• Tidak ada hasil yang ditemukan

eologi yang  okumentasi i di Muse nal pada tah lum terdoku rtanyaan p leksi arkeol a pada kol ang tidak di Koleksi Da : Vanani

useum 

ang 

eum Nasion hun 2004 h umentasi. D enelitian m logi yang a leksi arkeo ipamerkan. an Dokumen nal dari ju hanya 57% Dengan dem mengenai s ada, yaitu b ologi, baik ntasi umlah yang mikian sudah bahwa bagi

Universitas Indonesia Dilihat dari segi kualitas informasi yang disajikan dalam buku katalog

koleksi arkeologi, dengan mengacu pada buku katalog koleksi emas Wonoboyo, hanya didapat perhitungan tingkat informasi, yaitu 62.7% informatif berdasarkan terisi atau tidaknya keterangan pada konten katalog. Jika pada buku katalog koleksi emas yang dianggap prestisius saja hanya menghasil 62.7% informatif, lalu bagaimana dengan katalog koleksi lain.

Selain itu, diketahui bahwa hasil penelitian terkini terkait dengan koleksi museum tidak pernah direvisi atau ditambahkan, sehingga tidak pernah ada pembaruan atau penambahan informasi dalam dokumentasinya. Deskripsi, referensi dan riwayat koleksi dilakukan pada tahun 1980-an.

Dari kondisi tersebut, maka dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian ini bahwa:

a. koleksi arkeologi belum seluruhnya terdokumentasi, jika dilihat dari jumlah koleksi yang dipamerkan dan perbedaan jumlah koleksi arkeologi yang terpaut banyak berdasarkan data katalog koleksi manual ataupun digital,

b. sudah ada koleksi arkeologi yang terdokumentasi, namun masih belum terisi kontennya,

c. adapun yang sudah terisi tetapi belum memenuhi prinsip dokumentasi dalam arkeologi.

Oleh karena itu, untuk dapat mendokumentasikan keseluruahan koleksi arekologi pertama yang harus dipertegas adalah ruang lingkup koleksi arkeologi itu sendiri. Benda arekologi apa saja yang termasuk kedalam koleksi arkeologi. Pengelompokkan dan pendefinisian yang tepat mengenai koleksi arkeologi harus jelas.

Misal, gerabah yang termasuk kedalam koleksi arkeologi adalah gerabah yang berbahan tanah liat dan pasti berasal dari antara abad ke-4 hingga ke-15. Hal tersebut harus dipertegas lagi dalam menangani koleksi arkeologi. sehingga dapat memudahkan dokumentasi selanjutnya, dengan cara memastikannya melalui

referensi yang sudah pasti dan untuk itu diperlukan konteks lainnya untuk mempertegas.

Untuk melengkapi konten informasi yang ada pada setiap dokumentasi koleksi (dalam hal ini dalam katalog koleksi yang merupakan produk dari dokumentasi koleksi arkeologi Museum Nasional), maka setiap dan keseluruhan konten informasi harus bersifat “wajib isi”. Dalam pengertian ini, konten informasi yang tidak terisi akan mempengaruhi input informasi lainnya, sehingga setiap konten informasi wajib terisi untuk memastikan konten informasi lainnya juga terisi.

Lalu bagaimana dengan penerapan prinsip dokumentasi dalam arkeologi pada sistem dokumentasi koleksi arkeologi? dengan menimbang keseluruhan data dan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka pada tahap akhir penelitian ini didapat sebuah sintesis antara prinsip-prinsip dokumentasi dalam arkeologi yang harus terpenuhi dalam dokumentasi koleksi arkeologi dengan sistem dokumentasi yang telah diterapkan selama ini pada koleksi arkeologi Museum Nasional. Hasilnya adalah sebuah output penelitian yang dapat dijadikan rekomendasi dalam perbaikan sistem yang ada sekarang guna mengakomodir informasi-informasi arkeologi di dalam dokumentasi koleksi arkeologi.

Sebelum benda arkeologi yang masuk ke dalam museum lalu didokumentasikan, benda arkeologi tersebut memiliki konteks yang terkandung didalamnya, yaitu matriks, provienience dan asosiasi. Matriks berkaitan dengan lapisan tanah atau lingkungan ketika benda tersebut ditemukan, provienience berkaitan dengan keletakannya secara geografis dalam koordinat garis lintang dan bujur dan wilayah mulai dari skala besar ke skala kecil, serta asosiasi yang merupakan keterkaitan benda tersebut dengan benda lainnya yang ditemukan (dapat dicantumkan daftar benda lain yang berelasi).

Pada matriks dapat diberi keterangan yang lebih umum mengenai lingkungan saat benda tersebut ditemukan, karena tidak semua benda-benda tesebut didapat dari penggalian arkeologi yang jelas dokumentasinya. Misal, pada benda yang ditemukan oleh masyarakat dan diberikan ke museum tanpa diketahui dengan pasti pada lapisan mana ditemukannya karena merupakan area persawahan, maka pada matriks dapat diisi area persawahan sebagai lingkungan

Universitas Indonesia asal. Bentuk lingkungan umum lainnya, seperti lingkungan pantai dan linkgungan

pegunungan.

Setelah benda tersebut ditemukan tentunya benda tersebut harus dijelaskan berdasarkan dimensinya, dimensi bentuk, ruang dan waktu. Dimensi bentuk menitikberatkan pada atribut benda, yaitu atribut bentuk (ukuran dalam panjang, tinggi, lebar dan berat), atribut teknologi (bahan baku yang digunakan dan cara buat) dan atribut stilistik (gaya atau ciri-ciri fisik seperti warna, tekstur dan hiasan).26

Pada dimensi bentuk, dengan mengetahui atribut dari benda tersebut, maka benda dapat digolongkan berdasarkan bagian-bagian bentuk dari benda tersebut. Misal, gerabah, pada bagian bentuk terdapat dikelompokkan lagi ke dalam cerat, tutup, dasar, badan, dll.

Dimensi ruang diketahui berdasarkan konteks dan penjelasan mengenai dimensi waktu akan menempatkan benda tersebut ke dalam zaman atau masa benda tersebut berasal.

Di dalam dokumentasi koleksi juga diperlukan deskripsi yang jelas dan sesuai dengan fakta mengenai benda tersebut. Deskripsi dilakukan dengan dua cara, yaitu deskripsi verbal dan piktorial. Deskripsi piktorial dimaksudkan untuk melengkapi dan mempertegas deskripsi verbalnya. Deskripsi piktorial dilakukan dengan gambar (sketsa benda) dan foto.

Pada dokumentasi koleksi juga diperlukan keterangan lain seperti cara perolehan. Jika diperoleh melalui hibah atau hadiah harus mencantukan nama individu atau institusi yang memberi. Jika diperoleh melalui ekskavasi, maka harus disertakan laporan ekskavasinya.

Selanjutnya ketika benda tersebut masuk ke museum, maka pihak museum akan menempatkannya di tempat koleksi, baik di ruang pameran ataupun di ruang penyimpanan (gudang). Tempat penyimpanan harus dicantumkan dalam dokumentasi dan harus menghadirkan keterangan yang aktual dan akurat. Dalam pengertian jika di simpan di ruang pameran, maka dicantumkan nomor fitrin atau jika disimpan di gudang, maka dicantumkan posisinya dan perlakuan preservasi

      

yang didapat benda tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan mengelola atau menemukan koleksi tersebut apabila diperlukan sewaktu-waktu.

Selain keterangan tempat penyimpanan juga diberikan keterangan mengenai penelitian terkait dengan benda tersebut (siapa penelitinya dan hasil penelitiannya) dan riwayat mengenai pameran yang pernah menyertakan benda tersebut. Hal ini bertujuan agar informasi terkait dengan benda tersebut bersifat aktual.

Keseluruhan uraian tersebut digunakan sebagai konten dalam sistem dokumentasi digital yang sudah ada di Museum Nasional. Tujuannya adalah agar dapat menghasilkan database koleksi arkeologi yang memuat informasi-informasi arkeologi sebagai titik awal dalam melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan benda tersebut.

Misalkan, pada kelompok kolesi arca, setelah mengelompokkannya berdasarkan bahan, maka perlu ditambahkan subkelompok, yaitu arca dewa, dewi, manusia atau binatang. Contoh pada prasasti dapat dikelompokkan berdasarkan bahan, yaitu batu atau logam dan pada subkelompok dapat ditambahkan pilihan bahasa yang digunakan pada prasasti tersebut, seperti bahasa sansekerta, bahasa jawa kuno, bahasa melayu kuno atau bahasa sunda kuno.

Demikian pula pada alat upacara dan alat rumah tangga, misalkan gerabah, setelah dikelompokkan berdasarkan bahan, tanah liat, logam atau batu, maka pada subkelompok ditambahkan pilihan seperti bagian bentuknya, yaitu cerat, badan, bagian dasar, tutup dan pegangan. Semua konten informasi bersifat wajib isi, sehingga keseluruhan informasi pada benda tersebut terekam dalam sistem dokumentasi ini.

Pengisian dokumentasi koleksi arekologi juga harus diisi oleh orang yang berasal dari disiplin ilmu arkeologi, sehingga dapat memudahkan pengisian keseluruhan sistem dokumentasi koleksi arkeologi. Konten informasi yang digunakan baik pada sistem dokumentasi manual ataupun sistem dokumentasi digital harus diselaraskan.

Maksudnya adalah bahwa jika database koleksi diisi berdasarkan apa yang disediakan pada lembar inventaris koleksi secara manual dan lembar inventaris koleksi secara manual tersebut diisi oleh orang yang berlatarbelakang ilmu

Universitas Indonesia arkeologi, maka isi dari subkelompok tersebut harus sesuai dengan yang ada pada

pilihan subkelompok di database koleksi. Dengan demikian terlihat bahwa sistem dokumentasi tersebut memiliki kesamaan informasi.

Dengan menerapkan rekomendasi ini dalam katalog koleksi arkeologi, maka museum telah melakukan pendekatan yang signifikan dalam memudahkan para peneliti, khususnya arkeolog, dalam melakukan interpretasi melalui rekonstruksi sejarah kebudayaan, rekonstruksi cara-cara hidup dan pemahaman proses budaya.

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Setelah melalui proses analisis mengenai koleksi arkeologi dan dengan mempertimbangkan teori yang telah diuraikan mengenai dokumentasi koleksi arkeologi, maka didapat dua poin utama kesimpulan. Poin pertama mengenai sistem dokumentasi yang selama ini diterapkan oleh pihak Museum Nasional dan poin kedua mengenai koleksi arkeologi yang disimpan di Museum Nasional.

Pada Bab 4 telah diuraikan bagaimana sistem dokumentasi yang selama ini dipraktekkan oleh pihak Museum Nasional ternyata masih belum memenuhi kriteria dokumentasi arkeologi, mengingat penelitian ini terfokus pada penanganan dokumentasi koleksi arkeologi. Hingga proses analisis selesai dilakukan, tidak ditemukan adanya dokumentasi koleksi arkeologi yang memuat informasi arkeologi.

Perangkat yang digunakan untuk bisa menghasilkan informasi arkeologi itu juga tidak terlihat selama proses pengumpulan data ataupun analisis data. Perangkat yang dimaksud adalah sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab 2, mengenai dimensi bentuk, ruang dan waktu. Selain itu juga tidak ditemukan adanya informasi yang lengkap mengenai atribut koleksi itu sendiri yang merupakan inti dari dokumentasi.

Kekurangan lain yang dapat disimpulkan adalah sistem dokumentasi yang dilakukan hingga saat ini dapat dikatakan tidak menghasilkan informasi apapun yang dapat dipertanggungjawabkan. Seperti misalnya, tidak ada pebaruan informasi mengenai koleksi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap koleksi tersebut. Hal ini terlihat dari buku katalog manual yang tidak terawat dengan baik dari sejak dijilid pada tahun 1990-an.

Semua tanggal referensi yang dicantumkan dalam keterangan pada buku katalog tersebut juga berasal dari penelitian lama. Hingga saat ini, informasi yang tidak terisi saat buku katalog tersebut dibuat masih tetap tidak juga terisi. Hal

Universitas Indonesia tersebut memberikan kesan bahwa, setelah dijilid tidak ada tindak lanjut lainnya

yang terhadap dokumentasi tersebut.

Sebagaimana juga yang terlihat pada proses analisis bahwa katalog manual tersebut memiliki kekurangan seperti penyusunan yang tidak sistematis dan tidak kronologis. Kekurangan tersebut tampaknya dicoba untuk diminimalisir dengan menggunakan sistem komputerisasi untuk menghasilkan database. Ternyata hasilnya pun masih jauh dari kriteria dokumentasi arkeologi dan dokumentasi museologi.

Hal tersebut terlihat bahwa ketika dianalisis ternyata masih sulit untuk mendapatkan informasi mengenai koleksi yang tidak didapat pada dokumentasi manual dan masih juga tidak didapat di dokumentasi digital. Hal lain yang juga tidak dapat dikesampingkan adalah keterpautan jumlah yang cukup besar antara jumlah koleksi taksiran pada dokumentasi manual dengan dokumentasi digital.

Pada dokumentasi manual jumlah taksiran koleksi arkeologi terdokumentasi adalah sebesar 16150. Sedangkan jumlah yang terdapat pada dokumentasi digital yang secara otomatis diketahui hanya dengan mengetikkan koleksi arkeologi adalah sebanyak 7126, apabila ditelusuri lebih lanjut, maka jumlah tersebut berkurang menjadi 5903. Jumlah tersebut bahkan tidak mencapai setengah dari jumlah taksiran yang didapat dari penjumlahan Lembar Inventaris Koleksi yang diasumsikan bahwa satu Lembar Inventaris Koleksi mewakili satu koleksi arkeologi.

Sementara itu, Buku Petunjuk Koleksi Arkeologi Museum Nasional terbitan Museum Nasional tahun 2004 menyatakan bahwa jumlah koleksi arkeologi ada sebanyak 9020 tidak dapat dibuktikan kebenaranya pada penelitian ini. Terpaut kurang lebih 2000 koleksi jika dibandingkan dengan jumlah yang dihasilkan melalui perhitungan komputerisasi.

Pada akhirnya, dari kekurangan tersebut terlihat bahwa antara jumlah koleksi yang dipamerkan dan tidak dipamerkan tidak memiliki sistem dokumentasi yang tepat. Dalam arti, jumlah koleksi yang dipamerkan sangat sedikit dari jumlah koleksi yang disimpan sehingga menimbulkan pertanyaan apakah selebihnya tersimpan di gudang saja. Data jumlah koleksi yang didapatkan

dari penelusuran katalog, baik katalog manual ataupun katalog digital jelas tidak sinkron.

Dokumentasi digital yang dilakukan diharapkan dapat menutup kekurangan besar seperti ketidaktahuan jumlah pasti dari koleksi Museum Nasional, dalam penelitian ini khususnya koleksi arkeologi, ternyata bahkan tidak dapat memberikan informasi arkeologis terkait dengan koleksi arkeologi tersebut. Lihat saja pada analisis yang dilakukan dengan menelusuri kelompok koleksi berdasarkan jenisnya.

Kelompok koleksi tersebut memang memiliki jumlah yang secara otomatis muncul, namun saat ditelusuri lebih lanjut tidak mampu menampilkan daftar koleksi berdasarkan bahan dan bentuk. Sehingga informasi tersebut sulit diakses dan akhirnya terkesan sama saja tidak informatifnya dengan dokumentasi katalog manual.

Pada kenyataannya dari hasil analisis juga dapat disimpulkan bahwa Museum Nasional tidak memiliki jumlah pasti mengenai koleksinya. Secara khusus dalam hal ini adalah jumlah pasti dari koleksi arkeologi. Sehingga menimbulkan pertanyaan lain, yaitu bagaimana Museum Nasional dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mengelola, merawat dan melestarikan koleksi, sementara dokumetansi koleksi yang merupakan sentral dari kegiatan museum seperti, preservasi, penelitian dan komunikasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kualitas.

Kualitas dokumentasi koleksi Museum Nasional dapat dilihat berdasarkan persentase informasi yang disajikan dalam satu buku katalog. Sebagaimana yang telah diuraikan pada proses analisis, didapat bahwa dalam satu buku katalog penyajian informasi hanya 62.7% yang tersaji. Jumlah tersebut tentu saja masih kurang jika pada prinsipnya museum juga berperan sebagai pelestari ilmu pengetahuan.

Persentase tersebut tentu saja jauh dari yang diharapkan dapat dipenuhi oleh museum. Museum diharapkan untuk dapat menjadi lembaga yang menyajikan 100% informasi terkait dengan cabang ilmu. Karena fungsi dari museum yang juga merupakan lembaga pencerdas masyarakat melalui pameran yang dapat diakses oleh masyarakat secara umum.

Universitas Indonesia Dengan kenyataan seperti yang didapat dari hasil analisis dalam penelitian

ini secara garis besar Museum Nasional belum menjalankan dengan penuh perannya sebagai museum yang berorientasi pada koleksi dan pengembangan koleksi bagi ilmu pengetahuan dan perkembangan masyarakat secara umum. Untuk itu diperlukan perbaikan mendasar dalam sistem dokumentasi koleksi Museum Nasional, dan khususnya dalam sistem dokumentasi koleksi arkeologi.

5.2 Saran

Untuk memperbaiki kualitas dokumentasi koleksi arkeologi agar dapat menyajikan informasi arkeologi, maka yang pertama harus diperbaiki adalah katalog koleksi mengikuti rekomendasi yang telah diberikan melalui penelitian ini. Penambahan yang diperlukan adalah keterangan dimensi bentuk, ruang dan waktu serta konteks koleksi saat ditemukan sebelum masuk ke museum.

Sebagai contoh, benda-benda koleksi yang didapat dari hasil ekskavasi hendaknya menyertakan laporan ekskavasi. Sehingga asosiasi dan konteks dari benda tersebut masih melekat walaupun telah melalui proses museolisasi.

Selanjutnya, dalam hal mengenai jumlah koleksi saran yang bisa diberikan sebagaimana mempertimbangan hasil dari analisis dalam penelitian ini adalah dengan melakukan perhitungan ulang berdasarkan pada benda koleksi (reaccount

based on collection). Perhitungan langsung berdasarkan koleksi yang ada

memungkinkan perekaman yang menyeluruh terhadap koleksi arkeologi Museum Nasional.

Perhitungan tersebut tentunya dilakukan secara manual satu per satu merujuk pada koleksi arkeologi baik yang disimpan di gudang ataupun yang dipamerkan. Dengan perhitungan langsung tersebut, pihak museum juga dapat memastikan kondisi terkini koleksi. perhitungan langsung juga memiliki kelebihan bahwa tidak akan terjadinya tumpang tindih koleksi ataupun kesalahan tidak sistematis dan tidak kronologis dokumentasi yang dilakukakan.

Dengan melakukan perhitungan tersebut, pihak museum juga dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasikannya secara langsung. Untuk itu,

dokumentasi-dokumentasi yang telah dilakukan sebelumnya dapat dijadikan sebagai referensi saja tapi sudah tidak perlu dijadikan acuan dalam sistem dokumentasi koleksi arkeologi Museum Nasional.

Mengingat keberagaman koleksi arkeologi yang dimiliki oleh Museum Nasional tentunya perhitungan berdasarkan koleksi secara langsung tersebut akan memakan waktu yang tidak sebentar dan diperlukan tenaga yang berkualifikasi untuk dapat melakukan dokumentasi arkeologis. Maka, diperlukan metode dan teknik untuk dapat melakukan perhitungan yang efektif dan efisien.

Universitas Indonesia DAFTAR REFERENSI

Ambrose, Timothy. & Paine, Crispin. 2006. Museum Basics. London: Routledge. Attahiyyat, Candrian, (ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI

Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

Burcaw, G.E. 1997. Introduction to Museum Work. London: Atlamira.

Deetz, James. 1967. Invitation to Archaeology. New York: National History Press.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2002. Pengelolaan Koleksi Museum. Jakarta: Direktorat Museum.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fagan, Brian. 2006. Archaeology: A Brief Introduction Ninth Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Fahy, Anne, (ed.). 1995. Collections Management. London: Routledge.

Gottschalk, Louis. 1986. Understanding History: A Primer of Historical Method. Terjemahan oleh Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press.

Hodder, Ian. 1992. Theory and Practice in Archaeology. London: Routledge. International Council of Museums. 2006. ICOM Code of Ethics for Museums.

Paris: Nory.

Keene, Susan. 2002. Managing Conservation in Museum Second Edition. Oxford: Butterworth-Heinemann.

Knell, Simon, (ed.). 1994. Care of Collections. London: Routledge.

Kotler, Neil G., Philip dan Wendy I. 2008. Museum Marketing and Strategy:

Designing Missions, Building Audiences, Generating Revenue and Resources. California: Jossey-Bass Aa Wiley Imprit.

Magetsari, Noerhadi. 2008. “Filsafat Museologi”, Museografia, vol. II no. 2 halaman 5. Jakarta: Direktorat Museum.

Maroević, Ivo. 1995. “The Museum Message: Between The Document and Information” halaman 23–36, artikel dalam Eilean Hooper-Greenhill (ed.). Museum, Media, Message. London: Routledge.

Pearce, Susan M. 1998. Interpreting Objects and Collections. London: Routledge. Poesponegoro, Marwati Djoened., dan Nugroho Notosusanto (ed.). 2008.

Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

Rufaedah, Dedah., dkk. 2006. Pengembangan Museum Nasional. Jakarta: Museum Nasional.

Sedyawati, Edi. 1999. The Making of Indonesian Art. Halaman 99.

Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 2003. Archaeology: Discovering Our

Past. New York: McGraw-Hill Higher Education.

Soemadio, Bambang., dkk. 2004. Petunjuk Koleksi Arkeologi Museum Nasional. Jakarta: Museum Nasional.

Sukendar, Haris. 1976. “Catatan Sementara Mengenai Pola Hias dan Fungsi Manik-manik Dari Prasejarah Di Indonesia” halaman 54–68, dalam

Buletin Yaoerna: Berita Ilmu-Ilmu Sosial dan Kebudyaan. Jakarta:

Yayasan Perpustakaan Nasional.

Spaulding, Albert C. 1971. “The Dimension of Archaeology” halaman 23−39, artikel dalam James Deetz. Man’s Imprint From The Past. Kanada: Little, Brown and Company.

Van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven Ragam-ragam Perhiasan

Indonesia Indonesian Ornamental Design. Jakarta: Koninklijk

Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen.

Van Mensch, Peter. 2003. Museology And Management: Enemies Or Friends.

Current Tendencies in Theoretical Museology and Museum Management in Europe. Makalah disampaikan dalam konferensi

Japanese Museum Management Academy pada tanggal 7 Desember 2003, Tokyo.

Inventaris Registrasi No. Foto No. Negatif Film No. Slide No. Gambar Lain‐lain Bentuk Ukuran (cm) Bahan (media, jenis 

cat, dll) Warna

Motif/Gambar/G aya

Teknik 

Pembuatan Judul Lain‐lain

Asal Benda (Desa, Kec.,  Kab., Prop,. Negara) Latar Belakang  (artis/pembuat) Tahun  Pembuatan Kegunaan/Fungsi  Benda Tanggal  Peroleh Umur  Benda/Zaman Cara Perolehan 1. 8833 29651 Arkeologi/Bandul Tali Kasta 2. 8834 29652 Arkeologi/Bandul Tali Kasta 3. 8835 29653 Arkeologi/Bandul Tali Kasta 4. 8836 29654 Arkeologi/Bandul Tali Kasta 5. 8837 29655 Arkeologi/Hiasan Ikat Pinggang ? ? 6. 8838 29656 Cincin 7. 8839 29657 Cincin 8. 8840 29658 Cincin 9. 8841 29659 Arkeologi/Cincin 10. 8842 29660 Cincin ? 11. 8843 29661 Arkeologi/Cincin 12. 8844 29662 Cincin ? 13. 8845 29663 Arkeologi/Cincin 14. 8846 29664 Arkeologi/Cincin 15. 8847 29665 Arkeologi/Cincin 16. 8848 29666 Cincin 17. 8849 29667 Cincin ? 18. 8850 29668 Cincin ? 19. 8851 29669 Cincin ? 20. 8852 29670 Cincin 21. 8853 29671 Cincin ? 22. 8854 29672 Cincin 23. 8855 29673 Arkeologi/Hiasan Telinga 24. 8856 29674 Arkeologi/Hiasan Telinga 25. 8857 29675 Arkeologi/Hiasan Telinga 26. 8858 29676 Arkeologi/Hiasan Telinga 27. 8859A 29677 Gelang Piligre 28. 8859 B 1‐10 29678 Gelang Piligre 29. 8859 C 1‐9 29679 Gelang Piligre 30. 8859 D 1‐9 29680 Gelang Piligre 31. 8859 E 1‐10 29681 Gelang Piligre 32. 8859 F 1‐10 29682 Gelang Piligre 33. 8859 G 1‐9 29683 Gelang Piligre 34. 8859 H 1‐10 29684 Gelang Piligre 35. 8859 I 1‐10 29685 Gelang Piligre 36. 8859 J 1‐10 29686 Gelang Piligre 37. 8859 K1‐10 29687 Gelang Piligre 38. 8859 L 29688 Gelang Piligre 39. 8860 a 29689 Bagian Kalung ? 40. 8860 b 29690 Bagian Kalung ? 41. 8860 c 29691 Bagian Kalung ? 42. 8860 d 29692 Bagian Kalung ? 43. 8860 e 29693 Bagian Kalung ? 44. 8860 f 29694 Bagian Kalung 45. 8860 g 29695 Bagian Kalung ? 46. 8860 h 29696 Bagian Kalung 47. 8890 i 29697 Bagian Kalung 48. 8860 I 29698 Arkeologi/Bagian Kalung ? 49. 8860 m 29699 Arkeologi/Bagian Kalung ? 50. 8860 j 29700 Bagian Kalung ? 51. 8860 k 29701 Bagian Kalung 52. 8860 L 29702 Bagian Kalung ? 53. 8860 M 29703 Bagian Kalung 54. 8860 n 29704 Fragmen Kalung 55. 8860 O 29705 Bagian Kalung 56. 8860 R 29706 Bagian Kalung 57. 8860 S 29707 Bagian Kalung 58. 8860 T 29708 Bagian Kalung 59. 8860 u 29709 Bagian Kalung 60. 8860 V 29710 Bagian Kalung 61 8860 w 29711 Bagian Kalung 62. 8860 X 29712 Bagian Kalung 63. 8860 Y 29713 Bagian Kalung 64. 8860 Z 29714 Fragmen Bagian Kalung 65. 8860 aa 29715 Bagian Kalung 66. 8860 bb 29716 Bagian Kalung 67. 8860 cc 29717 Bagian Kalung 68. 8860 dd 29718 Bagian Kalung ? ? 69. 8860 EE 29719 Fragmen Bagian Kalung 70. 8860 ff 29720 Fragmen Bagian Kalung 71. 8860 gg 29721 Fragmen Bagian Kalung 72. 8860 hh 29722 Fragmen Bagian Kalung 73. 8860 ii 29723 Fragmen Bagian Kalung 74. 8860 jj 29724 Fragmen Bagian Kalung 75. 8860 kk 29725 Fragmen Bagian Kalung 76. 8860 LL 29726 Fragmen Bagian Kalung 77. 8861 29727 Hiasan Kalung ? 78. 8862 29728 Hiasan Telinga ? ? 79. 8863 29729 Hiasan Telinga 80. 8864 29730 Hiasan Telinga ? 81. 8865 a 29731 Bagian Kalung ? 82. 8865 b 29732 Bagian Kalung 83. 8865 c 29733 Bagian Kalung ? 84. 8865 d 29734 Bagian Kalung 85. 8865 e 29735 Bagian Kalung 86. 8865 f 29736 Bagian Kalung 87. 8865 g 29737 Bagian Kalung 88. 8865 h 29738 Bagian Kalung 89. 8865 i 29739 Bagian Kalung 90. 8865 j 29740 Bagian Kalung 91. 8865 k 29741 Bagian Kalung 92. 8865 L 29742 Bagian Kalung 93. 8865 m 29743 Bagian Kalung 94. 8865 n 29744 Bagian Kalung 95. 8865 o 29745 Bagian Kalung 96. 8865 p 29746 Bagian Kalung 97. 8865 q 29747 Bagian Kalung

Kondisi Benda Keterangan Deskripsi

No. Jenis/Nama Benda Asal Ditemukan 

Benda

Tempat  Penyimpanan

Inventaris Registrasi No. Foto No. Negatif Film No. Slide No. Gambar Lain‐lain Bentuk Ukuran (cm) Bahan (media, jenis 

cat, dll) Warna

Motif/Gambar/ Gaya

Teknik 

Pembuatan Judul Lain‐lain

Asal Benda (Desa, Kec., Kab.,  Prop,. Negara) Latar Belakang  (artis/pembuat) Tahun  Pembuatan Kegunaan/Fungsi  Benda Tanggal  Peroleh Umur  Benda/Zaman Cara Perolehan 1. 8833 29651 Arkeologi/Bandul Tali Kasta 1 2 8 10 11 13 16 18 19 20 21 22 23 24 25 2. 8834 29652 Arkeologi/Bandul Tali Kasta 1 2 8 9 10 11 13 16 18 19 20 21 22 23 24 25 3. 8835 29653 Arkeologi/Bandul Tali Kasta 1 2 8 9 10 11 13 16 18 19 20 21 22 23 24 25 4. 8836 29654 Arkeologi/Bandul Tali Kasta 1 2 8 9 10 11 13 16 18 19 20 21 22 23 24 25 5. 8837 29655 Arkeologi/Hiasan Ikat Pinggang 1 2 8 9 10 11 ? 16 18 20 21 22 23 24 25 6. 8838 29656 Cincin 1 2 8 9 10 11 13 16 18 19 20 21 22 23 24 25 7. 8839 29657 Cincin 1 2 8 9 10 11 13 16 18 19 20 21 22 23 24 25 8. 8840 29658 Cincin 1 2 8 9 10 11 13 16 18 19 20 21 22 23 24 25 Deskripsi Benda Riwayat Benda Kondisi  Benda Deskripsi No. Nomor Jenis/Nama Benda Asal Ditemukan  Benda Tempat  Penyimpanan

Dokumen terkait