• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOKUMENTASI DALAM ARKEOLOGI

2.1 Hakikat Data Arkeologi

Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia masa lalu melalui benda-benda peninggalannya. Dalam kajian kepurbakalaan Indonesia, benda-benda peninggalan itu dikategorikan berasal dari periode prasejarah, klasik, islam dan kolonial. Melalui benda-benda peninggalan tersebut arkeologi berusaha merekonstruksi sejarah dan perilaku manusia masa lalu.

Benda-benda peninggalan tersebut dimodifikasi sedemikian rupa oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Benda-benda tersebut merupakan benda-benda budaya atau material culture. Dalam perjalanannya benda-benda tersebut mengalami proses yang panjang, baik yang mengalami proses pembuatan, penggunaan, tidak digunakan lagi dan kemudian dibuang oleh penggunanya.

Sharer dan Ashmore dalam Buku Archaeology: Discovering Our Past menjabarkan bahwa pada dasarnya arkeologi mempelajari peninggalan-peninggalan masa lalu yang sudah berlangsung hingga ratusan abad lalu. Dengan adanya aktivitas alam, maka peninggalan tersebut sebagian besar terpendam di dalam tanah atau di dalam air dan ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Dari yang ditemukan hanya sebagian kecil yang dapat di rekonstruksi sebagai data arkeologi, baik bentuk, ruang atau waktu. Dari yang direkonstruksi tersebut hanya sebagian kecil yang dapat ditafsirkan.

Bentuk-bentuk data arkeologi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sharer- Ashmore (2003: 120−124), terdiri dari:

a. Artefak: semua benda yang dibuat atau diubah oleh manusia dan dapat berpindah.

b. Ekofak: benda-benda berbahan dasar dari lingkungan hidup yang berperan dalam kehidupan masyarakat di masa lampau terdiri dari abiota dan biota.

  Universitas Indonesia  c. Fitur: artefak yang tidak dapat berpindah tanpa merusak tempat

kedudukannya (matriks). Misal, bangunan, lubang bekas tiang, dll. d. Situs: sebidang tanah yang mengandung tinggalan-tinggalan kebudayaan

manusia masa lalu yang pernah berlangsung di suatu tempat dan dilakukan oleh sekumpulan masyarakat.

e. Wilayah: sekumpulan situs atau data arkeologi yang cakupannya lebih luas.

Sedangkan menurut Brian Fagan (2005: 120), data arkeologi adalah material yang diakui oleh arkeolog memiliki nilai penting, semuanya dikumpulkan dan direkam di dalam suatu penelitian. Bentuk data arkeologi menurut Fagan, antara lain:

a. Artefak: benda yang dibuat dan dimodifikasi oleh manusia, benda keras. b. Fitur: artefak dan asosiasi artefak yang tidak dapat dipindahkan dari

matriksnya, seperti postholes atau selokan/parit.

c. Struktur: rumah, lumbung, kuil, dan bangunan-bangunan lainnya yang dapat diidentifikasi sebagai sisa-sisa yang masih berdiri, pola postholes, dan bangunan lainnya yang berdiri di atas tanah.

d. Ekofak: seperti sisa-sisa makanan, misalkan tulang, bibit, atau lainnya yang ditemukan dan dinyatakan sebagai akibat dari aktivitas manusia. e. Subassemblages : sekumpulan artefak yang ditemukan di suatu asosiasi

yang berpola sehingga mencerminkan adanya pembagian perilaku budaya suatu kelompok kecil (Fagan, 2005: 129).

f. Assemblages : sekumpulan subassemblages yang ditemukan di dalam asosiasi kontemporer yang mencerminkan pola aktivitas semua komunitas (Fagan, 2005: 129).

Bentuk data arkeologi tidak hanya empat data yang disebutkan diatas, tetapi juga termasuk konteks ruang dan waktunya (Fagan, 2005: 120). Data arkeologi dapat diidentifikasikan menjadi empat dimensi variabilitas di dalam perilaku manusia yang ditunjukkan di dalam konteks ruang, antara lain:

a. Artefak: aktivitas individu manusia

b. Struktur: aktivitas kelompok atau aktivitas rumah tangga

c. Site: aktivitas komunitas, kelompok kontemporer dapat berupa rumah, toko, kuil, dan struktur lainnya.

d. Wilayah: aktivitas kelompok manusia yang direfleksikan dengan persebaran situs di suatu lanskap. Keempat level konteks ruang tersebut mencerminkan perilaku budaya manusia (Fagan, 2005: 126).

Pada tahap pengumpulan data, semua bentuk data arkeologi yang ditemukan tersebut tidak bisa lepas dari konteksnya. Fagan menjelaskan lebih lanjut mengenai penentu data arkeologi yang kemudian dapat memudahkan peneliti dalam mengidentifikasi benda-benda temuan (dimensi bentuk), meletakkanya dalam suatu tempat tertentu dan menghubungkannya dengan benda-benda temuan lainnya (dimensi ruang) dan memahami asal benda-benda tersebut di masa lampau (dimensi waktu).

Menurut Fagan (2005: 120−127) dan Sharer-Ashmore (2003: 132), faktor-faktor penentu data arkeologi ada yang memiliki kesamaan definisi, antara lain:

a. Matriks, adalah fisik yang mencakup benda-benda yang berasosiasi di dalamnya, contohnya batu kerikil, pasir, lumpur, dan banyak lainnya. b. Provenience, adalah keletakan benda diukur tiga dimensinya secara

geografis. Horizontal, yaitu keletakannya dalam lintang dan bujur; vertikal, yaitu kedalaman benda dari permukaan laut.

c. Asosiasi, adalah beberapa benda yang dianggap memiliki hubungan fisik satu sama lain, berasal dari matriks yang sama. Asosiasi ini dapat dilihat berdasarkan keterkaitan dengan permukaan dan stratigrafi.

d. Konteks, adalah seperangkat asosiasi data arkeologi, terutama berkaitan dengan keadaan deposisinya. Konteks merupakan interpretasi hubungan antara matriks, provenience dan asosiasi.

Sharer dan Ashmore menjelaskan konteks terbagi menjadi dua: a. Konteks primer

  Universitas Indonesia  Konteks primer adalah kondisi matriks dan provenience belum mendapat

gangguan dari proses transformasi, baik oleh alam atau manusia sejak pengendapannya yang pertama dibuat oleh pembuatnya atau pemakainya.

- Use Related Primary Context

Artefak belum pernah dipindah oleh si pembuat, diendapkan di tempat di mana benda itu dibuat oleh masyarakat masa lalu dan digunakan. Contoh, benda di ruang tamu.

- Transposed Primary Context

Artefak yang dibuat dan digunakan oleh si pembuat mengalami perpindahan. Contoh, benda di gudang atau di tempat sampah.

b. Konteks sekunder

Konteks sekunder adalah kondisi matriks, provenience dan asosiasi telah diubah sebagian atau seluruhnya oleh proses transformasi. Asosiasi data dihasilkan dari proses transformasi.

- Use Related Secondary Context

Artefak yang dibuat oleh pembuatnya kemudian diambil dan digunakan kembali dengan fungsi lain.

- Natural Secondary Context

Artefak sudah tidak ada lagi hubungannya dengan si pembuat, sudah ditinggalkan.

Faktor-faktor penentu data arkeologi sebagaimana yang dituliskan dalam

Archaeology: Discovering Our Past, ada dua faktor penentu data arkeologi.

Pertama adalah behavioral processes dan transformational processes.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Mundardjito, bahwa dalam teori arkeologi terdapat diskusi dan studi mendalam mengenai proses-proses budaya dan bukan-budaya yang bertanggung jawab atas terbentukknya data arkeologi. Dijelaskan oleh Schiffer, terdapat satu perjalanan panjang dari sebuah artefak, mulai dari saat dibuat, dipakai dan dibuang, sampai kepada saat tidak berperan lagi dalam sistem tingkah laku masyarakat masa lalu, untuk selanjutnya terbenam atau terendapkan

dalam tanah sampai akhirnya ditemukan oleh arkeolog (Mundardjito, 1982: 498– 509).

Dalam perjalanan panjang tersebut terdapat faktor-faktor dan proses-proses yang mengakibatkan terjadinya transformasi data arkeologi, yaitu artefak mengalami perpindahan tempat, perubahan bentuk, pengurangan atau penambahan jumlah dan pertukaran hubungan satu dengan yang lainnya.

Sedangkan faktor lainnya adalah proses tingkah laku dan proses transformasi yang dinyatakan menurut Sharer-Ashmore, yaitu: proses tingkah laku merupakan langkah pertama didalam formasi data arkeologi, setelah sisa-sisa material tersebut terpendam, maka terjadi proses deposisi yang merupakan proses transformasi. Proses transformasi ini ada yang terjadi secara natural dan ada yang merupakan transformasi budaya.

Contoh dari transformasi natural adalah pembusukan material organik, atau terkubur oleh sisa-sisa erupsi vulkanik. Sedangkan contoh transformasi budaya (akibat aktivitas manusia) adalah pemakaian kembali artefak-artefak, pembajakan tanah, penyimpanan artefak sebagai benda pusaka, dan pengrusakan gedung.

Proses tingkah laku manusia adalah aktivitas manusia yang menghasilkan peninggalan materi. Proses ini ada empat tahap, yaitu:

a. Acquisition, perolehan bahan baku untuk membuat alat atau suatu benda. b. Manufacture, proses pembuatan alat atau benda.

c. Use, penggunaan. d. Deposition, dibuang.

Proses formasi adalah proses, peristiwa apapun yang menghasilkan atau mengubah data arkeologi. Proses formasi ada dua, yaitu:

a. Behavioral, aktivitas manusia yang menghasilkan peninggalan materi. b. Transformational, baik manusia (budaya), maupun proses alamiah yang

mengubah peninggalan yang dihasilkan oleh tingkah laku (Sharer-Ashmore, 2003: 127−128).

  Universitas Indonesia  Faktor-faktor dan proses yang mengakibatkan terjadinya transformasi data

arkeologi adalah artefak mengalami: a. Perpindahan tempat,

b. Perubahan bentuk,

c. Pengurangan/penambahan jumlah,

d. Pertukaran hubungan satu dengan yang lain (Sharer-Ashmore, 2003: 128). Proses Pembentukan Budaya (Yang Mempengaruhi Data)

a. Cultural Formation Processes (Proses-Proses Pembentukan Budaya), adalah proses-proses budaya yang mempengaruhi pembentukan data arkeologi.

b. c-Transform (Cultural Transform), adalah prinsip atau hukum yang digunakan untuk menangani masalah perubahan data arkeologi yang dilakukan terutama oleh kegiatan manusia.

c. n-Transform (non-Transform), adalah transformasi bukan budaya, prinsip atau hukum yang menggarap masalah perubahan yang disebabkan oleh alam (Sharer, 2003: 128).

Menurut Fagan, semua itu terbagi dalam konsep dibawah ini:

a. Diawali dengan tingkah laku manusia  tidak semuanya menghasilkan kebudayaan materi

b. Kemudian kebudayaan materi  ada yang bertahan dan ada yang tidak bertahan

c. Kebudayaan materi yang masih bertahan lama d. Kebudayaan materi yang ditemukan

e. Kebudayaan yang tahan lama dan dapat dianalisis/gejalanya dapat dimengerti (Fagan, 2005: 120)

Dokumen terkait