• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Pada Karsinoma Hidung Dan Sinus Paranasal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Pada Karsinoma Hidung Dan Sinus Paranasal"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH

FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN

SINUS PARANASAL

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu

Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher

Oleh :

MARWAN MOEHARMAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Lembar Pengesahan

Tanggal 10 Juni 2010

Disetujui untuk diajukan ke sidang ujian oleh:

Pembimbing 1

Dr. Hafni, Sp.THT-KL(K) NIP: 195609111984032001

Pembimbing 2

Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp. THT-KL(K) NIP: 130 318 044

Pembimbing 3

Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. THT-KL(K) NIP: 195401261984031001

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K) NIP: 194603051975031001

(3)

Tesis dengan judul

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH

FACTOR (VEGF) PADA KARSINOMA HIDUNG DAN

SINUS PARANASAL

Diketahui Oleh :

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Abdul Rachman Saragih,dr.Sp.THT-KL(K) Prof. Askaroellah Aboet dr.Sp.THT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh pembimbing

Ketua

dr. Hafni, Sp.THT-KL(K)

Anggota

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirahmanirrahim, saya sampaikan rasa

syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya saya

dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah kepala leher di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan

tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun

demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan

penelitian tentang Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

pada Karsinoma Hidung dan Sinus Paranasal.

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus

hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

Dr. Hafni, Sp.THT-KL(K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing

penelitian ini, begitu juga kepada Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL(K),

Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K) sebagai anggota pembimbing dan Prof.

H.M. Nadjib Dahlan Lubis, dr. Sp. PA(K) dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes

sebagai konsultan ahli. Ditengah kesibukan beliau , dengan penuh perhatian

dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan

pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan

(5)

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan

yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.

Syahril Pasaribu, dr. SpA(K) DTM&H dan mantan Rektor Universitas

Sumatera Utara, Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr. SpA(K) DTM&H yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program

Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara Prof. Gontar Alamsyah Siregar, dr. Sp.PD(KGEH) dan mantan Dekan

Fakultas Kedokteran USU Prof. Sutomo Kasiman, dr. Sp.JP(K) dan Prof T.

Bahri Anwar, dr. SpJP(K) atas kesempatan yang diberikan kepada saya

untuk mengikuti program pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur

RS Tembakau Deli Medan, Direktur RSUD Lubuk Pakam dan Direktur Rumkit

TK I Medan dan Direktur RSUD F.L. Tobing Sibolga yang telah mengizinkan

dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa

pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen / Staf Radiologi FK.USU / RSUP.

H.Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Anestesi FK.USU RSUP.

H.Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Patologi Anatomi FK.USU

(6)

stase asisten di bagian tersebut dan kami ucapkan terima kasih

sebanyak-banyaknya.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Abdul

Rachman Saragih, dr. Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu

Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Prof. Askaroellah Aboet, dr.

Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada

saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas

Kedokteran USU/RSUP. H.Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL,

Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K),

Prof. Askaroellah Aboet, dr. Sp.THT-KL(K), Prof. Abdul Rachman Saragih,

dr. Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain

Hasibuan, SpTHT-KL, dr.T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), Dr. Dr. Delfitri

Munir, SpTHT-KL(K), dr.Linda I Adenin,Sp.THT-KL, dr.Hafni,Sp.THT-KL (K),

dr. Ida Sjailandrawati Hrp, SpTHT-KL, dr.Adlin Adnan,Sp.THT-KL, dr. Rizalina

A. Asnir, Sp.THT-KL, (Almh) dr. Ainul Mardhiah, Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah,

Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr.Harry Agustaf Asroel,

Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr.

Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara,

SpTHT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, SpTHT-KL dan dr. M. Pahala Hanafi

Harahap, SpTHT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan

(7)

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun

kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang terhormat perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati

RSUP H. Adam Malik Medan , khususnya Departemen/SMF THT-KL yang

selalu membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalani tugas

pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda dr. H. Moeharman Idham, SpPD

KPTI (Alm) dan Ibunda Hj. Sulastri, ananda sampaikan rasa hormat dan

terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya

atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda

sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang

baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang

kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat

Allah SWT, Ya Allah ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami,

serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.

Yang tercinta Bapak mertua Zulfikri Tala, S.H. dan Ibu mertua Nirwisna

Martias, S.H. yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk

selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kepada istriku tercinta dr. Sri Mella Tala, serta buah hati kami

tersayang Muhammad Zaki Moeharman, tiada kata yang lebih indah yang

dapat saya ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas

(8)

tiada henti-hentinya kepada ayahanda sehingga dengan ridho Allah SWT

akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada Kakak dan Abang ipar penulis mengucapkan terima kasih atas

limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta

doa kepada penulis.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami

sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas

segala kesalahan dan kekurangan kami selama mengikuti pendidikan ini,

semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada kami

selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda

dari Allah SWT, Yang maha pemurah, maha pengasih dan maha penyayang.

Amin.

Medan, Juli 2010 Penulis

(9)

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Hidung dan Sinus Paranasal

Abstrak

Latar Belakang : Karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut, sehingga angka

survival rendah dan prognosis penderita jelek. Salah satu faktor yang diduga

berperan dalam progresivitas tumor dan metastase tumor adalah

overekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan

penting dalam proses angiogenesis tumor. Penelitian ini dilakukan untuk

melihat ekspresi VEGF pada karsinoma hidung dan sinus paranasal, serta

melihat hubungan ekspresi VEGF dengan stadium dan jenis histopatologi

karsinoma hidung dan sinus paranasal.

Metode Penelitian : Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross

sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik

Medan, secara non probability consecutive sampling mulai Mei 2009.

Terhadap penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal dilakukan

pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari jaringan hidung dan

sinus paranasal yang diperoleh dari biopsi. Ekspresi VEGF dinilai pada

sitoplasma yang terwarnai merah kecoklatan. Data dianalisa dengan uji

korelasi Spearman dan uji chi square dengan tingkat kemaknaan 5%.

(10)

dijumpai pada 23 dari 25 kasus karsinoma hidung dan sinus paranasal

(92,0%). Dijumpai korelasi yang bermakna antara stadium lanjut tumor

dengan ekspresi VEGF pada karsinoma hidung dan sinus paranasal

(p < 0,05). Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis

histopatologi dengan ekspresi VEGF pada karsinoma hidung dan sinus

paranasal (p > 0,05).

Kesimpulan : Ekspresi VEGF cukup tinggi pada penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal. Kemungkinan VEGF berperan dalam proses

angiogenesis pada karsinoma hidung dan sinus paranasal.

(11)

Abstract

Background : Sinonasal carcinoma is a malignancy that tend to diagnosed at advanced stage with low survival and prognosis rate. One of the factor that

may play a role in progresivity and metastasis of tumour is overexpression of

vascular endothelial growth factor (VEGF) which is a key role in tumour

angiogenesis. The aim of this study is to learn the expression of VEGF in

sinonasal carcinoma, and to learn the association of VEGF expression with

tumour stage and histopathologic type of sinonasal carcinoma.

Study design and methods : This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of North Sumatera / H.

Adam Malik Hospital. Sample was collected by non probability consecutive

sampling, starting from Mei 2009. Sinonasal carcinoma patients underwent

histophatologic examination and immunohistochemical analysis from

sinonasal biopsy. VEGF expression analysed by red-brown stained

cytoplasm. Data was analysed by Spearman’s correlation test and chi square

test.

Results : VEGF positive expression was found in 25 of 25 (100.0%) sinonasal carcinoma cases. VEGF over expression was found in 23 of 25

(92.0%) sinonasal carcinoma cases. Significance correlation was found

between tumour stage and VEGF expression (p > 0.05). No significance

association was found between histophatologic type and VEGF expression

(12)

Conclusions : VEGF expression is relatively high in sinonasal carcinoma patient. VEGF may play a role in the angiogenesis of sinonasal carcinoma.

(13)

DAFTAR ISI

2.1.2 Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal ………… 13

2.1.3 Epidemiologi ……….. 18

2.1.4 Etiologi ………. 19

2.1.5 Patologi ……… 20

2.1.6 Gejala Klinis ……… 21

2.1.7 Diagnosis ……… 23

2.1.8 Klasifikasi Klinis ………. 23

2.1.9 Stadium Tumor ……….. 24

2.1.10 Penatalaksanaan ………. 27

2.2 Vascular Endothelial Growth Factor …... 29

2.2.1 Angiogenesis ……….. 29

2.2.2 Angiogenesis yang Diinduksi Tumor ………….. 30

2.2.3 Famili VEGF ……… 33

(14)

2.2.5 Peran VEGF pada Angiogenesis ……….... 37

2.2.6 Regulasi VEGF ……….. 41

2.2.7 Ekspresi VEGF ……….. 45

2.2.8 Anti VEGF ……….. 46

BAB 3 : KERANGKA KONSEPTUAL ……… 48

BAB 4 : METODE PENELITIAN ………. 49

4.1 Rancangan Penelitian ……… 49

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 49

4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Teknik Pengambilan Sampel ………... 49

4.3.1 Populasi ……… 49

4.3.2 Sampel Penelitian ……….. 50

4.3.3 Besar Sampel ………... 51

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 51

4.4 Variabel Penelitian ……….. 52

4.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian ……….. 52

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ……….. 52

4.5 Bahan Penelitian ……… 54

4.6 Instrumen Penelitian …...……….. 54

4.7 Kerangka Kerja ………... 57

4.8 Pelaksanaan Penelitian ………. 57

4.9 Cara Analisis Data ……….. 58

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN... 59

(15)

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 72

7.1 Kesimpulan ………. 72

7.2 Saran ……… 72

KEPUSTAKAAN ……… 73

LAMPIRAN ……….. 77

Lampiran 1. Data Sampel Penelitian ……….. 77

Lampiran 2. Status Penelitian ……….. 79

Lampiran 3. Lembar Penjelasan Mengenai Penelitian ……… 83

Lampiran 4. Naskah Penjelasan ………. 86

Lampiran 5. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ……… 88

Lampiran 6. Persetujuan Komite Etik Penelitian ……….. 89

(16)

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Hidung dan Sinus Paranasal

Abstrak

Latar Belakang : Karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut, sehingga angka

survival rendah dan prognosis penderita jelek. Salah satu faktor yang diduga

berperan dalam progresivitas tumor dan metastase tumor adalah

overekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan

penting dalam proses angiogenesis tumor. Penelitian ini dilakukan untuk

melihat ekspresi VEGF pada karsinoma hidung dan sinus paranasal, serta

melihat hubungan ekspresi VEGF dengan stadium dan jenis histopatologi

karsinoma hidung dan sinus paranasal.

Metode Penelitian : Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross

sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik

Medan, secara non probability consecutive sampling mulai Mei 2009.

Terhadap penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal dilakukan

pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari jaringan hidung dan

sinus paranasal yang diperoleh dari biopsi. Ekspresi VEGF dinilai pada

sitoplasma yang terwarnai merah kecoklatan. Data dianalisa dengan uji

korelasi Spearman dan uji chi square dengan tingkat kemaknaan 5%.

(17)

dijumpai pada 23 dari 25 kasus karsinoma hidung dan sinus paranasal

(92,0%). Dijumpai korelasi yang bermakna antara stadium lanjut tumor

dengan ekspresi VEGF pada karsinoma hidung dan sinus paranasal

(p < 0,05). Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis

histopatologi dengan ekspresi VEGF pada karsinoma hidung dan sinus

paranasal (p > 0,05).

Kesimpulan : Ekspresi VEGF cukup tinggi pada penderita karsinoma hidung dan sinus paranasal. Kemungkinan VEGF berperan dalam proses

angiogenesis pada karsinoma hidung dan sinus paranasal.

(18)

Abstract

Background : Sinonasal carcinoma is a malignancy that tend to diagnosed at advanced stage with low survival and prognosis rate. One of the factor that

may play a role in progresivity and metastasis of tumour is overexpression of

vascular endothelial growth factor (VEGF) which is a key role in tumour

angiogenesis. The aim of this study is to learn the expression of VEGF in

sinonasal carcinoma, and to learn the association of VEGF expression with

tumour stage and histopathologic type of sinonasal carcinoma.

Study design and methods : This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of North Sumatera / H.

Adam Malik Hospital. Sample was collected by non probability consecutive

sampling, starting from Mei 2009. Sinonasal carcinoma patients underwent

histophatologic examination and immunohistochemical analysis from

sinonasal biopsy. VEGF expression analysed by red-brown stained

cytoplasm. Data was analysed by Spearman’s correlation test and chi square

test.

Results : VEGF positive expression was found in 25 of 25 (100.0%) sinonasal carcinoma cases. VEGF over expression was found in 23 of 25

(92.0%) sinonasal carcinoma cases. Significance correlation was found

between tumour stage and VEGF expression (p > 0.05). No significance

association was found between histophatologic type and VEGF expression

(19)

Conclusions : VEGF expression is relatively high in sinonasal carcinoma patient. VEGF may play a role in the angiogenesis of sinonasal carcinoma.

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tumor ganas hidung dan sinus paranasal meliputi kurang dari 1% dari

seluruh keganasan dan sekitar 3% pada saluran pernapasan atas (Thomson,

2006). Karena tumor tumbuh dalam tulang, sulit mengetahuinya secara dini.

Asal tumor juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena

biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor telah

memenuhi rongga hidung dan sinus (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto,

2004). Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus paranasal ditemukan

di Jepang yaitu 2 per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FK UI RS

Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10,1% dari seluruh

tumor ganas THT (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004). Rifqi

mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di

sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus

adalah 9,3 – 25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua

sesudah tumor ganas nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP

H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008

pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal

adalah sebanyak 52 kasus.

Etiologi dari tumor ganas hidung dan sinus paranasal belum diketahui,

(21)

nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropil dan lain-lain.

(Zimmer dan Carrau, 2006). Pekerja dibidang ini mendapat kemungkinan

terjadi keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar. Alkohol, makanan yang

diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan,

sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadinya

keganasan (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004).

Tumor ganas hidung dan sinus paranasal adalah tumor yang sangat

sulit untuk diterapi karena berhubungan dengan prognosis yang buruk. Salah

satu alasan buruknya prognosis adalah dekatnya anatomi kavum nasi dan

sinus paranasal ke struktur-struktur vital seperti dasar tengkorak, otak, mata,

dan arteri karotis. Lokasi yang kompleks ini membuat reseksi bedah tumor

hidung dan sinus paranasal merupakan suatu tantangan dan kadang-kadang

tidak mungkin untuk dilakukan (Wong dan Kraus, 2001).

Operasi dengan radioterapi pasca operasi adalah terapi standar untuk

tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Penatalaksanaan yang optimal

untuk tumor ganas hidung dan sinus paranasal masih kontroversial. Hal ini

dipengaruhi oleh banyaknya tipe histologi dan daerah yang ikut terlibat. Untuk

meningkatkan angka harapan hidup, kemoterapi diberikan sebagai terapi

adjuvan dalam berbagai metode yang luas (Wong dan Kraus, 2001), dan dari

beberapa penelitian telah disimpulkan kombinasi anti VEGF (Vascular

Endothelial Growth Factor) dengan kemoterapi atau radioterapi menghasilkan

efek antitumor yang lebih baik daripada pemberian kemoterapi atau

(22)

Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor

dan prognosis yang buruk dalam berbagai macam tumor, termasuk tumor

sinus maksila, tumor lidah, gingiva, dan mandibula, tumor kolorektal,

lambung, pankreas, payudara, paru dan melanoma, acute myeloid leukemia,

hepar dan ovarium (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005; Strauss et al,

2005). VEGF merupakan faktor proangiogenik yang berperan dalam

angiogenesis untuk pertumbuhan tumor, invasi dan metastasis tumor

(Agulnik dan Siu, 2005).

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal

dari pembuluh darah yang telah ada (Josko et al, 2000; Rosen, 2002).

Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk

diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi

wanita (Josko et al, 2000; Rosen, 2002). Dalam kondisi patologi,

angiogenesis dibutuhkan pada proses pertumbuhan tumor solid dan pada

proses metastasis (Rosen, 2002; Medinger dan Drevs, 2005; Hicklin dan

Ellis, 2005). Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran

1-2 mm3 (Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen,

nutrisi, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, dan

mempengaruhi faktor hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem

fibrinolitik, serta penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh (Hicklin dan Ellis,

2005).

Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang

(23)

faktor-faktor anti angiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Ekspresi VEGF

dalam sel-sel tumor distimulasi oleh hipoksia, onkogen dan inaktivasi gen

supresor tumor (p53) dan oleh berbagai sitokin (Rosen, 2002). Aktivasi aksis

VEGF / VEGF reseptor (VEGFR) memicu jaringan sinyal multipel yang

menghasilkan survival sel endotel, mitogenesis, migrasi, diferensiasi dan

permeabilitas vaskular serta mobilisasi sel-sel progenitor endotel dari

sumsum tulang ke sirkulasi perifer (Hicklin dan Ellis, 2005).

Karena peran sentralnya dalam angiogenesis tumor, jalur VEGF /

VEGFR telah menjadi fokus utama riset dasar dan pengembangan

obat-obatan di bidang onkologi (Hicklin dan Ellis, 2005).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti

tertarik untuk mengetahui ekspresi VEGF pada karsinoma hidung dan sinus

paranasal, dimana overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan

progresivitas tumor dan prognosis yang buruk.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penderita karsinoma hidung dan

sinus paranasal stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk. Peneliti

tertarik untuk mengetahui ekspresi VEGF pada karsinoma hidung dan sinus

paranasal, bagaimana overekspresi VEGF dihubungkan dengan progresivitas

(24)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada

karsinoma hidung dan sinus paranasal.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui ekspresi VEGF pada penderita karsinoma

hidung dan sinus paranasal.

b. Mengetahui ekspresi VEGF pada berbagai stadium

karsinoma hidung dan sinus paranasal.

c. Mengetahui ekspresi VEGF pada berbagai jenis

histopatologi karsinoma hidung dan sinus paranasal

1.4 Manfaat Penelitian

a. Dapat memahami peran VEGF pada karsinoma hidung dan

sinus paranasal dalam progresifitas dan prognosis penyakit.

b. Sebagai dasar penelitian selanjutnya dalam pemberian anti

VEGF terhadap karsinoma hidung dan sinus paranasal untuk

meningkatkan efek terapi dasar karsinoma hidung dan sinus

(25)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Tumor Ganas Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat

perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ

pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung

terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis

tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan

atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan,

dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang

paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan

(Ballenger,1994; Hilger, 1997; Levine, 2005).

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan

belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut

sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela

membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan

terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela

dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas

membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut

(26)

(lubang hidung) kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi

dan sebelah inferior oleh dasar hidung (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang

dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam

terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior

hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan

kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum

nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan

disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)

yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Ballenger, 1994 ;

Hilger, 1997).

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat

dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi

oleh kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea dan rambut-rambut

panjang yang disebut dengan vibrise (Ballenger,1994).

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial,

lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.

Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral

terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terbesar dan

letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah

(27)

ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin

etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian

dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan

inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut

meatus superior ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan

merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior.

Disini terdapat muara dari sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior

sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya

menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit

yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang

berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum

yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum

membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai

prosesus unsinatus (Ballenger, 1994).

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang

terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksila

merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk

piramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan

puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla ( Ballenger, 1994 ;

(28)

Perdarahan hidung

Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama

yaitu

1. Arteri etmoidalis anterior

2. Arteri etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika

3. Arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang

berasal dari arteri karotis eksterna (Ballenger, 1994).

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri

maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri

sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus

sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka

media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang

arteri fasialis (Ballenger, 1994; Hilger, 1997).

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri

palatina mayor, yang disebut pleksus Kieesselbach (little’s area). Pleksus

Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga

sering menjadi sumber epistaksis (Ballenger,1994; Hilger,1997).

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus

(29)

Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris

dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus

nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung

terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus

trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus

memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi

menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus

infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa

bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior

melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang

nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar

mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion

sfenopalatina (Ballenger,1994; Hilger,1997). Ganglion sfenopalatina, selain

memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau

otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut

sensoris dari nervus maksila. Serabut parasimpatis dari nervus petrosus

profundus. Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang dan sedikit di atas

ujung posterior konka media (Ballenger,1994).

Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan

(30)

penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung

(Ballenger, 1994; Hilger, 1997).

Fisiologi hidung

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi

agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu,

hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan

yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal

dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara

inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel

yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85% - 90% disaring didalam

hidung dengan bantuan transpor mukosiliar (Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997 ;

McCaffrey, 2000).

Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1) Sebagai

jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai

indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses

bicara, (7) Reflek nasal (Ballenger,1994).

2.1.2 Anatomi dan fungsi sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang

sangat bervariasi pada setiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal

mulai dari yang terbesar adalah sinus maksilla, sinus frontalis, sinus etmoid

(31)

tulang-tulang kepala hingga terbentuk rongga didalam tulang-tulang. Semua sinus

mempunyai muara kedalam hidung (Lang,1989).

Sinus maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Bentuknya

segitiga, dengan dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila

yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan

infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,

dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah

prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah

superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris berjalan

melalui infundibulum etmoid (Ballenger,1994 ; Weir, 1997).

Sinus frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan

keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel

infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada

usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun

(Hilger,1997).

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar

dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak digaris tengah.

Kurang lebih 15 % orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan

(32)

adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2cm (Hilger, 1994).

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa

serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah

ini. Sinus frontal ini berdrainase melalui ostiumnya dan bermuara ke meatus

media (Ballenger,1994).

Sinus etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan

akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan sumber

infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Sinus etmoid, mula-mula terbentuk pada

janin berusia 4 bulan dan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia

hingga dewasa. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid

dengan dasarnya dibagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5

cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm dibagian anterior dan 1,5 cm dibagian

posterior (Ballenger,1994)

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai

sarang tawon. Jumlah sel-selnya sangat bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata

9 sel). Ada dua kelompok sel-sel tersebut. Kelompok anterior yang bermuara

kemeatus medius dan kelompok posterior yang bermuara ke meatus

superior. Sel anterior dan posterior dipisahkan oleh lempeng tulang

transversal yang tipis. Tempat perlekatan konka media pada dinding lateral

(33)

dan posterior. Kelompok sel anterior terdapat didepan dan bawahnya sedang

kelompok posterior ada di atas dan belakangnya (Ballenger,1994).

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan

lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat

tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Dibagian belakang sinus

etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Ballenger,1994).

Sinus sfenoid

Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah

berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya didalam os

sfenoid dan ukuran serta bentuknya sangat bervariasi. Sepasang sinus ini

dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, letaknya jarang di

tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar dari pada sisi lainnya

(Ballenger,1994)

Masing-masing sinus sfenoid berhubungan dengan meatus superior

melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis. Ukuran ostium sinus

sfenoid berkisar antara 0,5 sampai 4 mm dan letaknya kira 10 sampai 20 mm

di atas dasar sinus. Ukuran sinus ini kira-kira : usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5

mm dan pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml

(0,05 sampai 30 ml). Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa

serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring,

(34)

interna dan disebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior

didaerah pons (Ballenger,1994).

Fungsi sinus paranasal

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam

ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas

sehingga diperlukan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus

(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004).

b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah

(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004).

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat

tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya

(35)

sehingga teori ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto dan Mangunkusumo,

2004).

d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator

yang efektif (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004).

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto dan

Mangunkusumo, 2004).

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena

mukus ini keluar dari meatus medius (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004).

2.1.3 Epidemiologi

Tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal relatif jarang

(36)

hanya sekitar tiga persen dari malignansi di daerah kepala dan leher (Tufano

et al, 1999; Michael et al, 2005). Diperkirakan 55% tumor ganas hidung dan

sinus paranasal berasal dari sinus maksila, 35% dari kavum nasi, sembilan

persen dari sinus etmoid dan sisanya dari sinus frontal dan sinus sfenoid

(Fasunla dan Lasisi, 2007).

Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus paranasal ditemukan di

Jepang yaitu dua per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FK UI RS

Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10,1% dari seluruh

tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki

banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004). Rifqi

mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di

sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus

adalah 9,3 – 25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua

sesudah tumor ganas nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP

H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008

pasien yang dirawat dengan diagnosa tumor ganas hidung dan sinus

paranasal adalah sebanyak 52 kasus.

Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India

dengan perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%.

Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan

melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid.

(37)

2.1.4 Etiologi

Etiologi tumor ganas hidung dan sinus paranasal masih belum

diketahui dengan pasti, tetapi diduga terpapar beberapa zat hasil industri.

Pekerja-pekerja pada industri logam berat yang terpapar dengan nikel,

chromium dan radium menunjukkan peningkatan insiden tumor ganas hidung

dan sinus paranasal. Selain itu terdapat beberapa zat yang diduga sebagai

penyebab yaitu gas mustard, larutan isopropil dan senyawa hidrokarbon.

Rokok, alkohol, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan

kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran

mengurangi kemungkinan terjadi keganasan (Bhattacharyya, 2002; Lund,

2003; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Zimmer dan Carau, 2006).

2.1.5 Patologi

Tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut

histopatologinya dibagi atas:

a. Epitel: - Karsinoma sel skuamus

- Karsinoma sel transisional

- Adenokarsinoma

- Adenoid kistik karsinoma

- Melanoma

- Neuroblastoma olfaktorius

(38)

b. Non epitel - Sarkoma jaringan lunak

- Rhabdomyosarkoma

- Leiomyosarkoma

- Fibrosarkoma

- Liposarkoma

- Angiosarkoma

- Miksosarkoma

- Hemangioperisitoma

- Sarkoma jaringan penghubung

- Kondrosarkoma

- Osteosarkoma

c. Tumor limforetikular: - limfoma

- Plasmasitoma

- Tumor giant sel

Sebagian besar keganasan pada hidung dan sinus paranasal berasal

dari epitel (Zimmer dan Carrau, 2006).

2.1.6 Gejala Klinis

Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya.

Biasanya tumor didalam sinus maksila tidak memberikan gejala sampai

terjadi perluasan ke organ lain, dan sering ditemukan secara kebetulan pada

(39)

menyerupai gejala sinusitis seperti obstruksi hidung unilateral dan rinorea,

sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis (Wong dan Krause,

2001; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007).

Pada stadium lanjut dapat terjadi penyebaran ke organ lain sehingga

sukar ditentukan asal tumor primernya. Perluasan tumor dapat menimbulkan

keluhan sebagai berikut:

a. Perluasan ke medial akan menyebabkan gejala hidung tersumbat,

rinore kronik satu sisi disertai epistaksis. Tumor dapat juga terlihat di

kavum nasi.

b. Perluasan keatas melalui dasar orbita menyebabkan diplopia dan

pendorongan bola mata.

c. Perluasan kearah anterior menyebabkan pembesaran pipi satu sisi,

sehingga muka menjadi asimetris. Kadang-kadang terjadi infiltrasi dan

ulserasi. Bila mengenai nervus infra orbitalis, dapat menyebabkan

parestesi kulit pipi.

d. Tumor yang berasal dari dasar antrum dan meluas kearah bawah

menimbulkan keluhan-keluhan gigi. Dapat juga timbul bengkak dan

ulserasi pada palatum, prosesus alveolaris atau sulkus gingivobukal.

e. Perluasan kearah belakang, dapat ke fossa pterigomaksila dan lamina

pterigoid, dan penyebarannya juga dapat ke nasofaring, sinus sfenoid

dan dasar tengkorak.

f. Penyebaran intrakranial dapat terjadi melalui etmoid, fossa kribiformis

(40)

g. Penyebaran limfatik jarang terjadi, hanya pada stadium lanjut. Paling

sering adalah pembengkakan kelenjar getah bening di daerah sub

mandibula.

h. Metastasis jauh jarang terjadi, paling sering terjadi di paru dan

kadang-kadang pada tulang (Dhingra, 2007)

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, radiologi dan biopsi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan histopatologi (Wong dan Krause, 2001; Roezin,

Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007).

2.1.8 Klasifikasi Klinis a. Klasifikasi Ohngren

Bidang imajiner yang melalui kantus medius dan angulus mandibula.

Bidang ini membagi rahang atas menjadi struktur superior posterior

(suprastruktur) dan struktur inferior anterior (infrastruktur). Adapun

yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila

bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Tumor di

(41)

dibandingkan tumor di daerah suprastruktur (Wong dan Kraus, 2001;

Dhingra, 2007).

b. Klasifikasi Lederman’s

Membuat dua garis horizontal melalui dasar orbita dan melalui dasar

antrum. Garis tersebut membagi daerah:

1) Suprastruktur: sinus etmoid, sinus sfenoid, sinus frontal serta

daerah olfaktorius dari hidung.

2) Mesostruktur: sinus maksilaris dan daerah respiratori hidung.

3) Infrastruktur: meliputi prosesus alveolaris.

Klasifikasi tersebut selanjutnya menggunakan garis vertikal sejajar

dinding medial orbita dan membagi sinus etmoid dan fossa nasalis dari

sinus maksila (Dhingra, 2007)

2.1.9 Stadium Tumor

Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal

yang terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)

2006 yaitu (Grene et al, 2006; Scurry et al, 2007):

Tumor primer (T) Sinus maksila

TX Tumor primer tidak bisa ditentukan

T0 Tidak tampak tumor primer

Tis Kasinoma insitu

(42)

Tulang

T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan

atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksila

dan fossa pterigoid

T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksila, jaringan

subkutan, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus

etmoid.

T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid,

fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoid atau frontal

T4b Tumor menginvasi salah satu dari apek orbita, dura, otak, fossa kranial

medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus V,

nasofaring atau klivus

Kavum nasi dan sinus etmoid

TX Tumor primer tidak bisa ditentukan

T0 Tidak tampak tumor

Tis Karsinoma insitu

T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi

tulang

T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan

melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks dengan atau tanpa invasi

(43)

T3 tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksila,

palatum atau fossa kribriformis.

T4a Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung

dan pipi, ekstensi minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid,

sinus sfenoid atau frontal.

T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa

kranial medial, nervus kranialis selain nervus V, nasofaring atau klivus

Kelenjar getah bening regional (N)

NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar

N0 Tidak ada pembesarah kelenjar

N1 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral < 3 cm

N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar

ipsilateral < 6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm

N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm

N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm.

N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm.

N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm

Metastasis jauh (M)

MX Metastasis jauh tidak bisa ditentukan

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh

(44)

I T1 N0 M0

II T2 N0 M0

III T3 N0 M0

T1 N1 M0

T2 N1 M0

T3 N1 M0

IVA T4a N0 M0

T4a N1 M0

T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N2 M0

T4a N2 M0

IVB T4b semua N M0

semua T N3 M0

IVC semua T semua N M1

2.1.10 Penatalaksanaan

Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor

ganas hidung dan sinus paranasal. Para ahli berpendapat bahwa satu cara

pengobatan saja hasilnya adalah buruk, sehingga mereka menganjurkan

cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi (Roezin,

Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007).

(45)

Operasi merupakan modal utama dalam mengatasi keganasan hidung

dan sinus paranasal. Oleh karena sebagian besar keganasan hidung dan

sinus paranasal berasal dari sinus maksila sehingga operasi maksilektomi

menjadi pilihan utama baik parsial maupun total maksilektomi tergantung

perluasan dan keganasan tumor (Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004).

b. Radioterapi

Radioterapi dapat digunakan sebagai modalitas tunggal, sebagai

tambahan pada operasi, atau sebagai terapi paliatif. Penelitian terbaru

menyebutkan bahwa radioterapi pasca operasi dapat meningkatkan kontrol

lokal tetapi tidak menyebabkan angka bertahan hidup yang absolut. Para ahli

lebih menyukai radioterapi pasca operasi karena volume tumor yang lebih

kecil dapat dimusnahkan, dan batas tumor yang tidak teradiasi menjadi lebih

jelas saat dilakukan operasi dan juga penyembuhan luka pasca operasi lebih

dapat diprediksi (Zimmer dan Carrau, 2006)

c. Kemoterapi

Penggunaan kemoterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal

adalah sebagai terapi paliatif untuk mengurangi rasa sakit. Samant dkk

(2004) melaporkan penggunaan Cisplatin intra arteri dosis tinggi dengan

radioterapi konkomitan pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal.

Angka bertahan hidup selama lima tahun adalah 53%. Pasien-pasien yang

mempunyai resiko operasi yang buruk dan menolak untuk dilakukan operasi

dapat dilakukan kombinasi terapi antara radioterapi dan kemoterapi (Zimmer

(46)

2.2 Vascular Endothelial Growth Factor

2.2.1 Angiogenesis

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal

dari pembuluh darah yang telah ada (Josko et al, 2000; Rosen, 2002).

Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk

diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi

wanita (Josko et al, 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis dapat dipicu oleh

berbagai kondisi patologis, seperti reumatoid artritis, retinopati diabetik,

degenerasi makular, psoriasis dan pertumbuhan serta metastasis tumor.

(Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003).

Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2

mm3 (Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien,

faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor

hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran

sel-sel tumor ke tempat jauh. (Hicklin dan Ellis, 2005).

Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang

diregulasi secara ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF) dan

faktor-faktor anti angiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Suatu tumor

avaskular bergantung pada difusi pasif untuk suplai oksigen dan makanan

serta untuk pembuangan produk sisa. Hal ini membatasi ukuran tumor

sampai sekitar 2 mm, yang disebut keadaan dorman. Sel-sel tumor yang

hipoksik akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, termasuk VEGF.

(47)

Mulanya inhibitor melebihi faktor pertumbuhan dan sel endotel tetap diam.

Akan tetapi, saat tumor mampu memproduksi cukup faktor pertumbuhan

dan/atau menekan ekspresi inhibitor, akan terjadi ‘angiogenic switch’ menuju

proses angiogenesis (Plank dan Sleeman, 2003). ‘Angiogenic switch’

merupakan pertanda proses malignansi (Hicklin dan Ellis, 2005).

2.2.2 Angiogenesis yang Diinduksi Tumor

Model terkini proses angiogenesis tumor menyarankan bahwa proses

ini melibatkan tumbuhnya tunas pembuluh dari pembuluh darah yang ada

dan menyatunya progenitor endotel menjadi pembuluh vaskular baru. Proses

ini meliputi berbagai kejadian yaitu proliferasi, migrasi dan invasi sel-sel

endotel, organisasi sel-sel endotel menjadi struktur tubular yang fungsional,

maturasi pembuluh, dan regresi pembuluh (Detmar, 2000; Hicklin dan Ellis,

2005). Pada jaringan normal, kestabilan vaskular dipertahankan oleh

pengaruh yang dominan dari inhibitor angiogenesis endogen terhadap

stimulus angiogenik, sebaliknya angiogenesis tumor diinduksi oleh

peningkatan sekresi faktor angiogenik dan/atau penurunan regulasi inhibitor

angiogenesis (Detmar, 2000).

Permulaan Angiogenesis

Pada permulaan angiogenesis, stimulus angiogenik yang diterima

menyebabkan sel endotel kapiler sekitar tumor teraktivasi, kontak yang erat

(48)

(protease) yang mempunyai efek mendegradasi jaringan ekstraseluler. Ada

banyak jenis enzim proteolitik tersebut, tetapi secara garis besar dibagi

menjadi matrix metalloproteases (MMPs) dan plasminogen activator

(PA)/sistem plasmin. Target awal protease adalah membran dasar. Setelah

terdegradasi, sel endotel akan dapat bergerak melalui gap yang ada pada

membran dasar menuju matriks ekstraseluler. Sel-sel endotel sekitar akan

bergerak mengisi gap pada membran dasar dan mengikuti sel-sel endotel

sebelumnya menuju matriks ekstraseluler. Karena itu, fungsi pertama faktor

pertumbuhan angiogenik adalah menstimulasi produksi protease oleh sel-sel

endotel. Hal ini merupakan faktor kunci pada rangkaian angiogenesis, sebab

tanpa adanya aktivitas proteolitik, sel-sel endotel akan dihambat oleh

membran dasar hingga tidak dapat keluar dari kapiler (pembuluh) induk

(Plank dan Sleeman, 2003).

Migrasi Sel Endotel, Proliferasi dan Pembentukan Pembuluh

Setelah ekstravasasi, sel endotel terus mensekresi enzim proteolitik,

yang akan mendegradasi matriks ekstraseluler. Sel endotel terus bergerak

menjauhi pembuluh induk menuju tumor, membentuk tunas kecil. Sel endotel

akan bertambah dari pembuluh induk hingga tunas memanjang. Awalnya

tunas-tunas ini bergerak paralel satu sama lain, akan tetapi pada jarak

tertentu dari pembuluh induk, mulai condong menuju tunas lainnya. Hal ini

akan membentuk loop tertutup (anastomose), yang akan memungkinkan

(49)

penting dalam pembentukan jaringan vaskular fungsional, akan tetapi

stimulus yang pasti terhadap perubahan arah tunas dan anastomosis masih

belum diketahui (Plank dan Sleeman, 2003).

Fase Vaskular

Dalam fase vaskular, pada angiogenesis fisiologis, ketika jaringan

target telah tervaskularisasi, ekspresi faktor pertumbuhan angiogenik akan

berkurang. Migrasi, proliferasi dan proteolisis sel-sel endotel akan berhenti

dan pembuluh darah yang baru terbentuk mengalami proses maturasi. Ikatan

yang kuat antar sel distabilkan di endotel dan sel endotel mensekresi protein

(laminin, kolagen) untuk membentuk membran dasar. Akhirnya sel-sel

penyokong periendotel (perisit) direkrut dan pembuluh darah baru menjadi

bagian sistem vaskular yang stabil. Proses maturasi biasanya tidak terjadi

pada angiogenesis tumor, karena masih tetap terdapat daerah hipoksik di

dalam tumor yang tetap memproduksi faktor angiogenik. Selain itu, ketika

daerah vaskularisasi yang baru pada tumor terus bertambah, akan melebihi

suplai darahnya sendiri sehingga menimbulkan daerah hipoksik sendiri.

Angiogenesis akan terus berlangsung dan kapiler-kapiler baru terus tumbuh,

meningkatkan suplai darah ke tumor yang sekarang tumbuh pesat dan

heterogen (Plank dan Sleeman, 2003).

Akan tetapi, berlanjutnya angiogenesis akan meningkatkan

(50)

yang sangat ganas, kebutuhan akan pembuluh darah baru biasanya tidak

pernah terpenuhi (Plank dan Sleeman, 2003).

Kapiler tumor biasanya tidak matang dan tidak stabil karena tidak

terbentuknya membran dasar, disebabkan faktor angiogenik terus diproduksi.

Pembuluh baru akan berbentuk ireguler, rapuh dan berliku-liku (Plank dan

Sleeman, 2003).

2.2.3 Famili VEGF

Famili VEGF yang secara genetik berhubungan sebagai faktor

pertumbuhan angiogenik dan limfangiogenik terdiri dari 6 glikoprotein yaitu

VEGF-A (biasa disebut VEGF), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, dan

placenta growth factor (PlGF) (Hicklin dan Ellis, 2005).

In vivo, ekspresi VEGF-A telah menunjukkan peran kuncinya dalam

vaskulogenesis fisiologik dan angiogenesis. Pada tikus, delesi homozigot dan

heterozigot pada gen VEGF secara embrionik letal, menimbulkan defek pada

vaskulogenesis dan abnormalitas kardiovaskular. VEGF-A juga berperan

penting dalam proses angiogenik postnatal, termasuk penyembuhan luka,

ovulasi, menstruasi, mempertahankan tekanan darah serta kehamilan.

VEGF-A juga telah dihubungkan dengan berbagai kondisi patologis yang

berkaitan dengan peningkatan angiogenesis, seperti artritis, psoriasis,

degenerasi makular dan retinopati diabetik (Hicklin dan Ellis, 2005).

Pada tikus, ketiadaan VEGF-B dan PlGF menunjukkan tidak ada defek

(51)

yang menyarankan bahwa peran VEGF-B dan PlGF mungkin berlebihan.

Akan tetapi tidak adanya PlGF akan mengganggu angiogenesis, ekstravasasi

plasma, dan pertumbuhan kolateral saat iskemia, peradangan, penyembuhan

luka dan pertumbuhan tumor yang menyarankan bahwa peran PlGF pada

keadaan patologis yang terjadi pada orang dewasa (Hicklin dan Ellis, 2005).

Homolog VEGF yaitu VEGF-C dan VEGF-D memegang peran kunci

pada limfangiogenesis saat embrionik dan postnatal. Delesi homozigot gen

VEGF-C pada tikus bersifat letal embrionik dan delesi heterozigot akan

menyebabkan defek postnatal yang berhubungan dengan defek

perkembangan limfatik. VEGF-C dan VEGF-D mungkin juga berperan dalam

pertumbuhan pembuluh darah baru, terutama pada keadaan patologik seperti

pertumbuhan tumor. Akan tetapi perannya pada angiogenesis tumor masih

belum jelas. VEGF-E bukan homolog VEGF mamalia, tetapi protein viral yang

dikode virus Orf parapoxvirus (Hicklin dan Ellis, 2005; Guang, 2007).

2.2.4 Reseptor VEGF

Ligan VEGF menengahi efek angiogeniknya melalui reseptor yang

berbeda. Dua reseptor diidentifikasi pada sel endotel dikenal sebagai

reseptor tirosin kinase spesifik VEGFR-1 (fms-like tyrosine kinase1/Flt-1) dan

VEGFR-2 (KDR/Flk-1). Saat ini VEGFR-3 (fms-like tyrosine kinase 4/Flt-4)

telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan proses limfangiogenesis

(52)

VEGFR-1 merupakan reseptor untuk VEGF-A dan mempunyai

kemampuan untuk mengikat VEGF-B dan PlGF. VEGFR-1 sangat penting

untuk angiogenesis fisiologik dan angiogenesis pertumbuhan. Beberapa studi

juga mengindikasikan bahwa VEGFR-1 mempunyai peran fungsional positif

pada beberapa tipe sel, yang berpartisipasi pada migrasi monosit, rekrutmen

progenitor sel endotel, meningkatkan sifat adesif sel-sel natural killer, dan

menginduksi faktor pertumbuhan dari sel-sel sinusoidal hati (Hicklin dan Ellis,

2005; Shibuya, 2006).

Studi oleh Autiero dkk. menunjukkan aktivasi VEGFR-1 oleh PlGF

menyebabkan transfosforilasi VEGFR-2 pada sel endotel sehingga terjadi

koekspresi terhadap reseptor tersebut. Studi lain menunjukkan bahwa pada

kondisi patologik seperti tumorigenesis, VEGFR-1 merupakan regulator

angiogenesis yang positif dan poten. Bukti terakhir menyarankan fungsi

VEGFR-1 berbeda sesuai tahap perkembangan, berbagai kondisi patologik

dan fisiologik, dan tipe sel dimana dia diekspresikan (Hicklin dan Ellis, 2005;

Shibuya, 2006).

VEGFR-2 menengahi mayoritas efek akhir VEGF-A pada

angiogenesis, termasuk permeabilitas mikrovaskular, proliferasi, invasi,

migrasi dan survival sel endotel. Aktivasi spesifik VEGFR-2 dengan VEGF-E

telah menunjukkan aktivitas sel endotel yang poten in vitro dan in vivo,

dengan kuat menyokong gagasan bahwa aktivasi VEGFR-2 sendiri dapat

secara efisien menstimulasi angiogenesis. Seperti telah dijelaskan

(53)

dipengaruhi ko-ekspresi dan aktivasi VEGFR-1 (Hicklin dan Ellis, 2005;

Shibuya, 2006; Tabernero, 2007).

VEGFR-3 adalah reseptor tirosin kinase yang berasal dari klon lapisan

sel leukemia dan plasenta manusia. VEGFR-3 condong berikatan dengan

VEGF-C dan VEGF-D. VEGFR-3 diekspresikan melalui vaskulatur embrionik,

tapi saat perkembangan dan ketika dewasa, ekspresinya terbatas pada

sel-sel endotel limfatik. Pada manusia dewasa, VEGFR-3 dipercaya mempunyai

berbagai peran : membantu perkembangan kardiovaskular dan pembentukan

jaringan vaskular primer saat embriogenesis, dan memfasilitasi

limfangiogenesis ketika dewasa. Aktivasi dan peningkatan regulasi ligan

VEGFR-3 telah diobservasi pada beberapa neoplasma, seperti kanker

payudara dan melanoma, dengan peningkatan level VEGF-C dan VEGF-D

yang berhubungan dengan metastase kelenjar limfe pada pasien. Inhibisi

sinyal VEGFR-3 dengan menggunakan VEGFR-3 solubel menunjukkan

pengurangan limfangiogenesis dan metastase kelenjar limfe tumor (Hicklin

dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

2.2.5 Peran VEGF Pada Angiogenesis

Vascular Endothelial Growth Factor merupakan golongan faktor

angiogenik terbaik. Telah jelas ditemukan bahwa VEGF adalah kekuatan

utama dibalik angiogenesis tumor dan pembentukan seluruh pembuluh

darah. Tiga aktivitas pokok sel endotel dalam angiogenesis yaitu sekresi

(54)

tersebut dan bekerja secara spesifik pada sel endotel (VEGFR secara

eksklusif terekspresi pada sel endotel). VEGF juga bertindak sebagai faktor

survival sel endotel dengan menghambat apoptosis. (Rosen, 2002; Plank dan

Sleeman, 2003). Fungsi VEGF pada sel endotel yaitu meningkatkan

permeabilitas vaskular 50.000 kali lebih poten dari histamin. VEGF

mengaktivasi sel endotel dengan efek perubahan morfologi sel endotel,

perubahan cytoskeleton, dan menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel

endotel. VEGF bersifat mitogen terhadap sel endotel yang menyebabkan

proliferasi sel. VEGF juga menginduksi berbagai enzim dan protein yang

penting untuk proses degradasi membran dasar, yang berguna bagi sel

endotel untuk migrasi dan invasi yang merupakan tahap penting pada

angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005).

Permeabilitas

VEGF sebenarnya ditemukan karena kemampuannya membuat vena

dan vena kecil hiperpermeabel terhadap molekul makro dalam sirkulasi,

sehingga pertama kali disebut sebagai vascular permeability factor (VPF).

Faktanya VEGF salah satu penginduksi permeabilitas vaskular yang paling

poten, 50.000 kali lebih poten dari histamin. Kemampuannya untuk

meningkatkan permeabilitas mikrovaskular merupakan salah satu peran yang

paling penting untuk VEGF, terutama dengan mempertimbangkan

hipermeabilitas pembuluh tumor yang diperkirakan berperan besar untuk

(55)

Mekanisme pasti bagaimana VEGF meningkatkan permeabilitas

mikrovaskular belum sepenuhnya jelas. Studi terakhir menyarankan bahwa

VEGF menginduksi permeabilitas mungkin dimediasi via jalur calcium

dependent yang melibatkan produksi oksida nitrat dan aktivasi jalur Akt dan

peningkatan cGMP, dengan aktivasi jalur Erk1/2 dengan cara stimulasi

prostaglandin PGI2 (Hicklin dan Ellis, 2005).

Aktivasi Sel Endotel

VEGF menghasilkan berbagai efek yang berbeda pada sel-sel endotel

dan endotel vaskular. Efek-efek tersebut termasuk perubahan dalam

morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan stimulasi pertumbuhan

dan migrasi sel endotel. VEGF menyebabkan peningkatan ekspresi berbagai

gen-gen sel endotel yang berbeda, termasuk faktor jaringan prokoagulan;

protein jalur fibrinolitik, termasuk urokinase, aktivator plasminogen tipe

jaringan, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, dan urokinase inhibitor; matrix

metalloprotease; GLUT-1 transporter glukosa; sintase oksida nitrat; integrin;

dan berbagai mitogen (Hicklin dan Ellis, 2005).

Survival

VEGF pertama kali tampak bekerja sebagai faktor survival pada sel-sel

endotel retina, dan sekarang telah menunjukkan kerjanya dalam menyokong

survival beberapa macam sel-sel endotel baik in vitro dan in vivo. In vitro,

(56)

mengaktivasi jalur PI3K-Akt yang juga meningkatkan regulasi protein

antiapoptotik seperti bcl-2 dan A1; hal ini akan menhambat aktivasi caspase,

dan meningkatkan regulasi anggota famili penghambat apoptosis termasuk

survivin dan XIAP. VEGF juga mengaktivasi focal adhesion kinase (FAK) dan

protein yang berhubungan yang telah menunjukkan kerjanya

mempertahankan sinyal survival sel-sel endotel (Hicklin dan Ellis, 2005).

In vivo, injeksi VEGF eksogen dapat mempertahankan pembuluh

retina yang belum matang dari kerusakan, dan ketergantungan terhadap

VEGF telah didapati pada sel-sel endotel pembuluh tumor yang baru

terbentuk, tetapi tidak didapati pada pembuluh tumor yang telah stabil (Hicklin

dan Ellis, 2005).

Proliferasi

VEGF adalah suatu mitogen bagi sel-sel endotel. Proliferasi sel

endotel ini tampaknya melibatkan aktivasi Erk1/2 kinase yang dimediasi

VEGFR-2. Aktivitas mitogenik VEGF mungkin juga melibatkan jalur protein

kinase C, yang sebagian diregulasi oleh oksida nitrat. Walau peran mitogen

VEGF penting bagi sel endotel, penting dicatat bahwa faktor angiogenik lain

peran mitogennya bagi sel endotel lebih baik. Akan tetapi faktor angiogenik

lain aktivitas pluripotennya kurang dibandingkan VEGF untuk proses-proses

(57)

Invasi dan Migrasi

Degradasi membran dasar dibutuhkan untuk migrasi dan invasi sel

endotel dan merupakan langkah awal yang penting dalam memulai

angiogenesis. VEGF menginduksi berbagai macam enzim dan protein yang

penting untuk proses degradasi, termasuk matrix degrading

metalloproteinases, metalloproteinase interstitial collagenase, dan serin

protease seperti urokinase-type plasminogen activator (uPA) dan tissue-type

plasminogen activator (TTPA). Aktivasi bahan-bahan tersebut mengarah ke

lingkungan yang prodegradasi yang memfasilitasi migrasi dan pertunasan sel

endotel (Hicklin dan Ellis, 2005).

Mekanisme intraselular dimana VEGF menyebabkan peningkatan

migrasi sel endotel belum sepenuhnya dimengerti, tetapi tampaknya

melibatkan sinyal yang berhubungan dengan FAK yang menyebabkan

pergantian adhesi fokal dan organisasi filamen actin serta reorganisasi actin

yang diinduksi MAPK p38. Sebagai tambahan, telah diusulkan bahwa oksida

nitrat juga berperan penting dalam migrasi sel endotel yang diinduksi VEGF.

Oksida nitrat telah diimplikasikan dalam proses podokinesis sel endotel dan

aktivasi sintase oksida nitrat endotel yang tergantung pada Akt yang

dibutuhkan pada proses migrasi sel yang diinduksi VEGF (Hicklin dan Ellis,

2005).

Gambar

Tabel 5.2 Distribusi Penderita Karsinoma Hidung dan Sinus Paranasal Menurut Suku Bangsa
Tabel 5.4 Distribusi Penderita Karsinoma Hidung dan Sinus Paranasal Berdasarkan Stadium
Tabel 5.5 Distribusi Penderita Karsinoma Hidung dan Sinus Paranasal Berdasarkan Ekspresi VEGF
Gambar 1. Ekspresi VEGF derajat 1 (lemah)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tesis unt sis untuk Memperoleh uk Memperoleh Gelar Magister Biomeik Gelar Magister Biomeik paa Program Megiste.. paa

5,6 Hasil-hasil penelitian terda- hulu sebagian menyebutkan ada hubungan bermakna (Yoshiji H et al. ), sementara sebagian lagi menyebutkan tidak ada hubungan bermakna

5,6 Hasil-hasil penelitian terda- hulu sebagian menyebutkan ada hubungan bermakna (Yoshiji H et al. ), sementara sebagian lagi menyebutkan tidak ada hubungan bermakna

KNF dengan ekspresi VEGF didapatkan MVD 66,7% sedangkan yang tidak mengalami ekspresi VEGF tidak satupun menunjukkan nilai MVD yang tinggi, yang secara statistik

Pada pemeriksaan histopatologi dapat dijumpai sel-sel tumor yang besar tersusun sinsitial dengan batas antar sel tidak jelas, inti vesikuler, bulat atau oval

Tabulasi silang hubungan antara ekspresi imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor ( VEGF ) dengan stadium klinis karsinoma nasofaring Pada penelitian ini

VEGF ekspresi lemah (400x) Karsinoma nasofaring. VEGF ekspresi

Penelitian ini merupakan suatu pene- litian potong lintang (cross sectional) untuk menilai hubungan ekspresi VEGF-A dengan derajat histopatologik dan potensi