• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tiga Belas

Dalam dokumen Luna Torashyngu - Lovasket (Halaman 86-92)

SETELAH kedatangannya di hari Minggu, Vira nggak mendapat kabar apa pun lagi soal Diana. Dia juga nggak berniat menelepon, sekadar bertanya soal kehamilannya. Vira belum benar-benar bisa melupakan sikap Diana padanya dulu. Dan lagi, dia pikir Diana baik-baik saja karena nggak pernah menghubunginya lagi.

Sampe lima hari setelah kedatangan Diana, saat akan berangkat sekolah, HP Vira berbunyi. Dari Diana!

“Halo?”

“Vi, gue dikeluarin dari sekolah…,” suara Diana terdengar lirih dan bergetar. Sepertinya dia ngomong sambil nangis.

“Na…”

“Mereka bilang gue bikin malu nama sekolah. Tanpa mau denger penjelasan gue, mereka langsung ngeluarin gue.”

“Na, lo di mana?”

“Kalo mereka menganggap gue bikin malu nama sekolah, gue akan bener-bener bikin malu nama sekolah. Makasih, Vi, lo mau dengerin semua curhat gue kemarin, walau gue tau lo masih benci ama gue. Gue juga mohon lo maafin semua kesalahan gue ke lo. Bagi gue, lo tetep sahabat terbaik yang pernah gue punya. Gue seneng punya sahabat kayak lo. Selamat tinggal, Vi. Jaga diri lo baik-baik…”

Setelah itu Diana memutuskan hubungan telepon. “Halo? Diana?”

“Dari siapa?” tanya mamanya yang ada di deket Vira. “Dari Diana, Ma.”

Heran dan penasaran dengan ucapan Diana, terutama kata-kata terakhirnya, Vira mencoba menghubungi HP Diana. Tersambung, tapi nggak diangkat. Dia mencoba beberapa kali, tapi sama saja, hingga akhirnya terdengar suara mailbox yang mengatakan nomor yang dihubungi nggak aktif atau di luar jangkauan.

Aneh! batin Vira. Tiba-tiba perasaannya jadi nggak enak. * * *

“Udah nyerah nih?”

Suara Rei membuat Niken yang lagi membuat catatan nggak jelas di perpustakaan sepulang sekolah menoleh.

“Jangan sekarang deh, Rei,” balas Niken. Wajahnya keliatan suntuk. Rei duduk di sebelah Niken.

“Ada apa sih?” tanya Rei.

“Mosi nggak percaya,” jawab Niken pendek. “Hah?”

“Pengurus ekskul yang lain pada protes, kenapa aku nggak pernah ngelongok kegiatan ekskul mereka lagi. Mereka pikir aku berat sebelah, selalu ngutamain basket. Apalagi setelah mereka denger usahaku bikin tim basket cewek jadi bagus. Padahal udah aku jelasin kalo pemantauan kegiatan ekskul tuh nggak dilakukan aku sendiri, tapi udah dibagi-bagi ke setiap pengurus OSIS. Misalnya PA oleh Andi, voli oleh Rika, sedang aku sendiri memantau basket. Tapi mereka nggak mau ngerti. Bagi yang lain, mungkin nggak afdal kalo kegiatannya nggak dilongok Ketua OSIS, walau aku udah ngomong panjang-lebar bahwa siapa pun orangnya, bobot penilaiannya tetap sama. Hasil pemantauan tiap-tiap ekskul nanti akan dibahas semuanya dalam rapat OSIS sebelum kita membuat laporan ke Pak Atmo. Jadi nggak ada yang diistimewakan, termasuk basket sekalipun.”

Niken mengangguk.

“Mereka mo bilang soal ini ke Pak Danang. Bahkan ada yang mo usul untuk ngadain pemilihan ulang Ketua OSIS.”

Mendengar itu, Rei menggeleng-geleng. “Konyol banget sih mereka, kayak anak-anak aja. Ngambek kalo nggak diperhatiin. Padahal ekskul mereka justru lebih punya harapan daripada basket. Justru kami yang lebih ketar-ketir.” Rei terdiam sejenak. “Kalo gitu, sebaiknya kamu nggak usah ikut lagi bantuin basket. Urungin aja niat kamu bikin tim cewek jadi lebih bagus. Lagian Vira juga nggak mau kan masuk ekskul basket?”

“Kamu tau Vira orangnya?” “Rida yang bilang…”

Dasar Rida ember, nggak bisa pegang rahasia! rutuk Niken dalam hati.

“Sori, tapi aku tetap akan berusaha masukin dia ke tim. Aku akan berusaha supaya dia maen basket lagi. Biarin aja yang lain bikin mosi nggak percaya. Nanti juga terbukti tuduhan mereka sama sekali nggak bener,” tukas Niken.

“Kamu kenapa sih ngotot gitu?” “Karena aku udah janji.”

“Janji? Janji ke siapa? Kamu nggak pernah janji ke aku.”

“Bukan ama kamu…” Niken menatap Rei. “Aku janji ke seseorang. Janji untuk mengembalikan hidup Vira seperti semula,” tandas Niken.

* * *

Acara pemakaman Diana Riantanu baru selesai saat Vira datang. Dia emang memutuskan datang ke acara pemakaman di saat-saat terakhir, dengan konsekuensi bakal ketemu bekas teman-teman dan guru-gurunya di SMA Altavia. Tapi hari ini Vira memang sial. Saat lagi buru-buru, angkot yang ditumpanginya kebanyakan ngetem di pinggir jalan, nunggu penumpang lain. Belum lagi jalanan yang mendadak macet karena ditutup saat ada rombongan presiden lewat. Jadinya dia terlambat.

Diana emang dimakamkan sore itu juga, setelah pagi harinya bunuh diri dengan melompat dari atap gedung SMA Altavia yang berlantai tiga, tepat setelah menelepon Vira. Vira sendiri baru tahu dua jam setelah kejadian, setelah Amel menelepon. Itu menjawab pertanyaan kenapa HP Diana nggak aktif saat balik ditelepon Vira. HP-nya dibuang dulu ke bawah sebelum Diana menyusul melompat.

Apa yang ditakuti Vira akhirnya terjadi juga. Dia berpapasan dengan Stella bareng teman-teman sekelasnya. Stella kelihatan kaget juga melihat Vira, apalagi melihat rambut panjangnya.

“Lo! Ngapain lo ke sini?!” bentak Stella.

“Gue pengin menghadiri pemakaman temen gue!” balas Vira nggak kalah sangar, walau dengan suara yang lebih pelan.

“Temen? Siapa temen lo? Diana? Lo kira lo pantes jadi temen dia?!”

“Oya?” Vira menatap tajam ke arah Stella. Pengin rasanya dia menampar cewek itu lagi, tapi keinginan itu ditahannya.

“Lalu ke mana temen-temen Diana saat dia butuh bantuan? Ke mana temen-temen Diana saat dia lagi bingung dan tertekan karena tau dirinya hamil dan nggak ada yang mau tanggung jawab? Ke mana temen-temen Diana saat dia butuh dukungan dan bukannya malah nyuruh dia aborsi?”

Stella cuma diam. Vira segera meninggalkan Stella dan teman-temannya. Dia nggak pengin lama-lama melihat wajah yang paling dibencinya itu.

“Dari mana dia tau semua tentang Diana?” tanya Lisa pada Stella. “Dari siapa lagi…” Stella menatap Vira yang sedang memeluk Amel.

“Lo mo ngerjain Amel, Stel? Gue saranin jangan. Robi aja nggak berani macem-macem ke dia.”

Stella nggak menanggapi ucapan Lisa.

* * *

Meninggalnya Diana bikin perasaan Vira jadi terpukul. Dia menyesal karena bersikap sedikit tak acuh saat Diana datang ke rumahnya. Bahkan yang gawat, Vira menganggap sikapnya itu

menjadi salah satu penyebab Diana bertindak nekat. Sampe dua hari Vira mengurung diri di kamar cuma melamun sambil memandangi foto-foto Diana bareng dirinya, dan bareng anggota The Roses lainnya. Dia bahkan sampai nggak sekolah. Bagaimanapun, Diana adalah temen yang paling deket setelah Amel saat Vira masih di SMA Altavia.

“Aku cuek aja pas dia butuh bantuan. Kalo aja waktu itu aku nolong Diana dan membangkitkan semangat dia, pasti Diana nggak bakal bunuh diri,” kata Vira saat Amel datang ke rumahnya. Vira lalu meneteskan air mata dalam pelukan Amel, sambil memandangi foto yang dipegangnya. Foto The Roses saat mereka berlima pergi ke Dufan.

“Kamu nggak salah. Diana juga nggak nyalahin kamu. Bukannya kata kamu, di saat-saat terakhirnya, Diana bilang kamu adalah sahabat terbaiknya? Itu berarti, dia menganggap kamu udah nolong dia…”

Mendengar ucapan Amel, Vira melepas pelukan sahabatnya.

“Diana juga bilang, sekolah ngeluarin dia karena dianggap bikin malu nama sekolah. Dan dia bener-bener akan bikin malu nama sekolah,” kata Vira.

“Kalo itu Amel nggak tau maksudnya.”

“Gampang aja. Berita bunuh diri Diana tersebar di mana-mana. Beritanya ada di setiap koran, bahkan hingga ke TV. Dan mau nggak mau, nama SMA Altavia pasti disorot. Diana bener-bener bikin malu nama sekolah.”

“Ya… tadi aja masih banyak wartawan di luar pager sekolah, di samping polisi yang masih masang garis kuning di tempat Diana jatuh,” ujar Amel.

Tapi Vira nggak mendengar kata-kata Amel. Dia sibuk memikirkan ucapan terakhir Diana di HP sebelum bunuh diri.

Bikin malu SMA Altavia? Kenapa nggak? pikir Vira. * * *

Suatu sore, Niken sendirian berada di tengah lapangan basket dekat rumahnya. Beberapa kali dia mencoba memasukkan bola ke ring. Tapi selalu gagal. Bahkan lemparannya dari jarak normal juga nggak bisa sampe ke ring, walau dia udah melempar sekuat tenaga.

Ternyata susah juga maen basket! kata Niken dalam hati. Padahal kalau dia melihat pertandingan NBA di TV, enak banget para pemainnya mempermaikan bola sekehendak hati, melempar serta menembak bola ke ring kayak melempar batu saja.

Emang udah beberapa hari ini Niken latihan basket sendiri. Dia pengin juga bisa main basket, walau mungkin cuma dasarnya. Niken tadinya minta Vira buat melatih dirinya, tapi Vira malah marah-marah. Niken juga malu untuk minta Rei melatihnya (padahal dia nggak malu waktu pinjem bola ke Rei waktu itu).

Setelah mengambil napas, Niken siap-siap menembak bola ke ring lagi. Kali ini dia nggak langsung melempar, tapi memerhatikan dulu ring sasarannya. Tangannya yang memegang bola pun mulai terangkat, dan…

“Jangan pake kekuatan pergelangan tangan. Pake kekuatan lengan kamu untuk mendorong bola, pasti bolanya bakal nyampe ke ring.”

Suara lembut itu berasal dari belakang Niken, membuat dia menoleh. Niken setengah nggak percaya begitu melihat siapa orang yang baru “ngajarin” dia.

Dalam dokumen Luna Torashyngu - Lovasket (Halaman 86-92)

Dokumen terkait