• Tidak ada hasil yang ditemukan

EPIDEMIOLOGI VIRUS AVIAN INVLUENZA DAN

Dalam dokumen VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA (Halaman 131-190)

EPIDEMIOLOGI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN PENULARANNYA

Epidemiologi Virus Avian Influenza

Sejak 1959 sampai akhir tahun 2003, dilaporkan hanya terjadi 24 wabah virus influenza pada ternak unggas di seluruh dunia. Kebanyakan wabah tersebut terbatas secara geografis pada daerah tertentu, dan tidak satupun dari wabah-wabah tersebut yang ukurannya mendekati wabah H5N1 di Asia tahun 2004. Sampai saat ini, semua wabah virus HPAI disebabkan oleh virus influenza A dari subtipe H5 dan H7. Faktor utama penyebaran virus HPAI adalah perdagangan unggas hidup dan produknya serta melalui mobilitas manusia (wisatawan dan pengungsi) (WHO 2004).

Dimensi baru wabah virus HPAI mencuat di akhir tahun 2003. Dari pertengahan Desember 2003 sampai awal Februari 2004, wabah yang disebabkan oleh virus HPAI H5N1 garis Asia dilaporkan telah menyerang unggas di Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos, Indonesia dan Cina (Maines et al. 2005; OIE 2005). Kejadian wabah yang serentak di banyak negara oleh virus HPAI H5N1 belum pernah terjadi sebelumnya. Virus HPAI H5N1 dijumpai pertama kali tahun 1997, merupakan hasil reasorsi dari VAI H5N1 isolat angsa domestik (A/goose/Guangdong/ 1/96) yang menyumbangkan gen HA dan VAI H9N2 yang menyumbangkan segmen-segmen gen penyandi protein internal (Guan et al. 1999).

Meskipun beberapa genotipe pernah dilaporkan (Cauthen et al.

2000), namun genotipe “Z” telah mendominasi wabah yang terjadi

sejak Desember 2003 (Li et al. 2004).

Pada bulan April 2005, untuk pertama kalinya, VAI H5N1 dapat mematikan ungas liar dalam skala besar (Zhou et al. 2006). Di danau Qinghai Barat Laut Cina, beberapa ribu unggas air migratori sakit dan mati terkena infeksi VAI H5N1 (Feare & Yasua

2006). Virus “Qinghai-like” tersebut selanjutnya menyebar ke

Rusia, Eropa dan Afrika oleh burung migratori (Webster & Govorkova 2006). Kematian ternak unggas banyak dilaporkan di daerah yang berdekatan dengan danau dan rawa-rawa yang menjadi tempat singgah unggas air liar. Hal ini memperkuat dugaan bahwa unggas migratori menjadi penyebar virus, termasuk virus HPAI H5N1 garis Asia. Unggas air liar diperkirakan dapat membawa virus hanya selama masa inkubasi, atau beberapa spesies yang masih bertahan meskipun sudah terinfeksi H5N1 (Sturm-Ramirez et al. 2004).

Virus AI subtipe H5N1 dari berbagai negara, secara filogenetik terpisah menjadi 2 clade. Clade 1 adalah virus yang diisolasi pada unggas dan manusia di Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos, Korea Selatan dan Jepang tahun 2003-2004.

Clade 2 terbagi menjadi 3 subclade. Subclade 1 adalah virus dari Indonesia tahun 2004-2006 dan isolat Hongkong tahun 2003.

Subclade 2 adalah isolat virus dari Rusia, Turki dan Timur Tengah tahun 2005-2006. Subclade 3 adalah isolat dari Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam tahun 2005-2006 (WHO 2005b; Webster & Govorkova 2006).

Virus-virus AI dalam clade dan subclade terpisah mempunyai perbedaan struktur antigenik, sehingga setiap clade

atau subclade memerlukan vaksin yang berbeda. Studi pada feret menunjukkan bahwa vaksin terhadap satu clade tidak protektif terhadap clade lainnya (Webster & Govorkova 2006). Disamping struktur antigenik, antar clade dan subclade yang berbeda juga menunjukkan perbedaan sensitifitas terhadap obat antivirus influenza (Webster & Govorkova 2006). Mayoritas virus clade 1 resisten terhadap amantadin dan rimantadin, namun mayoritas virus clade 2 sensitif terhadap kedua jenis antivirus tersebut. Meskipun demikian, semua VAI H5N1 sensitif terhadap inhibitor neuraminidase (Webster & Govorkova 2006; Kandun et al. 2006). Penyebaran VAI H5N1 secara global disebabkan oleh perdagangan unggas dan/atau produk unggas serta pergerakan unggas migratori (Capua & Marangon 2006; Chen et al. 2006). Analisis penyebaran global VAI H5N1 di Asia menunjukkan bahwa 9 dari 21 introduksi virus ke negara-negara Asia melalui perdagangan unggas atau produk unggas. Burung migratori juga berperan pada penyebaran dan introduksi VAI H5N1 ke 3 dari 21 negara-negara di Asia. Sementara introduksi VAI H5N1 pada 20 dari 23 negara di Eropa terjadi melalui unggas migratori. Di Afrika, 2 dari 8 negara mengalami introduksi VAI H5N1 melalui perdagangan unggas dan 3 dari 8 negara melalui unggas migratori (Kilpatrick et al. 2006). Hasil penelitian Susanti et al. (2008d) menunjukkan bahwa analisis filogenetik VAI H5N1 isolat unggas air dari Jawa Barat membentuk tiga percabangan secara terpisah, yaitu satu percabangan pada klaster Indonesia dan dua

percabangan pada klaster Asia. Hasil ini mengindikasikan bahwa introduksi VAI H5N1 ke Indonesia terjadi lebih dari satu kali. Burung liar migratori nampaknya juga berperan penting pada introduksi VAI H5N1 ke Indonesia. Enam virus isolat unggas air (IPB1-RS s/d IPB6 RS) merupakan strain virus yang berbeda dengan VAI H5N1 yang telah diisolasi di Indonesia sebelumnya. Hasil ini didukung dengan uji reaksi silang antara VAI H5N1 isolat ayam Legok 2003 dengan 9 virus AI H5N1 isolat unggas air tersebut, bahwa semua virus mempunyai struktur antigenik yang berbeda dengan strain ayam Legok 2003 (Susanti et al. 2008d).

Telaah Virus Avian Influenza di Indonesia

Kasus VAI H5N1 pada unggas di Indonesia muncul pertama kali pada bulan Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kasus ini kemudian meluas ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Lampung, Bali serta beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Sampai akhir tahun 2003, kasus VAI dinyatakan endemik di 9 propinsi, terdiri dari 51 kabupaten/kota dengan jumlah kematian unggas mencapai 4,13 juta ekor (Data Dirjen Peternakan RI 2004). Jumlah kematian unggas sampai bulan November 2005 diperkirakan mencapai 10,45 juta ekor. Jumlah kematian unggas pada tahun 2005 cenderung menurun drastis dibanding tahun 2003 dan 2004, meskipun daerah yang terserang cenderung lebih luas.

Virus AI subtipe H5N1 di Indonesia termasuk genotipe Z. Genotipe ini pertama kali ditemukan pada unggas di Cina Selatan

tahun 2002 (Smith et al. 2006). Analisis filogenetik gen HA dari VAI H5N1 dari berbagai wilayah geografi dan berbagai spesies hewan di Indonesia menunjukkan bahwa VAI H5N1 di Indonesia membentuk satu klaster (cluster), terpisah dengan isolat dari negara lain. Analisis serupa juga menunjukkan bahwa virus

Indonesia mengelompok berdasarkan wilayah geografis,

sehingga terbentuk 3 grup (A, B dan C). Grup A adalah kelompok virus dari kawasan tengah dan timur Indonesia, yaitu Jawa, Sulawesi Selatan dan Timor Barat. Grup B juga terdiri dari isolat virus di kawasan tengah dan timur Indonesia yaitu Jawa, Bali, Flores dan Timor Barat. Termasuk grup C adalah isolat virus dari pulau Jawa, Sumatera dan Bangka (Smith et al. 2006). Infeksi VAI H5N1 pada manusia mulai terjadi pada Juli 2005. Infeksi VAI H5N1 pada manusia terjadi secara sporadis dan menyerang beberapa klaster famili (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al. 2007). Sejak awal infeksi sampai bulan Juni 2006, tercatat 54 kasus infeksi dan 21 infeksi diantaranya terjadi pada 7 klaster famili. Tingkat fatalitas kasus VAI H5N1 mencapai 76%, terutama menginfeksi manusia usia kurang dari 40 tahun dan 57,4% menyerang laki-laki (Sedyaningsih et al. 2007). Kasus infeksi VAI H5N1 pada klaster famili kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genetik, tingkah laku, imunologik, dan lingkungan (Kandun et al. 2006). Semua kasus infeksi VAI H5N1 di Indonesia merupakan VAI H5N1 clade 2 subclade 1 (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih

et al. 2007).

Sampai saat ini (24 Januari 2008), dikonfirmasi sebanyak 120 kasus penularan VAI H5N1 pada manusia dan 97

diantaranya meninggal dunia (Depkes 2008; WHO 2008). Jumlah kematian manusia akibat VAI H5N1 di 12 propinsi di Indonesia ini tercatat paling tinggi di dunia (WHO 2008). Dari tahun 2003-2008 dilaporkan WHO 352 kasus penularan, dan 219 diantaranya meninggal dunia (WHO 2008). Transmisi VAI dari unggas ke manusia masih dianggap terjadi secara langsung dari unggas (ayam) atau lingkungan yang terkontaminasi virus AI (Smith et al.

2006). Sampai tanggal 10 Agustus 2012, jumlah kasus dan kematian akibat VAI H5N1 pada manusia Indonesia tercatat paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 159 orang dari 191 orang positif terinfeksi (WHO 2012). Data kejadian dan kematian di seluruh dunia adalah 359 kematian dari 608 kejadian (WHO 2012).

Peran Unggas Air pada Penyebaran Virus Avian Influenza

Unggas air, termasuk ordo Anseriformes (itik, entok, angsa) dan Charadriiformes (burung camar dan burung dara laut) adalah inang alami semua subtipe virus influenza A, sehingga sangat memungkinkan sebagai reservoir (penampung) virus influenza A (Olsen et al. 2006; Fouchier et al. 2007; Webster

et al. 2007). Sementara, semua unggas termasuk unggas domestik (ayam, kalkun, puyuh) termasuk rentan terinfeksi. Pada inang alami, virus berada dalam keadaan seimbang dan tidak menunjukkan gejala klinis. Dalam tubuh hospes alami ini, secara evolusioner virus dalam keadaan statis, yang secara molekuler ditandai dengan rendahnya rasio substitusi N/S (Taubenberger et al. 2005). Antara hospes dengan virus terjadi toleransi yang

seimbang, dimana replikasi virus secara efisien dan tidak menyebabkan penyakit. Virus bereplikasi di saluran pencernaan unggas air, sehingga ekskresi virus bersama feses dapat ditransmisikan ke unggas atau mamalia lain melalui fecal-oral

(Sturm-Ramirez et al. 2004).

Penelitian di Pakistan menunjukkan bahwa 15% itik dan angsa merupakan reservoir VAI. Selain unggas air, burung liar juga dilaporkan sebagai reservoir VAI (Khawaja et al. 2005). Prevalensi VAI subtipe H5N1 di pasar unggas di Hongkong tahun 1997 paling tinggi ditemukan pada ayam (19,5%), diikuti angsa (2,5%) dan itik (2,4%) (Sortridge 1997). Sementara di pasar unggas Nanchang, Cina tahun 2000, prevalensi VAI paling tinggi dijumpai pada itik (1,3%), diikuti ayam (1,2%), puyuh (0,8%) dan merpati (0,5%) (Liu et al. 2003). Prevalensi virus HPAI subtipe H5, H7, H9 pada unggas air di Minnesota mencapai 21,5%, sementara prevalensi subtipe H3, H4 dan H6 mencapai 63,8%. Prevalensi subtipe H5 dan H9 masing-masing sebesar 0,4% dan prevalensi subtipe H7 mencapai 0,7% (Hanson et al. 2003).

Sistem penggembalaan itik secara bebas, terutama pada saat panen padi dilaporkan juga merupakan faktor yang berperan pada penyebaran virus HPAI H5N1 (Gilbert et al. 2006). Sebanyak 27% flock itik backyard di Thailand positif terinfeksi VAI H5N1. Dan pada saat wabah VAI H5N1 pada unggas dan manusia akhir tahun 2004, 47% flock itik backyard positif terinfeksi VAI H5N1. Infeksi VAI H5N1 pada itik tersebut di atas bersifat subklinis, namun virus tetap diekskresikan bersama feses dalam waktu cukup lama (Songserm et al. 2006).

Seroprevalensi VAI pada unggas air (itik, entok dan angsa) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan seroprevalensi pada ayam kampung. Hal ini semakin nyata terlihat pada sampling pemeriksaan terhadap itik di daerah sangat tercemar seperti daerah Jawa Barat (FKH IPB 2006). Hasil penelitian Susanti et al. (2008b) menunjukkan bahwa dari total 460 sampel, 21 isolat positif VAI H5N1 (4,57%), 13 isolat HxN1(2,83%), 3 isolat H5Nx (0,65%) dan 8 isolat HxNx (1,74%). Sebaran VAI subtipe H5N1 yang berhasil diisolasi dari unggas air di peternakan skala rumah tangga di Jawa Barat adalah 17 isolat dari Kabupaten Bogor dan 4 isolat dari Kabupaten Sukabumi. Prevalensi di masing-masing kabupaten adalah 6,49% di Bogor dan 2,02% di Sukabumi. Angka prevalensi pada masing-masing spesies adalah 6,67% pada angsa, 4,85% pada itik, dan 4,04% pada entok. Di Kabupaten Bogor, prevalensi pada angsa 8,57%, pada itik 6,49%, dan pada entok 5,48%. Di Kabupaten Sukabumi, prevalensi pada angsa 4,00%, pada entok 3,33%, dan pada itik 1,40%. Data ini menunjukkan bahwa unggas air (itik, entok, angsa) ini berpotensi sebagai sumber penularan VAI H5N1 ke unggas darat dan manusia. Data ini menunjukkan bahwa unggas air (itik, entok, angsa) ini berpotensi sebagai sumber penularan VAI H5N1 ke unggas darat dan manusia.

Salah satu unggas air, yaitu itik, juga dianggap sebagai

sumber VAI H5N1 pada wabah di Cina tahun 2000-2004 (Chen et

al. 2004; Li et al. 2004). Wabah VAI H5N1 di Hongkong tahun 2001 juga berasal dari reservoir itik dan angsa yang mengalami reasorsi dengan VAI lainnya sehingga muncul virus yang bersifat

patogenik pada unggas darat (Sturm-Ramirez et al. 2004). Inokulasi 23 isolat VAI H5N1 pada itik jantan menunjukkan bahwa semua isolat VAI H5N1 dapat bereplikasi secara efisien dan 22 diantaranya ditransmisikan pada hewan peka melalui kontak (Sturm-Ramirez et al. 2005). Strain patogenik VAI H5N1 hanya menyebabkan gejala klinis ringan pada itik, tetapi tetap mengekskresikan virus bersama kotorannya yang berpotensi untuk menular ke unggas lain dan (bahkan) juga ke manusia (Kishida et al. 2005; Strurm-Ramirez et al. 2005).

Penelitian yang dilakukan Chen et al. (2004) dan Li et al. (2005) juga menunjukkan bahwa isolat VAI H5N1 dari itik sehat secara progresif dapat bereplikasi dan menyebabkan berbagai penyakit pada mencit. VAI H5N1 yang bersifat patogenik tinggi pada unggas darat, menjadi patogenik rendah jika diinokulasikan pada itik. Pada itik tidak menyebabkan gejala klinis tetapi ekskresi virus dari itik terjadi terus menerus sehingga berpotensi menyebarkan virus yang bersifat patogenik bagi unggas lain dan (bahkan) juga pada manusia (Hulse-Post et al. 2005).

Infeksi VAI sangat jarang terjadi bersifat letal pada unggas air. Wabah VAI H5N1 di Hongkong akhir tahun 2002 menyebabkan kematian pada burung migratori dan unggas air domestik termasuk itik, merupakan laporan pertama setelah tahun 1961, dimana infeksi VAI bersifat letal pada unggas air

(Sturm-Ramirez et al. 2004). Virus HPAI H5N1 juga

menyebabkan wabah di Danau Qinghai Cina tahun 2005 yang mematikan ribuan unggas air migratori (Zhou et al. 2006).

Transmisi VAI dari unggas air ke unggas lain kemungkinan melalui pasar unggas, dimana kontak antara unggas air dan unggas lainnya seperti ayam, puyuh, dan burung-burung lainnya tidak terhindarkan lagi (Weaver 2005; Gilbert et al. 2006). Puyuh disebutkan merupakan hospes perantara transmisi VAI dari unggas air ke unggas darat. Puyuh menyediakan lingkungan untuk adaptasi VAI subtipe H9 dari itik sehingga membentuk varian baru yang dapat menginfeksi unggas lainnya (Perez et al. 2003).

Hasil penelitian wabah VAI di Hongkong menunjukkan bahwa VAI H5N1 isolat ayam berbeda dengan isolat unggas air. VAI H5N1 isolat ayam mengalami delesi 19 asam amino pada tangkai (stalk) NA dan ada tambahan posisi glikosilasi pada HA. Delesi asam amino pada NA menyebabkan penurunan kemampuan pelepasan virus dari sel, sementara penambahan glikosilasi pada HA menyebabkan penurunan afinitas ikatan HA pada reseptor sel hospes. Perubahan NA dan HA pada ayam ini merupakan bentuk adaptasi virus dari unggas air ke unggas darat dan memperbesar peluang unggas domestik sebagai hospes intermedier pada transmisi zoonotik (Matrosovich et al. 1999)

Transmisi virus dari unggas air ke unggas darat dapat terjadi dua arah. VAI H9N2 yang awalnya berasal dari unggas air ditransmisikan ke unggas darat dan mengalami reasorsi. Virus dari unggas darat ini ditransmisikan kembali ke unggas air dan

mengalami reasorsi kembali membentuk varian baru yang

berpotensi untuk menginfeksi manusia secara langsung (Li et al. 2003). Hal ini menunjukkan bahwa unggas air juga berpotensi

sebagai “mixing vessel” yang memunculkan varian-varian virus baru yang berpotensi sebagai penyebab pandemi influenza pada manusia (Xing et al. 2007).

Cara Perlindungan dan Pencegahan Infeksi Virus Avian Influenza

Virus Avian Influenza seperti virus influenza lainnya, secara alami sering mengalami mutasi (Bab III), sehingga ketika ada wabah virus ini dan menimbulkan banyak kematian unggas dan bahkan manusia, masyarakat tidak perlu panik dan ketakutan. Pada kondisi demikian langkah yang peling tepat dilakukan adalah waspada dan berhati-hati. Jika virus ini bermutasi sedemikian rupa sehingga dapat menyerang manusia secara rutin, maka mutasi tersebut akan menghasilkan virus yang jauh berkurang keganasannya. Fakta membuktikan bahwa dengan berjalannya waktu, kasus kematian unggas dan manusia semakin menurun dan menurun bahkan tidak ada lagi laporan yang masuk. Hal ini menunjukkan bahwa virus ini tidak menunjukkan keganasannya lagi.

Meskipun demikian, ketika wabah mematikan dari virus ini terjadi di sekitar kita, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan (Komnas FBPI 2007).

1. Jika menemukan unggas sakit mendadak tanpa gejala sakit, (a) Segera laporkan ke RT/RW/Kepala Desa. Langkah ini

merupakan upaya peringatan dini sehingga mencegah terjadinya kasus yang lebih buruk.

(b) Jangan menyentuh unggas sakit/mati tanpa menggunakan pelindung tangan/kantong plastik, pelindung mulut (masket/sapu tangan) dan sepatu boot.

(c) Bangkai unggas dibakar dan dikubur sedalam lutut orang dewasa agar tidak dapat digali hewan lain.

(d) Jangan membuang bangkai ke sungai/selokan, karena dapat menyebarkan virus melalui air.

(e) Ayam yang sakit atau mati jangan diperjualbelikan dan dikonsumsi

(f) Pastikan kandang selalu bersih dengan cara mencuci kandang dengan sabun/detergen secara teratur

(g) Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah menyentuh unggas sakit/mati

(h) Kosongkan kandang selama 3 minggu sebelum memasukkan unggas baru

(i) kandangkan segera unggas yang masih hidup. Dengan dikandangkan akan memudahkan petugas melakukan pemeriksaan dan tindakan lain yang diperlukan

2. Langkah-langkah sebagai upaya pencegahan:

(a) Jika ada gejala flu dan demam setelah berdekatan dengan unggas, segera laporkan dan periksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit. Dengan demikian, jika terjadi sesutu dapat segera diatasi.

(b) Kandang ayam dipisahkan dengan kandang itik.

Pemisahan antar jenis unggas dapat mengurangi kontak dan resiko terjadinya penularan virus ke unggas lain serta manusia.

(c) Stok ayam/itik baru dipisahkan dari ayam/itik yang lama selama 2-3 minggu. Hal ini untuk memastikan bahwa ayam/itik yang baru tidak membawa virus dan tidak menularkan pada ayam/itik lama

(d) Kandang ayam/itik harus dipisahkan dari pemukiman. Unggas harus selalu dikandangkan terpisah dengan pemukiman, untuk mencegah kemungkinan penularan virus ke manusia

(e) Bagi pekerja kandang, pakaian kerja, sepatu, alat transportasi dan kandang segera dicuci dan dibersihkan dengan sabun atau obat suci hama segera setelah pekerjaan selesai. Mencucui dengan sabun akan mencegah pencemaran dari bagian yang terinfeksi ke bagian yang belum terinfeksi.

(f) Bagi ibu-ibu yang memasak daging unggas, disarankan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah menyentuh unggas serta sebelum dan setelah memasak. Mencuci tangan dan peralatan dengan sabun akan mencegah penularan ke manusia karena pemakaian ulang alat yang tidak bersih

(g) Virus flu burung akan mati jika daging dan telur dimasak hingga matang. Jadi tidak perlu takut mengkonsumsi daging dan telur ayam yang telah dimasak matang. Meskipun demikian, lebih baik membeli dan memasak unggas yang sehat, bukan bangkai.

(h) Pekerja kandang/peternak harus mengenali gejala utama flu burung pada unggas, yaitu mati mendadak tanpa gejala

sakit. Gejala lain yang menyertai adalah jengger bengkak berwarna biru atau berdarah, kepala tertunduk menyatu dengan badan, kepala dan kelopak mata bengkak, perdarahan di bawah kulit yang tidak ditumbuhi bulu

(i) Sebagai pencegahan pada ayam yang masih hidup, perlu dilakukan vaksinasi. Untuk mendapatkan informasi tentang vaksin, menghubungi petugas dinas peternakan/pertanian

BAB VIII PENUTUP

Kasus penyebaran VAI subtipe H5N1 pada unggas di Indonesia muncul pertama kali pada bulan Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kasus ini kemudian meluas ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Lampung, Bali serta beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Infeksi VAI H5N1 pada manusia mulai terjadi pada Juli 2005. Infeksi VAI H5N1 pada manusia terjadi secara sporadis dan menyerang beberapa klaster famili (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al. 2007).

Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia (Kalthoff

et al. 2010). Sejak awal infeksi sampai bulan Juni 2006, tercatat 54 kasus infeksi dan 21 infeksi diantaranya terjadi pada 7 klaster famili. Tingkat fatalitas kasus VAI H5N1 mencapai 76%, terutama menginfeksi manusia usia kurang dari 40 tahun dan 57,4% menyerang laki-laki (Sedyaningsih et al. 2007). Dari tahun 2003- 2008 dilaporkan WHO 352 kasus penularan, dan 219 diantaranya meninggal dunia (WHO 2008). Transmisi VAI dari unggas ke manusia masih dianggap terjadi secara langsung dari unggas (ayam) atau lingkungan yang terkontaminasi virus AI (Smith et al.

2006). Sampai tanggal 10 Agustus 2012, jumlah kasus dan kematian akibat VAI H5N1 pada manusia Indonesia tercatat paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 159 orang dari 191

orang positif terinfeksi (WHO 2012). Data kejadian dan kematian di seluruh dunia adalah 359 kematian dari 608 kejadian (WHO 2012).

Virus influenza, bentuk dan ukuran bersifat pleiomorfik (berubah-ubah), berbentuk filamen atau sferoid (bola) dengan diameter 80-120 nm (Harris et al. 2006). Virus influenza adalah virus anggota famili Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Di dalam virion influenza tipe A dan B terdapat 8 segmen genom RNA serat tunggal (single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein. Delapan segmen tersebut adalah PB1 (PB1 dan PB1-F2), PB2, PA, HA, NP, NA, M (M1 dan M2), serta NS (NS1 dan NS2) (Horimoto dan

Kawaoko, 2001; Whittaker, 2001). Kedelapan segmen RNA

bersama-sama dengan nukleoprotein (NP) membentuk

ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al. 2001; Munch

et al. 2001). RNP dikelilingi oleh protein matriks M1. Pada permukaan amplop virus terdapat glikoprotein HA dan NA serta kanal ion (ion channel) M2 (Elton et al. 2001).

Virus influenza tipe A secara natural dapat menginfeksi unggas dan manusia (Khawaja et al. 2005). Virus ini dibagi ke dalam berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) (Lee et al. 2001). Sampai saat ini ada 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Russell and Webster 2005). Siklus replikasi virus influenza A mempunyai keunikan karena semua sintesis mRNA dan replikasi genom terjadi di dalam nukleus sel

hospes yang terinfeksi. Proses replikasi virus sangat cepat, sekitar 10 jam/siklus (Coleman 2007).

Penelitian yang berhubungan dengan virus avian influenza dilakukan di laboratorium standart Biosafety Level 2 (BSL-2) plus atau BSL-3. Namun untuk propagasi virus AI subtipe H5N1 pada hewan coba (pada tikus, marmut, ayam atau itik, dll) harus dilakukan di laboratorium BSL-3. Tahap pertama yang harus dilakukan untuk memperbanyak dan mengisolasi virus adalah mengambil contoh/sampel yang diduga mengandung virus. Mengingat VAI berkembang/bermultiplikasi pada sel epitel saluran pencernaan dan pernafasan, maka sampel dapat diambil dari usap hidung, usap anus atau usap kloaka. Untuk mengetahui apakah pada sampel terdapat virus yang dimaksud atau tidak, sampel harus ditanam pada media yang sesuai. Mengingat virus adalah organisme yang hanya dapat bereplikasi pada sel hidup, maka media yang sesuai untuk menumbuhkan virus adalah sel hidup. Virus influenza A dapat bereplikasi secara in ovo pada telur ayam berembrio (TAB) maupun secara in vitro pada kultur sel Madin Darby Canine Kidney (MDCK) (Whittaker 2001; Ito et al. 1997). TAB merupakan metode terbaik untuk isolasi virus influenza, karena lebih sensitif dibandingkan sel kultur MDCK (Clavijo et al. 2002). Meskipun demikian, MDCK merupakan sel yang paling sensitif untuk isolasi virus influenza A dibanding sel kultur Vero dan MRC-5 (Reina et al. 1997). Hasil perbanyakan virus perlu diuji keberadaan virus influenza, dan sebagai skrining awal dilakukan uji hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus yang mempunyai

kemampuan mengaglutinasi sel darah merah. Hemaglutinin (pada VAI) akan melekat secara spontan pada sel darah merah. Jika

Dalam dokumen VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA (Halaman 131-190)

Dokumen terkait