• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Pada Karsinoma Nasofaring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Pada Karsinoma Nasofaring"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH

FACTOR PADA KARSINOMA NASOFARING

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh

M. PAHALA HANAFI HARAHAP

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan

hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas

akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.

Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat

diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr,

Sp.A (K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran

Sumatera Utara.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar

Alamsyah, dr, Sp.PD-KGEH dan mantan dekan Prof. Sutomo Kasiman, dr, Sp.JP (K)

dan Prof. T. Bahri Anwar, dr, Sp.JP (K) yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk mengikuti Program Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.

Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Kepala Departemen

(3)

bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK

USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Ketua Program Studi

Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik

Medan atas bimbingan, arahan, dorongan dan nasehat selama penulis mengikuti

pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K) sebagai pembimbing utama tesis, Prof.

Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K) dan dr. Farhat, Sp.THT-KL sebagai pembimbing

pendamping tesis, yang telah banyak memberikan waktu, bimbingan, arahan dan

motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua

guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet,

Sp.THT-KL (K), Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL

(K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr,

KL (K), Dr. Muzakkir Zamzam, KL (K), dr. Mangain Hasibuan,

Sp.THT-KL, dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K), dr. Linda I

Adenin, Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL (K), dr. Ida Sjailendrawati H, Sp.THT-KL, dr.

Adlin Adnan, KL, dr. Rizalina A. Asnir, KL, dr. Ainul Mardhiah,

Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf

A, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri,

Sp.THT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu

(4)

Yang terhormat Prof. H. M. Nadjib Dahlan Lubis, dr, Sp. PA(K), para staf

Departemen Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak

membantu, memberikan masukan, perhatian dan bimbingan di bidang patologi anatomi

terutama mengenai pemeriksaan imunohistokimia dalam penulisan tesis ini.

Yang terhormat dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, staf Departemen Ilmu

Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas yang telah banyak membantu saya

di bidang statistik dalam pengolahan data tesis ini.

Bapak Kepala Departemen/Staf Radiologi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan,

Kepala Departemen/Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU/RSUP H. Adam Malik

Medan, Kepala Departemen/Staf Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik

Medan yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani stase

pendidikan di Departemen tersebut.

Direktur dan seluruh staf THT-KL RSUD Lubuk Pakam, RS PTP XI Tembakau

Deli Medan, Rumah Sakit DAM-I/Bukit Barisan Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan,

yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis untuk belajar

selama pendidikan di rumah sakit tersebut.

Kedua orangtua tercinta, Ibunda Salismi dan ayahanda dr. Amran Harahap, serta

kakak dan adik penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak

henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Istriku Ns. Cholina Trisa Siregar MKep. Sp. KMB terima kasih atas dukungan dan

perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Ananda M. Faiz Zuhairi

(5)

Teman-teman sejawat peserta pendidikan Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala

Leher terima kasih atas persahabatan dan kerjasama yang terjalin selama mengikuti

pendidikan.

Paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP

H. Adam Malik Medan yang telah membantu dan bekerja sama selama penulis

menjalani pendidikan.

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis menjadi

amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan rahmat dan

hidayahNya kepada kita semua.

Medan, Maret 2009

(6)

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Pada Karsinoma Nasofaring

Abstrak

Latar Belakang : Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosa pada stadium lanjut, sehingga angka survival rendah dan prognosis

penderita jelek. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam progresivitas tumor dan

metastase tumor adalah overekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang

berperan penting dalam proses angiogenesis tumor. Penelitian ini dilakukan untuk

melihat ekspresi VEGF pada KNF, serta melihat hubungan ekspresi VEGF dengan

stadium dan jenis histopatologi KNF.

Metode Penelitian : Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, secara non

probability consecutive sampling mulai Maret 2008. Terhadap penderita KNF dilakukan

pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari jaringan nasofaring yang diperoleh

dari biopsi. Ekspresi VEGF dinilai pada sitoplasma yang terwarnai merah kecoklatan .

Data dianalisa dengan uji korelasi Spearman dan uji chi square dengan batas

kebermaknaan p < 0,05.

Hasil Penelitian : Sebanyak 21 dari 28 kasus KNF (75,0%) memiliki ekspresi VEGF positif. Overekspresi VEGF dijumpai pada 10 dari 28 kasus KNF (35,7%). Tidak dijumpai

korelasi yang bermakna antara stadium tumor dengan ekspresi VEGF pada KNF (p >

0,05). Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis histopatologi dengan

(7)

Kesimpulan : Ekspresi VEGF cukup tinggi pada penderita KNF. Kemungkinan VEGF berperan dalam proses angiogenesis pada KNF.

Kata Kunci : KNF, VEGF, stadium, histopatologi

Abstract

Background : Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is a malignancy that tend to diagnosed at advanced stage with low survival and prognosis rate. One of the factor that

may play a role in progresivity and metastasis of tumour is overexpression of vascular

endothelial growth factor (VEGF) which is a key role in tumour angiogenesis. The aim of

this study is to learn the expression of VEGF in NPC, and to learn the association of

VEGF expression with tumour stage and histopathologic type of NPC.

Study design and methods : This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of North Sumatera / H. Adam Malik Hospital.

Sample was collected by non probability consecutive sampling, starting from March

2008. NPC patients underwent histophatologic examination and immunohistochemical

analysis from nasopharyngeal biopsy. VEGF expression analysed by red-brown stained

cytoplasm. Data was analysed by Spearman’s correlation test and chi square test.

Results : VEGF positive expression was found in 21 of 28 (75.0%) NPC cases. VEGF overexpression was found in 10 of 28 (35.7%) NPC cases. No significance correlation

found between tumour stage and VEGF expression (p > 0.05). No significance

(8)

Conclusions : VEGF expression is relatively high in NPC patient. VEGF may play a role in the angiogenesis of NPC.

(9)
(10)

BAB 4 : METODE PENELITIAN ... ……… 55

4.3.1. Klasifikasi Variabel Penelitian... 57

4.3.2. Definisi Operasional Variabel... . 57

4.4. Bahan Penelitian ... 58

Lampiran 1. Data Sampel Penelitian ... ... 87

Lampiran 2. Status Penelitian ... 88

Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian... 92

Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan... 94

Lampiran 5. Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 95

(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma (Wei dan Sham,

2005; Brennan, 2006). Di Indonesia KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher

yang paling banyak ditemukan. Menurut data patologi tahun 1990 KNF menduduki

urutan ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit.

Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per 100.000 penduduk pertahun yang diambil dari

data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980 (Roezin, 1995). Penelitian Fachiroh di

Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk

(Fachiroh et al. 2004). Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati

511 penderita baru KNF (Roezin, 1995). Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun

1998-2000 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan

leher (Lutan, 2003). Sementara pada periode 1 Juli 2005 – 30 Juni 2006 ditemukan 79

orang penderita baru KNF (Aliandri, 2007).

Diagnosis dini sangat menentukan prognosis penderita. Hal ini sukar dicapai

karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah

dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak

maupun leher (Roezin, 1995). Diagnosis dini yaitu menemukan kasus KNF pada

stadium I dan II, dimana belum terjadi metastase regional. Keadaan ini sangat sulit

(12)

Indonesia dan di luar negeri, kasus dini hanya ditemukan antara 3,8%-13,9%,

dibandingkan dengan kasus lanjut (stadium III dan IV) sekitar 88,1%-96,2% (Soetjipto,

1993). Di RSUP HAM periode Juli 2005-Juni 2006 dari 79 penderita KNF seluruhnya

berada pada stadium lanjut, tidak dijumpai penderita dengan stadium dini (Aliandri,

2007).

Radioterapi tetap merupakan modalitas terapi primer terhadap KNF (Cottrill dan

Nutting, 2005; Wei dan Sham, 2005). Penderita dengan stadium I dan II mempunyai

angka kesembuhan tinggi dengan pemberian radioterapi saja, dimana prognosis bagi

penderita dengan metastase jauh masih buruk. Bagi penderita dengan stadium III dan

IV, peran pembedahan terbatas dan pemberian radioterapi yang dikombinasikan

dengan kemoterapi telah menjadi standar terapi (Agulnik dan Siu, 2005). Akan tetapi,

regimen obat kemoterapi yang optimal untuk dikombinasikan dengan radioterapi masih

kontroversial. Beberapa studi random telah dilakukan untuk mengevaluasi pemberian

kemoterapi neoadjuvan, concurrent dan adjuvan dalam berbagai kombinasi dengan

radioterapi (Cottrill dan Nutting, 2003; Agulnik dan Siu, 2005).

Kanker yang kecil pada KNF memiliki angka survival yang tinggi dengan

pemberian radioterapi dan kemoterapi sekitar 80%-90%. Lesi yang lebih luas tanpa

penyebaran ke kelenjar limfe leher sering dapat disembuhkan dengan angka survival

50%-70%. Penderita dengan lesi lanjut, terutama dengan penyebaran ke kelenjar limfe

leher, keterlibatan syaraf kranial dan destruksi tulang, sulit dilakukan kontrol lokal

dengan radioterapi dengan / tanpa pembedahan dan sering berkembang menjadi

metastase jauh. Walau rekurensi biasanya terjadi dalam 5 tahun setelah diagnosis,

(13)

Beberapa target molekuler telah diidentifikasi dalam spesimen tumor penderita

KNF. Ekspresi atau overekspresi reseptor-reseptor berikut telah dievaluasi pada KNF :

EGFR, cKIT c-erbB-2 (HER-2) dan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), yang

merupakan faktor proangiogenik, yang berperan dalam angiogenesis untuk

pertumbuhan tumor, invasi dan metastase tumor (Agulnik dan Siu, 2005).

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari

pembuluh darah yang telah ada (Josko et al. 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis sangat

dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis,

penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita (Josko et al. 2000; Rosen, 2002).

Dalam kondisi patologi, angiogenesis dibutuhkan pada proses pertumbuhan tumor solid

dan pada proses metastase (Rosen, 2002; Medinger dan Drevs, 2005; Hicklin dan Ellis,

2005). Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2 mm3

(Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien, faktor

pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor hemostatik yang

mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat

jauh (Hicklin dan Ellis, 2005).

Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang diregulasi secara

ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF) dan faktor-faktor antiangiogenik (Rosen,

2002; Hicklin dan Ellis, 2005). VEGF berperan penting dalam angiogenesis tumor.

Ekspresi VEGF dalam sel-sel tumor distimulasi oleh hipoksia, onkogen (ras) dan

inaktivasi gen supresor tumor (p53) dan oleh berbagai sitokin (Rosen, 2002). Aktivasi

aksis VEGF/VEGF reseptor (VEGFR) memicu jaringan sinyal multipel yang

(14)

vaskular serta mobilisasi sel-sel progenitor endotel dari sumsum tulang ke sirkulasi

perifer (Hicklin dan Ellis, 2005).

Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan

prognosis buruk dalam berbagai macam tumor, termasuk karsinoma kolorektal,

karsinoma lambung, karsinoma pankreas, kanker payudara, kanker paru dan

melanoma, acute myeloid leukemia, karsinoma hepar dan kanker ovarium (Rosen,

2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Ekspresi VEGF dibandingkan antara sampel jaringan

yang diambil dari nasofaring normal, tumor jinak nasofaring dan KNF, dengan nilai

ekspresi VEGF 10%, 40% dan 80%. Ekspresi VEGF meningkat pada KNF stadium

lanjut dengan perbandingan statistik yang signifikan terhadap KNF stadium dini (dikutip

oleh Agulnik dan Siu, 2005 dari Guang Wu, 2000). Satu studi di China dari 127

spesimen KNF dengan pemeriksaan imunohistokimia didapati nilai positif VEGF 66,9%

(Sha dan He, 2006). Penelitian di India didapati overekspresi VEGF 67% dari 103

penderita KNF (Khrisna et al. 2006). Penelitian sebelumnya di Singapura dari 42 pasien

KNF yang diperiksa secara imunohistokimia dijumpai overekspresi VEGF pada seluruh

sampel (Soo et al. 2005).

Karena peran sentralnya dalam angiogenesis tumor, jalur VEGF/VEGFR telah

menjadi fokus utama riset dasar dan pengembangan obat-obatan di bidang onkologi

(Hicklin dan Ellis, 2005). Dari beberapa penelitian telah disimpulkan kombinasi anti

VEGF dengan kemoterapi atau radioterapi menghasilkan efek antitumor yang lebih baik

daripada pemberian kemoterapi/radioterapi sendiri (Ferrara et al. 2004).

(15)

Di Departemen THT KL FK USU/RSUP HAM, penderita KNF sebagian besar

datang dengan stadium lanjut (Stadium III dan IV). Penderita KNF stadium lanjut

memiliki prognosa yang jelek, dengan kemungkinan besar terjadi rekurensi dan

metastase jauh. Peneliti tertarik untuk mengetahui ekspresi VEGF pada KNF, dimana

overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas dan prognosis tumor yang

buruk.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum

Mengetahui ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma

Nasofaring

1.3.2Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengetahui ekspresi VEGF pada penderita KNF

1.3.2.2 Mengetahui hubungan stadium tumor dengan ekspresi VEGF pada KNF

1.3.2.3 Mengetahui hubungan jenis histopatologi dengan ekspresi VEGF pada KNF

1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Manfaat teoritik

Dapat memahami peran VEGF pada KNF dalam progresivitas dan prognosis

penyakit.

1.4.2Manfaat praktis

Sebagai dasar penelitian selanjutnya dalam pemberian anti VEGF terhadap

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring 2.1.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm,

lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Permukaan dilapisi epitel pseudostratified

columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous. Dinding

anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh

permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh

permukaan yang melandai dibatasi oleh badan sfenoid, basioksiput dan vertebra

cervical I dan II hingga batas palatum mole. Dinding lateral terdapat muara tuba

Eustachius. (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

Atap dan dinding posterior nasofaring

Bagian atap melandai yang menyatu dengan dinding posterior. Keduanya

dibentuk oleh lantai sinus sfenoid di medial dan fibrokartilago foramen lacerum di lateral.

Sinus kavernosus dengan arteri karotis interna dan syaraf kranial III, IV, V dan VI

terletak di atas foramen laserum pada kedua sisi. Dinding posterior menutupi bagian

basilar tulang oksipital dan arkus anterior atlas di inferior. Dibagian atas dinding

posterior melekat jaringan limfoid pada membran mukosa (tonsil nasofaring atau

adenoid). Fascia prevertebra dan otot memisahkan adenoid dengan tulang vertebra

(17)

Dinding lateral nasofaring

Tuba Eustachius bermuara ke nasofaring melalui dinding lateral. Tuba dibentuk

oleh fascia faringobasilar yang diperkuat di inferior oleh otot konstriktor superior. Dilihat

dari cavum nasi, aspek anterior dan aspek posterior orificium tuba Eustachius ditandai

dengan elevasi kartilago tuba, dimana di belakangnya terletak fossa Rosenmuller. Di

sebelah dalam dinding lateral terdapat ruang parafaring yang berisikan arteri karotis

interna, syaraf kranial IX, X, XI dan XII, vena jugularis interna dan kelenjar limfe

retrofaring (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).

Fascia faring dan jaringan ikat foramen laserum menyebabkan kerentanan

terhadap invasi langsung tumor ganas nasofaring. Keadaan ini serta seringnya

keterlibatan kelenjar limfe retrofaring menjelaskan seringnya keterlibatan syaraf kranial

(Cottrill dan Nutting, 2003).

Dasar nasofaring

Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan superior palatum molle, yang

berhubungan dengan spingter palatofaring berperan untuk menutup ismus faring saat

menelan, memisahkan nasofaring dengan orofaring di bawahnya (Chew, 1997; Cottrill

dan Nutting, 2003).

Saluran limfe dan persyarafan nasofaring

Mukosa terbentuk dari beberapa lipatan otot dibawahnya dan mengandung

berbagai kumpulan jaringan limfoid. Jaringan limfoid yang paling menonjol, terutama

(18)

menonjol ke depan dari pertemuan atap dan dinding posterior. Lokasi aliran limfe

kelompok pertama adalah kelenjar retrofaring yang terletak di ruang antara dinding

nasofaring posterior, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra. Kelompok kelenjar

Rouviere (node of Rouviere) membentuk kelompok kelenjar lateral utama. Kelenjar

tersebut terletak di anterior sebelah lateral atlas di batas lateral m. capitis longus,

sebelah anteromedial arteri karotis interna. Pembuluh eferen mengalir ke rantai jugular

interna dalam pada bagian paling atas di dasar tengkorak di ruang kompartemen

parafaring retrostiloid disebelah dalam ujung atas otot sternomastoid. Kelenjar ini

kemudian mengalir ke bawah di posterior dari kelompok syaraf aksesorius dan di

anterior kelompok jugulodigastrik. (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).

Suplai syaraf ke mukosa nasofaring berasal dari n. trigeminal divisi maksilla

melalui cabang kecil, n. faringeal yang berasal dari fossa pterigopalatina, di dekat

ganglion pterigopalatina (Cottrill dan Nutting, 2003).

2.1.2 Epidemiologi

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma (Wei dan Sham,

2005; Brennan 2006). Di Indonesia KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher

yang paling banyak ditemukan. Menurut data patologi tahun 1990 KNF menduduki

urutan ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit.

Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per 100.000 penduduk pertahun yang diambil dari

data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980 (Roezin, 1995). Penelitian Fachiroh di

(19)

(Fachiroh et al. 2004). Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati

511 penderita baru KNF (Roezin, 1997). Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun

1998-2000 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan

leher (Lutan, 2003). Sementara pada periode 1 Juli 2005 – 30 Juni 2006 ditemukan 79

orang penderita baru KNF (Aliandri, 2007).

Pada daerah Barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF jarang dengan insiden

sekitar 0,5/100.000, dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan leher. Di Cina

Selatan dan Hongkong penyakit ini endemik dengan angka insiden meningkat hingga

50/100.000. Perbedaan ini berhubungan dengan subtipe patologis, di Amerika Utara

terdapat WHO tipe 1 (keratinizing squamous cell carcinoma) pada 68% kasus,

sementara di Timur Jauh lebih 95% merupakan WHO tipe 2-3. Insidensi WHO tipe 3

juga tinggi di Eskimo dan Alaska, dan juga meningkat di Malaysia, Afrika Utara dan

Eropa Selatan (Cottrill dan Nutting, 2003).

Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda dari kanker kepala

dan leher di tempat lain. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun

dan mencapai puncak pada dekade IV dan dekade V. Pada daerah resiko rendah usia

terbanyak pada dekade V dan dekade VI tapi masih terdapat insidensi yang signifikan

pada usia di bawah 30 tahun, sehingga didapati distribusi usia bimodal, dengan puncak

awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria dengan

perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Ganguly et

(20)

2.1.3 Etiologi

KNF kemungkinan merupakan hasil interaksi kompleks faktor-faktor genetik, virus

dan lingkungan (Ganguly et al. 2003). Beberapa faktor yang dianggap berpengaruh

terhadap KNF :

1. Infeksi virus Epstein-Barr

Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early

antigen compleks (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor (McDermott et

al. 2001 Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting; 2003. Lutzky et al. 2008). Virus

Epstein-Barr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien KNF di daerah dengan insidensi

tinggi dan daerah dengan insidensi rendah. Sinyal RNA yang dikode VEB dengan

metode hibridisasi in situ dijumpai pada hampir seluruh sel tumor, dimana RNA yang

dikode VEB tidak dijumpai pada jaringan normal di sekitar tumor, kecuali pada

jaringan limfoid yang terbatas. Lesi premaligna di epitel nasofaring telah

menunjukkan kandungan VEB, yang menunjukkan infeksi terjadi pada fase awal

karsinogenesis. Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarankan bahwa tumor

merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB.

Gen-gen laten spesifik VEB secara konsisten diekspresikan pada karsinoma

nasofaring pada lesi awal dan lesi displastik. Protein viral laten (latent membrane

protein 1 dan 2) memiliki efek yang substansial pada ekspresi gen selular dan

pertumbuhan selular, menghasilkan pertumbuhan yang sangat invasif serta

pertumbuhan yang ganas dari karsinoma (McDermott et al. 2001; Cottrill dan Nutting,

(21)

2. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin

Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang

menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di Cina Selatan dan

Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan bahwa hanya konsumsi ikan asin

yang sering sebelum usia 10 tahun yang berhubungan dengan peningkatan resiko

terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Ganguly et al. 2003; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei,

2006).

Selain ikan asin, uap nitrosamin tingkat tinggi juga ditemukan pada berbagai bahan

makanan yang diawetkan di China, Tunisia dan Greenland, dimana beberapa bahan

makanan tersebut mengandung prekursor nitrosamin tingkat tinggi yang

menghasilkan uap nitrosamin setelah dicerna di lambung (Chew, 1997).

3. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup.

Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di

Cina, Indonesia dan Kenya juga meningkatkan insiden KNF. Pembakaran dupa di

rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF di Hongkong (Chew,

1997; McDermott et al. 2001; Ahmad, 2002). Perokok berat meningkatkan resiko

KNF pada daerah endemik (Cottrill dan Nutting, 2003; Ganguly et al. 2003).

4. Sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain : benzopyren, benzo

anthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu, debu kayu, formaldehid, asap

rokok, dan beberapa ekstrak tumbuhan. Penelitian di Swedia menunjukkan pembuat

gelas, pembuat sepatu, pembuat buku serta pekerja di pembakaran tanaman

mempunyai risiko tinggi untuk KNF. Di Selandia Baru peningkatan resiko KNF terjadi

(22)

suatu studi kasus kontrol menunjukkan resiko tinggi KNF pada pekerja yang terpapar

bahan-bahan hasil pembakaran batu bara, arang, pengelasan serta bahan bakar cair

(Chew, 1997; McDermott et al. 2001; Ganguly et al. 2003).

5. Ras dan keturunan.

Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah asal

ataupun di perantauan. Insiden tertinggi terutama di Provinsi Guangdong dan

Daerah Otonom Guangxi (Roezin, 1995; Chew, 1997; Ahmad, 2002). Insiden KNF

tetap tinggi pada penduduk Cina yang berimigrasi ke Asia Tenggara atau Amerika

Utara, tapi lebih rendah pada penduduk Cina yang lahir di Amerika Utara daripada

yang lahir di Cina Selatan (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Wei dan Sham, 2005).

Insiden sedang dijumpai pada ras Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia, Thailand,

Vietnam, Filipina), Eskimo (Kanada, Alaska, Greenland) dan Afrika Utara. Insiden

yang jauh lebih rendah daripada insiden di Asia dijumpai di Malta, Tunisia, Aljazair,

Maroko dan Sudan, tetapi insiden tetap lebih tinggi daripada di Amerika dan Eropa

(Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).

6. Radang kronis di nasofaring

Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi

lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (McDermott, et al. 2001; Ahmad,

2002). Proses peradangan dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung dan

tenggorokan merupakan faktor predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa

(23)

7. Profil HLA.

Hubungan antara profil HLA dan KNF ditemukan pada pasien KNF di berbagai

negara. Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA tipe A2 dan

Bw46 (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di bagian THT FKUI/RSCM

tahun 1997 didapatkan fenotip antigen HLA kelas 1, HLA-A24 dan HLA-B63 untuk

kemungkinan faktor penyebab bagi orang Indonesia asli (Roezin, 1996; Ahmad,

2002). Penelitian di Medan menemukan alel gen paling tinggi pada penderita KNF

suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen

yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak

adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Delfitri M, 2007)

2.1.4 Gejala Klinik

Dari segi penderita gejala dini KNF tidak khas bahkan lebih banyak menyerupai

gejala rhinitis atau sinusitis. Keluhan penderita KNF sering meragukan dan baru jelas

setelah tumor membesar dan stadium sudah lanjut. Kesulitan ini akibat sulitnya

pemeriksaan nasofaring (Ahmad, 2002).

Gejala yang timbul berhubungan erat dengan lokasi tumor di nasofaring dan

derajat penyebaran. Gejala dini sering tidak disadari oleh penderita maupun dokter

sendiri. Gejala yang sering ditemukan :

1. Pembesaran kelenjar leher

Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan

dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik

(24)

terdekat secara limfogen dari KNF. Kelenjar limfe retrofaring lateral (node of

Rouviere) adalah penyaring limfatik pertama akan tetapi tidak dapat diraba.

Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung

prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastric

dan kelenjar cervical posterior (atas dan tengah), kemudian diikuti kelenjar cervical

tengah. Tumor biasa teraba keras, tidak nyeri. Dapat terfiksir atau mudah

digerakkan (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003; Thompson, 2005)

2. Gejala hidung

Gejala pada hidung dapat merupakan gejala dini KNF akan tetapi gejala ini tidak

khas, karena dapat juga dijumpai pada penyakit infeksi biasa seperti rhinitis kronis

atau sinusitis. Gejala dapat berupa ingus yang dinodai darah serta ludah yang

bercampur darah saat membersihkan tenggorokan. Perdarahan dapat timbul

berulang-ulang, jumlah sedikit, bercampur ingus sehingga berwarna merah jambu

atau terdapat garis-garis darah halus. Epistaksis biasanya dijumpai pada KNF

stadium lanjut dengan atau tanpa erosi dasar tengkorak. Sumbat hidung biasanya

gejala pada stadium lanjut. Jika dijumpai pada stadium dini biasanya akibat infeksi

sekunder. Ozaena terjadi akibat nekrosis tumor dan merupakan ciri KNF stadium

lanjut. (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003)

3. Gejala telinga

Dapat berupa gangguan pendengaran seperti tuli hantar, rasa penuh di telinga,

seperti ada cairan, tinitus atau berdenging. Hal ini karena umumnya tumor pertama

kali timbul di fossa Rosenmuller dan menyumbat muara tuba Eustachius. Gejala ini

(25)

pasien KNF yang didiagnosa dini. Jika seorang Cina dewasa datang dengan

keluhan ini, seorang ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Chew,

1997; Ahmad, 2002; Wei, 2006).

4. Gejala neurologis

a. Sindroma petrosfenoidal

Gejala timbul akibat perluasan tumor ke intrakranial melalui foramen laserum.

Syaraf kranial yang terlibat berturut-turut adalah : n.VI, n. III, n.IV sedang n. II

paling akhir mengalami gangguan. Parese n. II menyebabkan gangguan

visus. Parese n. III menyebabkan kelumpuhan m. levator palpebra dan otot

tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis. Parese n. III, IV dan VI akan

menyebabkan gangguan berupa diplopia karena syaraf-syaraf tersebut

berperan dalam pergerakan bola mata. Parese n. V akan menimbulkan gejala

parestesi atau hipestesi pada separuh wajah. Apabila semua syaraf grup

anterior (n. II – n. VI) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal

unilateral, oftalmoplegi unilateral, serta gejala nyeri kepala hebat yang timbul

akibat penekanan tumor pada duramater (Sudyartono dan Wiratno, 1996;

Ahmad, 2002)

b. Sindroma parafaring

Gejala ini timbul akibat gangguan syaraf kranial grup posterior (n. IX, X, XI

dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh ke

belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus.

Manifestasi kelumpuhan ialah : n. IX : kesulitan menelan karena hemiparese

(26)

disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri

daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi. N. XI : kelumpuhan atau

atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle.

N. XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah. N. VII dan n. VIII jarang terkena

KNF karena letaknya agak tinggi (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad,

2002).

5. Gejala akibat metastase jauh.

Sel-sel kanker dapat menjalar bersama aliran darah (hematogen) atau bersama

aliran limfe (limfogen) mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring.

Metastase jauh dijumpai pada 3-6% penderita saat pertama kali datang, tetapi dapat

berkembang hingga 40% dari penderita KNF. Organ yang sering dikenai adalah

tulang (48%), diikuti paru (27%) dan hati (11%). Sumsum tulang jarang terlibat akan

tetapi membawa prognosis yang buruk. Metastase kelenjar limfe diluar leher jarang

terjadi dan biasanya timbul pada kasus relaps. Metastase jauh merupakan stadium

lanjut dan KNF dengan prognosis buruk. (Chiesa dan Paoli, 2001; Ahmad, 2002;

Cottrill dan Nutting, 2003).

2.1.5 Diagnosis

Dari sebuah penelitian pada 4768 penderita KNF, gejala yang dikeluhkan pada

saat pertama datang adalah benjolan di leher (76%), gangguan hidung (73%),

gangguan telinga (62%), sakit kepala (35%), penglihatan ganda (11%), rasa kebas di

wajah (8%), penurunan berat badan (7%) dan trismus (3%). Tanda klinis yang

(27)

(75%) dan kelainan syaraf kranial (20%). Syaraf kranial yang sering terkena adalah

syaraf kranial III, V, VI dan XII. Bila secara klinis dicurigai menderita KNF dan tumor

tidak terlihat pada pemeriksaan endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan

potongan lintang (CT Scan atau MRI). Diagnosis pasti KNF ditegakkan melalui biopsi

nasofaring yang didukung oleh visualisasi melalui endoskopi atau pencitraan dengan

potongan lintang (Wei dan Sham, 2005).

Jika penderita datang dengan gejala KNF, penderita harus dievaluasi secara

klinis adanya tanda-tanda fisik KNF (kelenjar limfe leher, cairan di telinga tengah,

keterlibatan syaraf kranial). Anamnesa lengkap, terutama gejala neurologi dan keluhan

yang menyarankan adanya metastase jauh sangat penting untuk ditanyakan kepada

penderita. Karena radioterapi adalah terapi utama sangat penting untuk menanyakan

faktor-faktor yang berpotensi terjadinya komplikasi yaitu riwayat radiasi sebelumnya,

merokok, alkohol, gizi buruk dan kelainan gigi (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

Pemeriksaan yang dianjurkan untuk penderita KNF :

Untuk seluruh penderita :

- Nasofaringoskopi langsung dan biopsi pada tumor primer

- Pemeriksaan darah

- Profil biokimia termasuk tes fungsi hati dan laktat dehidrogenase (LDH)

- Serologi virus Epstein-Barr (IgA anti VCA, IgA anti EA)

- X-ray dada

- CT resolusi tinggi (dengan kontras intravena) atau scan MRI pada fossa cranii media,

nasofaring, sinus paranasal, leher dan inlet dada

(28)

Untuk penderita dengan keterlibatan kelenjar limfe lanjut (N3) atau diduga adanya

metastase jauh :

- Scan tulang dan radiografi polos pada daerah yang abnormal atau daerah yang

menunjukkan gejala.

- Scan ultrasound hati (Cottrill dan Nutting, 2003).

Pemeriksaan penunjang :

- Audiometri (jika ada indikasi klinis atau pada pemberian kemoterapi platinum)

- Bersihan kreatinin atau bersihan EDTA (pada pemberian kemoterapi platinum) (Cottrill

dan Nutting, 2003).

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus diarahkan ke cavum nasi dan nasofaring. Pemeriksaan

tidak langsung daerah nasofaring dapat dilakukan dengan cermin (rinoskopi posterior),

tetapi variasi anatomi pada penderita akan menganggu evaluasi yang adekwat pada

daerah nasofaring. Rinoskopi posterior juga dibatasi oleh refleks faring, kerjasama

penderita dan ketidakmampuan membuka mulut. Akan tetapi, pemeriksaan dengan

cermin masih tetap cara tercepat untuk menilai nasofaring. Dengan bantuan

nasoendoskopi kaku atau nasoendoskopi fleksibel dapat dilihat perluasan tumor primer,

yang dapat tumbuh eksofitik, atau tampak hanya berkurangnya batas dari fossa

Rosenmuller. Perluasan ke palatum mole, dinding faring dan orofaring harus dilihat

dengan inspeksi dan palpasi. Bukti adanya defisit syaraf kranial dapat dilihat dari

(29)

dilakukan pemeriksaan visual dan pemeriksaan membran timpani (Chew, 1997; Cottrill

dan Nutting, 2003; Wei, 2006)

Biopsi nasofaring

Konfirmasi pasti diagnosa KNF diperoleh dengan hasil biopsi positif yang diambil

dari tumor di nasofaring. Prosedur standar adalah biopsi transnasal dengan panduan

endoskopi. Teleskop kaku Hopkins 0° dan 30° memberikan pandangan yang baik dari

nasofaring. Jika terdapat deviasi septum, endoskop 70° dimasukkan melalui cavum nasi

yang berlawanan dapat memberikan visualisasi tumor yang adekwat. Endoskop 70°

yang dimasukkan di belakang palatum molle dapat memberikan visualisasi atap

nasofaring dan kedua muara tuba Eustachius. Endoskop kaku tidak mempunyai jalur

penghisap atau jalur biopsi. Darah dan mukus yang menutupi tumor harus dibuang

dengan penghisap terpisah untuk mendapatkan pandangan yang jelas pada daerah

patologis. Forsep biopsi harus dimasukkan bersebelahan dengan endoskop untuk

mendapatkan biopsi tumor dibawah pandangan langsung (Chew, 1997; Cottrill dan

Nutting, 2003; Wei, 2006).

Endoskop fleksibel memberikan pemeriksaan yang teliti pada seluruh nasofaring,

walau dimasukkan melalui satu sisi cavum nasi. Ujungnya dapat bermanuver di

belakang septum nasi ke sisi sebelah. Endoskop ini memiliki jalur penghisap dan forsep

biopsi dapat dimasukkan melaluinya untuk mengambil biopsi tumor dibawah pandangan

langsung. Walaupun demikian, gambaran visual yang diperoleh dari endoskop fleksibel

kurang baik dibandingkan endoskop kaku dan ukuran forsep biopsi kecil, sehingga

(30)

Pada beberapa keadaan seperti : keadaan umum kurang baik, penderita tidak

kooperatif, faring terlalu sensitif, trismus atau pada anak, dilakukan eksplorasi

nasofaring dimana selain dilakukan biopsi, juga dilakukan kuretase daerah nasofaring.

Hal ini juga dilakukan pada penderita yang telah dilakukan biopsi dengan anestesi lokal

tetapi tidak menunjukkan hasil positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan

menunjukkan ciri KNF (Ahmad, 2002).

Pada kasus KNF yang tidak dapat dikonfirmasi dengan biopsi endoskopi

konvensional, dapat dilakukan biopsi aspirasi jarum halus di nasofaring. Tumor yang

terletak dalam yang tidak dapat diambil dengan biopsi konvensional dapat dicapai oleh

biopsi aspirasi jarum halus dengan hasil yang cukup akurat (Lubis, 1993).

Biopsi nasofaring tetap dilaksanakan walaupun tumor primer tidak terlihat di

nasofaring pada keadaan :

1. Limfadenopati kelenjar leher akibat metastase tumor ganas.

2. Parese/paralise unilateral n.IV dan n.VI dengan sebab yang tidak jelas.

3. Asimetri nasofaring pada CT scan.

4. Terdapat 2 dari 3 gejala yaitu gejala telinga, gejala hidung dan gejala neurologis

(Ahmad, 2002).

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto polos dapat menilai destruksi tulang dan massa jaringan lunak

yang menutupi jalan nafas atas. Akan tetapi teknik ini memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang rendah dan hanya sedikit memberikan keterangan tentang invasi dan

(31)

Pemeriksaan fisik (termasuk endoskopi) dapat memberikan informasi yang

bernilai mengenai keterlibatan mukosa dan perluasan tumor ke hidung dan orofaring,

tetapi tidak dapat menilai perluasan ke dalam, erosi dasar tengkorak, atau penyebaran

intrakranial, kecuali terdapat gejala dan tanda ekstensi yang luas melalui jalur tersebut

(Wei dan Sham, 2005).

Pencitraan potong lintang telah meningkatkan efektivitas terapi pada penderita

KNF. Pencitraan tumor primer yang sesuai sangat penting bukan hanya untuk

menentukan stadium tetapi juga untuk perencanaan radioterapi yang akurat. Dalam

menentukan stadium, CT dapat mengidentifikasi penyebaran paranasofaring yaitu jenis

penyebaran yang paling sering pada KNF, dan dapat menunjukkan penyebaran

perineural melalui foramen ovale yang merupakan jalur penyebaran intrakranial yang

penting. Penyebaran perineural melalui foramen ovale juga diperhitungkan sebagai bukti

CT adanya keterlibatan sinus kavernosa tanpa erosi dasar tengkorak (Cottrill dan

Nutting 2003; Wei dan Sham, 2005)

MRI lebih baik dari CT dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring

superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak. MRI juga

lebih sensitif untuk menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam.

Akan tetapi MRI kemampuannya terbatas dalam detail tulang dan CT harus dilakukan

bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan dengan jelas oleh MRI. Dalam

penentuan stadium, MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana

CT tidak dapat mendeteksinya kecuali dijumpai erosi tulang yang terlibat. Infiltrasi ke

sumsum tulang dihubungkan dengan peningkatan resiko metastase jauh. Pada suatu

(32)

dengan pemeriksaan CT dibandingkan MRI (Cottrill dan Nutting 2003; Wei dan Sham,

2005).

Deteksi metastase jauh saat diagnosa dengan radiografi konvensional, CT dan

MRI biasanya tidak berhasil. Beberapa laporan telah menyimpulkan bahwa scan tulang,

scintigrafi hati, ultrasonografi abdominal dan biopsi sumsum tulang memiliki nilai yang

kecil dalam pemeriksaan stadium rutin dan direkomendasikan untuk tidak digunakan

(Wei dan Sham, 2005).

Saat digunakan untuk memonitor kondisi penderita setelah terapi, baik CT dan

MRI memiliki sensitivitas rendah dan spesifisitas sedang dalam mendeteksi rekurensi

tumor, walaupun secara umum MRI lebih baik dari CT dalam menunjukkan rekurensi

tumor dan komplikasi post radiasi (Wei dan Sham, 2005).

Pemeriksaan Serologi

Virus Epstein-Barr dapat mempengaruhi manusia dalam berbagai bentuk. Virus

ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan juga berhubungan dengan limfoma

Burkitt dan KNF. VEB tergolong virus herpes dan antigen spesifik VEB dapat

dikelompokkan menjadi antigen replikatif awal, antigen fase laten dan antigen akhir.

Pada pasien KNF, antibodi imunoglobulin A (IgA) memberikan respon terhadap early

antigen (EA) dari kelompok pertama, dan viral capsid antigen (VCA) dari kelompok

ketiga memiliki nilai diagnostik. Keduanya juga berperan dalam skrining bagi penderita

KNF asimtomatik pada populasi resiko tinggi. IgA anti VCA lebih sensitif tetapi kurang

spesifik dibandingkan IgA anti EA. Walau kurang spesifik, peninggian LDH serum juga

(33)

2.1.6 Histopatologi dan Stadium

WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamous dan

dibedakan berdasarkan mikroskop cahaya menjadi 3 tipe :

Tipe 1 : keratinizing squamous cell carcinoma, menunjukkan differensiasi skuamosa

dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi di atasnya.

Tipe 2 : differentiated non keratinizing carcinoma, sel tumor menunjukkan diferensiasi

dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, dimana diferensiasi

skuamosa tidak terlihat pada mikroskop cahaya.

Tipe 3 : undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang oval atau

bulat dan nukleolus yang menonjol. Batas sel tidak terlihat, dan tumor

menunjukkan gambaran sinsitial.

Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan

yang kuat dengan virus Epstein-Barr (Thompson, 2005; Wei dan Sham, 2005;

Lutzky et al. 2008).

Terdapat berbagai klasifikasi untuk KNF, yang paling sering digunakan adalah

menurut UICC (2002) dan Ho (1978). (Marzaini, 2002; Mould dan Tai, 2002; Cottrill

dan Nutting, 2003).

Klasifikasi menurut AJCC/UICC 2002 : (Brennan, 2006)

Tumor Primer (T)

TX Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 Tidak terbukti adanya tumor primer

(34)

Nasofaring

T1 Tumor terbatas di nasofaring

T2 Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau rongga hidung

T2a Tanpa perluasan ke daerah parafaring

T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, rongga

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.

KGB Regional (N)

NX KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada metastase ke KGB regional

N1 Metastase KGB unilateral, diameter terbesar kurang dari 6 cm, di atas fossa

supraklavikular.

N2 Metastase KGB bilateral, diameter terbesar kurang dari 6 cm, di atas fossa

supraklavikular

N3 Metastase pada KGB :

N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm

N3b Meluas ke fossa supraklavikular

Metastase Jauh (M)

Mx Metastase jauh tidak dapat dinilai

(35)

M1 Metastase jauh

Kelompok stadium :

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

IIA T2a N0 M0

IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0 M0

T2b N1 M0

III T1 N2 M0

T2a N2 M0

T2b N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0

T3 N2 M0

IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

IVB setiap T N3 M0

(36)

2.1.7 Terapi Radioterapi

Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi primer untuk KNF dan

kelenjar regional yang membesar (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei dan Sham, 2005). Ini

disebabkan lokasi nasofaring berdekatan dengan struktur yang penting, serta sifat

infiltrasi KNF, sehingga pembedahan sulit dilakukan. Selain itu KNF memiliki sensitivitas

tinggi terhadap radiasi maupun kemoterapi dibandingkan kanker kepala dan leher

lainnya (Wei, 2006; Lin, 2006; Guigay et al. 2006).

Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah radioterapi

definitif. Pada KNF stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian kemoterapi

dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau masih kontroversial sebab

masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Licitra et al. 2003;

Lin, 2006)

Dosis radiasi untuk tumor primer biasanya diberikan 65-75 Gy dan pada kelenjar

leher 65-70 Gy. Dosis untuk terapi profilaktik pada leher dengan kelenjar negatif adalah

50-60 Gy (Wei dan Sham, 2005). Dosis radiasi perfraksi yang diberikan adalah 200 cGy

DT (dosis tumor) diberikan 5 kali seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar.

Setelah itu radiasi dilanjutkan untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-7000

cGy pada tumor (Marzaini, 2002; Mould dan Tai, 2002; Licitra et al. 2003).

Dengan pemberian radioterapi saja telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2

pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher

mencapai 90% pada kasus N0 dan N1, tapi tingkat kontrol berkurang menjadi 70% pada

(37)

Kemoterapi

Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus penyebaran ke

kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Pemberian

kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut

dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan sebelum (neoadjuvan),

selama (concurrent) atau setelah (adjuvan) pemberian kemoterapi. Regimen kemoterapi

aktif antara lain : cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin,

mitoxantron, methotrexate dan alkaloid vinca (Zakifman, 2002; Cottrill dan Nutting,

2003; Lin, 2006).

Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosa KNF datang pada stadium III dan

IV, dengan penyakit lokal lanjut tanpa metastase. Standar pengobatan adalah

radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akan tetapi, waktu pemberian, dosis,

durasi dan regimen obat kemoterapi yang optimal masih tetap kontroversial sebab

masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Agulnik dan Siu,

2005; Lin, 2006).

Dasar pemberian kemoterapi neoadjuvan/induksi kemoterapi dengan radioterapi

ada 2. Pertama : reduksi sitotoksik tumor primer dan kelenjar dapat meningkatkan

kontrol lokoregional. Kedua : eradikasi mikrometastase sistemik pada stadium dini dapat

mengurangi relaps metastase jauh. Pemberian kemoterapi saat siklus radioterapi

(concomitant) menawarkan potensi sensitisasi tumor terhadap radiasi dan juga

kemungkinan eradikasi mikrometastase. Akan tetapi juga menawarkan peningkatan

(38)

tidak berperan secara signifikan terhadap kontrol lokoregional (Mould dan Tai, 2002;

Cottrill dan Nutting, 2003).

Berdasarkan berbagai uji random yang telah dipublikasikan dengan tujuan

menilai penambahan kemoterapi pada radioterapi pada KNF lokal stadium lanjut, telah

diambil persetujuan umum bahwa kemoradioterapi concurrent sangat berguna, secara

konsisten menghasilkan keuntungan survival dibandingkan pemberian radioterapi saja,

mencapai tingkat overall survival (OS) 5 tahun sebesar 70% (Agulnik dan Siu, 2005;

Wei, 2006; Guigay et al. 2006).

Pemberian kemoterapi lanjutan terhadap kemoradioterapi concurrent, baik

sebagai neoadjuvan ataupun adjuvan, diperkirakan akan memperkuat kontrol penyakit.

Berdasarkan laporan-laporan terakhir, dipertimbangkan kombinasi kemoterapi

induksi/neoadjuvan diikuti terapi concurrent. Penggabungan bahan-bahan antikanker

terbaru yang kurang toksik dan lebih efektif seperti gemcitabine, taxane dan

bahan-bahan target molekular sebagai kombinasi regimen modalitas memerlukan eksplorasi

lebih lanjut dalam terapi KNF lokal stadium lanjut (Agulnik dan Siu, 2005)

Sampai sekarang, regimen dengan dasar platinum merupakan standar

kemoterapi pada pasien KNF dengan metastase, dan terapi lini pertama yang paling

banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU, yang mencapai ratio respon

66%-76% (Guigay et al. 2006; Wei, 2006). Kombinasi platinum dengan bahan baru

seperti gemcitabine atau paclitaxel telah menunjukkan respon yang baik (Guigay et al.

(39)

Pembedahan

Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas

pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase

leher setelah radioterapi, pada pasien tertentu pembedahan penyelamatan (salvage

treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa

metastase jauh (Chew, 1997; Wei, 2003; Wei, 2006; Lutzky et al. 2008).

Terapi Target Molekuler

Dengan tujuan untuk meningkatkan proporsi survival jangka panjang pada pasien

KNF yang rekuren atau dengan metastase jauh, bahan sistemik yang lebih baik

diperlukan untuk meningkatkan respon komplet. Dengan potensi indeks terapetik yang

lebih tinggi, bahan-bahan target melokuler menampilkan senyawa-senyawa yang dapat

melengkapi penggunaan kemoterapi konvensional (Agulnik dan Siu, 2005).

Beberapa target molekuler telah diidentifikasi dalam spesimen tumor penderita

KNF. Ekspresi atau overekspresi reseptor-reseptor berikut telah dievaluasi pada KNF

yaitu : EGFR, cKIT c-erbB-2 (HER-2) dan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor),

yang merupakan faktor proangiogenik, yang berperan dalam angiogenesis untuk

pertumbuhan tumor, invasi dan metastase tumor (Agulnik dan Siu, 2005).

Saat ini target terapi dengan cetuximab (antibodi monoklonal EGFR) sedang

dalam perkembangan untuk pasien KNF rekuren atau dengan metastase (Agulnik dan

Siu, 2005; Guigay et al. 2006; Licitra et al. 2006). Terapi multitarget inhibitor tyrosine

kinase VEGF untuk KNF dengan metastase telah menunjukkan aktivitas pada studi fase

(40)

Manajemen Pada KNF Persisten atau Rekuren

Komplikasi lambat dapat timbul pada pasien yang bertahan hidup lama sebagai

akibat radiasi pada daerah sekitar nasofaring dan kelenjar leher. Komplikasi yang dapat

timbul yaitu pada neuroendokrin dan otologi, xerostomia, fibrosis jaringan lunak,

stenosis arteri karotid. Komplikasi neurologi yang menyulitkan seperti nekrosis lobus

temporal dan kelumpuhan syaraf kranial. Kemoterapi dengan cisplatin akan

meningkatkan efek samping otologi (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

Remisi komplet KNF setelah terapi dapat dimonitor dengan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan endoskopi dengan atau tanpa biopsi, dan pencitraan. Pemeriksaan

dengan PET lebih baik dibandingkan dengan CT atau MRI untuk mendeteksi tumor

yang persisten atau rekuren. Deteksi dini adanya relaps lokoregional sangat penting

karena tumor ini masih dapat ditolong jika dideteksi dini. Pada kasus persisten, baik

pada nasofaring ataupun kelenjar leher 10 minggu setelah terapi inisial telah komplet,

dapat dipertimbangkan terapi penyelamatan (salvage treatment) (Wei, 2006).

Walau kemoradioterapi concomitant cukup efektif pada terapi KNF, kegagalan

lokal atau regional sebagai tumor yang persisten atau rekuren dapat terjadi. Untuk

mempertahankan tingkat survival yang tinggi dibutuhkan deteksi dan terapi dini. Berikut

terapi yang dapat diberikan :

1. Tumor persisten atau rekuren pada kelenjar limfe leher : diseksi leher radikal, dapat

ditambahkan dengan brakiterapi bila tumor telah menyebar keluar batas kelenjar

leher.

2. Tumor persisten atau rekuren di nasofaring : radioterapi eksternal siklus kedua

(41)

radioterapi eksternal siklus kedua dikombinasi dengan kemoterapi concurrent ( Cottrill

dan Nutting, 2003; Wei, 2003; Wei, 2006).

2.2 Vascular Endothelial Growth Factor 2.2.1 Angiogenesis

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari

pembuluh darah yang telah ada (Josko et al. 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis sangat

dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis,

penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita (Josko et al. 2000; Rosen, 2002).

Angiogenesis kompensatori ditunjukkan dengan pembentukan pembuluh darah kolateral

jika terjadi kekurangan oksigen dan kekurangan nutrisi pada jaringan normal (Rosen,

2002). Angiogenesis dapat dipicu oleh berbagai kondisi patologis, seperti reumatoid

artritis, retinopati diabetik, degenerasi makular, psoriasis dan pertumbuhan serta

metastasis tumor (Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003).

Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2 mm3

(Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien, faktor

pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor hemostatik yang

mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat

jauh (Hicklin dan Ellis, 2005).

Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang diregulasi secara

ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF, FGF, PDGF) dan faktor-faktor

antiangiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Suatu tumor avaskular

(42)

pembuangan produk sisa. Kebutuhan tumor terhadap nutrien berkembang sesuai

dengan volumenya, tetapi kemampuannya mengabsorbsi bahan-bahan melalui difusi

dari jaringan sekitar sesuai dengan luas permukaan tumor. Karena itu tumor tumbuh

hingga suatu ukuran maksimum hingga tumor mengalami defisiensi nutrien (biasanya di

bagian tengah tumor, dimana tingkat nutrien paling rendah) yang akan manghambat

proliferasi tumor hingga tumor berada dalam status diam. Hal ini membatasi ukuran

tumor sampai sekitar 2 mm, yang disebut keadaan dorman. Sel-sel tumor yang hipoksik

akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan angiogenik, termasuk VEGF. Tumor juga

memproduksi inhibitor endogen angiogenesis, seperti TGF- . Mulanya inhibitor melebihi

faktor pertumbuhan angiogenik dan sel endotel tetap diam. Akan tetapi, saat tumor

mampu memproduksi cukup faktor pertumbuhan dan/atau menekan ekspresi inhibitor,

akan terjadi ‘angiogenic switch’ menuju proses angiogenesis. (Plank dan Sleeman,

2003). ‘Angiogenic switch’ merupakan pertanda proses malignansi (Hicklin dan Ellis,

2005).

2.2.2 Angiogenesis Yang Diinduksi Tumor

Model terkini proses angiogenesis tumor menyarankan bahwa proses ini

melibatkan tumbuhnya tunas pembuluh dari pembuluh darah yang ada dan menyatunya

progenitor endotel menjadi pembuluh vaskular baru. Proses ini meliputi berbagai

kejadian yaitu proliferasi, migrasi dan invasi sel-sel endotel, organisasi sel-sel endotel

menjadi struktur tubular yang fungsional, maturasi pembuluh, dan regresi pembuluh.

(Detmar, 2000; Hicklin dan Ellis, 2005). Pada jaringan normal, kestabilan vaskular

(43)

terhadap stimulus angiogenik, sebaliknya angiogenesis tumor diinduksi oleh

peningkatan sekresi faktor angiogenik dan/atau oleh penurunan regulasi inhibitor

angiogenesis (Detmar, 2000).

Permulaan Angiogenesis

Pada permulaan angiogenesis, stimulus angiogenik yang diterima menyebabkan

sel endotel kapiler sekitar tumor teraktivasi, kontak yang erat dengan sel sekitar akan

menghilang dan mensekresi enzim proteolitik (protease) yang mempunyai efek

mendegradasi jaringan ekstraseluler. Ada banyak jenis enzim proteolitik tersebut, tetapi

secara garis besar dibagi menjadi matrix metalloproteases (MMPs) dan plasminogen

activator (PA)/sistem plasmin. Target awal protease adalah membran dasar. Setelah

terdegradasi, sel endotel akan dapat bergerak melalui gap yang ada pada membran

dasar menuju matriks ekstraseluler. Sel-sel endotel sekitar akan bergerak mengisi gap

pada membran dasar dan mengikuti sel-sel endotel sebelumnya menuju matriks

ekstraseluler. Karena itu, fungsi pertama faktor pertumbuhan angiogenik adalah

menstimulasi produksi protease oleh sel-sel endotel. Hal ini merupakan faktor kunci

pada rangkaian angiogenesis, sebab tanpa adanya aktivitas proteolitik, sel-sel endotel

akan dihambat oleh membran dasar hingga tidak dapat keluar dari kapiler (pembuluh)

induk (Plank dan Sleeman, 2003).

Migrasi Sel Endotel, Proliferasi dan Pembentukan Pembuluh

Setelah ekstravasasi, sel endotel terus mensekresi enzim proteolitik, yang akan

(44)

induk menuju tumor, membentuk tunas kecil. Sel endotel akan bertambah dari

pembuluh induk hingga tunas memanjang. Awalnya tunas-tunas ini bergerak paralel

satu sama lain, akan tetapi pada jarak tertentu dari pembuluh induk, mulai condong

menuju tunas lainnya. Hal ini akan membentuk loop tertutup (anastomose), yang akan

memungkinkan dimulainya sirkulasi pada pembuluh yang baru. Ini merupakan peristiwa

penting dalam pembentukan jaringan vaskular fungsional, akan tetapi stimulus yang

pasti terhadap perubahan arah tunas dan anastomosis masih belum diketahui (Plank

dan Sleeman, 2003).

Fase Vaskular

Dalam fase vaskular, pada angiogenesis fisiologis, ketika jaringan target telah

tervaskularisasi, ekspresi faktor pertumbuhan angiogenik akan berkurang. Migrasi,

proliferasi dan proteolisis sel-sel endotel akan berhenti dan pembuluh darah yang baru

terbentuk mengalami proses maturasi. Ikatan yang kuat antar sel distabilkan di endotel

dan sel endotel mensekresi protein (laminin, kolagen) untuk membentuk membran

dasar. Akhirnya sel-sel penyokong periendotel (perisit) direkrut dan pembuluh darah

baru menjadi bagian sistem vaskular yang stabil. Proses maturasi biasanya tidak terjadi

pada angiogenesis tumor, karena masih tetap terdapat daerah hipoksik di dalam tumor

yang tetap memproduksi faktor angiogenik. Selain itu, ketika daerah vaskularisasi yang

baru pada tumor terus bertambah, akan melebihi suplai darahnya sendiri sehingga

menimbulkan daerah hipoksik sendiri. Angiogenesis akan terus berlangsung dan

kapiler-kapiler baru terus tumbuh, meningkatkan suplai darah ke tumor yang sekarang

(45)

Akan tetapi, berlanjutnya angiogenesis akan meningkatkan pertumbuhan tumor,

yang akan membutuhkan suplai darah baru. Pada tumor yang sangat ganas, kebutuhan

akan pembuluh darah baru biasanya tidak pernah terpenuhi (Plank dan Sleeman, 2003).

Kapiler tumor biasanya tidak matang dan tidak stabil karena tidak terbentuknya

membran dasar, disebabkan faktor angiogenik terus diproduksi. Pembuluh baru akan

berbentuk ireguler, rapuh dan berliku-liku (Plank dan Sleeman, 2003).

2.2.3 Famili VEGF

Famili VEGF yang secara genetik berhubungan sebagai faktor pertumbuhan

angiogenik dan limfangiogenik terdiri dari 6 glikoprotein yaitu VEGF-A (biasa disebut

VEGF), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, dan placenta growth factor (PlGF)

(Hicklin dan Ellis, 2005).

In vivo, ekspresi VEGF-A telah menunjukkan peran kuncinya dalam

vaskulogenesis fisiologik dan angiogenesis. Pada tikus, delesi homozigot dan

heterozigot pada gen VEGF secara embrionik letal, menimbulkan defek pada

vaskulogenesis dan abnormalitas kardiovaskular. VEGF-A juga berperan penting dalam

proses angiogenik postnatal, termasuk penyembuhan luka, ovulasi, menstruasi,

mempertahankan tekanan darah serta kehamilan. VEGF-A juga telah dihubungkan

dengan berbagai kondisi patologis yang berkaitan dengan peningkatan angiogenesis,

seperti artritis, psoriasis, degenerasi makular dan retinopati diabetik (Hicklin dan Ellis,

2005).

Pada tikus, ketiadaan VEGF-B dan PlGF menunjukkan tidak ada defek pada

(46)

menyarankan bahwa peran VEGF-B dan PlGF mungkin berlebihan. Akan tetapi tidak

adanya PlGF akan mengganggu angiogenesis, ekstravasasi plasma, dan pertumbuhan

kolateral saat iskemia, peradangan, penyembuhan luka dan pertumbuhan tumor yang

menyarankan bahwa peran PlGF pada keadaan patologis yang terjadi pada orang

dewasa (Hicklin dan Ellis, 2005).

Homolog VEGF yaitu VEGF-C dan VEGF-D memegang peran kunci pada

limfangiogenesis saat embrionik dan postnatal. Delesi homozigot gen VEGF-C pada

tikus bersifat letal embrionik dan delesi heterozigot akan menyebabkan defek postnatal

yang berhubungan dengan defek perkembangan limfatik. VEGF-C dan VEGF-D

mungkin juga berperan dalam pertumbuhan pembuluh darah baru, terutama pada

keadaan patologik seperti pertumbuhan tumor. Akan tetapi perannya pada angiogenesis

tumor masih belum jelas. VEGF-E bukan homolog VEGF mamalia, tetapi protein viral

yang dikode virus Orf parapoxvirus (Hicklin dan Ellis, 2005; Guang, 2007).

2.2.4 Reseptor VEGF

Ligan VEGF menengahi efek angiogeniknya melalui reseptor yang berbeda. Dua

reseptor diidentifikasi pada sel endotel dikenal sebagai reseptor tirosin kinase spesifik

VEGFR-1 (fms-like tyrosine kinase1/Flt-1) dan VEGFR-2 (KDR/Flk-1). Saat ini VEGFR-3

(fms-like tyrosine kinase 4/Flt-4) telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan proses

limfangiogenesis (Neufeld et al. 1999; Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

VEGFR-1 merupakan reseptor untuk VEGF-A dan mempunyai kemampuan untuk

mengikat VEGF-B dan PlGF. VEGFR-1 sangat penting untuk angiogenesis fisiologik

(47)

mempunyai peran fungsional positif pada beberapa tipe sel, yang berpartisipasi pada

migrasi monosit, rekrutmen progenitor sel endotel, meningkatkan sifat adesif sel-sel

natural killer, dan menginduksi faktor pertumbuhan dari sel-sel sinusoidal hati (Hicklin

dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

Studi oleh Autiero dkk. menunjukkan aktivasi VEGFR-1 oleh PlGF menyebabkan

transfosforilasi VEGFR-2 pada sel endotel sehingga terjadi koekspresi terhadap

reseptor tersebut. Studi lain menunjukkan bahwa pada kondisi patologik seperti

tumorigenesis, VEGFR-1 merupakan regulator angiogenesis yang positif dan poten.

Bukti terakhir menyarankan fungsi VEGFR-1 berbeda sesuai tahap perkembangan,

berbagai kondisi patologik dan fisiologik, dan tipe sel dimana dia diekspresikan (Hicklin

dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

VEGFR-2 menengahi mayoritas efek akhir VEGF-A pada angiogenesis, termasuk

permeabilitas mikrovaskular, proliferasi, invasi, migrasi dan survival sel endotel. Aktivasi

spesifik VEGFR-2 dengan VEGF-E telah menunjukkan aktivitas sel endotel yang poten

in vitro dan in vivo, dengan kuat menyokong gagasan bahwa aktivasi VEGFR-2 sendiri

dapat secara efisien menstimulasi angiogenesis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,

aktivasi dan sinyal VEGFR-2 dapat secara positif atau negatif dipengaruhi ko-ekspresi

dan aktivasi VEGFR-1 (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006; Tabernero, 2007).

VEGFR-3 adalah reseptor tirosin kinase yang berasal dari klon lapisan sel

leukemia dan plasenta manusia. VEGFR-3 condong berikatan dengan VEGF-C dan

VEGF-D. VEGFR-3 diekspresikan melalui vaskulatur embrionik, tapi saat perkembangan

dan ketika dewasa, ekspresinya terbatas pada sel-sel endotel limfatik. Pada manusia

(48)

kardiovaskular dan pembentukan jaringan vaskular primer saat embriogenesis, dan

memfasilitasi limfangiogenesis ketika dewasa. Aktivasi dan peningkatan regulasi ligan

VEGFR-3 telah diobservasi pada beberapa neoplasma, seperti kanker payudara dan

melanoma, dengan peningkatan level VEGF-C dan VEGF-D yang berhubungan dengan

metastase kelenjar limfe pada pasien. Inhibisi sinyal VEGFR-3 dengan menggunakan

VEGFR-3 solubel menunjukkan pengurangan limfangiogenesis dan metastase kelenjar

limfe tumor (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

2.2.5 Peran VEGF Pada Angiogenesis

Vascular Endothelial Growth Factor merupakan golongan faktor angiogenik

terbaik. Telah jelas ditemukan bahwa VEGF adalah kekuatan utama dibalik

angiogenesis tumor dan pembentukan seluruh pembuluh darah. Tiga aktivitas pokok sel

endotel dalam angiogenesis yaitu sekresi protease, migrasi dan proliferasi. VEGF

mampu memicu ketiga proses tersebut dan bekerja secara spesifik pada sel endotel

(VEGFR secara eksklusif terekspresi pada sel endotel). VEGF juga bertindak sebagai

faktor survival sel endotel dengan menghambat apoptosis. (Rosen, 2002; Plank dan

Sleeman, 2003). Fungsi VEGF pada sel endotel yaitu meningkatkan permeabilitas

vaskular 50.000 kali lebih poten dari histamin. VEGF mengaktivasi sel endotel dengan

efek perubahan morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan menstimulasi

migrasi dan pertumbuhan sel endotel. VEGF bersifat mitogen terhadap sel endotel yang

menyebabkan proliferasi sel. VEGF juga menginduksi berbagai enzim dan protein yang

(49)

migrasi dan invasi yang merupakan tahap penting pada angiogenesis (Hicklin dan Ellis,

2005).

Permeabilitas

VEGF sebenarnya ditemukan karena kemampuannya membuat vena dan vena

kecil hiperpermeabel terhadap molekul makro dalam sirkulasi, sehingga pertama kali

disebut sebagai vascular permeability factor (VPF). Faktanya VEGF salah satu

penginduksi permeabilitas vaskular yang paling poten, 50.000 kali lebih poten dari

histamin. Kemampuannya untuk meningkatkan permeabilitas mikrovaskular merupakan

salah satu peran yang paling penting untuk VEGF, terutama dengan

mempertimbangkan hipermeabilitas pembuluh tumor yang diperkirakan berperan besar

untuk ekspresi VEGF pada sel-sel tumor (Hicklin dan Ellis, 2005).

Mekanisme pasti bagaimana VEGF meningkatkan permeabilitas mikrovaskular

belum sepenuhnya jelas. Studi terakhir menyarankan bahwa VEGF menginduksi

permeabilitas mungkin dimediasi via jalur calcium dependent yang melibatkan produksi

oksida nitrat dan aktivasi jalur Akt dan peningkatan cGMP, dengan aktivasi jalur Erk1/2

dengan cara stimulasi prostaglandin PGI2 (Hicklin dan Ellis, 2005).

Aktivasi Sel Endotel

VEGF menghasilkan berbagai efek yang berbeda pada sel-sel endotel dan

endotel vaskular. Efek-efek tersebut termasuk perubahan dalam morfologi sel endotel,

perubahan cytoskeleton, dan stimulasi pertumbuhan dan migrasi sel endotel. VEGF

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Umur
Tabel 5.3 Distribusi Penderita KNF Menurut Suku Bangsa
Tabel 5.4 Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Jenis Histopatologi (WHO)
Tabel 5.6 Distribusi Penderita KNF Berdasarkan Ekspresi VEGF
+3

Referensi

Dokumen terkait

1. Evaluasi kebijakan pemilihan Kepala Desa berbasis electronic Voting Menunjukkan 6 indikator yaitu: 1) Efektifitas, Dalam pemilihan kepala desa menggunakan

Diperoleh hasil penelitian (1) bentuk graf kompatibel dari hasil pemodelan arus lalu lintas di persimpangan jalan simpang tiga jalan Majapahit-Supriyadi Kota Semarang , (2)

Untuk mempercepat pembungaan tanaman anggrek Dendrobium 'Sarifah Fatimah' dengan kualitas dan kuantitas bunga yang cukup baik dapat diberikan paklobutrazol dengan

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang.

Sementara itu, China sendiri juga sangat tergantung dengan Asia Pasifik dari segi keamanan, stabilitas dan pengembangan perekonomian, maka China dan Asia

Penelitian ini berjudul “Adopsi IFRS dan Relevansi Nilai Informasi Akuntansi ”. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kualitas informasi akuntansi pada

The implementation process of child friendly school program started from the presence of LPAMAS in July 2012. LPAMAS reason to choose SDN 2 Karangsari to be a child friendly

7 10.1 Hal ini merupakan temuan audit sebelumnya yang belum dapat ditutup sepenuhnya, dimana perusahaan belum memiliki Dokumen SIA terbaru sebagai perbaikan