MALAM minggu…
Seperti janjinya, Rei menjemput Vira di rumahnya. Yang aneh, Rei minta Vira bawa baju dan celana basket, lengkap dengan sepatunya. Itu yang bikin Vira heran. Memangnya dia mau main basket malem-malem?
Rei cuma nyengir saat Vira nanya untuk kesekian kalinya mereka mau ke mana. “Ada deh… pokoknya kamu bakal enjoy di sana.”
“Kamu nggak ke rumah Niken?”
Kali ini cowok itu terdiam mendengar pertanyaan Vira. “Ngapain ke rumah Niken?” jawabnya kemudian. “Lho… bukannya kamu dan dia…”
“Niken tuh temenku dari SMP. Kami cuman temenan kok.” “Ooo… gitu…”
* * *
Rei membawa Vira ke daerah di sekitar Jalan Braga. Di daerah situ banyak bertebaran karaoke, diskotek, dan pub-pub malam. Sebagai bekas anak dugem, Vira pernah memasuki hampir sebagian besar di antaranya.
Rei memarkir motornya di halaman parkir salah satu pub malam. “Kita mo ke sini, Rei?” tanya Vira.
“Nggak. Aku parkir motor di sini karena tempatnya harus lewat gang. Lebih aman parkir di sini.”
Lebih aman? tanya Vira dalam hati. Tapi dia nggak mau bertanya lebih lanjut. Soalnya pasti Rei nggak mau jawab.
Mereka menyelusuri gang yang sempit dan gelap di sebelah pub. Setelah berjalan sekitar tiga ratus meter, akhirnya Vira dan Rei sampai ke tujuan mereka.
Ternyata di balik gang-gang sempit di daerah itu terdapat lapangan basket, walau hanya berukuran setengah dari ukuran lapangan yang sebenarnya. Ring basketnya juga cuma satu. Lapangan basket itu terang benderang disinari lampu-lampur sorot yang ada di setiap sisinya. Sisi lapangan basket dikelilingi pagar ram dari kawat.
“Streetball?” tanya Vira lirih. “Kamu udah tau, kan?” jawab Rei.
“Setiap malem minggu, arena ini selalu penuh dengan pecinta streetball. Mereka membentuk komunitas tersendiri. Sebetulnya setiap hari sih selalu ada yang maen, siang atau malam. Tapi biasanya malem minggu yang paling rame,” lanjutnya.
Vira memang melihat ada puluhan orang berkerumun di sekitar lapangan, yang disebut arena oleh Rei. Sementara itu di dalam arena, ada enam orang lagi bermain basket.
“Biasanya kami maen 3 on 3, walau kadang-kadang juga bisa 2 on 2 atau 1 on 1. Tergantung kesepakatan aja,” Rei menjelaskan. Mereka duduk di sebuah bangku yang ada di sekitar arena.
“Apa masyarakat sini nggak terganggu?”
“Nggak. Tempat ini dikelilingi pub malam, diskotek, dan karaoke. Suara-suara dari sini tenggelam ama suara-suara musik dari tempat itu. Kalo warga sekitar protes, tempat-tempat itu yang bakal kena protes duluan. Nah, itu yang resminya. Paling nggak yang diketahui warga sekitar sini,” kata Rei.
“Maksud kamu?”
“Warga sekitar sini taunya tempat ini sebagai tempat latihan basket dan kumpul-kumpul di malam minggu.”
“Seperti itu…” Rei menunjuk seorang cowok dengan rambut ala Bob Marley yang berdiri nggak jauh darinya. Orang itu sibuk menerima uang dari beberapa orang. Di sampingnya ada cowok bertubuh kurus yang sibuk menulis sesuatu di selembar kertas.
“Banyak yang ngerasa, bertanding kayaknya kurang seru kalo nggak pake taruhan,” ujar Rei.
“Tapi itu kan judi.”
“Makanya aku parkir motor di depan. Buat jaga-jaga aja kalo tempat ini digrebek,” balas Rei sambil nyengir. “Tapi paling nggak, ini lebih baik daripada judi kartu atau judi-judi yang lain. Di sini kita kan berusaha untuk bisa menang, sekaligus olahraga. Kalopun nggak dapet uangnya, ya minimal badan kita jadi seger. Kalo dapet uangnya, ya anggap aja itu bonus. Gimana? Kamu masih mau beli sepatu nggak?” tanya Rei.
Vira melihat ke sekelilingnya. Emang ada juga cewek di tempat ini. Tapi hampir semuanya cuma jadi penonton atau mungkin cuma ikut cowoknya ke tempat ini. Nggak ada yang jadi pemain.
“Tapi aku belum pernah maen streetball. Katanya peraturannya beda dengan basket biasa.” “Nggak beda jauh kok. Basic-nya sama aja. Kamu pasti bakal bisa cepet nyesuaiin.”
“Apa kamu yakin aku bakal bisa? Keliatannya yang maen jago-jago,” tanya Vira sambil memerhatikan arena.
“Pasti bisa. Aku yakin. Dan kamu juga bisa sekalian latihan, kan? Jadi kamu bisa menambah jam terbang kamu. Asal kamu tau, banyak pemain basket NBA awalnya juga pemain streetball. Banyak pemain streetball yang punya skill bagus, bahkan lebih bagus dari pemain klub atau pemain nasional.”
Kalo itu sih Vira sudah tau. Dia juga pernah mendengar kemampuan pemain streetball kadang-kadang nggak kalah dari pemain klub profesional. Biasanya mereka nggak suka terikat, dan menganggap basket sebagai hobi saja, jadi nggak masuk klub mana pun.
“Gimana?” tanya Rei lagi.
“Apa cewek juga boleh ikut maen?” Vira balik bertanya. Sebagai jawaban Rei menepuk pundak Vira sambil tersenyum.
* * *
Rei benar. Walaupun awalnya Vira kagok main basket bareng cowok (apalagi ini streetball, di mana peraturan kontak fisik lebih longgar. Bentoran keras atau didorong lawan sampai ngebentur ram sih udah biasa) dan kalah, tapi lama-lama dia bisa beradaptasi. Bareng Rei dan salah seorang temannya, Vira menang di game berikutnya. Bahkan penampilannya yang bisa mengungguli pemain cowok membuat kagum penonton. Dalam semalam, Vira udah jadi favorit penonton di situ.
“Lumayan, Rei,” kata Vira saat sampai di depan rumahnya. Keringat melelehi wajahnya, walau begitu Vira kelihatan senang. Dia menemukan kembali dunianya. Bisa menikmati permainan basket yang sesungguhnya yang bahkan nggak dia dapatkan saat masih di SMA Altavia.
“Udah bisa buat beli sepatu, kan?” tanya Rei.
“Masih kurang dikit sih… tapi no problem lah. Mungkin minggu depan baru bisa kebeli.” “Kamu mau maen lagi di sana minggu depan?”
Vira menatap wajah Rei yang sebagian masih tertutup helm. Cuma matanya yang kelihatan. “Kenapa? Kamu mo ngajak aku lagi, kan?”
“Kalo kamu mau, kenapa nggak? Lagian kalo minggu depan aku nggak bawa kamu, bisa dimarahin ama yang lain. Kamu kan udah jadi favorit penonton.”
“Bisa aja kamu,” Vira memukul pelan bahu Rei. “Udah yaa… udah malem. Kamu nggak masuk dulu?”
“Nggak deh… salam aja buat ibu kamu.”
“Ya udah kalo gitu. Sampe ketemu besok di latihan.” Vira lalu membuka pintu pagar rumahnya.
“Vi…,” panggil Rei tiba-tiba, membuat Vira menoleh. Rei membuka helmnya.
“Kamu nggak usah nunggu minggu depan untuk beli sepatu. Besok aja belinya,” ujar Rei. “Maunya sih… tapi kan duitnya belum cukup.”
“Ambil aja uang kemenanganku,” katanya sambil menyodorkan beberapa lembar uang pecahan lima puluh dan seratus ribuan pada Vira.
Vira tertegun sambil memandang uang pemberian Rei.
“Nggak, Rei. Aku nggak mau nerima uang kamu. Itu jatah kamu,” kata Vira.
“Nggak papa kok. Aku kan belum begitu butuh sekarang. Kalo kamu nggak mau terima, anggap aja ini utang. Minggu depan kamu bayar dari uang kemenangan kamu. Gimana?”
“Enggg… tapi…”
“Udah… nggak usah mikir. Ntar keburu sepatunya dibeli orang, kamu nyesel lho!”
Setelah berpikir cukup lama, Vira akhirnya memutuskan menerima uang dari Rei. Pikirnya, toh sama aja, minggu depan dia bakal membayar utangnya kalau menang.
“Makasih ya…” Rei cuma tersenyum.