BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumor Ganas Hidung dan Sinus Paranasal
2.1.3 Epidemiologi
Tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal relatif jarang
hanya sekitar tiga persen dari malignansi di daerah kepala dan leher (Tufano
et al, 1999; Michael et al, 2005). Diperkirakan 55% tumor ganas hidung dan
sinus paranasal berasal dari sinus maksila, 35% dari kavum nasi, sembilan
persen dari sinus etmoid dan sisanya dari sinus frontal dan sinus sfenoid
(Fasunla dan Lasisi, 2007).
Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus paranasal ditemukan di
Jepang yaitu dua per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FK UI RS
Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10,1% dari seluruh
tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki
banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004). Rifqi
mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di
sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus
adalah 9,3 – 25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua
sesudah tumor ganas nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP
H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008
pasien yang dirawat dengan diagnosa tumor ganas hidung dan sinus
paranasal adalah sebanyak 52 kasus.
Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India
dengan perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%.
Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan
melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid.
2.1.4 Etiologi
Etiologi tumor ganas hidung dan sinus paranasal masih belum
diketahui dengan pasti, tetapi diduga terpapar beberapa zat hasil industri.
Pekerja-pekerja pada industri logam berat yang terpapar dengan nikel,
chromium dan radium menunjukkan peningkatan insiden tumor ganas hidung
dan sinus paranasal. Selain itu terdapat beberapa zat yang diduga sebagai
penyebab yaitu gas mustard, larutan isopropil dan senyawa hidrokarbon.
Rokok, alkohol, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan
kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran
mengurangi kemungkinan terjadi keganasan (Bhattacharyya, 2002; Lund,
2003; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Zimmer dan Carau, 2006).
2.1.5 Patologi
Tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut
histopatologinya dibagi atas:
a. Epitel: - Karsinoma sel skuamus
- Karsinoma sel transisional
- Adenokarsinoma
- Adenoid kistik karsinoma
- Melanoma
- Neuroblastoma olfaktorius
b. Non epitel - Sarkoma jaringan lunak - Rhabdomyosarkoma - Leiomyosarkoma - Fibrosarkoma - Liposarkoma - Angiosarkoma - Miksosarkoma - Hemangioperisitoma
- Sarkoma jaringan penghubung
- Kondrosarkoma
- Osteosarkoma
c. Tumor limforetikular: - limfoma
- Plasmasitoma
- Tumor giant sel
Sebagian besar keganasan pada hidung dan sinus paranasal berasal
dari epitel (Zimmer dan Carrau, 2006).
2.1.6 Gejala Klinis
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya.
Biasanya tumor didalam sinus maksila tidak memberikan gejala sampai
terjadi perluasan ke organ lain, dan sering ditemukan secara kebetulan pada
menyerupai gejala sinusitis seperti obstruksi hidung unilateral dan rinorea,
sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis (Wong dan Krause,
2001; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007).
Pada stadium lanjut dapat terjadi penyebaran ke organ lain sehingga
sukar ditentukan asal tumor primernya. Perluasan tumor dapat menimbulkan
keluhan sebagai berikut:
a. Perluasan ke medial akan menyebabkan gejala hidung tersumbat,
rinore kronik satu sisi disertai epistaksis. Tumor dapat juga terlihat di
kavum nasi.
b. Perluasan keatas melalui dasar orbita menyebabkan diplopia dan
pendorongan bola mata.
c. Perluasan kearah anterior menyebabkan pembesaran pipi satu sisi,
sehingga muka menjadi asimetris. Kadang-kadang terjadi infiltrasi dan
ulserasi. Bila mengenai nervus infra orbitalis, dapat menyebabkan
parestesi kulit pipi.
d. Tumor yang berasal dari dasar antrum dan meluas kearah bawah
menimbulkan keluhan-keluhan gigi. Dapat juga timbul bengkak dan
ulserasi pada palatum, prosesus alveolaris atau sulkus gingivobukal.
e. Perluasan kearah belakang, dapat ke fossa pterigomaksila dan lamina
pterigoid, dan penyebarannya juga dapat ke nasofaring, sinus sfenoid
dan dasar tengkorak.
f. Penyebaran intrakranial dapat terjadi melalui etmoid, fossa kribiformis
g. Penyebaran limfatik jarang terjadi, hanya pada stadium lanjut. Paling
sering adalah pembengkakan kelenjar getah bening di daerah sub
mandibula.
h. Metastasis jauh jarang terjadi, paling sering terjadi di paru dan kadang-
kadang pada tulang (Dhingra, 2007)
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, radiologi dan biopsi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi (Wong dan Krause, 2001; Roezin,
Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007).
2.1.8 Klasifikasi Klinis a. Klasifikasi Ohngren
Bidang imajiner yang melalui kantus medius dan angulus mandibula.
Bidang ini membagi rahang atas menjadi struktur superior posterior
(suprastruktur) dan struktur inferior anterior (infrastruktur). Adapun
yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila
bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Tumor di
dibandingkan tumor di daerah suprastruktur (Wong dan Kraus, 2001;
Dhingra, 2007).
b. Klasifikasi Lederman’s
Membuat dua garis horizontal melalui dasar orbita dan melalui dasar
antrum. Garis tersebut membagi daerah:
1) Suprastruktur: sinus etmoid, sinus sfenoid, sinus frontal serta
daerah olfaktorius dari hidung.
2) Mesostruktur: sinus maksilaris dan daerah respiratori hidung.
3) Infrastruktur: meliputi prosesus alveolaris.
Klasifikasi tersebut selanjutnya menggunakan garis vertikal sejajar
dinding medial orbita dan membagi sinus etmoid dan fossa nasalis dari
sinus maksila (Dhingra, 2007)
2.1.9 Stadium Tumor
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal
yang terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
2006 yaitu (Grene et al, 2006; Scurry et al, 2007):
Tumor primer (T) Sinus maksila
TX Tumor primer tidak bisa ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Kasinoma insitu
Tulang
T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan
atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksila
dan fossa pterigoid
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksila, jaringan
subkutan, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoid.
T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid,
fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoid atau frontal
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apek orbita, dura, otak, fossa kranial
medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus V,
nasofaring atau klivus
Kavum nasi dan sinus etmoid
TX Tumor primer tidak bisa ditentukan
T0 Tidak tampak tumor
Tis Karsinoma insitu
T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi
tulang
T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan
melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks dengan atau tanpa invasi
T3 tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksila,
palatum atau fossa kribriformis.
T4a Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung
dan pipi, ekstensi minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid,
sinus sfenoid atau frontal.
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain nervus V, nasofaring atau klivus
Kelenjar getah bening regional (N)
NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesarah kelenjar
N1 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral < 3 cm
N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar
ipsilateral < 6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm
N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm.
N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm.
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm
Metastasis jauh (M)
MX Metastasis jauh tidak bisa ditentukan
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal 0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0 II T2 N0 M0 III T3 N0 M0 T1 N1 M0 T2 N1 M0 T3 N1 M0 IVA T4a N0 M0 T4a N1 M0 T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N2 M0 T4a N2 M0 IVB T4b semua N M0 semua T N3 M0
IVC semua T semua N M1
2.1.10 Penatalaksanaan
Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor
ganas hidung dan sinus paranasal. Para ahli berpendapat bahwa satu cara
pengobatan saja hasilnya adalah buruk, sehingga mereka menganjurkan
cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi (Roezin,
Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007).
Operasi merupakan modal utama dalam mengatasi keganasan hidung
dan sinus paranasal. Oleh karena sebagian besar keganasan hidung dan
sinus paranasal berasal dari sinus maksila sehingga operasi maksilektomi
menjadi pilihan utama baik parsial maupun total maksilektomi tergantung
perluasan dan keganasan tumor (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004).
b. Radioterapi
Radioterapi dapat digunakan sebagai modalitas tunggal, sebagai
tambahan pada operasi, atau sebagai terapi paliatif. Penelitian terbaru
menyebutkan bahwa radioterapi pasca operasi dapat meningkatkan kontrol
lokal tetapi tidak menyebabkan angka bertahan hidup yang absolut. Para ahli
lebih menyukai radioterapi pasca operasi karena volume tumor yang lebih
kecil dapat dimusnahkan, dan batas tumor yang tidak teradiasi menjadi lebih
jelas saat dilakukan operasi dan juga penyembuhan luka pasca operasi lebih
dapat diprediksi (Zimmer dan Carrau, 2006)
c. Kemoterapi
Penggunaan kemoterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal
adalah sebagai terapi paliatif untuk mengurangi rasa sakit. Samant dkk
(2004) melaporkan penggunaan Cisplatin intra arteri dosis tinggi dengan
radioterapi konkomitan pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal.
Angka bertahan hidup selama lima tahun adalah 53%. Pasien-pasien yang
mempunyai resiko operasi yang buruk dan menolak untuk dilakukan operasi
dapat dilakukan kombinasi terapi antara radioterapi dan kemoterapi (Zimmer
2.2 Vascular Endothelial Growth Factor