• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

B. Tujuan Penelitian

3. Epidemiologi

Amerika Serikat, stroke menduduk peringkat ke-3 sebagai penyebab

kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang stroke, 400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang menderita stroke hemoragik, dengan 175.000 orang diantaranya mengalami kematian (Gofir, 2009).

Pada populasi orang Asia dan orang berkulit hitam, dikatakan insiden

stroke iskemik 60-70% dari seluruh kasus stroke. Di Indonesia stroke termasuk penyebab kematian utama (Wahjoepramono,2005). Menurut data Riskesdas Depkes RI, 2007 bahwa penyebab kematian utama untuk semua umur adalah

stroke (15,4%), TB (7,5%), Hipetensi (6,8%). Stroke iskemik memilikki presentasi paling besar yaitu sebesar 80%. Pada kasus stroke hemoragik: 75%

stroke hemoragik intraserebral dan 25% stroke hemoragik subarakhnoid (Wahjoepramono, 2005).

American Heart Association pada tahun 2006 menyebutkan prevalensi

stroke pada laki 1,25 kali lebih besar dibandingkan perempuan, sehingga

laki-laki kemungkinan besar berpeluang untuk terkena stroke daripada perempuan.

stroke, ditemukan rata-rata kejadian stroke pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Faktor risiko hipertensi dan penyakit kardioemboli berpengaruh pada perempuan. Pemakaian alkohol berlebihan, merokok, dan penyakit vaskuler perifer pada laki-laki. Wanita diketahui memilikki kecacatan

stroke yang lebih besar.

4. Faktor Resiko

a. Faktor resiko dapat dimodifikasi

Faktor resiko stroke adalah: (1) hipertensi, (2) diabetes melitus, (3) penyakit jantung, (4) serangan iskemik sepintas (TIA), (5) obesitas, (6) hiper-agregasi trombosit, (7) alkoholism, (8) merokok, (9) peningkatan kadar lemak darah (kolesterol, trigliserida, LDL), (10) hiperurisemia, (11) infeksi, (12) lain-lain. Tidak heran ditemukan penggunaan obat kardiovaskular pada penderita

stroke (Gofir, 2009).

b. Faktor resiko tidak dapat dimodifikasi

Faktor yang termasuk dalam kategori ini adalah usia, jenis kelamin, etnis dan hereditas (Gofir, 2009).

5. Klasifikasi

Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu stroke perdarahan atau hemoragik dan stroke iskemik (Fagan dan Hess, 2005). Keduanya merupakan

suatu kondisi yang berlawanan. Stroke hemoragik kranium yang tertutup

mengadung banyak darah, sedangkan pada stroke iskemik mengalami gangguan

menjadi tidak terpenuhi). Kategori utama pembagian stroke tersebut masih dapat dibagi lagi menjadi beberapa subtipe lagi (Gofir, 2009).

Perjalanan klinis pasien dengan stroke infark akan sebanding dengan

tingkat penurunan darah ke jaringan otak. Perjalanan klinis ini akan dapat mengklasifikasikan iskemik serebral menjadi 4, yaitu:

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) c. Stroke In Evolusiont

d. Complete Stroke Non-Haemmorhagic

Stroke hemoragik juga dibagi dua berdasarkan lokasi serangan yaitu stroke

hemoragik intraserebral dan stroke hemoragik subarakhnoid (Sutrisno, 2007).

6. Penyebab

Menurut Fagan dan Hess (2005), penyebab sroke adalah:

a. Stroke iskemik : penyakit pembuluh darah besar (emboli pada arteri), emboli pada ateri ke jantung, penyakit pembuluh darah kecil (infark lakuner). Penyebab jarang terjadi, misalnya infark vena, vaskulopathi, penggunaan obat tertentu, migrain, dll.

b. Stroke hemoragik : intraserebral primer dan hemoragik subarakhnoid

7. Gambaran Klinis

Stroke dengan jenis patologis apapun dan oleh faktor resiko apapun maka akan menimbulkan defisit neurologis pada pasien tersebut. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh adanya stroke tersebut bersifat akut, yaitu berupa; (1) hemidefisit motorik, (2) hemidefisit sensorik, (3) penurunan

kesadaran, (4) kelumpuhan saraf otak fasialis (VII) dan hipoglosus (XII) yang bersifat sentral, (5) gangguan funsi luhur seperti sulit berbahasa (aphasia) dan gangguan fungsi intelektual (demensia), (6) buta separo lapang pandangan (hemianopsia), dan defisit batang otak (Setyopranoto, 2007).

8. Patofisiologi

a. Stroke Iskemik

Sekitar 85% dari semua stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark.

Stroke infark pada dasarnya terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Pada keadaan normal, aliran darah ke otak adalah 58 ml/100 gram jaringan otak/menit. Bila hal ini turun sampai 18 ml/100 gram jaringan otak/menit maka aktivitas listrik neuron terhenti tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih reversibel. Penurunan aliran darah ini jika semakin parah dapat menyebabkan jaringan otak mati, yang disebut sebagi infark. Jadi, infark otak timbul karena iskemik otak yang lama dan parah dengan perubahan fungsi dan struktur otak yang ireversibel (Gofir, 2009).

Mekanisme terjadinya stroke iskemik secara garis besar dibagi dua, yaitu akibat trombosis atau akibat emboli. Diperkirakan dua per tiga stroke iskemik disebabkan karena trombosis, dan sisanya karena emboli. Walaupun demikian untuk membedakan secara klinis patogenesis mana yang terjadi pada sebuah kasus

stroke iskemik tidaklah mudah, bahkan seringkali tidak dapat dibedakan (Wahjoepramono, 2005).

b. Stroke Hemoragik Intraserebral

Stroke hemoragik intraserebral terjadi karena adanya ekstravasasi darah ke dalam jaringan parenkim yang disebabkan oleh ruptur arteri perforantes dalam. Kerusakan pembuluh darah ini biasanya akibat dari hipertensi atau kelainan pada pembuluh darah (Wahjoepramono, 2005).

Hankey dan Less (2001) membagi faktor penyebab stroke ini dalam tiga kategori, yaitu faktor anatomi, faktor hemodinamik, dan faktor hemostatik. Faktor anatomi berkaitan dengan penyakit aterial. Faktor hemodinamik berkaitan dengan kenaikan tekanan darah (misalnya hipertensi). Faktor hemostatik berkaitan dengan diatesa perdarahan, misalnya penggunan antikoagulan.

c. Stroke Hemoragik Subarakhnoid

Hemoragik subarakhnoid adalah terjadinya ekstravasasi darah ke dalam ruang subaraknoid dalam sistem saraf pusat (SSP). Hal ini biasanya disebakan oleh karena trauma/ cedera kepala, umumnya disebabkan oleh rupturnya suatu aneurisma intrakranial.

Mekanisme terjadinya stroke ini dasarnya tidak berbeda dengan stroke

hemoragik intraserebral, hanya saja lokasi ekstravasasi darah yang melibatkan ruang subarakhnoid (Wahjoepramono, 2005).

9. Pentalaksanaan Terapi Stroke Akut

Penatalaksanaan terapi pada stroke akut dapat dilihat sebagai berikut. a. Tujuan terapi

Tujuan terapi adalah mengurangi kerusakan neurologis, mengurangi mortalitas dan kecacatan dalam waktu yang lama, mencegah terjadinya

komplikasi sekunder pada imobilitas dan disfungsi neurologis, mencegah kekambuhan stroke (Fagan dan Hess, 2005).

b. Prinsip-prinsip manajemen stroke akut adalah : 1) Diagnosis yang cepat dan tepat terhadap stroke

2) Mengurangi meluasnya lesi di otak

3) Mencegah dan mengobati komplikasi stroke akut

4) Mencegah berulangnya serangan stroke

5) Memaksimalkan kembalinya fungsi-fungsi neurologik (Misbach, 2007).

c. Strategi terapi farmakologi

Dalam pemberian terapi farmakologis pada stroke akut, perlu dibedakan antara stroke iskemik dan stroke hemoragik.

1) Stroke iskemik

a) Trombolisis rt-PA (recombinat tissue-Plasminogen Activator)intravena Terapi trombolitik intravena dengan tujuan melakukan reperfusi jaringan

otak. Trombolisis rt-PA intravena merupakan pengobatan stroke iskemik akut

yang disetujui oleh FDA sejak tahun 1996 karena terbukti secara ilmiah efektif membatasi kerusakan otak akibat stroke iskemik (Wahjoepramono, 2005)

Berdasarkan penelitian, pada pasien yang pemberiannya terlambat (lebih dari 3 jam onset, atau bila waktu awitanyya tidak dapat dipercaya), pemberian obat ini tidak dianjurkan karena tingginya resiko komplikasi trombolitik.

Karakteristik pasien dengan stroke yang memungkinkan terapi rt-PA intravena adalah sebagai berikut:

Tabel I. Kriteria pasien stroke yang sesuai terapi rt-PA intravena (1) Usia > 18 tahun

(2) Diagnosis stroke iskemik menyebabkan defisit neurologis secara klinis jelas (3) Tidak ada stroke atau trauma kepala dalam 3 bulan sebelumnya

(4) Tidak ada pembedahan mayor dalam 14 hari sebelumnya (5) Tidak ada riwayat perdarahan intrakranial

(6) Tekanan darah sistolik < 185 mmHg (7) Tekanan darah diastolik < 110 mmHg

(8) Tidak ada gejala yang menghilang dengan cepat atau gejala stroke yang ringan (9) Tidak ada gejala yang memunculkan dugaan perdarahan subarakhnoid

(10) Tidak ada perdarahan gastrointestinal atau perdarahan traktus urinarius dalam 21 bulan sebelumnya (11) Tidak ada pungsi arteri pada lokasi non-compressible dalam 7 hari sebelumnya

(12) Tidak ada bangkitan pada saat onset bangkitan

(13) Waktu protombin 15 detik atau international normalized ratio <1,7 tanpa penggunaan obat antikoagulan

(14) Waktu parsial protombin dalam rentang normal, jika heparin diberikan selama 48 jam sebelumnya (15) Hitung trombosit > 100.000/mm3

(16) Konsentrasi glukosa darah > 50 mg/dl (2.7 mmol/l)

(17) Tidak ada kebutuhan untuk langkah agresif dalam menurunkan tekanan darah hingga batas yang telah disebutkan di atas (Gofir, 2009).

Tabel II. Kriteria eksklusi pasien stroke terhadap terapi rt-PA intravena (1) Sedang menggunakan antikoagulan oral, waktu protrombin >15 detik atau INR (International

Normalized Ratio) waktu protrombin <1,7 (2) Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya (3) Jumlah platelet kurang dari 100.000/mm3

(4) Bukan stroke atau cedera kepala berat 3 bulan sebelumnya (5) Mengalami operasi besar dalam 14 hari sebelumnya

(6) Tekanan darah sistolik sebelum pengobatan lebih besar dari 185 mmHg, atau tekanan darah diastolik lebih besar dari 110 mmHg

(7) Perbaikkan cepat gejala neurologik

(8) Defisit neurologik terpisah dan ringan seperti hanya ataksia, hanya kehilangan sensoris, hanya disartri, atau kelemahan minimal

(9) Didahului perdarahan intrakranial

(10) Kadar gula darah kurang dari 50 mg/dL, atau >400 mg/dL (11) Terjadi bangkitan (seizure) pada awitan stroke

(12) Terjadi perdarahan gastrointestinal atau uriner dalam 21 hari sebelumnya (13) Sedang menderita infark miokardial (Gofir, 2009).

b) Antikoagulan

Antikoagulan telah digunakan selama lebih dari 50 tahun untuk menangani

pasien dengan stroke iskemik akut (Wahjoepramono, 2005). Tujuan pemberian

obat ini adalah untuk : mencegah pembesaran trombus dan mencegah progesifitas defisit neurologik, dan mencegah terjadinya stroke ulang (Setyopranoto, 2006).

Ada dua macam antikoagulan, yaitu yang bekerja secara langsung dan yang tidak langsung, contoh antikoagulan yang bekerja langsung: heparin, heparinoid, danaproid, hirudin, lepirudin, dan desirudin. Sedangkan antikoagulan yang bekerja tidak langsung adalah derivat kumarin (Sukandar dkk, 2008).

Pemberian antikoagulan tidak dapat dilakukan sampai ada hasil

pemeriksaan imaging memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer.

Terhadap penderita yang mendapat pengobatan antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan (Anonim, 2007).

c) Antiplatelet agregasi (antitrombosit)

Antiplatelet adalah obat yang digunakan untuk menghambat agregasi platelet sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukkan trombus yang sering ditemukan pada sistem arteri (Dewoto, 2009). Obat antiplatelet yang digunakan adalah: asetosal, dipiridamol, klopidogrel, tiklodipin dan cilostasol.

d) Obat neuroprotektif

Obat ini terbukti pada percobaan binatang dan uji klink fase II dapat mencegah dan membatasi kerusakkan jaringan otak akibat iskemik dan mengurangi luas infark yang terjadi, dengan demikian menurunkan angka kematian dan angka kecacatan (Setyopranoto, 2006). Obat neuroprotektif yang dianjurkan PERDOSSI (2007) adalah: sitikolin, pirasetam, nicergolin, naftidrofuril, nimodipin dan neuropeptida.

2) Stroke hemoragik intraserebral

a) Terapi hemostatik

Perluasan perdarahan (hemoragik) yang terjadi setelah beberapa saat setelah serangan sering kali ditemukan. Hal ini disebabkan oleh masih berlanjutnya proses perdarahan akibat ruptur arteria serebral, terjadinya perdarahan ulang, maupun perdarahan sekunder di jaringan sekitar hematom. Hal tersebut berakibat bertambahnya efek masa, pergeseran garis tengah otak, meningkatnya tekanan intra kranial, memburuknya defisit neurologik, sehingga meningkatkan mortalitas dan disabilitas. Sehingga diperlukan terapi hemostatik untuk mencegahnya (Saiful, 2008). Contoh obat yang digunakan adalah : eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rFVIIa], dan asam aminokaproid.

Pada penelitian keempat Mayer et al. (2008) terapi dengan rFVIIa pada kasus ini terbukti dapat mengurangi hematoma, akan tetapi tidak meningkatkan suvival atau outcome fungsional setelah stroke intraserebral (Gofir, 2009).

b) Terapi yang berkaitan dengan obat anti koagulan

Obat anti koagulan dapat berperan sebagai faktor pemicu yang menjadikan

stroke hemoragik intraserebral mengalami eksaserbasi atau semakin buruk. Implementasi dari hipotesis ini dalam terapi stroke hemoragik intraserebral yang berkaitan dengan pemakain anti koagulan adalah selain menghentikan pemakain obat anti koagulan dan memperbaikki defisiensi faktor koagulasi secepat mungkin, juga terapi yang terkait dengan penangan faktor resiko yang mendasari terjadinya stroke hemoragik intraserebral (Saiful, 2008).

Pasien stroke hemoragik intraserebral akibat dari pemakai wafarin harus secepatnya diberikan fresh frosen plasma atau prothrombic complex concentrate

dan vitamin K. Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka pemberian obat dapat dimulai pada hari ke 7-14 setelah terjadinya perdarahan (Anonim 2007).

3) Stroke hemoragik subarakhnoid

a) Terapi untuk vasospasme

Beberapa hari setelah terjadi stroke hemoragik subarakhnoid terjadi inflamasi pembuluh darah yang dikelilingi darah subarakhnoid yang mengakibatkan penyempitan lumen pembuluh darah. Femona ini disebut

vasospasme dan menyerang 60%-70% penderita stroke hemoragik subarakhnoid

dan mengakibatkan iskemia simptomatis pada 50% kasus (Anggraeni, 2008). Pengatasan untuk masalah ini, pasien dapat diberikan nimodipin (Anonim, 2007).

b) Antifibrinolitik

Obat-obat anti fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai adalah epsilon asam aminokaproid dengan dosis 36 gram/hari atau asam traneksamat dengan dosis 6-12 gram/hari (Anonim, 2007).

10. Hipertensi pada Stroke Akut

Hipertensi sering kali dijumpai pada pasien dengan stroke akut. Bahkan pasien yang sebelumnya dalam kondisi normotensi sekalipun. Peningkatan

tekanan darah pada stroke iskemik akut sesungguhnya merupakan respon dari

jaringan otak yang bertujuan untuk meningkatkan tekanan perfusi otak, agar aliran darah ke area penumbra pun akan meningkat. Diharapkan dengan berjalannya

respon tersebut kerusakan di area penumbra tidak bertambah berat (Wahjoepramono, 2005). Terdapat dua konsep yang dapat dipakai untuk manajemen hipertensi pada stroke akut, yaitu: (1) tanpa pemberian obat, (2) dengan pemberian obat antihipertensi (Setyopranoto, 2007). Penanganan hipertensi pada stroke hemoragik berbeda dengan stroke iskemik karena tekanan yang tinggi dapat menyebabkan perburukan edema perihematoma serta serta kemungkinan perdarahan ulang.

1) Stroke iskemik (berdasarkan Guidelines Stroke 2007)

a) Pada penderita dengan tekanan darah diastolik >140 mmHg (atau >110 mmHg bila akan dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi berupa drip kontinyu nikardipin, diltiazem, nimodipin, dan lain-lain.

b) Jika tekanan darah sistolik >220 mmHg dan /atau tekanan darah diastolik >120 mmHg, berikan labetolol i.v selama 1-2 menit.

c) Jika tekanan darah sistolik <220 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik <120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan sebagainya. 2) Stroke hemoragik intraserebral

a) Tekanan sistolik >230 mmHg atau diastolik >140 mmHg dapat diberikan nitropruside

b) Tekanan sistolik >180-230 mmHg; atau diastolik >105-140 mmHg; atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg dapat diberikan labetolol,

esmolol, enalapril, atau preparat anti hipertensi intravena lainnya yang pemberiannya dapat secara titrasi seperti diltiazem, lisinopril, dan verapamil.

c) Tekanan sistolik <180 mmHg atau diastolik <105 mmHg tangguhkan

pemberian antihipertensi

d) Pertahankan tekanan perfusi serebral >70 mmHg (Wahjoepramono, 2005)

11. Hiperglikemia pada Stroke Akut

Penanganan penderita stroke dan diabetes melitus tidak berbeda banyak dengan penderita dengan nondiabetes, kecuali memerlukan penanganan hiperglikemianya. Kadar gula darah yang yang dianjurkan adalah 80-140 mg/dL. Kadar gula yang terlalu rendah juga tidak diharapkan karena apabila kadar gula darah terlalu rendah juga akan menimbulkan terjadinya penurunan kesadaran yang terlihat seperti stroke itu sendiri, sedangkan hiperglikemia akan menyebabkan terbentuknya asam laktat yang lebih banyak yang akan merusak jaringan otak itu sendiri (Baoezier, 2008). Koreksi segera hiperglikemia dengan insulin subkutan atau intravena terbukti memperbaikki keluaran pasien (Bustami, 2007). Pemberian insulin dapat dilihat pada Tabel I

Tabel III. Skala luncur insulin reguler manusia (Anonim, 2007)

Gula darah (mg/dL) Dosis insulin subkutan (Unit)

150-200 2

201-250 4

251-300 6

301-350 8

12. Dislipidemia pada Stroke Akut

Pada pasien yang mengalami faktor resiko dislipidemia dapat diatasi dengan pemberian statin. Selain menggunakan statin, pada pasien dengan hipertrigliseridemia atau kadar HDL-C yang rendah dapat diberikan ezetimibe, niasin atau gemfibrosil (Gofir, 2009).

13. Kenaikan Tekanan Intra Kranial

Tekanan intra kranial yang normal pada orang dewasa adalah 5-20 mmHg. Tekanan intra kranial dapat meningkat karena beberapa sebab. Penyebab dapat bersifat sementara saja, misalnya karena batuk dan bersin yang keras, mengejan dengan kuat, atau hal lainnya yang menyebabkan tekanan dalam sistem vena meningkat. Hal patologis yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial

yang berbahaya adalah stroke, cedera kepala, ensefalopati hipertensif dan

sebagainya. Pada sroke iskemik, terjadinya edema serebral merupakan penyebab

kenaikan volume otak; sedangkan pada stroke hemoragik, adanya massa

perdarahan jelas akan menambah massa intrakranial (Wahjoepramono, 2005). Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan:

a. Meninggikan posisi kepala 20-30°

b. Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena

c. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik d. Hindari hipertermia

e. Jaga normovolemia

Zat osmoterapi yang sering digunakan adalah manitol, suatu obat osmotik intravaskuler yang dapat menarik cairan dari jaringan otak yang mengalami edema dan yang non edema (Gofir, 2009). Dosis manitol yang dianjurkan 0,25-0,50g/kgBB (Anonim, 2007), untuk mengendalikan kenaikan tekanan intrakranial. Diuretik lain (seperti furosemid) dapat digunakan untuk memberikan diuresis cepat dan berlanjut dengan menurunkan kenaikan intra kranial (Gofir, 2009).

14. Demam dan Infeksi pada Stroke Akut

Demam akan mempengaruhi outcome stroke karena secara eksperimental

demam akan memperluas jaringan infark. Rekomendasi :

a. Atasi suhu tubuh > 37.5°C dengan obat antipiretika, parasetamol 500 mg b. Berikan antibiotika pada kasus-kasus infeksi (Rasyid dan Soertidewi, 2007).

Infeksi saluran kemih juga cukup sering terjadi pada pasien stroke dan dapat menyebabkan sepsis pada sekitar 5% pasien. Pneumonia merupakan penyebab kematian yang cukup sering pada pasien stroke. Hal ini biasanya terjadi pada pasien dengan imobilisasi atau dengan kemapuan batuk yang menurun.

Pneumonia harus dipikirkan jika timbul demam setelah serangan stroke dan

antibiotik yang sesuai harus diberikan (Wahjoepramono, 2005).

15. Gangguan Gastrointestinal pada Stroke Akut

Penggunaan nasogatric tube dicurigai menyebabkan terjadinya perubahan pada mukosa lambung. Pemberian antikoagulasi dan antifibrinolitik pada penderita dengan riwayat ulkus lambung kadang-kadang menyebabkan perdarahan lambung. Preparat reseptor H2 antagonis dapat diberikan pada penderita dengan riwayat ulkus lambung, khususnya penderita dengan pengobatan

aspirin, antikoagulasi, fibrinolitik, anti inflamasi non steroid, atau kortikosteroid (Setyopranoto, 2006).

16. Kejang pada Stroke Akut

Bangkitan kejang dan status epileptikus sering terjadi pada stroke akut. Bangkitan (seizure). Pengobatan dapat dimulai segera setelah bangkitan pertama atau menunggu bangkitan berikutnya. Obat-obatan yang digunakan adalah fenitoin, karbamasepin, asam valproat, dan obat-obat antiepilepsi yang baru (Gofir, 2009). Pemberian antikolvusan profilatik pada penderita stroke iskemik

tanpa kejang tidak dianjurkan. Pada stroke hemoragik intraserebral dapat

diberikan obat antiepilepsi profilaksis, selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan (Anonim, 2007).

B. Drug Related Problems

Dalam praktek pharmaceutical care harus diperhatikan pertama kali

adalah INDIKASI, kemudian KEEFEKTIFAN, diikuti oleh kesadaran dalam KEAMANAN dan akhirnya masalah KETAATAN pasien dalam menggunakan obat tersebut. Indikasi, keefektifan, keamanan dan ketaatan merupakan dasar dari kajian DRP (Drug Related Problems), hal ini dapat dilihat pada Tabel II.

Tabel IV. Kajian Drug Related Problems (Cipolle, Strand, dan Morley, 2004)

Drug related needs Kajian DRP

INDIKASI Tidak butuh obat

Butuh obat

KEEFEKTIFAN Obat tidak efektif

Dosis kurang

KEAMANAN Efek samping obat

Dosis berlebih

KETAATAN Ketidaktaatan pasien

Masalah-masalah dalam kajian DRP akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), yang meliputi: tidak ada

indikasi medik untuk terapi obat tersebut, penggunaan obat lebih dari satu padahal kondisi pasien hanya memerlukan terapi tunggal obat, kondisi medis yang tidak memerlukan penanganan dengan obat, pemberian obat untuk mencegah terjadinya efek samping obat. Dan, masalah yang disebabkan oleh penyalahgunaan obat, alkohol tau merokok.

2. Butuh obat (need for additional drug therapy), meliputi: ada indikasi medik yang memerlukan obat, dibutuhkan pemberian obat untuk mencegah timbulnya resiko baru, dan diperlukan tambahan obat untuk meningkatkan kerja obat baik secara sinergis atau aditif.

3. Obat tidak efektif (ineffective drug), meliputi: obat tidak efekif untuk mengatasi masalah medik tertentu, kondisi medik yang sukar disembuhkan dengan obat, bentuk sedian dari suatu produk obat yang tidak tepat, dan produk obat yang tidak efektif dengan indikasi yang ditangani.

4. Dosis kurang (dosage too low), meliputi: dosis obat terlalu rendah sehingga respon obat yang diharapkan tidak tercapai, interval pemberian terlalu lama sehingga tidak tercapai respon yang diharapkan, adanya interaksi obat yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan obat dalam tubuh, dan durasi pemberian obat terlalu singkat sehingga respon obat belum tercapai.

5. Reaksi efek samping obat (adverse drug reaction), yang meliputi: ada produk obat yang menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan (tidak ada kaitannya

dengan dosis), interaksi obat yang menyebabkan reaksi tidak diharapkan (tidak ada kaitannya dengan dosis), dosis obat yang diberikan (administrasi pemberiannya) terlalu cepat, produk obat yang menyebabkan alergi, dan obat yang dikontraindikasikan dengan faktor resiko yang ada.

6. Dosis berlebih (dosage too high), meliputi: dosis terlalu tinggi, frekuensi pemberian obat terlalu pendek, durasi pemberian terlalu lama, adanya interaksi obat yang menyebabkan reaksi tosik, dan cara pemberian yang sifatnya terlalu cepat.

7. Ketidaktaatan (noncompliance), meliputi: pasien tidak mengerti instruksi penggunaannya, pasien memilih tidak menggunakan obat, pasien lupa, obat terlalu mahal, pasien tidak dapat menelan atau menggunakannya sendiri, dan produk obat yang sesuai tidak tersedia (Cipolle dkk, 2004).

C. Unit Stroke

Pada prinsipnya pengobatan stroke akut sangat menentukan kualitas hidup pasien dan bahkan mencegah kematian. Karenanya motto tatalaksana pasien

stroke adalah Time is Brain. Perawatan harus dilakukan di Unit Stroke, karena telah dibuktikan dan diakui oleh FDA-Amerika Serikat dan EUSI (lembaga stroke

Eropa) serta America Heart Asosciation/ American Stroke Council, American

Chest Physician Association sebagai Evidenced based treatment, baik secara organisatoris maupun secara competency based (Misbach, 2007).

Menurut Langhorne dan Dennis (1993), definisi unit stroke ada 3 macam. Definisi pertama adalah tim terdiri atas spesialis-spesialis sesuai dengan

bidangnya dalam mengenai penderita stroke dan sebagai konsulen di rumah sakit. Definis kedua adalah ruangan khusus di rumah sakit yang menyediakan tempat tidur khusus untuk penderita-penderita yang memerlukan perawatan oleh tim yang terdiri atas spesialis-spesialis. Definis ketiga adalah tempat khusus di rumah sakit yang sudah disiapkan bagi penderita stroke dan penderita stroke yang memerlukan pelayan rehabilitasi serta kemampuan pelayanan profesional dalam suatu unit yang tetap (cit., Gofir 2009).

Anggota tim stroke harus mempunyai kompetensi dan pengetahuan

mengenai tatalaksana stroke yang meliputi:

1. Melakukan diagnosis, terapi, perawatan dan evaluasi stroke akut

2. Membantu pemulihan penderita stroke seoptimal mungkin

3. Menurunkan insidensi stroke melalui usaha prevensi primer dengan edukasi.

4. Mengimplementasikan prevensi primer untuk menurunkan resiko stroke

ulang

5. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan riset stroke

(Gofir, 2009).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai evaluasi pengobatan pasien stroke rawat inap di Unit Stroke RSUD Banyumas tahun 2010 (Januari-April) yang meliputi: butuh obat (need for additional drug therapy), tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis kurang (dosage too low), dosis berlebih (dosage too high), dan reaksi

karakteristik pasien, gambaran penggunaan obat, lama inap dan keadaan waktu pulang pasien Unit Stroke RSUD Banyumas.

Dokumen terkait