secara keseluruhan.
3. Self-control Questionnaire oleh Brandon sebagai skala sifat kontrol diri.
Brandon menekankan pada perilaku kesehatan, dan memiliki cakupan item
Pada penelitian ini membuat skala sendiri yang mengacu pada teori dari
Averill (1973), yang memiliki aspek: Behavior Control, Cognitive Control, dan
Decesional Control yang terangkum dalam 23 item.
2.4 Self-esteem
2.4.1 Pengertian Self-esteem
Menurut Rosenberg (dalam Hinduja & Patchin, 2010), self-esteem adalah
sikap individual baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.
Mruk (2006) menjelaskan bahwa Rosenberg telah menjelaskan cara lain dalam
mendefinisikan self-esteem adalah suatu rangkaian sikap individu tentang apa
yang dipikirkan mengenai persepsi perasaan, yaitu perasaan tentang
“keberhargaan” dirinya.
Sedangkan menurut Coopersmith (dalam Heatherton & Wyland, 2003)
menjelaskan self-esteem sebuah penilaian pribadi terhadap keberhargaan dirinya
yang diekspresikan dalam sikap yang berpegangan teguh pada prinsip pribadi.
Self-esteem merupakan sikap penerimaan atau penolakan yang mengidinkasikan
tingkat kepercayaan terhadap dirinya akan kapasitas, signifikansi, dan kesuksesan.
Menurut Powell, Newgent, dan Le (2006) juga berpendapat bahwa self-esteem
adalah penilaian dan merasakan mengenai diri individu itu sendiri. Sedangkan
menurut Since Berk (dalam Powel, Newgent, & Le, 2006) penilaian yang dibuat
Dari beberapa pengertian diatas, peneliti menyimpulkan self-esteem adalah
sikap individu dalam melihat diri sendiri baik positif ataupun negatif mengenai
dirinya sendiri dalam kapasitasnya sendiri. Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan teori Rosenberg (dalam Mruk, 2006).
2.4.2 Karakteristik Self-esteem
Beberapa pandangan Rosenberg tentang karakteristik self-esteem (dalam Mruk,
2006) :
1. Menunjukkan bahwa pemahaman self-esteem sebagai fenomena suatu
sikap diciptakan dengan kekuatan sosial dan kebudayaan.
2. Study tentang self-esteem ini diharapkan pada masalah-masalah tersendiri.
Salah satunya yaitu refleksitas self, yang mengandung arti bahwa evaluasi
diri lebih kompleks daripada evaluasi objek eksternal.
3. Self-esteem ini merupakan sikap yang menyangkut keberhargaan individu
sebagai seseorang yang dilihat sebagai suatu variabel yang penting dalam
berperilaku karena self-esteem sendiri bekerja untuk atau melawan dalam
situasi tertentu.
Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rosenberg, Minchiton (1995)
menjabarkan self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal, melainkan sebuah
kombinasi dari beragam sifat dan perilaku individu. Tiga aspek self-esteem, yaitu :
a. Perasaan Mengenai Diri Sendiri
Menerima diri sendiri, individu dapat menerima dirinya secara nyata dan
dirinya penting. Menghargai keberhargaan dirinya sendiri, dengan
memaafkan atau memaklumi diri sendiri atas ketidaksempurnaan dirinya
dan juga atas kesalahan yang telah dibuatnya.dan dapat memegang kendali
atas emosi diri sendiri. Individu yang mempunyai self-esteem rendah tidak
dapat atau sulit untuk dapat menerima dirinya sendiri.
b. Perasaan Terhadap Hidup
Dapat menerima kenyataan dan tanggung jawab atas setiap perjalanan
hidup yang dialaminya. Harapan dan realitas dimana seseorang yang
memiliki self-esteem yang tinggi akan membangun harapan atau cita-cita
berdasarkan realitas yang berkaitan dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dapat memegang kendali atas dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem
yang tinggi tidak berusaha mengendalikan orang lain. Sebaliknya, ia akan
dengan mudah menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapinya.
c. Perasaan dalam Kaitannya dengan Orang Lain
Individu dapat menghormati orang lain dan memiliki toleransi terhadap
orang lain. Seorang yang memeiliki self-esteem tinggi akan mudah
menerima kekurangan orang lain, fleksibel dan tidak memaksakan
nilai-nilai atau keyakinan pada orang lain, ia percaya bahwa setiaap orang,
termasuk dirinya mempunyai hak yang sama dan patut dihormati.
Bijaksana dalam melakukan hubungan dengan orang lain dimana
seseorang dengan self-esteem tinggi akan menjadi orang yang memiliki
sikap asertif, sikap dapat “meraangkul” yang didalamnya terdapat unsur
sekaligus mengakui kebutuhan orang lain. Ia mengetahui apa yang
diinginkan dan tidak takut mewujudkannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Psikolog Universitas California terhadap
sejumlah responden dalam rentang usia 6 sampai 83 tahun, diperoleh hasil bahwa
secara umum perkembangan self-esteem seseorang mengikuti pola yang sama,
yaitu, stabilitas self-esteem masa anak-anak adalah rendah, kemudian
menunjukkan peningkatan selama masa remaja dan dewasa awal, kemudian
menurun pada paruh baya dan lanjut usia (Trzesniewski, 2003).
2.4.3 Pengukuran Self-esteem
Alat ukur untuk mengukur self-esteem telah banyak digunakan oleh penelitian
terdahulu. Heatherton dan Wyland (2003) menyebutkan beberpa alat ukur
diantaranya Janis-Field Feelings of Indequancy Scale, The Rosenberg Self-esteem
scale, The State Self-esteem Scale (SSES: Heatherton & Polivy, 1991),
Self-esteem Inventory (Minchiton, 1995). Setiap alat ukur memiliki fungsi berbeda,
sehingga digunakan dalam situasi dan usia yang berbeda pula.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan
oleh Rosenberg. Peneliti mengadaptasi terlebih dahulu alat ukur The Rosenberg
Self-esteem scale dalam penelitian cyberbullying oleh Hinduja dan Patchin (2010)
2.5Remaja
2.5.1 Definisi Remaja
Remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan ketika seseorang berada
pada rentang usia 11 – 18 tahun (hurlock, 1994). Perkembangan adalah proses bertambahnya kematangan seseorang. Senada dengan Papalia, Olds, dan Feldman
(2009), masa remaja adalah masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke
masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan
psikososial.
2.5.2 Ciri-ciri Masa Remaja
Hurlock (1994) menjelasakan masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Seperti :
1. Periode yang Penting
Perkembangan fisik yang cepat yang disertai perkembangan mental yang
cepat, terutama masa awal remaja. Hal tersebut menjadi hal yang penting
karena akibat baik jangka pendek ataupun jangka panjang dari
perkembangan yang cepat tersebut dapat memberikan dampak yang tidak
diduga pada fase selanjutnya. Menjadi penting bagi orangtua dalam
mengawasi dan membentuk sikap dan nilai-nilai pada fase ini.
2. Periode Peralihan
Peralihan tahapan masa remaja ini sangat bergantung dari masa
sebelumnya, karena peralihan yang disebut disini bukan bersifat putus