• Tidak ada hasil yang ditemukan

Enam Belas

Dalam dokumen Luna Torashyngu - Lovasket (Halaman 105-110)

SEJAK itu, Vira jadi akrab dengan Rei. Nggak cuma saat malam Minggu, di sekolah mereka juga ngobrol kalau ketemu, bahkan sampai lama dan cekikikan. Itu sudah cukup bikin gosip berkembang di sekolah bahwa Rei ada apa-apa dengan Vira. Apalagi penampilan Vira sekarang bikin dia langsung masuk ke jajaran cewek favorit di SMA 31, bikin cowok-cowok jadi punya target baru. Hampir tiap hari ada saja cowok-cowok anak kelas 3 dan 2 yang cari-cari kesempatan buat kenalan dan ngobrol dengan Vira, tapi sejauh ini Vira cuek-cuek saja!

Mungkin ini juga berlaku untuk Rei. Biar bagaimanapun kan dia cowok normal yang bisa tertarik kalau lihat cewek cakep.

“Vira lagi ngobrol ama Rei di kantin tuh,” lapor Amalia ke Niken di kelas, saat dia baru balik dari kantin saat jam istirahat.

Niken nggak merespons laporan Amalia. Dia masih asyik nulis di bukunya. “Ken!” panggil Amalia di dekat kuping Niken, bikin dia kaget.

“Ada apa sih?” tanya Niken agak keras. “Kamu denger nggak tadi aku ngomong?” “Denger. So what?”

“Kamu nggak jealous liat Vira akrab ama Rei?”

“Jealous? Kenapa harus jealous? Emang apa hubunganku ama Rei? Kami cuman temen kok. Dan kalo Rei emang suka ama Vira, ya biarin aja. Itu hak dia.”

“Tapi…”

“Mo ke mana?” tanya Amalia. “Ke ruang OSIS!”

* * *

Hari ini emang ada yang aneh dengan Niken. Sikapnya agak jutek ke semua orang, nggak seperti biasa. Tentu bukan karena dia cemburu dengan kedekatan Rei dan Vira, tapi karena masalah lain. Mosi nggak percaya yang dilakukan sejumlah ekskul rupanya sudah sampai ke Pak Danang, pembina OSIS SMA 31. Kemarin Niken dipanggil Pak Danang untuk menjelaskan semuanya. Akhirnya Pak Danang minta Niken untuk membatasi kehadirannya di ekskul basket. Posisi pemantau ekskul basket pun diminta untuk diserahkan ke orang lain. Pendeknya, Niken hanya menerima laporan saja dari pengurus OSIS lain.

Tapi, apa betul Niken nggak cemburu pada Vira? Apa dia memang menganggap Rei cuma sebagai temen? Nggak jelas juga. Soalnya di ruang OSIS, bukannya konsentrasi bikin draft laporan yang tadi lagi dikerjain, Niken malah kebanyakan melamun. Ucapan Amalia di kelas tadi ternyata jadi pikirannya juga.

Masa sih aku cemburu ama Vira? Rei kan aku anggap cuman temen, dia juga nganggap aku temen. Lagi pula wajar kalo Rei suka ama Vira. Vira lebih cantik dan mereka punya hobi sama, yaitu maen basket.

Tapi… apa bener Rei suka ama Vira? Dan apa Vira juga suka ama Rei?

Saking khusyuknya melamun, Niken sampai nggak mendengar bel tanda masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu.

* * *

“Apa sebaiknya aku ngundurin diri aja jadi ketua OSIS?” tanya Niken pada Vira saat mereka berdua latihan basket di lapangan dekat kompleks. Selain latihan di sekolah, Vira memang sering latihan bareng Niken di sore hari, sekalian ngajarin Niken main basket. Ternyata Niken

lumayan berbakat juga. Paling nggak dia sudah bisa beberapa teknik dasar seperti dribble,

shooting, dan passing, walau belum bisa disebut jago.

“Alasannya apa?” tanya Vira.

“Lho… kalo pada udah nggak percaya ke aku, buat apa aku tetap jadi ketua OSIS? Lagi pula sebetulnya, aku emang dari dulu nggak punya niat kok jadi ketua OSIS, cuman temen-temen aja yang rame-rame nyalonin aku saat pemilihan. Aku nggak mau ngecewain mereka, makanya aku maju aja, dan kupikir juga nggak bakal menang. Eh malah jadi wakil ketua, trus jadi ketua.”

“Nah… itu masalahnya…” Vira memasukkan bola ke ring. “Berapa orang sih yang ngajuin mosi nggak percaya ama kamu? Dan kalo dihitung-hitung, berapa total dari anggota ekskul itu yang nggak percaya ama kamu, dibanding mereka yang masih percaya dan tetap ngarepin kamu jadi ketua OSIS? Kamu harus perhatiin juga mereka, jangan cuman perhatiin mereka yang protes ama kamu.”

Ucapan Vira membuat Niken jadi mikir juga.

“Bener juga ya kata kamu. Makasih ya atas masukannya,” ujar Niken kemudian. Vira memerhatikan Niken yang mencoba memasukkan bola ke ring.

“Ken… aku mo minta maaf,” kata Vira. Ucapan itu bikin Niken menghentikan apa yang sedang dilakukannya.

“Minta maaf? Minta maaf apa?” tanya Niken heran. Setahu dia Vira nggak punya salah ke dirinya.

“Mungkin kamu udah lupa. Peristiwa dulu, saat kita tabrakan di IP. Kamu jatuh, dan benda yang kamu bawa pecah.”

“Kamu masih ingat itu?” tanya Niken. Vira mengangguk.

Sebetulnya Vira bohong. Dia sama sekali sudah lupa kejadian di IP dulu, kalau saja Aji secara nggak sengaja cerita soal adiknya yang waktu itu pengin membelikan dia kenang-kenangan saat akan berangkat ke Australia. Untuk itu Niken memesan patung dirinya sendiri dari kristal, dan memakai hampir seluruh uang tabungannya. Pesanan patung itu selesai dalam waktu seminggu, dan saat diambil oleh Niken, dia malah tabrakan dengan murid SMA lain, hingga patung yang dibawanya jatuh dan pecah.

“Niken nangis seharian setelah kejadian itu, sampe aku harus ngebujuk dia dengan bilang, patung itu bukan apa-apa, yang penting perhatian dia, dan aku senang punya adik yang perhatian seperti dia. Walau kadang-kadang Niken bawel dan suka sewot ama aku, dia sebetulnya perhatian,” kata Aji waktu makan bareng Vira di foodcourt BIP itu.

Kata-kata Aji itu bikin ingatan Vira terbuka. Pantas saat pertama kali bertemu Niken di rumahnya, Vira merasa pernah melihat Niken sebelumnya.

Niken melangkah ke pinggir lapangan sambil memegang bola basket tanpa berkata apa-apa. Sikap Niken itu bikin Vira ragu-ragu. Apa Niken mau maafin dia? atau jangan-jangan dia marah karena jadi ingat peristiwa dulu?

“Ken, kamu mau maafin aku, kan?” tanya Vira lagi. Niken duduk di bangku semen di pinggir lapangan. “Kamu masih marah, ya?”

Niken menatap Vira yang masih berdiri di tengah lapangan.

“Kalo aku nggak maafin kamu, aku nggak bakal masukin kamu ke tim basket. Aku nggak mungkin juga mau berteman ama kamu.”

“Maksud kamu?”

“Aku nggak pernah lupa kok kejadian itu. Saat pertama kali liat kamu, aku juga udah inget kamu.”

“Jadi, kamu nggak pernah lupa? Kamu inget aku udah dari dulu?” Niken tersenyum.

“Kenapa kamu nggak ngomong dari dulu?”

“Untuk apa? Kalo aku ngomong pada sosok Vira yang dulu, apa akhirnya dia akan berubah seperti sekarang?”

Dalam hati, Vira membenarkan kata-kata Niken. “Lalu gimana dengan Lia?”

“Dia juga masih ingat. Tapi jangan khawatir. Aku udah kasih pengertian ke dia. Dia juga udah maafin kamu kok.”

“Termasuk maafin Diana juga? Aku juga minta maaf atas nama Diana, yang udah marah-marah ke kamu dan Lia waktu itu.”

“Diana itu temen kamu yang baru aja meninggal, kan?” Vira mengangguk.

“Kami udah maafin semuanya. Dan aku juga udah ngelupain soal itu. Jangan dibahas lagi yaaa…”

Vira lagi-lagi cuma bisa mengangguk sambil tersenyum, membalas senyuman Niken. Kak Aji benar, Niken emang bawel, tapi dia penuh perhatian ke siapa aja! batin Vira.

* * *

Malam harinya, mama Vira heran melihat pintu kamar Vira nggak tertutup rapat. Nggak biasanya Vira kalo tidur kamarnya nggak ditutup! katanya dalam hati.

Penasaran, mama Vira mendatangi kamar putrinya. Melalui pintu, dia melihat Vira tertidur lelap. Kayaknya dia kecapekan, karena tidurnya masih mengenakan baju yang dipakainya dari sore. Tapi pada wajah Vira yang kecapekan itu, ada seulas senyum kecil. Senyum kebahagiaan.

Terima kasih Niken! Kamu udah mengembalikan kehidupan Vira, bahkan lebih baik dari Vira yang dulu! batin mama Vira. Nggak terasa, air mata keluar membasahi kedua pipinya. Selama menjalani kehidupan berat dalam beberapa bulan terakhir ini, baru kali ini hati mama Vira dipenuhi kebahagiaan.

Sekarang tinggal satu hal lagi yang harus dilakukannya untuk Vira. Ini jauh lebih berat, dan mama Vira sendiri nggak tahu bagaimana caranya.

Dalam dokumen Luna Torashyngu - Lovasket (Halaman 105-110)

Dokumen terkait