• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Epidemiologi Penyakit ISPA

a. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Orang

Infeksi saluran napas merupakan 40% penyebab penyakit pada anak dibawah 5 tahun dan sebagian besar disebabkan oleh virus. Virus yang sama dapat menyebabkan infeksi pada anggota keluarga lain dengan cara berbeda tetapi pada bayi cenderung lebih berat. Karena kekebalan pasif yang diturunkan dari ibu kepada bayi berkurang dalam beberapa bulan, bayi usia 6-9 bulan menjadi rentan terhadap infeksi.14

Berdasarkan hasil penelitian Gulo di Kabupaten Nias tahun 2008, didapatkan bahwa proporsi ISPA pada balita untuk usia < 2 bulan sebesar 75%, balita berusia 2-11 bulan sebesar 69,8%, dan balita berusia 12-59 bulan sebesar 84,3%.7

Berdasarkan hasil penelitian Valentina di Kecamatan Medan Timur tahun 2011, didapatkan bahwa proprosi ISPA pada batita yang berusia 12-24 bulan yaitu 59,3%, dan batita berusia 25-36 bulan yaitu 36,5%.15

b. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat

ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah.1

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Indonesia pada tahun 2008, kasus pneumonia yang terjadi pada balita berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturut-turut adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 56,50%, Jawa Barat sebesar 42,50% dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 21,71%. Sedangkan cakupan terendah adalah Provinsi DI Yogyakarta sebesar 1,81%, Kepulauan Riau sebesar 2,08% dan NAD sebesar 4,56%.16

c. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu

Berdasarkan hasil penelitian Sirait di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 diperoleh insidens infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPaA) pada balita sebesar 63,5%.17

Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia, insidens pneumonia pada bayi di Indonesia tahun 2007 sebesar 35,27 %, tahun 2008 sebesar 34,91%, dan tahun 2008 sebesar 35,19%. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008 menyatakan bahwa jumlah kasus pneumonia pada bayi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 15.176 kasus, sedangkan menurut Porfil Kesehatan Indonesia tahun 2010 didapat bahwa jumlah kasus pneumonia pada bayi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 19.236 kasus.2,16

2.6.2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA a. Agent

ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan mycoplasma.3 Pneumonia pada balita paling sering disebabkan oleh virus pernapasan dan puncaknya terjadi pada umur 2-3 tahun, sedangkan pada anak umur sekolah paling sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma pneumonia.18

Pada bayi dan anak-anak penyebab paling sering adalah virus syncitial pernapasan, adenovirus, virus influenza, dan virus parainfluenza. Diperkirakan 75% pneumonia pada anak balita di negara berkembang termasuk Indonesia disebabkan oleh Pneumokokus dan Hemophilus influenzae (Hib).18

b. Manusia b.1. Umur

Umur mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian ISPA. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa dan sering kali berakhir dengan kematian.

Gambaran klinik yang jelek dan tampak lebih berat tersebut terutama disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang belum memperoleh kekebalan alamiah. Oleh karena kekebalan alamiah yang diturunkan dari ibu kepada bayi berkurang dalam beberapa bulan, bayi usia 6-9 bulan menjadi rentan terhadap infeksi. Selain itu dikarenakan saluran napas atas jauh lebih sempit sehingga resistensi

terhadap arus udara tinggi walaupun pembengkakan dan sumbatan jalan napas tidak mencolok.1,13,16,19

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2007, proporsi pneumonia pada bayi 35,27% dan balita 64,73%. Bila dilihat proporsi pneumonia pada kelompok umur balita, tampak proporsi pneumonia pada bayi dibandingkan balita sekitar 35%. Hal ini menunjukkan bahwa bayi merupakan kelompok usia yang tinggi kejadian pneumonianya. Oleh karena itu pneumonia pada balita dan terutama pada bayi, perlu mendapat perhatian dengan perbaikan gizi dan imunisasi dan meningkatkan upaya manajemen tatalaksana pneumonia.20

b.2. Jenis Kelamin

Menurut beberapa penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan, terutama usia muda dibawah 6 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian Nur di Padang (2004), balita dengan jenis kelamin laki-laki proporsi menderita ISPA sebanyak 56,5% dan balita dengan jenis kelamin perempuan proporsi menderita ISPA sebanyak 38,4%. Hal ini menunjukkan bahwa balita berjenis kelamin laki-laki lebih beresiko dari pada perempuan.8

Berdasarkan hasil penelitian Valentina di Kelurahan Glugur Darat I Kecamatan Medan Timur (2011), menyatakan bahwa proporsi anak batita yang menderita ISPA yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 49,1%, sedangkan perempuan sebesar 50,9%.15

b.3. Berat Badan Lahir

Berat badan lahir (Birth Weight) adalah berat badan neonatus pada saat kelahiran, ditimbang dalam waktu satu jam sesudah lahir. Bayi berat lahir cukup adalah bayi dengan berat lahir lebih dari 2.500 gram. Bayi berat lahir rendah (BBLR)/Low birthweight infant adalah bayi dengan berat badan lahir 1.500 gram sampai kurang dari 2.500 gram.21 Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA, dan perawatan di rumah sakit penting untuk mencegah BBLR.22

Hasil penelitian Wihoho di Kabupaten Blora tahun 2004 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada bayi (p<0,05).23

b.4. Status Gizi

Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian balita dengan infeksi saluran pernapasan. Penyakit infeksi dan pertumbuhan yang tercermin dari status gizi, seringkali dijumpai bersama-sama dan keduanya dapat saling mempengaruhi. Infeksi dapat disebabkan dan menyebabkan kekurangan gizi. Sebaliknya kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit infeksi. Penyakit yang sering diderita bayi dan anak dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bayi adalah ISPA.

Pengukuran status gizi pada balita dan anak dapat dilakukan dengan menggunakan indeks antropometri. Kategori status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) adalah sebagai berikut:

1. Gizi lebih (> 2,0 SD baku WHO NCHS) 2. Gizi baik (-2,0 SD s/d +2,0 SD)

3. Gizi kurang (<-2,0 SD) 4. Gizi buruk (<-3,0 SD).24,25

Berdasarkan hasil penelitian Sirait (2010) di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan dengan desain cross sectional didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi kurang dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPaA) pada anak balita (p<0,05).17

b.5. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan alami terbaik bagi bayi. Makanan ini telah dirancang begitu sempurna bagi bayi. ASI tidak hanya mengandung berbagai zat gizi yang diperlukan bayi tetapi juga mengandung zat-zat lain yang berfungsi menyehatkan tubuh sepanjang waktu. ASI mengandung antibodi yang dapat melindungi bayi terhadap berbagai serangan penyakit dan infeksi serta mengurangi berbagai reaksi alergi.26,27,28 Salah satu contohnya adalah ASI telah terbukti melindungi bayi terhadap infeksi saluran pencernaan dan pernapasan dalam 6 bulan pertama kehidupan.29

Hasil penelitian Gulo di Kabupaten Nias tahun 2008 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA (p<0,05).7

b.6. Status Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Caranya adalah dengan memberi vaksin. Anak kebal atau resisten terhadap penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain. 30

Hasil penelitian Valentina di Kelurahan Glugur Darat I Kecamatan Medan Timur tahun 2011 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada batita (p<0,05).15

c. Lingkungan c.1. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi, yaitu untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar, untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen dan untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humudity) yang optimum.30 Sudah terbukti bahwa ruangan yang dirancang dengan ventilasi yang baik dengan pembuangan efektif udara yang terkontaminasi, penurunan konsentrasi droplet nuklei infeksius di dalam ruangan dapat mengurangi risiko infeksi.1 Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999, luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.

Hasil penelitian Saputra di Kelurahan Jabungan Kecamatan Banyumanik Semarang tahun 2011 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita (p<0,05).31

c.2. Kepadatan Hunian Rumah

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.30 Kepadatan hunian rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 4 m2/penghuni.32 Kepadatan di dalam ruang tidur terutama ruang tidur balita yang tidak sesuai dengan standar akan menimbulkan ruangan penuh sesak sehingga oksigen berkurang dan CO2 meningkat dalam ruangan tersebut.

Hasil penelitian Naria, dkk. di Wilayah Kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2008 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita.33

c.3. Penggunaan Anti Nyamuk Bakar

Penggunaan obat nyamuk bakar sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan karena menghasilkan asap dan bau yang tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernapasan.

Hasil penelitian Chahaya di Perummnas Mandala tahun 2004 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan kejadian ISPA pada balita.32

c.4. Bahan Bakar Untuk Memasak

Gangguan pernapasan pada balita yang tinggal pada rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah lebih tinggi dari rumah yang menggunakan bahan bakar gas. Hal ini dimungkinkan karena ibu balita pada saat memasak di dapur menggendong anaknya, sehingga asap bahan bakar tersebut terhirup oleh balita.32

Hasil penelitian Khotimah di Desa Bangetayu Wetan Kecamatan Genuk Kota Semarang tahun 2011 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara jenis bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita (p<0,05).34

c.5. Keberadaan Perokok

Merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi. Asap rokok mengandung nikotin, tir atau keleket. Dalam tir ini terdapat berbagai oksidan, zat radioaktif, dan 1001 zat-zat kimia lain yang dapat merusak organ-organ tubuh. Bayi dan anak yang terpajan asap rokok sebelumnya atau sesudah kelahiran memperlihatkan peningkatan angka ISPA, infeksi saluran napas bawah misalnya pneumonia, dan asma pada masa kanak-kanak dibandingkan dengan bayi dan anak-anak dari orang tua bukan perokok.13,35

Hasil penelitian Naria, dkk. di Wilayah Kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2008 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara keberadaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita.33

Dokumen terkait