• Tidak ada hasil yang ditemukan

(a) Parameter Operasi Proses Enkapsulasi Rendemen

Rendemen produk terbaik dapat dilihat pada Gambar. 11, dimana formulasi A1B2C1 merupakan formulasi yang memiliki jumlah rendemen tertinggi yaitu

37

sebesar 69,18% dari persentase rata-rata 66,24%. Rendemen dari seluruh perlakuan formulasi berkisar antara 61,25% - 69,18%, nilai ini dihitung berdasarkan jumlah produk yang dihasilkan dari proses pengeringan dan kemudian dibandingkan dengan jumlah padatan awal yang digunakan dalam proses. Rendemen yang dihasilkan memiliki perbedaan nilai cukup signifikan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan bakteriosin, yaitu antara lain kontinuitas kerja alat yang terganggu dan proses homogenisasi yang tidak sempurna sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan celah nozzle.

Persentase rendemen yang didapat memiliki nilai yang jauh dari rendemen ideal yakni 100%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terlalu kecilnya jumlah sampel yang digunakan yaitu sebanyak 250 ml dengan persentase rendemen tertinggi yaitu sebesar 69,18% (A1B2C1), sedangkan pada pengujian sampel

sebanyak 1000 ml didapatkan hasil rendemen tertinggi sebesar 84,61%. Dalam hal ini jumlah rendemen yang didapat dipengaruhi oleh banyaknya kehilangan bobot produk pada cyclone pengering, jenis bahan pengkapsul yang digunakan serta penanganan produk pasca proses yang tidak sempurna.

Gambar. 11 Kurva Persentase Rendemen Serbuk Bakteriosin SCG 1223

Tingginya konsentrasi bahan pengkapsul dengan bobot molekul tinggi akan mempengaruhi jumlah rendemen yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahan pengkapsul maltodekstrin dan skim milk, semakin tinggi jumlah skim milk yang digunakan maka efisiensi hasil yang didapatkan semakin tinggi. Maltodekstrin yang berbobot molekul rendah mengakibatkan produk yang

38

keluar ruang pemanas menumpuk pada dinding cyclone pemisah sehingga terjadi penempelan produk yang mengakibatkan bobot produk akhir berkurang.

Kadar Air

Kurva kadar air produk bakteriosin dilukiskan pada Gambar. 12, formulasi bahan pengkapsul terbaik dengan kadar air terendah terdapat pada perlakuan A3B2C1 dengan kadar air sebesar 1%. Faktor komposisi bahan pengkapsul

merupakan faktor yang berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air bahan (P<5%). Terdapat interaksi diantara ketiga faktor yang dikombinasikan, yaitu formulasi bahan pengkapsul, persentase bakteriosin dan suhu umpan pengeringan dengan nilai P-value berada dalam selang kepercayaan 95% (P<5%) terhadap kandungan kadar air bahan. Kadar air bahan berkaitan dengan penggunaan suhu pengeringan, dimana suhu keluaran pengeringan memberikan pengaruh yang besar terhadap produk yang dihasilkan.

Dari hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2), terlihat bahwa ketiga faktor komposisi pengkapsul memiliki pengaruh yang sangat nyata dengan hasil yang berada pada kelompok yang berbeda. Komposisi pengkapsul terbaik ditunjukkan dengan kandungan kadar air bahan yang terendah. Aktivitas hambat dari serbuk bakteriosin juga dipengaruhi oleh persentase kadar air serta persentase kelarutan serbuk bakteriosin yang dihasilkan. Meningkatnya kadar air bahan akan menurunkan aktivitas hambat serbuk bakteriosin, sedangkan persentase kelarutan bahan memiliki pengaruh yang tidak nyata pada aktivitas hambat yang dihasilkan.

39 Kelarutan

Uji kelarutan pada tepung pati termodifikasi dan skim milk dilakukan untuk mengetahui berapa banyak bahan-bahan yang terlarut dalam air. Uji ini dilakukan dengan pemanasan, karena dengan pemanasan, bahan-bahan akan cepat melarut dibandingkan melarutkan bahan dalam keadaan dingin. Hasil pengujian kelarutan serbuk bakteriosin dari BAL SCG 1223, dapat dilihat pada Gambar 13, dimana persentase bahan terlarut tiga tertinggi yaitu terdapat pada perlakuan A1B2C2

(99,59%), A1B1C2 (98,64%) dan A2B2C1 (98,17%). Nilai kelarutan berkisar

diantara 61,25% - 99,59%, hal ini menunjukkan bahwa sampel tidak melarut sempurna dalam pelarut akuades. kelarutan dipengaruhi oleh penggunaan bahan pengkapsul dengan sifat kelarutan yang dimilikinya serta adanya faktor pemanasan larutan yang menjadikan produk terlarut didalamnya.

Gambar. 13 Kurva Persentase Kelarutan Serbuk Bakteriosin dari SCG 1223 (b) Aktivitas Hambat Serbuk Bakteriosin dari BAL SCG 1223

Proses pengkapsulan bakteriosin dari BAL SCG 1223 merupakan salah satu pengembangan yang dilakukan untuk mengubah bentuk bakteriosin cair menjadi serbuk bakteriosin. Efisiensi proses produksi diupayakan semaksimal mungkin agar mendapatkan rendemen yang tinggi disertai dengan nilai aktivitas hambat yang tinggi dari serbuk bakteriosin.

Dari hasil pengujian aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap bakteri indikator, dapat diketahui bahwa bakteriosin yang dikapsulkan oleh maltodekstrin dan kombinasi maltodekstrin - skim milk menunjukkan adanya aktivitas hambat yang relatif sama dengan bakteriosin cair. Hal ini ditunjukkan oleh nilai aktivitas

40

hambat 1453,06 AU/mL untuk pengkapsul maltodekstrin dan 2129,7AU/mL untuk pengkapsul kombinasi maltodekstrin - skim milk. Sedangkan untuk kombinasi maltodekstrin - sodium caseinate tidak menunjukkan adanya aktivitas hambat bakteriosin BAL SCG 1223 terhadap bakteri indikator yang diujikan. Hal ini disebabkan oleh sifat yang dihasilkan dari kombinasi bahan pengkapsul yang tidak sesuai dengan karakteristik bakteriosin dari BAL SCG 1223.

Escherichia coli

Aktivitas hambat yang dihasilkan dari ketiga formulasi bahan pengkapsul menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penghambatan bakteri

Escherichia coli. Hal ini dikarenakan komposisi bahan pengkapsul yang berbeda- beda dari setiap formulasi yang digunakan, dimana pada penghambatan terhadap bakteri E. coli ini formulasi A3 (66,67% maltodekstrin dan 33,33% skim milk) merupakan formulasi terbaik dengan nilai aktivitas hambat yang dihasilkan memiliki nilai tertinggi dari seluruh perlakuan formulasi yang diujikan pada bakteri E. coli yaitu sebesar 900,85 AU/ml. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa bakteriosin terkapsulkan dengan baik pada kombinasi pengkapsul A3. Kurva aktivitas hambat bakteriosin dari BAL SCG 1223 yang dipengaruhi oleh komposisi formulasi bahan pengkapsul terhadap bakteri E. coli dapat dilihat pada Lampiran 3.

Aktivitas hambat bakteriosin tertinggi terhadap bakteri E. coli terdapat pada formulasi bakteriosin B1 (20% bakteriosin (b/b)) dengan aktivitas hambat

sebesar 822,07 AU/ml. Faktor lain yang termasuk dalam proses pengkapsulan namun memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap aktivitas hambat bakteriosin pada bakteri E. coli yaitu antara lain suhu pengeringan, interaksi antara formulasi bahan pengkapsul dan persentase bakteriosin, interaksi antara formulasi bahan pengkapsul dan suhu pengeringan, interaksi antara persentase bakteriosin dan suhu pengeringan serta interaksi diantara ketiga perlakuan pengeringan, dapat dilihat nilai pengaruhnya pada Lampiran 4 dan Lampiran 5.

Pengaruh interaksi formulasi bahan pengkapsul, persentase bakteriosin dan suhu pengeringan memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin pada bakteri E. coli. Namun perlakuan formulasi A3B1C2 (formulasi pengkapsul 66,67% maltodekstrin, 20% bakteriosin cair dan

41

150oC suhu pengeringan) menunjukkan kombinasi terbaik yang menghasilkan aktivitas hambat tertinggi diantara perlakuan formulasi lainnya dengan nilai aktivitas hambat sebesar 945,32 AU/ml. formulasi pengkapsul tersebut memiliki nilai kadar air dan kelarutan sebesar 2,35% dan 48,22%. Tabel interpretasi ANOVA dan pengujian Duncan dari aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap

E. coli dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan kurva aktivitas hambat dari setiap formulasi yang dibandingkan dengan bakteriosin cair terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar. 14.

Salmonella thypimurium

Pada pengujian aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap bakteri

Salmonella thypimurium, komposisi bahan pengkapsul berpengaruh yang sangat nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin dengan nilai f hitung lebih kecil dari 5% (Lampiran 7). Hal tersebut berkaitan dengan komposisi bahan pengkapsul yang berbeda disetiap perlakuan, dimana sifat yang dimiliki oleh masing-masing bahan pengkapsul mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengkapsulkan bakteriosin. Selain itu faktor suhu pengeringan pun memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin (P<5%). Suhu pengeringan ini menentukan viabilitas bakteriosin yang tetap stabil atau menurun dari viabilitas bakteriosin sebelum dikapsulkan. Suhu masukan ini pun mempengaruhi suhu keluaran produk yang dihasilkan, dimana suhu keluaran mempengaruhi kadar air produk.

Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 8), faktor ketiga komposisi bahan pengkapsul berpengaruh sangat nyata dengan visualisasi pengelompokan (A, B, dan C) yang berada pada tiga kelompok yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga jenis komposisi bahan pengkapsul mempengaruhi aktivitas hambat bakteriosin yang telah dikapsulkan. Tampak bahwa perlakuan komposisi pengkapsul terbaik terhadap bakteri S. thypimurium yaitu pada perlakuan pengkapsul A2, dimana komposisi pengkapsul tersebut terdiri atas maltodekstrin

83,33% dan skim milk 16,67% dengan aktivitas rata-rata tertinggi sebesar 863,25 AU/ml.

Penggunaan suhu pengeringan yang terbaik yaitu suhu 150oC, pada perlakuan suhu tersebut terdapat aktivitas hambat serbuk bakteriosin yang

42

berbeda nyata diantara suhu 150oC dangan 170oC. Hal ini sejalan dengan rendahnya kestabilan aktivitas hambat serbuk bakteriosin pada suhu pengeringan yang tinggi. Tingginya suhu pengeringan bakteriosin dapat menyebabkan penurunan viabilitas bakteriosin yang dikapsulkan.

Listeria monocytogenes

Pada pengujian aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap bakteri indikator L. monocytogenes, faktor komposisi pengkapsul tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas hambat. Sedangkan faktor persentase bakteriosin berpengaruh yang nyata terhadap aktivitas hambat. Interaksi antara faktor komposisi pengkapsul dengan persentase bakteriosin memiliki pengaruh yang sangat berbeda nyata (P<5%) terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap L. monocytogenes (Lampiran 9). Hal ini sesuai dengan kemampuan bahan pengkapsul dalam mengkapsulkan bakteriosin yang digunakan yaitu sebanyak 20% (b/b) sampel.

Faktor interaksi antara komposisi bahan pengkapsul dan persentase bakteriosin yang dikapsulkan memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin yang dihasilkan pada bakteri L. monocytogenes. Faktor interaksi A dan B ini memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin pada bakteri indikator L. monocytogenes.

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10) terhadap faktor persentase bakteriosin serta interaksi persentase bakteriosin dengan komposisi bahan pengkapsul menunjukkan aktivitas yang berbeda nyata. Nilai persentase bakteriosin yang terbaik yaitu pada penggunaan bakteriosin 20% dengan nilai aktivitas hambat terhadap bakteri L. monocytogenes sebesar 977,31 AU/ml, sedangkan komposisi bahan pengkapsul dengan persentase bakteriosin saling berinteraksi terhadap aktivitas bakteriosin. Interaksi terbaik dari kedua faktor tersebut yaitu pada perlakuan A1B1C2 dengan komposisi bahan pengkapsul yang

terdiri atas maltodekstrin 100%, bakteriosin 20% (b/b) sampel serta suhu pengeringan 170oC. Dengan persentase kadar air bahan sebesar 4%. Kadar air terbaik terdapat pada perlakuan A3B2C1 dengan kadar air sebesar 1%. Nilai kadar

43

air bahan ini selain mempengaruhi aktivitas daya hambat, juga mempengaruhi umur simpan produk ketika dilakukan perlakuan penyimpanan produk.

Perbedaan suhu masukan digunakan untuk melihat dampak yang terjadi terhadap serbuk bakteriosin yang dihasilkan dengan parameter uji aktivitas hambatnya terhadap bakteri uji, dengan arti bakteriosin yang dikeringkan tersebut memiliki viabilitas maksimum sama besar dengan aktivitas hambatnya ketika belum dikeringkan sehingga dari proses tersebut dapat ditentukan penggunaan suhu masukan, laju alir umpan, komposisi bakteriosin dan bahan pengkapsul terbaik yang akan digunakan dalam proses skala besar nantinya (scale up process).

Penggunaan suhu masukan sebesar 170oC akan memberikan suhu keluaran yang berkisar antara 80-85oC sedangkan pada suhu masukan 150oC memberikan suhu keluaran yang berkisar antara 75-80oC. Meningkatnya suhu keluaran pengeringan otomatis akan menurunkan kadar air bahan. Secara umum, suhu keluaran pengeringan pada nilai 80-85oC memungkinkan untuk mendapatkan produk dengan kadar air yang tidak melebihi batas minimum yang disyaratkan untuk penyimpanan tepung (KA 4%) sehingga suhu masukan 170oC dapat digunakan sebagai suhu masukan proses pengeringan.

(c) Perbandingan Aktivitas Hambat Bakteriosin dalam Bentuk Cair dan Serbuk

Gambaran secara umum dapat dilihat pada Gambar. 14, bahwa aktivitas hambat tertinggi yang dihasilkan dari 12 kombinasi bahan pengkapsul pada masing-masing bakteri indikator yaitu sebesar 945,35 AU/ml untuk E. coli, 929,39 AU/ml untuk S. thypimurium dan untuk L. monocytogenes sebesar 1165,95 AU/ml dengan konsentrasi bakteriosin yang digunakan sebesar 0,00049 (w/w). Sedangkan bakteriosin cair yang tidak dikapsulkan memiliki aktivitas hambat sebesar 477,79 AU/ml pada bakteri E. coli, 383,27 AU/ml pada bakteri S. thypimurium dan pada bakteri L. monocytogenes sebesar 589,133 AU/ml pada konsentrasi yang sama. Sensitivitas bakteri terhadap bakteriosin merupakan karakteristik intrinsik tersendiri yang dimiliki oleh setiap bakteri dan juga dipengaruhi oleh kondisi bakteriosin yang digunakan.

44

Gambar. 14 Kurva Aktivitas Hambat Bakteriosin Cair dan Serbuk dari BAL SCG 1223 Pada Bakteri Indikator

Dari kurva diatas dapat diketahui bahwa pengaruh yang terjadi pada aktivitas hambat serbuk bakteriosin, kadar air bahan, hasil rendemen dan kelarutan bahan memiliki hubungan yang erat. Dimana aktivitas hambat serbuk bakteriosin dari BAL SCG 1223 yang stabil pada ketiga bakteri indikator memiliki kadar air bahan yang rendah serta hasil dan kelarutan yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada perlakuan A2B1C1 dan A3B1C1, aktivitas

hambat, rendemen, kadar air dan kelarutan bahan berada pada kondisi yang optimal, dimana pada perlakuan tersebut aktivitas hambat terhadap bakteri

Escherichia coli, Salmonella thypimurium dan Listeria monocytogenes memiliki aktivitas hambat yang hampir sama.

Pada kurva tersebut dapat dilihat bahwa pada konsentrasi bakteriosin yang sama, aktivitas hambat serbuk bakteriosin memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteriosin cair yang belum dikapsulkan. Hal tersebut membuktikan bahwa bakteriosin tidak mengalami penurunan aktivitas hambat setelah dilakukan pengkapsulan. Aktivitas hambat tertinggi pada bakteri

Escerichia coli terdapat pada formuasi A3B1C2 dengan nilai 945,32 AU/ml

sedangkan bakteriosin cair memiliki aktivitas hambat sebesar 477,79AU/ml. pada bakteri Listeria monocytogenes, aktivitas hambat serbuk bakteriosin tertinggi terdapat pada kombinasi A1B1C2 dengan nilai aktivitas hambat sebesar 945,35

45

AU/ml sedangkan aktivitas hambat bakteriosin cair aktivitasnya sebesar 589,133 AU/ml.

Perlakuan A2B2C1 merupakan perlakuan terbaik pada aktivitas hambat

serbuk bakteriosin terhadap bakteri S. thypimurium dengan aktivitas hambat sebesar 879,24 AU/ml. Komposisi pengkapsul A2B2C1 (maltodekstrin 83,34%, skim milk 16,66%), bakteriosin 40% serta penggunaan suhu pengeringan sebesar 150oC memiliki kadar air sebesar 3,76% yang masih berada pada batas kandungan air bahan tepung kultur hasil pengeringan spray sebesar 4 % (Masters, K 1985 dalam Gardiner et al., 2000). Pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa adanya proses pengkapsulan bakteriosin tidak menurunkan aktivitas hambat bakteriosin pada pengujian terhadap bakteri S. thypimurium yang dibandingkan dengan aktivitas hambat bakteriosin cair pada konsentrasi yang sama.

Berikut ini disajikan data-data pembanding untuk kedua perlakuan diatas :

Tabel 3 Perbandingan Atribut Nilai pada Perlakuan A2B1C1 dan A3B1C1

Keragaman

Nilai yang diamati pada perlakuan A2B1C1 Nilai yang diamati pada perlakuan A3B1C1

E. coli S. thypimurium L. monocytogenes E. coli S. thypimurium L. monocytogenes

Aktivitas

Hambat 779,82 AU/ml 912,68 AU/ml 947,25 AU/ml 943,16 AU/ml 973,64 AU/ml 740,38 AU/ml Kadar Air 2,73 % 3,01 %

Yield 69,3 % 68,64 %

Kelarutan 66,81% 66,24%

Dari pendekatan tersebut maka selanjutnya dapat ditentukan bahan pengkapsul terbaik yang dapat digunakan untuk mengkapsulkan bakteriosin yang berasal dari BAL galur SCG 1223. Formulasi terbaik yang dapat digunakan yaitu formulasi A2B1C1 yang memiliki aktivitas hambat sebesar 779,82 AU/m untuk

bakteri E. Coli, 912,68 AU/ml untuk S. Thypimurium dan 947,25 AU/ml untuk L. monocytogenes dengan persentase kadar air, rendemen serta kelarutan bahan sebesar 2,73%, 69,3% dan 66,81%. Tabel hasil perhitungan persentase kadar air, kelarutan, dan rendemen dapat dilihat pada Lampiran.

46

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

A.

KESIMPULAN

Bakteriosin dari Bakteri Asam Laktat SCG 1223 mempunyai sifat stabil pada kondisi penyimpanan asam (pH 2-4) dengan pemanasan hingga 100oC serta penyimpanan di ruang pendingin bersuhu 4oC. Perlakuan enkapsulasi bakteriosin dari BAL SCG 1223 terbaik terdapat pada perlakuan A2B1C1, yaitu formulasi

pengkapsul yang menggunakan 83,33 % maltodekstrin, 16,67 % skim milk, 20% bakteriosin cair serta penggunaan suhu pengeringan masukan 150oC dan suhu keluaran 75-80oC dengan laju alir 20 ml/menit. Aktivitas hambat serbuk bakteriosin A2B1C1 sebesar 779,82 AU/ml terhadap Escherichia coli, 912,68

AU/ml terhadap Salmonella thypimurium dan 947,25 AU/ml terhadap Listeria monocytogenes. Kadar air bakteriosin yang diperoleh sebesar 2,73%, kelarutan sebesar 66,81% dan rendemen produk sebesar 69,3%. Semakin rendah kadar air serbuk bakteriosin dan semakin tinggi kelarutannya, menghasilkan nilai aktivitas hambat terhadap bakteri uji yang lebih tinggi. Bakteriosin yang telah dikapsulkan memiliki aktivitas hambat yang tinggi terhadap bakteri indikator dengan aktivitas yang cenderung meningkat.

Dokumen terkait