• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

5.3.13. Hubungan Keberadaan Perokok dengan Kejadian ISPA

Tabel 5.26. Tabulasi Silang Kejadian ISPA Berdasarkan Keberadaan Perokok di Wilayah Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 No. Keberadaan Perokok Kejadian ISPA Total x2/p RP* (95% CI) ISPA Tidak ISPA f (%) f (%) f (%) 1. Ada 50 58,1 36 41,9 86 100,0 0,005/ 0,944 1,017 (0,625-1,657) 2. Tidak Ada 8 57,1 6 42,9 14 100,0 Jumlah 58 58,0 42 42,0 100 100,0 * RP : Ratio Prevalens

Berdasarkan tabel 5.26 pada variabel keberadaan perokok dapat dilihat bahwa proporsi ISPA pada bayi yang di rumahnya terdapat perokok adalah 58,1%, sedangkan bayi yang di rumahnya tidak terdapat perokok 57,1%. Proporsi tidak ISPA pada bayi yang di rumahnya terdapat perokok adalah 41,9%, sedangkan bayi yang di rumahnya tidak terdapat perokok 42,9%.

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p > 0,05. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara keberadaan perokok dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012. Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang di rumahnya terdapat perokok dan yang tidak terdapat perokok adalah 1,017 dengan CI: 0,625-1,657.

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1. Proporsi Insidens Kejadian Penyakit ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi insidens bayi yang menderita ISPA yaitu 58,0%, sedangkan proporsi insidens yang tidak menderita ISPA yaitu 42,0% (Tabel 5.6.).

Gambar 6.1. Diagram Pie Distribusi Insidens Kejadian Penyakit ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka proporsi insidens ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan tahun 2012 yaitu 58 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi insidens ISPA pada bayi di Puskesmas Hutabaginda Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2011 (41%). Oleh karena itu kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gulo di Kelurahan Ilir Gunungsitoli Kabupaten Nias (2008) dengan desain cross sectional didapatkan bahwa proporsi kejadian ISPA pada bayi sebesar 70,9%.7 Hasil penelitian Valentina di Kelurahan Glugur Darat I (2011) menunjukkan bahwa prevalens rate ISPA pada batita 48,1%.15

6.2. Analisis Bivariat

6.2.1. Hubungan Umur dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa proporsi ISPA pada bayi yang berusia < 2 bulan yaitu 13,0%, dan bayi berusia 2-11 bulan yaitu 87,0% (Tabel 5.14.).

Gambar 6.2. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Umur Bayi Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,0001 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur bayi dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Valentina di Kelurahan Glugur Darat I tahun 2011 dengan desain cross sectional menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur dengan kejadian ISPA pada batita, dengan nilai p = 0,019.15

Pada gambar terlihat bahwa proporsi ISPA pada bayi berusia 2-11 bulan lebih tinggi dibandingkan dengan bayi berusia < 2 bulan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena bayi berusia 2-11 bulan lebih banyak kontak dengan orang lain dibandingkan bayi berusia < 2 bulan.

Ratio Prevalence ISPA pada bayi berusia < 2 bulan dan 2-11 bulan adalah 2,677 dengan CI: 1,926-3,721. Artinya, bayi yang berumur < 2 bulan kemungkinan berisiko mengalami ISPA 2,7 kali lebih besar dibandingkan bayi yang berumur < 2 bulan.

Bayi berusia < 2 bulan merupakan faktor resiko kejadian ISPA. Umur mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian ISPA. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi akan memberikan gambaran klinik yang jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa dan sering kali berakhir dengan kematian karena daya tahan tubuh bayi belum sempurna sehingga bayi mudah sakit ISPA.1,19

6.2.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa proporsi ISPA pada bayi yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 58,8%, sedangkan anak perempuan yaitu 57,1% (Tabel 5.15.).

Gambar 6.3. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Jenis Kelamin Bayi Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,865 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin bayi dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kecamatan Koto Tangah Kota Padang tahun 2004 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,208 (p>0,05).8

Ratio Prevalence ISPA pada bayi berjenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 1,209 dengan CI: 0,737-1,438. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Pada gambar dapat dilihat bahwa proporsi ISPA pada bayi yang berjenis kelamin laki-laki (58,8%) relatif sama dengan proporsi ISPA pada bayi yang berjenis kelamin perempuan (57,1%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena bayi baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan masih lebih banyak bersama ibunya dan bayi belum bisa bermain keluar mengingat umurnya yang masih di bawah 1 tahun.

6.2.3. Hubungan Berat Bayi Lahir dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa proporsi ISPA pada bayi yang berat lahirnya < 2.500 gram yaitu 100,0%, sedangkan pada bayi yang berat lahirnya ≥

Gambar 6.4. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Berat Bayi Lahir Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Analisis statistik uji Chi Square tidak dapat dilakukan karena ada 2 sel (50%) expected count kurang dari 5, maka dilanjutkan dengan uji Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p = 1,000 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara berat bayi lahir dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Taisir di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan Tahun 2005 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara berat bayi lahir dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,723 (p>0,05).38

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang berat lahirnya < 2.500 gram dan

< 2.500 gram kemungkinan beresiko mengalami ISPA 1,7 kali lebih besar dibandingkan bayi yang berat lahirnya ≥ 2.500 gram.

Pada gambar dapat dilihat bahwa bayi yang lahir dengan BBLR hanya 1 orang saja dan terkena ISPA sehingga tidak bisa dibandingkan karena penyebutnya hanya 1. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan BBLR bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi meskipun nilai CI-nya menunjukkan bahwa BBLR merupakan faktor risiko kejadian ISPA.

6.2.4. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa proporsi ISPA pada bayi yang status gizinya tidak baik yaitu 50,0%, sedangkan pada bayi yang status gizinya baik yaitu 59,8% (Tabel 5.17.).

Gambar 6.5. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Status Gizi Bayi Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,448 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi bayi dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Valentina di Kelurahan Glugur Darat I tahun 2011 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada batita, dengan nilai p = 0,000 (p<0,05).15

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang berstatus gizi tidak baik dan status gizi baik adalah 0,837 dengan CI: 0,510-1,373. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Proporsi bayi yang menderita ISPA paling tinggi pada kelompok yang status gizinya baik (59,80%) dibandingkan bayi pada kelompok yang status gizinya tidak baik (50%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena proporsi bayi berstatus gizi baik di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan ventilasi rumahnya tergolong tidak baik (57,3%), rumahnya tergolong padat (53,7%), dan di rumahnya lebih banyak yang memakai obat anti nyamuk (84,1%).

Hasil penelitian menunjukkan 1 orang bayi (1%) berstatus gizi buruk. Ini sudah merupakan masalah yang harus segera diperhatikan dan ditangani karena 1 anak gizi buruk sudah dianggap Kejadian Luar Biasa (KLB).

6.2.5. Hubungan ASI Ekslusif dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi ISPA pada bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif yaitu 60,8%, sedangkan untuk bayi yang ASI eksklusif yaitu 55,1% (Tabel 5.18.).

Gambar 6.6. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Status ASI Eksklusif Bayi Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja

Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,565 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sirait di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,447 (p>0,05).17

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang tidak ASI Eksklusif dan bayi yang ASI Eksklusif adalah 1,103 dengan CI: 0,789-1,543. Hal ini menunjukkan bahwa ASI Eksklusif bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Selain pemberian ASI Eksklusif faktor lain yang dapat menyebabkan ISPA dapat juga dilihat dari status imunisasinya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena proporsi bayi yang ASI Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan lebih banyak yang tidak mempunyai status imunisasi lengkap (65,3%).

6.2.6. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi ISPA pada bayi yang status imunisasinya tidak lengkap yaitu 64,4%, sedangkan pada bayi yang imunisasinya lengkap yaitu 48,8% (Tabel 5.19.).

Gambar 6.7. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Status Imunisasi Bayi Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,119 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Gulo di Kabupaten Nias tahun 2008 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa ada hubungan antara status imunisasi bayi dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,007 (p<0,05).7

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang status imunisasinya tidak lengkap dan status imunisasinya lengkap adalah 1,320 dengan CI: 0,915-1,905. Hal ini menunjukkan bahwa status imunisasi bayi bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Selain status imunisasi faktor lain yang dapat menyebabkan ISPA dapat juga dilihat dari ventilasi rumahnya, kepadatan hunian rumah, dan pemakaian obat anti nyamuk. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena proporsi bayi yang imunisasinya tidak lengkap di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan lebih banyak yang ventilasi rumahnya tidak baik (61%), hunian rumah tergolong padat (59,3), dan memakai anti nyamuk bakar (62,7%).

6.2.7. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi ISPA pada bayi yang pendidikan ibunya rendah yaitu 50,0%, sedangkan pada bayi yang pendidikan ibunya tinggi yaitu 59,8% (Tabel 5.20.).

Gambar 6.8. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Pendidikan Ibu Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,448 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitia Kecamatan Koto Tangah Kota Padang tahun 2004 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,218 (p>0,05).8

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang pendidikan ibunya rendah dan pendidikan tinggi adalah 0,837 dengan CI: 0,510-1,373. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan ibu bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Proporsi bayi yang menderita ISPA paling tinggi adalah bayi yang pendidikan ibunya tinggi (59,8%) dibandingkan pendidikan ibu yang rendah (50%). Kemungkinan ibu yang berpendidikan tinggi adalah bekerja dan memiliki perekonomian yang lebih baik dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah sehingga kebanyakan di rumahnya memakai gas/elpiji untuk memasak. Kebiasaan menggendong bayinya sewaktu memasak kemungkinan yang mengakibatkan kejadian ISPA pada bayi tinggi dan kemungkinan pengetahuan ibu mengenai pengaruh asap dan uap gas/elpiji pada pernapasan yang memicu terjadinya ISPA masih kurang..

6.2.8. Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi ISPA pada bayi yang ibunya tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga yaitu 83,3% sedangkan pada bayi yang ibunya sehari-hari bekerja yaitu 56,4% (Tabel 5.21.).

Gambar 6.9. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Pekerjaan Ibu Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Analisis statistik uji Chi Square tidak dapat dilakukan karena ada 2 sel (50%) expected count kurang dari 5, maka dilanjutkan dengan uji Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p = 0,396 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sirait di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,638 (p>0,05).17

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang ibunya bekerja dan tidak bekerja adalah 0,677 dengan CI: 0,454-1,009. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan ibu

bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Pada gambar dapat dilihat bahwa proporsi ISPA pada bayi yang ibunya tidak bekerja lebih tinggi (83,3%) dibandingkan dengan bayi yang ibunya bekerja (56,4%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena perawatan terhadap bayi yang ibunya bekerja lebih baik dibandingkan dengan bayi yang ibunya bekerja. Pekerjaan ibu rata-rata adalah petani, meskipun demikian kemungkinan yang merawat anaknya selama ibunya bekerja di ladang adalah neneknya, dimana kemungkinan perhatian neneknya jauh lebih baik dibandingkan ibu yang tidak bekerja.

6.2.9. Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi ISPA pada bayi yang tinggal dengan kondisi ventilasi rumah tidak baik yaitu 62,7%, sedangkan pada kondisi ventilasi rumah yang baik yaitu 51,2% (Tabel 5.22.).

Gambar 6.10. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Ventilasi Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,252 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Saputra di Kelurahan Jabungan Kecamatan Banyumanik Semarang tahun 2011 dengan desain cross sectional yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,014 (p<0,05).31

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang tinggal di rumah yang ventilasinya tidak baik dan baik adalah 1,224 dengan CI: 0,856-1,751. Hal ini menunjukkan bahwa ventilasi rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Selain ventilasi rumah yang tidak baik faktor lain yang dapat menyebabkan ISPA dapat juga dilihat dari status imunisasinya, kepadatan hunian rumah, dan pemakaian anti nyamuk. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena proporsi bayi yang ventilasi rumahnya tergolong tidak baik di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan lebih banyak yang tidak mempunyai status imunisasi lengkap (61,0%), hunian rumah tergolong padat (71,2%), dan di rumahnya memakai anti nyamuk (84,7%).

6.2.10. Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi ISPA pada bayi yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian rumahnya tergolong padat yaitu 66,0%, sedangkan pada bayi yang kepadatan hunian rumahnya tergolong tidak padat yaitu 48,9% (Tabel 5.23.).

Gambar 6.11. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Kepadatan Hunian Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,084 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Naria, dkk. di Wilayah Kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2008 dengan desain cross sectional yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,000 (p<0,05).

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang tinggal di rumah yang kepadatan penghuni rumahnya tergolong padat dan tidak padat adalah 1,349 dengan CI: 0,951-1,915. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan hunian rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Selain ventilasi rumah yang tidak baik faktor lain yang dapat menyebabkan ISPA dapat juga dilihat dari status imunisasinya, ventilasi rumahnya, dan pemakaian anti nyamuk. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena proporsi bayi yang hunian rumahnya tergolong padat di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan lebih banyak yang tidak mempunyai status imunisasi lengkap (66,0%), ventilasi rumah tidak baik (79,2%), dan di rumahnya memakai anti nyamuk (79,2%).

6.2.11. Hubungan Pemakaian Anti Nyamuk dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi ISPA pada bayi yang di rumahnya terbiasa menggunakan obat anti nyamuk yaitu 60,0% dan yang tidak terbiasa menggunakan obat anti nyamuk yaitu 50,0% (Tabel 5.24.).

Gambar 6.12. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Pemakaian Anti Nyamuk Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012 Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,418 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pemakaian anti nyamuk dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Chahaya di Perumnas Mandala tahun 2004 dengan desain cross sectional yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan kejadian ISPA pada balita, dengan nilai p = 0,001 (p<0,05).32

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang di rumahnya terbiasa memakai anti nyamuk dan tidak menggunakan anti nyamuk adalah 0,418 dengan CI: 0,747-1,926. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian anti nyamuk bukan sebagai faktor risiko

kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Jenis anti nyamuk yang paling sering digunakan di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan adalah anti nyamuk bakar (75%), semprot (1%) dan elektik (4%). Secara teori penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan karena menghasilkan asap dan bau yang tidak sedap, tetapi dalam penelitian ini pemakaian anti nyamuk tidak merupakan faktor resiko kejadian ISPA pada bayi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena penempatan anti nyamuk bakar jauh dari jangkauan si bayi.

6.2.12. Hubungan Bahan Bakar untuk Memasak dengan Kejadian ISPA Pada Bayi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi ISPA pada bayi yang di rumahnya menggunakan kayu bakar/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak yaitu 53,0%, dan untuk rumah yang menggunakan gas/elpiji sebagai bahan bakar untuk memasak yaitu 67,6% (Tabel 5.25.).

Gambar 6.13. Diagram Bar Tabulasi Silang Antara Bahan Bakar Untuk Memasak Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi di Wilayah Kerja Kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,161 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar untuk memasak dengan kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2012.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Valentina di Kelurahan Glugur Darat I tahun 2011 dengan desain cross sectional didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar untuk memasak dengan kejadian ISPA pada batita, dengan nilai p = 0,131 (p>0,05).15

Ratio Prevalence ISPA pada bayi yang di rumahnya menggunakan kayu bakar/minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak dan yang menggunakan gas/elpiji sebagai bahan bakar untuk memasak adalah 0,784 dengan CI: 0,566-1,085. Hal ini menunjukkan bahwa bahan bakar untuk memasak bukan sebagai faktor risiko

kejadian ISPA pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Pangaribuan Kabupaten

Dokumen terkait