• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS

TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA

Penelitian yang berhubungan dengan virus avian influenza dilakukan di laboratorium standart Biosafety Level 2 (BSL-2) plus atau BSL-3. Namun untuk propagasi virus AI subtipe H5N1 pada hewan coba (pada tikus, marmut, ayam atau itik, dll) harus dilakukan di laboratorium BSL-3. Semakin tinggi potensi suatu

agen penyakit (mikroorganisme) untuk menular dan

menyebabkan penyakit pada manusia (peneliti/pekerja

laboratorium), semakin tinggi tingkat (level) biosafety laboratorium yang diperlukan. Pada Tabel 2 berisi jenjang safety laboratorium dan penggunaannya.

Tabel 2. Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit

No Laboratorium Penggunaan Contoh

mikroorganisme 1 Biosafety Level-1 (BSL- 1) Mikroorganisme yang diketahui tidak menyebabkan penyakit pada manusia dewasa yang sehat dan potensi bahayanya minimal bagi pekerja laboratorium dan lingkungan

Laboratorium tidak memerlukan lokasi terpisah dari lokasi umum dalam suatu bangunan  Bacillus subtilis Naegleria gruberi Infectious canine hepatitis virus E. Coli‐K12 2 Biosafety Level-2 (BSL- Mikroorganisme yang berpotensi secara  EpsteinBarr virus

2) moderat dapat

menyerang pekerja

laboratorium dan

lingkungan.

Akses ke laboratorium dibatasi ketika pekerjaan tengah dilakukan Hepatitis A, B, C, D, E Neisseria meningitidis Salmonella  Clostridium botulinum, tetani  Blastomyces dermatitidis  Entomeoeba histolytia 3 Biosafety Level-3 (BSL- 3)

Fasilitas klinis, dignostik, riset atau produksi yang

berhubungan dengan agen-agen infeksius yang berpotensi mengakibatkan penyakit berbahaya. Pekerja laboratorium memiliki pelatihan khusus dalam penanganan agen-agen patogenik berbahaya

dan diawasi oleh

ilmuwan yang kompeten

terhadap agen-agen tersebut  Bacillus anthracis M. tuberculosis Yersenia pestis

Yellow fever (wild type) Coccidioides immitisAvian influenzaHIVSARS 4 Biosafety Level-4 (BSL- 4) Mikroorganis/agen-agen eksotik yang ekstrem berbahaya, dan beresiko tinggi dapat menyebar melalui udara.

Staf laboratorium terlatih khusus, memakai pelindung khusus dengan tabung oksigen tersendiri

Fasilitas laboratorium terisolasi dari tempat- tempat umum, pekerjaan dalam tempat tertutup khusus.

Preparasi Sampel

Tahap pertama yang harus dilakukan untuk memperbanyak dan mengisolasi virus adalah mengambil contoh/sampel yang diduga mengandung virus. Mengingat VAI berkembang/ bermultiplikasi pada sel epitel saluran pencernaan dan pernafasan, maka sampel dapat diambil dari usap hidung, usap anus atau usap kloaka. Sampel usap kloaka diambil dari hewan yang diperiksa atau hewan/manusia yang diduga terinfeksi VAI. Sampel usap kloaka/anus/hidung selanjutnya dimasukkan dalam tabung berisi media transport PBS gliserol (WHO 2002). Sampel selanjutnya dimasukkan dalam inkubator suhu dingin -4oC atau lebih dingin lagi. Jika pengambilan sampel dari lapangan, tabung berisi sampel dimasukkan dalam ice box kemudian dibawa ke laboratorium. Cara membuat PBS gliserol adalah dengan mencampurkan PBS 1x dan gliserol dengan perbandingan 1:1. Dalam 1 liter PBS Gliserol, ditambahkan Penisilin-G 2x106 U/L dan Srteptomisin 200 mg/L (Susanti et al. 2008b).

Media Perbanyakan virus

Untuk mengetahui apakah pada sampel terdapat virus yang dimaksud atau tidak, sampel harus ditanam pada media yang sesuai. Mengingat virus adalah organisme yang hanya dapat bereplikasi pada sel hidup, maka media yang sesuai untuk menumbuhkan virus adalah sel hidup. Virus influenza A dapat bereplikasi secara in ovo pada telur ayam berembrio (TAB) maupun secara in vitro pada kultur sel Madin Darby Canine

Kidney (MDCK) (Ito et al. 1997; Whittaker 2001). Sel MDCK

mempunyai reseptor α-(2,6) dan α-(2,3) sehingga efektif untuk replikasi virus influenza isolat manusia maupun avian. Untuk dapat menumbuhkan virus influenza pada sel MDCK, perlu ditambahkan protease tripsin untuk memotong HA menjadi HA1 dan HA2 (Webster et al. 1992). Pertumbuhan virus ditandai adanya cytopathogenic effect (CPE). Karena sel MDCK memiliki

2 jenis reseptor (α-(2,6) dan α-(2,3)), kultur virus influenza pada MDCK tidak menyebabkan tekanan seleksi sehingga tidak terjadi substitusi asam amino tertentu, namun kurang efektif jika digunakan untuk mendapatkan virus dalam jumlah besar (Ito et al. 1997).

Ruang alantois TAB hanya mempunyai reseptor α-(2,3),

sementara pada sel amnion mempunyai reseptor α-(2,6) dan α- (2,3). Secara in ovo, perbedaan reseptor sel hospes dengan spesifisitas asam amino titik pengikat reseptor merupakan tekanan seleksi yang memicu substitusi hemaglutinin (HA). Kultur virus influenza strain manusia pada sel amnion (yang mempunyai

reseptor α-(2,6) dan α-(2,3)), sampai pasase ke-2 masih

mempertahankan spesifisitas reseptor pada α-(2,6). Namun, jika virus influenza strain manusia ini dikultur pada sel alantois yang

hanya mempunyai reseptor α-(2,3) menyebabkan mutasi substitusi L226G sehingga spesifisitas reseptor bergeser dari α-

(2,6) menjadi α-(2,3) (Ito et al. 1997). Isolasi virus dalam TAB lebih tepat untuk strain avian (Ito et al. 1997). Meskipun demikian, menurut hasil-hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa semua virus influenza dapat tumbuh baik di TAB (Webster et al.

1992; Harimoto & Kawaoka 2001; Whittaker 2001). Hal ini disebabkan karena protease serupa dengan faktor pembeku

darah “Xa” (anggota famili protrombrin) dalam cairan alantois

bertanggung jawab atas proteolitik HA pada cleavage site

sehingga virus dapat bereplikasi secara in ovo (Harimoto & Kawaoka 2001). Protease yang dapat memotong HPAI dan LPAI

adalah enzim “trypsin like”, yaitu faktor pembeku darah “Xa”,

triptase, mini plasmin dan protease bakterial (Harimoto & Kawaoka 2005). Enzim proteolitik mengenal sekuen asam amino motif B-X-B-R (B=asam amino basa, X=asam amino non-basa) (Harimoto & Kawaoka 2001).

Propagasi virus pada TAB merupakan metode yang banyak dilakukan untuk diagnosis, isolasi virus, identifikasi virus dan uji neutralisasi. TAB merupakan metode terbaik untuk isolasi virus influenza, karena lebih sensitif dibandingkan sel kultur

MDCK (Clavijo et al. 2002). Meskipun demikian, MDCK

merupakan sel yang paling sensitif untuk isolasi virus influenza A dibanding sel kultur Vero dan MRC-5 (Reina et al. 1997). Propagasi virus pada TAB digunakan sebagai metode pembuatan vaksin influenza A yang telah beredar selama beberapa dekade (kurang lebih 30 tahun) (Scannon 2006). Lebih lanjut disebutkan bahwa TAB merupakan media utama produksi vaksin influenza baik inaktif maupun vaksin hidup yang dilemahkan (Lu et al. 2005; Szecsi et al. 2006).

Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF

Setiap sampel dari setiap ekor hewan yang diduga mengandung virus, idealnya ditumbuhkan pada 1 butir TAB. Namun, hal ini bergantung pada tujuan penelitian dan ketersediaan biaya. Jika tujuannya untuk mengetahui apakah hewan-hewan di suatu tempat (biasanya hewan dipelihara berkelompok) terinfeksi, maka sampel diambil secara sampling atau diambil semua. Jika sampel diambil semua, untuk efisiensi biaya dan tujuan tercapai, maka sampel di-polling. Setiap 1-4 sampel usap kloaka/anus/hidung (masing masing sebanyak 100 µl) dikumpulkan (polling) menjadi satu inokulum berdasarkan jenis hewan dan pemilik. Hal ini ditujukan untuk efisiensi jumlah TAB. Jika sampel yang dianalisa menunjukkan hasil positif, hal ini berimplikasi pada pengambilan keputusan bahwa hewan di lokasi dan hewan tersebut terdapat hewan positif terinfeksi virus AI sehingga pencegahan dan pengendaliannya ditujukan pada semua hewan dan manusia di kawasan tersebut (Susanti et al.

2008b). Inokulum yang berhasil ditumbuhkan dalam TAB, menunjukkan bahwa pada sampel mengandung virus yang hidup dengan jumlah melebihi ambang batas untuk dapat tumbuh dalam TAB yaitu 1 egg infectious dose 50% (EID50) (Beato et al.

2007; Terregino et al. 2007).

TAB yang digunakan hendaknya specific pathogen free

(SPF). Artinya, jika kita akan menumbuhkan sampel yang diduga mengandung virus AI, maka TAB yang digunakan minimal bebas dari virus tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa jika hasilnya positif, virus tersebut bebar-

benar berasal dari sampel dan bukan dari TAB. TAB dapat diperoleh di laboratorium-laboratorium yang memproduksi TAB SPF, seperti laboratorium pada perusahaan yang memproduksi vaksin.

Sampel usap kloaka ditumbuhkan pada TAB (SPF) umur 9 hari. Inokulum dibuat dengan mencampur sampel usap kloaka ke dalam tabung yang telah berisi 10 µl phosphate buffer saline

(PBS) yang mengandung 2x106 U/L penisilin dan 200 mg/L streptomisin. Setelah diinkubasi 30 menit pada suhu kamar, inokulum diinokulasikan pada ruang alantois TAB SPF. Telur diinkubasi pada suhu 37 oC dan diamati setiap hari selama 4 hari. Telur ayam berembrio yang mati sebelum hari keempat dan embrio yang masih hidup sampai hari ke empat, dipanen cairan alantoisnya untuk diidentifikasi kemampuannya mengaglutinasi sel darah merah (SDM) (WHO 2002; Susanti et al. 2008b).

Berdasar hasil penelitian, kurva pertumbuhan virus HPAI H5N1 pada TAB selama 24 jam menunjukkan bahwa virus telah bereplikasi dengan jumlah titer virus cukup tinggi (Gambar 4) (Susanti 2009; data tidak dipublikasi). Menurut Coleman (2007), proses replikasi virus terjadi sangat cepat, yaitu 10 jam. Ambang batas jumlah virus yang viabel yang dapat tumbuh dalam telur ayam berembrio adalah 1 EID50 (Beato et al. 2007; Terregino et

al. 2007). Pada kurva pertumbuhan nampak bahwa pertumbuhan

mencapai titer tertinggi pada inkubasi 48 jam (2 hari). Setelah 48 jam, titer virus pada cairan alantois mulai menurun. Menurunnya jumlah titer virus pada inkubasi lebih dari 48 jam, kemungkinan disebabkan oleh semakin banyaknya penyebaran virus pada

berbagai organ embrio, sehingga pada cairan alantois menunjukkan penurunan titer virus (Susanti 2009, data tidak dipublikasi).

Gambar 4. Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada TAB (Susanti 2009)

Pada inkubasi 24 jam, virus dapat terdeteksi di sebagian besar pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan).

Virus berikatan dengan reseptor α-(2,3) pada sel alantois, bereplikasi dan dilepaskan dalam cairan alantois. Dari cairan alantois, virus masuk sistem pembuluh darah dan keluar pada

tissu-blood junction (Kuiken et al. 2006). Virus HPAI dilaporkan dapat bereplikasi secara efisien pada sel endotel pembuluh darah dan perivaskuler sel parenkim, sehingga virus dapat terdeteksi pada berbagai organ internal dan pembuluh darah (Harimoto & Kawaoka 2005; Swayne 2007). Dengan metoda imunohistokimia,

0 5 10 15 20

15 jam 24 jam 39 jam 48 jam 63 jam

T it e r v ir u s (l o g 2 )

Kurva pertumbuhan virus

Isolat BP6 Isolat SB6

antigen virus dapat terdeteksi pada organ ginjal, paru-paru, hati dan intestinum (Gambar 5). Pada ginjal, virus banyak terdapat di glomerulus. Pada intestinum, virus banyak terdeteksi di epitel vili, lumen dan serosa. Pada paru, terutama virus banyak terdapat di pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan). Infeksi virus HPAI H5N1 secara in vivo pada itik menunjukkan bahwa virus menyebar secara sistemik pada trakea, paru, hati, pankreas, rektum, bursa fabrisius, limpa, otak, jantung dan ginjal (Songserm

et al. 2006). Pada mamalia (mencit), infeksi HPAI H5N1 isolat itik juga menyebar secara sistemik pada limpa, ginjal dan otak (Chen

et al. 2004).

C D

Gambar 5. Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada organ-organ embrio. (A) Glomerulus, (C) Intestinum, (E) Paru-

paru. B, D dan F adalah kontrol negatif (Susanti 2009)

BAB IV

TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN SUBTIPENYA

Deteksi atau identifikais virus AI dapat dilakukan dengan uji hemaglutinasi (HA), Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT), haemagglutination inhibition (HI), atau PRC (WHO 2002; OIE 2005b). Uji HI dan AGID dilakukan untuk mengetahui variasi antigenik molekul HA virus dengan mereaksikannya dengan antibodi monoklonal/poliklonal (WHO 2002; OIE 2005).

Uji Hemaglutinasi (HA)

Sebagai skrining awal keberadaan virus influenza adalah uji

hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi digunakan untuk

mendeteksi keberadaan virus yang mempunyai kemampuan mengaglutinasi sel darah merah. Hemaglutinasi adalah terjadinya penggumpalan sel darah merah (SDM). Penggumpalan dapat diakibatkan oleh protein hemaglutinin yang dimiliki oleh beberapa virus seperti golongan virus influenza, virus New castle disease, virus mixo, dan virus rabies. Dengan demikian, untuk identifikasi virus AI menggunakan uji HA ini memiliki diagnostik banding virus New-castle yang juga memiliki hemaglutinin. Hemaglutinin akan melekat secara spontan pada SDM. Bagian dari virus yang melekat SDM merupakan bagian spesifik (yaitu glikoprotein hemaglutinin), yang mampu berikatan dengan reseptornya (yang

spesifik juga) pada SDM. Secara sederhana, konsep dasar hemaglutinasi digambarkan di Gambar 6.

Jika sampel yang diduga mengandung berasal dari unggas, virus yang berkemampuan mengaglutinasi SDM merupakan virus

golongan Orthomyxoviridae (misal: virus influenza) atau

Paramyxoviridae (misal: New Castle Disease; ND) (OIE 2004). Dengan demikian, jika hasil uji HA positif, kemungkinan sampel mengandung virus ND atau virus AI, sehingga perlu diuji lebih lanjut dengan penanda lain (misal dengan PCR atau uji antigenesitas). Uji HA dapat dilakukan 2 tahap, yaitu secara makro dan secara mikro (Susanti et al. 2008b). Uji HA secara makro hanya ditujukan untuk mendeteksi keberadaan virus yang memiliki protein hemaglutinin (kualitatif) sehingga mampu mengaglutinasi, sementara uji HA mikro ditujukan untuk mengatahui titer virus (kuantitatif) yang mampu mengaglutinasi sel darah merah.

Gambar 6. Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang mampu mengaglutinasi

Metode Uji Hemaglutinasi (HA)

Sebelum uji HA titrasi secara mikro, dilakukan uji aglutinasi cepat dengan mencampurkan satu tetes cairan alantois dengan SDM ayam 5% (v/v). Keberadaan virus ditunjukkan adanya aglutinasi SDM dalam waktu 15 detik setelah dicampur. Cairan alantois yang positif berdasar uji HA cepat, selanjutnya dilakukan uji HA secara mikro menggunakan microplate U buttom (Nunc). Uji hemaglutinasi cairan alantois dilakukan sesuai dengan prosedur standar yang berlaku. Sumur 1–12 dari microplate diisi dengan PBS pH 7,2 masing-masing 25 l dengan mikropipet kapasitas 10-100 l. Cairan alantois diambil sebanyak 25 l dan dimasukkan ke dalam sumur yang telah ditandai dengan nomor sampel uji. Selanjutnya cairan alantois diencerkan bertingkat

kelipatan dua dengan PBS, kemudian ditambahkan 25 l

suspensi SDM ayam 0,5% ke dalam seluruh sumur. Tahap terakhir dilakukan pengocokan microplate dengan menggoyang- goyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama kurang lebih 30 menit. Pembacaan hasil uji dapat dilakukan apabila SDM pada sumur kontrol telah teraglutinasi di dasar sumur. Sampel dinyatakan positif apabila SDM pada sumur sampel mengalami aglutinasi. Titer HA dihitung berdasarkan pengenceran tertinggi alantois yang dapat mengaglutinasi SDM (WHO 2002; Susanti et al. 2008b). Contoh hasil uji HA terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Gambaran contoh hasil uji HA

Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test

Uji AGID atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT) adalah teknik imunopresipitasi, merupakan salah satu cara yang banyak dipakai untuk mengukur secara kualitatif antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding dengan uji pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan. Pada uji ini digunakan selapis media agar yang dilubangi (dengan alat khusus) membentuk sumur-sumur. Kemudian ke dalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan serum yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan merembes, berdifusi ke sekitar sumur secara radial (Gambar 8). Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik, akan terbentuk kompleks antigen-antibodi yang besar sehingga kompleks akan mengendap dan terjadi presipitasi yang

membentuk garis putih (homolog). Tetapi bila tidak ada kesesuaian antara antigen dan antibodi (heterolog), maka garis presipitasi tidak akan terbentuk.

Gambar 8. Pembentukan presipitasi pada uji AGPT

Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam reaksi presipitasi. Presipitat terbentuk apabila

antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai

keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk, hal ini disebut

postzone effect. Sementara jika antibodi berlebih mengakibatkan komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan, kondisi ini disebut prozone effect.

Uji ini dapat juga digunakan dalam penentuan hubungan antara dua antigen. Pada percobaan ini menggunakan tiga lubang di media agar, satu sumur diisi antibodi dan dua sumur lainnya diisi antigen (Gambar 9). Bila kedua garis presipitasi yang terbentuk tepat bersesuaian, maka kedua antigen dianggap identik (9a) Garis-garis presipitasi yang bersilangan menunjukkan

kedua antigen berbeda (9b) Garis presipitasi yang melanjut sebagai taji mempunyai determinan antigen yang tidak ada pada yang lain (9c). Bila garis-garis bersatu dengan pembentuk taji, maka terdapat identitas parsial dengan masing-masing antigen mempunyai determinan antigen bersama (9d).

Gambar 9. Interpretasi hasil AGPT

Metode uji AGPT

Pada identifikasi virus AI, uji AGPT lebih spesifik dibandingkan uji HA. Karena uji AGPT dapat digunakan untuk menentukan subtipe virus AI, meskipun masih sangat kasar sehingga pelu dilakukan uji subtipe lebih lanjut secara molekuler. Jika sampel cairan alantois yang positif berdasarkan uji HA, akan kita identifikasi subipenya menggunakan uji AGPT, maka kita harus memiliki antibodi spesifik terhadap virus subtipe yang dimaksud. Misalnya kita akan uji virus subtipe H5N1, maka kita harus punya antibodi terhadap H5N1.

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 a b c d

Pertama disiapkan agarnya. Caranya adalah Agar Nobel atau Agarose(0,4gram), Polyethylene Glikol (PEG) 6000 (1,2 gram), Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7,2 (25 ml) dan Aquadest (25 ml) dicampur sampai larut menggunakan magnetic stirer. Selanjutnya dipanaskan sampai mendidih dan terlihat bening semua, yang berarti agar sudah larut sempurna. Kemudian, 4 ml agar yang masih hangat dituang di atas objek gelas secara merata. Selanjutnya dibiarkan sampai dingin dan membeku. Setelah dingin, dibuat sumur-sumur dengan cara melubangi agar

menggunakan cetakan khusus untuk AGPT (Gel Puncher).

Diusahakan supaya pinggiran sumur tidak retak/pecah.

Setelah terbentuk sumur-sumur pada agar, setiap sumur diisi dengan antigen (cairan alantois) dan serum (berisi antibodi spesifik H5N1 misalnya). Pengisisan pada sumur-sumur dilakukan sesuai dengan jumlah sampel yang akan kita uji. Jika memiliki 6 sampel, maka antibodi dimasukkan pada sumur yang di tengah, dan masing-masing sampel dimasukkan pada sumur di tepinya sehingga semua sampel punya kesempatan berinteraksi dengan antibodi yang posisinya di tengah. Jika sampel sedikit, polanya disesuaikan dengan kebutuhan, namun yang perlu diingat bahwa setiap sampel berkesempatan untuk berinteraksi dengan antibodi. Media agar yang telah diisi (sampel dan antibodi) tersebut dimasukkan ke dalam baskom yang diberi alas kertas yang dibasahi PBS. Baskom ditutup dan diinkubasi pada suhu kamar selama 20-48 jam. Kelembapan dijaga dengan membasahi alas.kertas. Hasil percobaan diketahui dengan mengamati terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Jika

terbentuk garis presipitat diantara sumur sampel (berisi cairan alantois) dan antibodi terhadap H5N1 (misalnya), sampel tersebut mengandung virus AI subtipe H5N1. Namun untuk meneguhkan dugaan tersebut perlu diuji lebih lanjut secara molekuler.

Gambar 10. Contoh hasil AGPT

Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler

Cairan alantois yang positif bersadarkan uji HA, diisolasi RNA-nya dan diidentifikasi subtipe virus AI-nya berdasarkan gen hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Seperti disebutkan sebelumnya bahwa virus influenza dikelompokkan berdasarkan tipe A, B dan C. Masing-masing tipe dikelompokkan lagi berdasarkan sub-sub tipe gen HA dan NA. Sampai saat ini telah diketahui ada 9 subtipe N (N1 s/d N9) dan 16 subtipe H (H1 s/d H16). Secara garis besar, identifikasi subtipe virus AI adalah

isolasi RNA virus, RT-PCR menggunakan primer spesifik HA dan NA dan elektroforesis produk RT-PCR.

Metode Isolasi RNA Virus

Mengapa RNA, dan bukan DNA? Karena material genetik virus AI adalah RNA, dan bukan DNA. Isolasi RNA virus dapat dilakukan dengan kit/reagen yang telah dikomersialkan secara luas. Contoh yang ditampilkan dalam buku ini menggunakan

Trizol®LSReagent, sesuai dengan petunjuk produsen. Sebanyak

250 μl cairan alantois dan 750 μl Trizol dimasukkan dalam tabung

1,5 ml, dan dicampur sampai homogen. Setelah diinkubasi 5 menit pada suhu ruang (15-30 oC), ditambah 200 μl kloroform, kemudian dikocok dan diinkubasi 10 menit pada suhu ruang (15- 30 oC). Larutan selanjutnya disentrifus 12000 g selama 15 menit pada suhu 4 oC. Supernatan (fase aqueous) diambil dan dimasukkan pada tabung 1,5 ml baru (jangan sampai endapan dan lapisan berwarna merah ikut terambil). Setelah ditambah

isopropanol 500 μl dan dicampur sampai homogen, larutan diinkubasi 10 menit pada suhu ruang (15-30 oC). Larutan selanjutnya disentrifus 15 menit dengan kecepatan 12000 g pada

suhu 4 oC. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan

endapannya dicuci dengan 1000 μl etanol 70% (dalam H2O dietylpirocarbonat (DEPC)). Setelah divorteks beberapa menit, larutan disentrifus 12000 g pada suhu 4 oC selama 20 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan pelet RNA dikeringkan pada suhu ruang selama 15-20 menit. Setelah pelet kering,

H2O). Larutan RNA selanjutnya disimpan pada suhu -20oC

sampai dilakukan RT-PCR (Susanti et al. 2008b).

Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Reverse transcription (RT) adalah pembuatan cDNA yang bersifat komplementer dengan RNA virus, menggunakan enzim

reverse transcriptase. Mengapa RT-PCR dan bukan PCR biasa? Perlu diingat bahwa material genetik virus AI adalah RNA, bukan DNA. Setelah reaksi pembentukan cDNA dari RNA (melalui

reverse transcription), cDNA selanjutnya diperbanyak pada

sekuen gen spesifik menggunakan sepasang primer

oligonukleotida menggunakan teknik PCR. PCR merupakan metode alternatif untuk mengidentifikasi virus AI, meskipun material genetik virus hanya terdapat dalam jumlah sedikit (WHO 2002; Payungporn et al. 2004; OIE 2005). Dengan metode ini, berbagai subtipe virus dapat didentifikasi, tergantung primer yang digunakan.

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi rantai polimerase (polymerase chain

reaction/PCR), yang ditemukan oleh Kary Mullis pada pertengahan 1980-an, merupakan salah satu tonggak revolusi dalam genetika molekuler. Teknik ini memungkinkan pendekatan- pendekatan baru dalam studi dan analisis gen. Di masa lalu, masalah utama dalam analisis molekuler adalah gen dalam genom suatu makhluk yang dianggab sangat rumpil, lebih-lebih pada mamalia. Mamalia dapat mempunyai sampai lebih dari

seratus ribu gen. Berbagai teknik dalam genetika molekuler ditujukan untuk mengatasi masalah ini. Teknik tersebut umumnya memerlukan waktu yang relatif lama dan prosedur yang sangat sulit, meliputi pengklonan dan pelacakan urutan DNA yang khas. PCR merupakan metode yang memungkinkan kita memperoleh urutan DNA tertentu tanpa melalui pengklonan.

Teknik PCR sebenarnya mengekploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat ganda pada temperatur mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu wilayah berserat

ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada

PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan tujuan penelitian. Inilah keunggulan PCR yang pertama, yaitu polimerase-DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu.

Kedua serat DNA dapat berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis bila primer oligonukleotida disediakan untuk masing-

Dokumen terkait