• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "VIRUS AVIAN INFLUENZA & DINAMIKA MOLEKULERNYA"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

R. Susanti

Diterbitkan oleh

VIRUS AVIAN INFLUENZA &

DINAMIKA MOLEKULERNYA

R. Susanti VIRUS A

VIAN INFLUENZ

A & DINAMIKA MOLEKULERNY

(2)

MONOGRAF

VIRUS AVIAN INFLUENZA dan

DINAMIKA MOLEKULERNYA

R. Susanti

Diterbitkan oleh:

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(3)

VIRUS

AVIAN INFLUENZA

dan

DINAMIKA MOLEKULERNYA

Penulis : Dr. drh R. Susanti M.P

Penyunting : _________________

Desain sampul dan tata letak : Yoris Adi Maretta

ISBN : 978-602-18553-5-5

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi monograf

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt atas anugerah-Nya

sehingga buku monograf berjudul “Virus Avian Influenza dan Dinamika Molekulernya” ini dapat terselesaikan. Monograf ini

berisi konsep, teori dan hasil penelitian tentang karakter virus

avian influenza subtipe H5N1 secara molekuler. Hasil-hasil

penelitian mencakup semua isolat virus avian influenza subtipe

H5N1 di dunia, namun paparan lebih rinci pada isolat di

Indonesia.

Virus avian influenza (VAI) adalah virus influenza tipe A

yang menyerang unggas dan menyebabkan penyakit “flu burung”. Virus ini termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza memiliki 8 segmen genom RNA berserat tunggal

(single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein. Virus ini merupakanpatogen intraseluler, sehingga untuk

dapat beradaptasi, bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh

hospesnya, VAI mempunyai mekanisme untuk menghindar dari

respon imun hospes. Mekanisme untuk menghindar dari respon

hospes tersebut terjadi melalui fenomena yang disebut hanyutan

antigenik (antigenic drift). Hanyutan antigenik adalah

perubahan/mutasi secara periodik akibat mutasi genetik struktur

protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah terbentuk

oleh tubuh akibat vaksinasi atau infeksi alami sebelumnya tidak

dapat mengenali keberadaan virus tersebut.

Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan

karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari

(5)

Tingginya tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas

akibat VIA subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan penyebab

kematian manusia tertinggi di dunia, menarik dilakukan

karakterisasi molekuler gen-gen penyusunnya. Nukleotida

penyusun gen-gen VAI merupakan karakter dasar yang

menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter genotip secara

molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik, transmisi,

resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus berdasarkan

sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom yang terlibat

pada proses tersebut

Buku monograf ini merupakan salah satu bahan ajar

untuk mata kuliah biokimia, imunologi, biologi molekuler,

taksonomi, virologi, mikrobiologi ataupun biologi umum. Monograf

ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi mahasiswa S1,

S2 dan S3, masyarakat umum maupun dinas terkait yang

berkecimpung dalam penelitian, pencegahan dan pengendalian

penyakit hewan khususnya “flu burung”. Tingginya kemanfaatan hasil-hasil penelitian tentang avian influenza bagi mahasiswa

maupun peneliti, mendorong diterbitkannya monograf ini. Buku

monograf ini berturut-turut berisi (1) Pendahuluan, (2) Biologi virus

avian influenza, (3) Teknik menumbuhkan dan mengisolasi virus

avian influenza, (4) Teknik identifikasi virus avian influenza dan

subtipenya, (5) Teknik analisa molekuler nukleotida penyusun

gen-gen virus avian influenza, (6) Dinamika molekuler virus avian

influenza subtipe H5N1 di Indonesia, (7) Epidemiologi virus avian

(6)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Retno

Sri Iswari, SU yang telah menyunting monograf ini. Pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada mahasiswa yang terlibat dalam penelitian virus avian

influenza, serta semua teman-teman yang telah memotivasi

penulis untuk menyelesaikan monograf ini. Semoga karya buku

monograf ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan penelitian di

Indonesia. Kritik dan saran demi kesempurnaan monograf ini

sangat penulis harapkan.

Semarang, Agustus 2013

(7)

DAFTAR ISI

BAB III TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA 29 Preparasi Sampel...………... 31

Media Perbanyakan virus ...……….………... 31

Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF 34 BAB IV TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN SUBTIPENYA 39 Uji Hemaglutinasi (HA)..………... 39

Metode Uji Hemaglutinasi (HA)………... 41

Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test ……..……... 42

Metode uji AGPT….………... 44

Identifikasi subtipe virus avian influenza secara molekuler 46 Metode Isolasi RNA Virus .………... 47

Metode RT-PCR……..,.………... 52

Elektroforesis ……….………... 54

Metode Elektroforesis Hasil RT-PCR pada Gel Agarose 56

(8)

PENYUSUN GEN-GEN VIRUS AVIAN INFLUENZA

Contoh Metode Amplifikasi Gen HA Dengan Primer

Spesifik 60

Purifikasi produk PCR………..……... 61

Sekuensing………..………... 62

Metode analisis nukleotida dengan program MEGA 3.1 62 BAB VI DINAMIKA MOLEKULER VIRUS AI SUBTIPE H5N1 DI INDONESIA 72 Gen Hemaglutnin (HA) ....………... 73

Gen Non Struktural-1 (NS1) ...………... 96

Gen Polymerase Basic 1 (PB1) ...………... 102

Gen Polymerase Basic 2 (PB2) ... 108

Gen Neuraminidase (NA) ….………. 112

BAB VII EPIDEMIOLOGI VIRUS AVIAN INVLUENZA DAN PERAN UNGGAS AIR 118 Epidemiologi Virus Avian Influenza…………... 118

Telaah Virus Avian Influenza di Indonesia …….……... 121

Peran unggas air pada penyebaran virus avian influenza… 123

Cara Perlindungan dan Pencegahan Infeksi Virus Avian Influenza 128 BAB VIII PENUTUP ………. 132

DAFTAR PUSTAKA ……… 141

GLOSARIUM………. ……… 169

INDEKS ………. ……… 174

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Segmen genom virus influenza A serta fungsi protein

yang disandinya ... 12

Tabel 2 Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan

dengan mikroorganisme penyebab penyakit... 29

Tabel 3 Sekuen basa primer untuk mengamplifikasi gen H5, H1

dan ND serta besaran produk PCR yang

diharapkan……… 53

Tabel 4 Sekuen nukleotida primer untuk mengamplifikasi gen

HA ... 59

Tabel 5 Variasi antigenik site dari gen HA virus AI subtipe

H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia …... 76

Tabel 6 Variasi daerah antigenik dari gen HA virus AI subtipe

H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 79

Tabel 7 Variasi residu pengikat reseptor dari gen HA virus AI

subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia… 80

Tabel 8 Variasi peptida fusi dari gen HA virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 86

Tabel 9 Variasi sekuen daerah pemotongan virus avian

influenza H5N1 di Indonesia dari tahun 2003-2010 …. 88

Tabel 10 Variasi posisi glikosilasi dari gen HA virus AI subtipe

H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 92

Tabel 11 Variasi peptida fusi dari gen HA virus AI subtipe H5N1

asal hewan dan manusia di Indonesia ... 100

Tabel 12 Variasi dari gen PB1 dan PB1-F2 virus AI subtipe

(10)

Tabel 13 Variasi dari gen PB2 virus AI subtipe H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 109

Tabel 14 Variasi dari posisi glikosilasi gen NA virus AI subtipe

H5N1 asal hewan dan manusia di Indonesia ... 113

Tabel 15 Variasi dari oseltamifir binding pocket gen NA virus AI

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Bentuk pleiomorfik virus influenza ... 9

Gambar 2 Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A ……….…… 14 Gambar 3 Siklus replikasi virus influenza …... 15

Gambar 4 Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada TAB ……….. 36 Gambar 5 Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada organ-organ embrio……….. 38 Gambar 6 Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang mampu mengaglutinasi ……… 40 Gambar 7 Gambaran contoh hasil uji HA ...……... 42

Gambar 8 Pembentukan presipitasi pada uji AGPT ... 43

Gambar 9 Interpretasi hasil AGPT...…...………... 44

Gambar 10 Contoh hasil AGPT …………... 46

Gambar 11 Elektroforegram RT-PCR gen H5 ………... 57

Gambar 12 Elektroforegram RT-PCR gen N1………... 57

Gambar 13 Elektroforegram RT-PCR ………..……. 58

Gambar 14 Tampilan program MEGA pada persiapan alignment ……… 64 Gambar 15 Tampilan prosedur alignment………... 66

(12)

Gambar 17 Proses penyimpanan data alignment ke word……... 70

Gambar 18 Pembuatan pohon filogeni dan jarak genetik…….... 71

Gambar 19 Pohon filogenetik 1695 basa gen HA virus AI H5N1 96

Gambar 20 Pohon filogenetik 690 basa gen NS virus AI H5N1.. 101

Gambar 21 Pohon filogenetik 2268 basa gen PB1 virus AI

H5N1 ………

107

Gambar 22 Pohon filogenetik 2200 basa gen PB2 virus AI

H5N1 ………

111

(13)
(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Influenza (atau biasa disingkat menjadi flu) bukan penyakit

yang asing lagi bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia.

Influenza banyak dan sering menyerang manusia dan hewan.

Avian Influenza (AI) atau dikenal juga dengan “flu burung” adalah

penyakit flu pada unggas yang sangat menular, disebabkan oleh

virus influenza tipe A, termasuk famili Orthomyxoviridae (Lamb &

Krug 2001). Virus influenza yang menyerang unggas dan

menyebabkan penyakit “flu burung” disebut Virus Avian Influenza

(VAI).

Virus influenza memiliki 8 segmen genom RNA

(ribonucleic acid) serat tunggal (single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein. Kedelapan

segmen RNA bersama-sama dengan nukleoprotein (NP)

membentuk ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al.

2001; Munch et al. 2001). Kedelapan segmen genom RNA dari VAI, segmen genom ke-7 yaitu matriks (M) dianggab paling

stabil/conserve dibandingkan 7 genom lainnya. Sementara genom

yang paling tinggi tingkat mutasinya adalah genom HA

(hemaglutinin). Hasil penelitian Susanti et al. (2008a)

menunjukkan bahwa domain asam amino daerah antigenik, posisi

glikosilasi dan kantong pengikat reseptor pada gen HA virus AI

isolat unggas air di Jawa Barat menunjukkan adanya

(15)

mekanisme zoonotik, transmisi dan virulensi/patogenesitas VAI

adalah segmen genom polymerase basic 2 (PB2), PB1,

hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA), dan non-struktural 1

(NS1).

Sebagai patogen intraseluler, VAI mempunyai mekanisme

untuk menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat

bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan

kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara

langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus.

VAI mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari

respon imun bawaan dan adaptif hospes (Coleman 2007).

Virus AI mempunyai kemampuan untuk menghindar dari

respon humoral hospes melalui fenomena yang disebut hanyutan

antigenik (antigenic drift). Mutasi yang mengarahkan pada fenomena ini adalah perubahan asam amino glikoprotein

permukaan hemaglutinin (HA) (Plotkin & Dushoff 2003). Hanyutan

antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik

struktur protein permukaan VAI sehingga antibodi yang telah

terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat

mengenali keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Konsep hanyutan antigenik ini menuntut produksi vaksin selalu

diperbaharui. Ancaman yang lebih besar dari penghindaran

respon imun bawaan dan perolehan adalah kemampuan virus

untuk reasorsi melalui fenomena yang disebut lompatan antigenik

(antigenic shift) (Coleman 2007).

Virus AI dengan kepemilikan mekanisme untuk

(16)

merupakan salah satu faktor meluasnya wabah virus ini. Wabah

VAI subtipe H5N1 patogenik tinggi (highly pathogenic avian influenza; HPAI) pertama kali dilaporkan di Cina Selatan tahun 1996-1997, kemudian menyebar dan menyebabkan kematian

unggas di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur

sejak awal tahun 2004 (Smith et al. 2006). Wabah virus HPAI subtipe H5N1 pada unggas di Indonesia muncul pertama kali

pada bulan Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras

komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun secara resmi

baru dilaporkan pada Januari 2004. Kasus ini kemudian meluas

ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur,

DIY, Lampung, Bali serta beberapa daerah di Sumatera dan

Kalimantan. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Peternakan

dan Kesehatan Hewan (2012), sejak dideklarasikan Januari 2004,

jumlah kasus infeksi VAI secara bertahap menurun setiap

tahunnya, yakni 1411 kasus pada tahun 2011. Jumlah tersebut

lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yaitu 1502 (tahun

2010), 2293 (tahun 2009), 1413 (tahun 2008), 2751 (tahun 2007)

dan 612 (tahun 2006).

Berdasarkan kajian epidemiologi molekuler, Pulau Jawa

merupakan pusat penyebaran (epicenter) VAI subtipe H5N1 di

Indonesia. Virus-virus H5N1 ini diintroduksi dari pulau Jawa ke

pulau-pulau di sekitarnya melalui jalur perdagangan unggas.

Sampai saat ini, avian influenza dinyatakan endemis di 32 dari 33

propinsi di Indonesia. Infeksi VAI subtipe H5N1 pada manusia

mulai terjadi pada Juli 2005. Infeksi VAI H5N1 pada manusia

(17)

(Kandun et al. 2006; Sedyaningsih et al. 2007). Kasus infeksi VAI H5N1 pada klaster famili kemungkinan dipengaruhi oleh faktor

genetik, tingkah laku, imunologik, dan lingkungan (Kandun et al. 2006). Semua kasus infeksi VAI H5N1 di Indonesia merupakan

VAI H5N1 clade 2 subclade 1 (Kandun et al. 2006; Sedyaningsih

et al. 2007).

Virus HPAI subtipe H5N1 dari Asia menunjukkan

karakteristik zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari

unggas ke berbagai spesies mamalia termasuk manusia (Kalthoff

et al. 2010). Sampai tanggal 10 Agustus 2012, jumlah kasus dan kematian akibat VAI H5N1 pada manusia Indonesia tercatat

paling tinggi di dunia dengan jumlah kematian 159 orang dari 191

orang positif terinfeksi. Data kejadian dan kematian di seluruh

dunia adalah 359 kematian dari 608 kejadian (WHO 2012).

Kematian manusia paling banyak terjadi di Propinsi DKI Jakarta,

Jawa Barat dan Banten. Semakin banyaknya kasus transmisi

zoonotik ke manusia, semakin meningkatkan potensi terjadinya

pandemi (Smith et al. 2006).

Virus AI subtipe H5N1 diperkirakan akan selalu bermutasi

sehingga berpotensi meningkatkan kapasitas untuk melompati

barier spesies, dan dapat menular secara mudah antar manusia.

Penularan VAI H5N1 antar manusia merupakan awal terjadinya

pandemik secara global. Nampaknya, semua fragmen gen VAI

H5N1 secara bersama-sama menentukan apakah suatu

strain/galur dapat menginfeksi manusia atau mamalia. Tingginya

tingkat kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat flu

(18)

penyebab kematian manusia tertinggi di dunia, menarik untuk

dikaji dinamika molekuler VAI asal manusia dan hewan di

Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan sebagai

dasar penentuan pengobatan, pengendalian dan pencegahan

penyebaran virus ini. Karakterisasi genotip merupakan karakter

dasar yang menentukan karakter fenotip suatu virus. Karakter

fenotip selain ditentukan karakter genotip, juga dipengaruhi oleh

lingkungan dan respon hospes yang diinfeksi. Karakter genotip

secara molekuler akan dapat mengungkap karakter zoonotik,

transmisi, resistensi terhadap obat dan patogenesitas virus

berdasarkan sekuen nukleotida dan asam amino genom-genom

yang terlibat pada proses tersebut.

Rumusan Masalah

Virus HPAI H5N1 dari Asia menunjukkan karakteristik

zoonotik paling tinggi dan dapat ditransmisikan dari unggas ke

berbagai spesies mamalia termasuk manusia. Jumlah kasus dan

kematian akibat VAI subtipe H5N1 pada manusia tercatat paling

tinggi di dunia dengan jumlah kematian 152 orang dari 184 orang

positif terinfeksi. Semakin banyaknya kasus transmisi zoonotik ke

manusia, semakin meningkatkan potensi terjadinya pandemi.

Sebagai patogen intraseluler, VAI mempunyai mekanisme untuk

menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat

bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan

kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara

langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenesitas virus.

(19)

respon imun bawaan dan adaptif hospes. Tingginya tingkat

kejadian dan kematian manusia dan unggas akibat virus flu

burung (VIA) subtipe H5N1 di Indonesia, bahkan penyebab

kematian manusia tertinggi di dunia, perlu dilakukan kajian

dinamika molekuler melalui karakter gen-gen penyusun VAI asal

manusia dan hewan di Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting

dilakukan sebagai dasar penentuan pengobatan, pengendalian

dan pencegahan penyebaran virus ini. Karakterisasi genotip

merupakan karakter dasar yang menentukan karakter fenotip

suatu virus. Karakter fenotip selain ditentukan karakter genotip,

juga dipengaruhi oleh lingkungan dan respon hospes yang

diinfeksi. Karakter genotip secara molekuler akan dapat

mengungkap karakter zoonotik, transmisi, resistensi terhadap

obat dan patogenesitas virus berdasarkan sekuen nukleotida dan

asam amino genom-genom yang terlibat pada proses tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut, permasalahan yang

dipecahkan/dikaji dalam buku ini adalah :

1. Bagaimana menumbuhkan dan mengisolasi virus AI ?

2. Bagaimana mengidentifikasi Virus Influenza?

3. Bagaimana mengkarakterisasi virus avian influenza

secara molekuler?

4. Bagaimana dinamika molekuler gen-gen virus AI subtipe

H5N1 di Indonesia ?

Tujuan Penulisan buku

Penulisan buku ini bertujuan untuk menyebarluaskan teori,

(20)

fenotip dan molekulernya. Tulisan ini diharapkan bermanfaat

sebagai (a) bahan pengayaan mata kuliah biokimia, imunologi,

biologi molekuler, taksonomi, virologi, mikrobiologi ataupun

biologi umum (b) dasar pertimbangan berbagai pihak dalam

penelitian virus AI secara molekuler dan (c) dasar pengambil

kebijakan dalam pencegahan, pengobatan dan pengendalian

virus avian influenza (VAI) di Indonesia.

Metode Pemecahan Masalah

Permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan

melakukan kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang

biologi virus AI, prinsip dasar isolasi dan identifikasi virus

influenza khususnya subtipe H5N1, prinsip dasar teknik

karakterisasi molekuler virus influenza,khususnya subtipe H5N1,

dan dinamika molekuler virus AI di Indonesia. Dalam tulisan ini

dibahas kajian teoritis dan hasil penelitian tentang :

1. Biologi Virus Avian Influenza (struktur, morfologi,

klasifikasi, siklus hidup)

2. Teknik menumbuhkan dan mengisolasi virus AI

3. Teknik mengidentifikasi Virus Avian Influenza

4. Teknik analisis gen-gen Virus Avian Influenza secara

molekuler

5. Dinamika molekuler gen-gen Virus Avian Influenza subtipe

H5N1 di Indonesia

6. Epidemiologi Virus Avian Influenza dan peran unggas air

(21)

BAB II

BIOLOGI VIRUS AVIAN INFLUENZA

Virus bukan merupakan sel utuh dan tidak dapat

bereproduksi sendiri. Untuk dapat bereproduksi atau

memperbanyak diri, virus harus menyerang sel hidup dan

menggunakan sumber daya sel tersebut untuk memperbanyak

diri. Pada dasarnya, virus hanya merupakan material genetik

yang dibungkus kantong protein, sehingga virus tidak dapat

dikatakan “hidup”. Meskipun demikian, karena mampu

memperbanyak diri dan memiliki material genetik maka sebagian

ilmuwan sepakat virus merupakan makhluk hidup. Berdasarkan

material genetik yang dimiliki virus, ada 2 jenis virus yaitu virus

yang memiliki ribonucleic acid (RNA) atau deoxyribonucleic acid

(DNA).

Morfologi

Bentuk dan ukuran virus influenza bersifat pleiomorfik

(bentuk dan ukuran berubah-ubah), berbentuk filamen atau

sferoid (bola) dengan diameter 80-120 nm (Harris et al. 2006) (Gambar 1). Virus yang ditumbuhkan secara in vitro, karena pertumbuhannya yang cepat, sehingga lebih banyak

berbentuk sferoid dengan diameter dan panjang yang

konstan (review oleh Whittaker 2001). Virus yang diisolasi dari infeksi alami biasanya berbentuk filamen dengan diameter

konstan 100-150nm tetapi panjangnya bervariasi. Virus

(22)

dengan glikoprotein integral yang menjulur keluar

membentuk duri (spike) di permukaan virion (Harris et al. 2006). Virus yang berbentuk filamen lebih infektif dan lebih

banyak mengandung RNA dibanding virus berbentuk sferoid

(Roberts & Compans 1998).

Gambar 1. Bentuk pleiomorfik virus influenza (A) bentuk filamen (Robert & Compans 1998) (B) sferoid

(Whittaker 2001)

Klasifikasi

Virus influenza adalah virus anggota famili

Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Virus ini dibagi menjadi influenza tipe A, B dan C berdasarkan perbedaan antigenik

pada nukleoprotein (NP) dan matriks (M) (Payungporn et al. 2004). Namun, dari ketiga tipe tersebut hanya tipe A yang

berpotensi menimbulkan pandemik (Liu 2005). Influenza A dan B

memiliki kemiripan biologis, antigenik, genetik dan struktur,

namun cakupan hospes (host range), pola strategi dan evolusi kode genetiknya bervariasi (Lamb & Krug 1996; Murphy &

Webster 1996). Influenza A dapat menginfeksi berbagai hewan

B

(23)

dan manusia, serta dibagi menjadi beberapa subtipe antigenik.

Influenza B hanya menginfeksi manusia dan tidak ditemukan

menginfeksi hewan secara alamiah, serta tidak dibagi menjadi

subtipe-subtipe antigenik. Virus Influenza B hanya bersirkulasi

pada manusia, dan biasanya tidak menyebabkan penyakit

sesakit akibat Influenza A. Analisis evolusi gen HA influenza B

memiliki karakteristik membentuk 2 jenis antigenik yang berbeda,

yaitu B/Yamagata/16/88-like dan B/Victoria/2/87-like (Kanegae et al. 1990; Rota et al. 1990; Rota et al. 1992; Nerome et al. 1998; Lindstrom et al. 1999).

Di dalam virion influenza tipe A dan B terdapat 8

segmen genom RNA serat tunggal (single-stranded RNA) berpolaritas negatif yang menyandi 11 protein (Tabel 1).

Delapan segmen tersebut adalah PB1 (PB1 dan PB1-F2), PB2,

PA, HA, NP, NA, M (M1 dan M2), dan NS (NS1 dan NS2)

(Horimoto & Kawaoko 2001; Whittaker 2001). Kedelapan segmen

RNA bersama-sama dengan nukleoprotein (NP) membentuk

ribonukleoprotein (RNP) (Bui et al. 2000; Elton et al. 2001; Munch

et al. 2001). RNP dikelilingi oleh protein matriks M1. Pada permukaan amplop virus terdapat glikoprotein HA dan NA serta

kanal ion (ion channel) M2 (Elton et al. 2001). Hemaglutinin (HA) virus disandi dalam segmen ke-4 dan neuraminidase (NA) dalam

segmen ke-6. Segmen yang lain menyandi protein internal virus

dan protein lain yang penting untuk viabilitas virus seperti

misalnya segmen 8 yang menyandi NS1 yaitu suatu protein

nonstruktural yang berfungsi dalam melakukan hambatan

(24)

yang dimiliki oleh virus ini antara lain nukleoprotein (NP) yang

menjadi protein struktural utama, protein membran/matriks (M1

dan M2), protein polimerase (PA, PB1, dan PB2), dan protein

nonstruktural (NS1 dan NS2) (Yuen et al. 1998; Chan 2002; Guan

et al. 2002; Peiris et al. 2004). Glikoprotein HA membentuk

tonjolan (spike) pada permukaan virion, berfungsi sebagai media

untuk berikatan dengan reseptor pada sel inang dan memasuki

sel inang kemudian terjadi fusi dengan membran sel inang.

Protein NA membentuk struktur pada permukaan partikel virus

dan mengkatalisis pembebasannya dari sel yang terinfeksi,

sehingga virus dapat menyebar (WHO 2005a).

Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza A

terlihat pada Gambar 2. Virus influenza tipe C mempunyai 7

segmen genom RNA, karena hanya mempunyai satu jenis

glikoprotein permukaan yaitu hemagglutinin esterase fusion

(HEF). HEF berfungsi sebagai pengikat reseptor (H), fusi

membran (F) dan esterase (E) (review oleh Whittaker 2001). Virus influenza tipe A secara natural dapat menginfeksi

unggas dan manusia (Khawaja et al. 2005). Virus ini dibagi ke dalam berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan

genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA)

(Lee et al. 2001). Sampai saat ini ada 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Russell & Webster 2005). Subtipe H16

baru ditemukan tahun 2004, pertama kali diisolasi dan

diidentifikasi pada burung camar laut kepala hitam (Fouchier et al. 2005). Semua subtipe HA dan NA ditemukan pada unggas air,

(25)

ditemukan pada manusia (Hoffman et al. 2001). Subtipe H5 dan H7 yang sangat virulen pada unggas (Lee et al. 2001; Khawaja et al. 2005) dilaporkan berpotensi sebagai penyebab pandemi (Russell & Webster 2005).

Semua strain virus influenza diberi nama sesuai

nomenklatur standar, berturut-turut tersusun dari tipe virus

influenza/spesies hewan (jika bukan manusia)/wilayah

isolasi/urutan nomor isolasi laboratorium/tahun isolasi (subtipe)

(WHO 2002). Misalnya Influenza A/goose/Guangdong/1/1996

(H5N1), artinya virus ini termasuk tipe virus influenza A, diisolai

dari angsa di Guangdong dengan nomor isolat 1, diisolasi tahun

1996, virus termasuk subtipe H5N1. Jika virus diisolasi dari

manusia, tidak perlu disebutkan spesiesnya. Contohnya Influenza

A/Indonesia/2A/2005 (H5N1), artinya virus ini termasuk tipe virus

influenza A, diisolai dari manusia di Guangdong dengan nomor

isolat 2A, diisolasi tahun 2005, virus termasuk subtipe H5N1.

(26)

(clearance) virus

Meningkatkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri

3/PA Polimerase Asam Perakitan kompleks RdRp

Endonuklease Replikasi

Menghambat respon imun seluler

4/HA Hemaglutinin Attchment (penempelan virus

pada sel hospes)

Fusi dengan membran endosom Target netralisasi antibodi

5/NP Nukleoprotein Tanda isyarat (signal) impor

vRNP

Menghambat respon imun seluler

6/NA Neuraminidase Memotong ujung asam sialat dari

reseptor sel hospes sehingga progeni virion lepas dari sel Target netralisasi antibodi

7/M Matriks 1 (M1) Perakitan (assembly) progeni

virus

Matriks 2 (M2) Tanda isyarat transpor ke

permukaan sel Kanal ion

8/NS Nonstruktural 1

(NS1)

(27)

Siklus Hidup

Siklus replikasi virus influenza A mempunyai keunikan

karena semua sintesis mRNA dan replikasi genom terjadi di

dalam nukleus sel hospes yang terinfeksi. Proses replikasi virus

sangat cepat, sekitar 10 jam/siklus (Coleman 2007). Infeksi virus

influenza diawali dengan masuknya virus ke dalam sel hospes

(entry), diikuti transkripsi, translasi, perakitan dan budding virion-virion baru keluar sel hospes (Gambar 3).

(28)

Gambar 3. Siklus replikasi virus influenza (Whittaker 2001)

Virus influenza masuk sel hospes melalui endositosis yang

diperantarai reseptor (receptor–mediated endositosis) (Elton et al. 2001). Ikatan pada reseptor merupakan determinan awal

patogenesitas, dan spesifisitas ikatan reseptor menentukan

tropisme suatu virus pada spesies hospes tertentu. Residu asam

amino bagian dari HA yang berikatan dengan reseptor adalah

asam amino nomor 222 dan 224 (penomoran menurut H5).

Glikoprotein HA virus influenza strain manusia yang mempunyai

asam amino leusin pada posisi 222 dan serin pada 224 dapat

berikatan dengan asam sialat α-2,6NeuAcGal. Sementara HA virus influenza strain unggas yang mempunyai asam amino

(29)

dengan asam sialat α-2,3NeuAcGal (Vines et al. 1998; Zhou et al.

1999; Suzuki et al. 2000; Leung 2007).

Setelah interaksi virus dengan reseptor pada permukaan

sel, terjadi internalisasi virus secara cepat melalui endositosis

(Bui et al. 1996). Rendahnya pH dalam endosom (5,5) memacu terjadinya pelepasan mantel (uncoating) virus. Kondisi asam itu juga menyebabkan perubahan konformasi HA sehingga regio

peptida fusi HA dapat disisipkan ke membran endosom dan

terjadi fusi antara membran endosom dengan membran virus.

Proses fusi hanya dapat terjadi jika HA dipotong menjadi HA1 dan

HA2 oleh protease sel hospes (Steinhauer 1999).

Rendahnya pH endosom juga menyebabkan aliran ion ke

bagian interior virus melalui protein M2 dan memutus interaksi

M1-vRNP (Pinto et al. 1992; Bui et al. 1996). Pelepasan mantel virus menyebabkan vRNP dan M1 masing-masing lepas ke

sitoplasma dan menuju nukleus melewati nuclear core protein

(NCP) (Bui et al. 1996). Impor vRNP melalui NCP diperantarai oleh nuclear localization signal (NLS) 1 dan 2 pada protein NP (Cros et al. 2005; Ozawa et al. 2007; Wu et al. 2007). Sementara, impor protein M1 ke dalam nukleus terjadi secara difusi pasif (Bui

et al. 1996). Amantadin dan rimantadin yang banyak dipakai sebagai antivirus bekerja dengan menghambat aktivitas M2 untuk

memutus interaksi M1-vRNP sehingga materi genetika virus tidak

dapat masuk nukleus (Hayden 2006)

Transkripsi dan replikasi genom RNA virus (vRNA) influenza

dilakukan di dalam nukleus sel hospes, dikatalisis oleh enzim

(30)

Crow et al. 2004; Hara et al. 2006). Genom vRNA membentuk kompleks dengan RdRp dan NP membentuk vRNP sebagai

cetakan transkripsi (membentuk mRNA) dan cetakan replikasi

(membentuk genom vRNA dari cRNA) (Vreede et al. 2004). Sintesis mRNA virus diawali dengan penambahan fragmen

tudung pada ujung „5 mRNA sebagai primer inisiasi transkripsi.

Fragmen tudung (7mGppp dan 10-13 nukleotida setelah tudung)

dari pre-mRNA sel hospes dipotong oleh enzim PB1 kemudian

dikenal dan diikat oleh enzim PB2. Proses perampasan tudung

dari pre-mRNA seluler tersebut disebut dengan cap snatching

(Rao et al. 2003; Crow et al. 2004; Hara et al. 2006). Setelah

penambahan tudung, pemanjangan (elongasi) rantai mRNA

berjalan sampai pada sekuen kaya uridin yang terletak 15-22

nukleotida sebelum ujung 3‟ mRNA. Pemanjangan mRNA virus ini dikatalisis oleh enzim PB1. Seperti juga mRNA eukariot, mRNA

virus yang baru disintesis juga mengalami poliadenilasi pada

ujung 3‟, dikatalisis oleh RdRp (Honda et al. 2002).

mRNA virus tetap terlindung dari degradasi selama

kompleks RdRp terikat pada sekuen spesifik

5‟AGCAAAAGCAGG‟3 yang ditemukan pada semua mRNA virus. Sekuen ini komplementer dengan 12 nukleotida ujung 3‟ dari

genom vRNA. Semua segmen genom virus influenza mempunyai

12 nukleotida pada ujung „3 dan 13 nukleotida pada ujung „5 yang

bersifat stabil (Bae et al. 2001; Crow et al. 2004). Primer untuk mengamplifikasi secara lengkap semua genom virus didisain

(31)

Replikasi genom vRNA tidak memerlukan primer dan

dibentuk dari cetakan cRNA. Pada tahap I replikasi, vRNA dikopi

menjadi cRNA berpolaritas positif. Inisiasi pembentukan cRNA

tidak memerlukan tudung 7mGppp (Crow et al. 2004; Vreede et al. 2004; Hara et al. 2006). Tahap II replikasi adalah sintesis vRNA berpolaritas negatif dengan cRNA sebagai cetakannya

(Hara et al. 2006). Seluruh serat cRNA disebut anti genom karena merupakan cetakan untuk sintesis vRNA. RdRp yang

mengkatalisis replikasi genom, tidak mempunyai mekanisme

untuk memperbaiki kesalahan (proofreading) sehingga tingkat kesalahan mencapai 1 dari 104 nukleotida per siklus replikasi (review oleh Webster et al. 1992).

Pembentukan cRNA tidak memerlukan tudung 7mGppp.

Perubahan fungsi katalitik polimerase dari transkripsi mRNA ke

replikasi cRNA diperantarai oleh protein NP yang berikatan

langsung dengan PB1 dan PB2 (Portela & Digard 2002).

Perubahan fungsi katalitik polimerase PB1 memerlukan

perubahan strukter sekunder polimerase, karena regio ikatan

cRNA berbeda dengan regio ikatan mRNA (Gonzales & Ortin

1999). Berbeda dengan mRNA, 2 bentuk RNA lainnya (yaitu

cRNA dan vRNA) dibungkus (encapsidated) oleh protein NP membentuk vRNP (Portela & Digard 2002).

Translasi (sintesis protein) dari mRNA virus influenza

seluruhnya menggunakan mekanisme translasi dalam sitoplasma

sel hospes. Protein PA, PB1, PB2 dan NP hasil translasi

selanjutnya masuk ke nukleus untuk mengkatalisis transkripsi dan

(32)

membentuk vRNP (Klumpp et al. 1997). vRNP diekspor ke sitoplasma melalui pembentukan kompleks NEP-M1-RNP, dan

berinteraksi dengan reseptor ekspor nuklear sel hospes

(superfamili importin-β) yang bersifat stabil (Cullen 2000;

Neumann et al. 2000; Sandri-Goldin 2004). Ekspor vRNP virus influenza dihambat oleh antibiotik leptomisin B yang berikatan

dengan CRM-1 (Elton et al. 2001).

Fragmen gen virus influenza A ada yang menyandi satu

protein (PB1, PB2, PA, NA, HA, NP) ada yang lebih dari satu

protein (gen NS dan M). Splicing mRNA dari gen NS menjadi mRNA NS1 dan mRNA NS2 (berturut-turut menyandi protein NS1

dan NS2) dilakukan di nukleus sel hospes menggunakan

mekanisme splicing pre-mRNA sel hospes. Splicing yang sama juga dilakukan terhadap mRNA gen M menjadi mRNA M1 dan

mRNA M2 (Whittaker 2001).

Sebagai target protein transmembran, protein HA, NA dan

M2 mengalami modifikasi pascatranslasi, berupa glikosilasi dan

pelipatan, selama melintasi retikulum endoplasma dan aparatus

Golgi (Gomez-Puertas et al. 2000). Sebagian molekul M1

berikatan dengan vRNP dan sebagian lagi membentuk selubung

di bawah amplop virus. Glikoprotein HA pada transmembran

menstimulasi M1 untuk berikatan/menempel pada membran.

Interaksi antara ekor transmembran HA dengan M1 merupakan

(33)

membran sel yang kaya dengan detergent-insoluble glikolipid

(DIG) atau disebut lipid raft (Zhang et al. 2000).

Perakitan virion diikuti dengan budding, yaitu pembentukan dan penutupan kuncup vRNP yang dikelilingi amplop pada

membran sel hospes sehingga virion terlepas ke ekstrasel tanpa

merusak membran sel (review oleh Garoff et al. 1998; Chazal & Gerlier 2003). Budding dapat terjadi melalui permukaan apikal atau basolateral sel epitel. Jika budding terjadi pada permukaan membran basolateral epitel, virus akan menyebar secara sistemik

(Whittaker 2001).

Progeni virus dilepaskan ke ekstrasel jika NA memotong

asam sialat dari reseptor sel hospes, sehingga progeni virus yang

baru dilepaskan tidak berikatan kembali dengan reseptornya

(Stray et al. 2000; Mishin et al. 2005). Peningkatan afinitas HA pada reseptor asam sialat dapat meningkatkan patogenesitas

infeksi, namun di sisi lain dapat menghambat aktivitas NA pada

proses budding. Pelepasan virus dan penyebarannya

memerlukan keseimbangan fungsi antara kedua glikoprotein (HA

dan NA) tersebut (Kobasa et al. 2001). Inhibitor neuraminidase sebagai antivirus yaitu zanamivir (Relenza) dan oseltamivir

(Tamiflu) menghambat aktivitas NA sehingga budding tidak dapat terjadi (Hayden 2006).

Mutasi Gen VAI

Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa enzim RdRp tidak

(34)

menerus dengan tingkatan yang cukup tinggi. Berbeda dengan

polimerase DNA yang hanya mempunyai kesalahan 1 dari 109 basa, kesalahan replikasi oleh RdRp adalah 1 dari 104 nukleotida per siklus replikasi (review oleh Webster et al. 1992). Selain mutasi di masing-masing gen akibat tidak adanya mekanisme

repair, mutasi juga dilakukan virus sebagai adaptasi terhadap

tekanan imun hospes atau adaptasi terhadap spesies hospes

baru. Mutasi pada level ini biasanya berbentuk delesi atau

substitusi titik/poin. Substitusi titik/poin dapat dibedakan atas

substitusi sinonim dan substitusi nonsinonim.

Substitusi sinonim adalah perubahan nukleotida tidak diikuti

perubahan ekspresi asam amino. Hal ini terjadi pada semua

asam amino, kecuali metionin dan triptofan yang hanya disandi

oleh 1 kodon. Substitusi sinonim ini menyebabkan kodon bias,

yaitu ketidakseimbangan penggunaan kodon sinonim yang

menyandi asam amino. Kodon bias ini terlihat pada semua

spesies di semua bagian genom, baik daerah intron maupun

ekson. Karena kodon bias tidak mengubah fenotip produk

ekspresi, sehingga kodon bias selalu ada dalam genom.

Penggunaan kodon (codon usage) pada gen berkorelasi dengan akurasi dan tingkat translasi. Kodon pilihan (codon preference) biasanya adalah kodon yang tRNA untuk kodon tersebut

melimpah sehingga dapat ditranslasi lebih cepat (Lavler & Kotlar

2005; Wu & Freeland 2005).

Seperti organisme lainnya, substitusi sinonim pada VAI juga

berkaitan dengan kelimpahan tRNA (Plotkin & Dushoff 2003).

(35)

mekanisme translasi sel hospes, substitusi sinonim tersebut lebih

dikarenakan seleksi penyesuaian terhadap penggunaan kodon

sel hospes. Hal ini terjadi karena perbedaan penggunaan kodon

antara virus dengan sel hospes dapat mempengaruhi kecepatan

translasi protein (Garmory et al. 2003).

Substitusi nonsinonim adalah perubahan nukleotida diikuti

dengan perubahan ekspresi asam amino. Substitusi nonsinonim

hanya terjadi pada bagian tertentu dari gen yang mengalami

tekanan. Semakin sering mengalami tekanan, semakin tinggi

tingkat substitusinya (Plotkin & Dushoff 2003). Adanya tekanan

seleksi akan menyebabkan munculnya varian dengan tingkat

efektivitas replikasi yang tinggi (Jong et al. 2000). Tingkat perubahan asam amino virus di dalam tubuh hospes (in vivo) lebih tinggi dibandingkan virus yang ditumbuhkan secara in vitro. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya tekanan imun berkorelasi

dengan perubahan asam amino (Nakajima et al. 2003).

Kecepatan substitusi nonsinonim virus influenza mencapai

2-3x substitusi per posisi per tahun (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). Rasio kecepatan mutasi nonsinonim dan sinonim

sangat penting untuk mempelajari mekanisme evolusi molekuler

sekuen gen tertentu. Rasio kecepatan mutasi nonsinonim/sinonim

(ω = dN/dS) juga merupakan indikator tekanan seleksi pada level protein. Jika ω=1 berarti seleksi netral, ω<1 berarti seleksi

pemurnian (purifying selection) dan ω=>1 berarti seleksi positif

(Yang et al. 2000).

Analisis genom VAI subtipe H5N1 yang menginfeksi unggas

(36)

PB2, HA dan NS1 mengalami tekanan seleksi positif, sementara

gen lainnya (PA, PB1, M, NA, NS2, NP) mengalami tekanan

seleksi pemurnian (Campitelli et al. 2006). Namun, isolat VAI H5N1 penyebab wabah di Indonesia dan Vietnam pada dekade

terakhir menunjukkan bahwa hanya gen M2 (ω=1,23) dan PB1-F2

(ω=3,01) yang mengalami seleksi positif. Hal ini menunjukkan keterlibatan gen ini dalam adaptasi VAI pada hospes baru dan

transmisi interspesies. Seleksi positif pada gen M2 terjadi akibat

tekanan seleksi untuk adaptasi VAI dari unggas air ke unggas

darat. Perbedaan pH dan lingkungan seluler antara unggas air

dan unggas darat merupakan tekanan seleksi pada M2 sebagai

kanal ion hidrogen. Tekanan seleksi pada PB1-F2 dikarenakan

peran protein ini dalam menginduksi apoptosis makrofag (Smith

et al. 2006).

Virus AI subtipe H5N1 garis Asia menunjukkan jumlah asam

amino yang mengalami seleksi positif meningkat dari tahun ke

tahun, terutama pada daerah antigenik, posisi glikosilasi dan

kantong pengikat reseptor. Hal ini kemungkinan berhubungan

dengan peningkatan patogenesitas dan kemampuan virus untuk

transmisi ke manusia (Campitelli et al. 2006). Mekanisme virus untuk menghindar dari sistem imun hospes merupakan tekanan

untuk mutasi secara gradual sehingga muncul strain-strain virus

baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik)

(Munch et al. 2001; Smith et al. 2004). Hanyutan antigenik berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan

penyakit yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et

(37)

Adaptasi selalu dilakukan VAI, baik adaptasi terhadap

tekanan imun maupun adaptasi pada spesies hospes baru

(Voeten et al. 2000; Taubenberger et al. 2005). Adaptasi merupakan kekuatan utama dari evolusi. Perbedaan spesies

hospes dan perbedaan tekanan menyebabkan pebedaan

kecepatan evolusi VAI (Brown et al. 2001). Lama infeksi dan frekuensi reinfeksi virus influenza pada manusia, menyebabkan

tingginya tekanan seleksi oleh sistem imun (Bush et al. 1999; Suzuki & Nei 2002).

Kecepatan mutasi glikoprotein HA kira-kira 2 x 10-3 nukleotida per posisi per replikasi (Webster et al. 1992). Kecepatan mutasi HA tersebut lebih tinggi dibanding NA karena

NA bukan merupakan determinan antigenik utama dan jumlah

NA pada permukaan virion hanya 1/5 jumlah HA (Plotkin &

Dushoff 2003). Sekuen nukleotida VAI isolat unggas air di Jawa

Barat yang disepadankan dengan nukleotida Gs/GD/1/96

menunjukkan bahwa jumlah kodon substitusi bervariasi dari 23

sampai 50, dan jumlah substitusi nonsinonim bervariasi dari 5-18

(Susanti et al. 2008a). Tingkat mutasi yang tinggi akibat lemahnya

mekanisme proofreading dari RdRp, menyebabkan perubahan

nukleotida terjadi terus menerus. Kecepatan mutasi HA lebih

tinggi dibanding NA karena NA bukan merupakan determinan

antigenik utama dan jumlah NA pada permukaan virion hanya 1/5

jumlah HA (Plotkin & Dushoff 2003).

Protein internal tidak berperan dalam pengikatan dengan

reseptor sel hospes dan tersembunyi dari antibodi, sehingga

(38)

Dushoff 2003; Berkhoff et al. 2005). Struktur dan fungsi protein internal juga sangat mendasar sehingga tidak menguntungkan

VAI jika mutasi terjadi secara cepat. Hal ini menyebabkan VAI

menghadapi konflik intragenom tentang kecepatan mutasi. Gen

atau bagian spesifik gen tertentu dalam genom tersebut

mengalami seleksi positif untuk berubah, sementara gen lain

mengalami seleksi pemurnian untuk tidak berubah (Plotkin &

Dushoff 2003).

Protein/regio protein yang fungsinya berkaitan erat dengan

pertahanan terhadap respon imun hospes, daya adaptasi dan

patogenesitas mempunyai tingkat substitusi nonsinonim lebih

tinggi dibanding substitusi sinonim (Plotkin & Dushoff 2003).

Kecepatan substitusi nonsinonim gen subunit HA1 dari VAI

subtipe H3 sebesar 5,7 x10-3 per posisi per tahun. Hal ini disebabkan karena pada HA1 terdapat daerah antigenik, kantong

pengikat reseptor dan posisi glikosilasi (Bush et al. 1999). Lima virus AI subtipe H5N1 isolat unggas air (IPB1-RS s/d IPB5-RS),

mengalami substitusi nonsinonim 3 asam amino kantong pengikat

reseptor. Sebanyak 11 substitusi nonsinonim pada isolat IPB6-RS, 10 diantaranya merupakan daerah antigenik, posisi glikosilasi

dan kantong pengikat reseptor. Dari 17-18 substitusi nonsinonim

pada 3 isolat virus (IPB7-RS, IPB8-RS dan IPB9-RS), 16

substitusi diantaranya merupakan daerah antigenik, posisi

glikosilasi dan kantong pengikat reseptor (Susanti et al. 2008a).

Hanyutan antigenik (antigenic drift)

Adaptasi terhadap tekanan imun hospes dilakukan VAI

(39)

sel T sitotoksik. Antibodi netralisasi terhadap protein HA bersifat

protektif melawan infeksi, sehingga protein ini paling tinggi

mengalami tekanan imun dibandingkan protein internal (Berkhoff

et al. 2005). Mekanisme VAI untuk menghindar dari sistem imun hospes merupakan tekanan untuk mutasi secara gradual

sehingga muncul strain-strain virus baru yang secara imunologik

berbeda (hanyutan antigenik) (Horimoto & Kawaoka 2001; Munch

et al. 2001; Smith et al. 2004).

Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik

akibat mutasi genetik struktur glikoprotein permukaan VAI

sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat infeksi

atau vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan

virus tersebut (Munch et al. 2001). Hanyutan antigenik berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan penyakit

yang terbatas pada suatu kawasan tertentu (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). Hanyutan antigenik menuntut

pembuatan vaksin selalu diperbarui mengikuti munculnya strain

virus baru (Plotkin et al. 2002; Smith et al. 2004).

Reasorsi dan transmisi VAI

Pandemi dapat terjadi jika subtipe virus influenza baru dapat

melintasi barier hospes antara unggas dan mamalia, termasuk

manusia. Adaptasi VAI strain unggas ke manusia antara lain

melalui reasorsi (reassortment), yaitu pertukaran atau

pencampuran gen. Genom RNA yang tersusun

bersegmen-segmen memudahkan terjadinya reasorsi, yaitu segmen gen

(40)

lainnya. Reasorsi menyebabkan perubahan struktur antigen

secara dominan, sehingga disebut lompatan antigenik (antigenic shift). Reasorsi hanya dapat terjadi jika suatu sel secara simultan terinfeksi oleh 2 atau lebih strain VAI yang berbeda, sehingga

terjadi penyusunan kembali suatu strain virus baru yang

bermanifestasi sebagai genotipe virus baru. Hospes yang dapat

diinfeksi oleh 2 jenis strain VAI yaitu strain avian dan manusia

dikenal dengan “mixing vessel”. Hospes ini memungkinkan

sebagai hospes perantara transmisi VAI dari unggas ke manusia

(Ito et al. 1998; Hoffman et al. 2001; Li et al. 2004).

Virus influenza A subtipe H1N1 penyebab pandemi

influenza tahun 1918 mengalami lompatan antigenik sehingga

tahun 1958 muncul subtipe H2N2 dan tahun 1968 muncul subtipe

H3N2 (Belshe 2005). Transmisi langsung VAI Vdari unggas ke

manusia biasanya mengakibatkan kematian, seperti terjadi di

Hongkong tahun 1997-1998. Virus HPAI H5N1 yang menyerang

dan mematikan manusia dan ayam di Hongkong tersebut (Lee et

al. 2001), merupakan produk reasorsi dengan VAI H9N2 yang bertindak sebagai donor gen internal (Guan et al. 1999). Virus tersebut kemudian berkembang cepat di pasar unggas

Hongkong, dan mempunyai kemampuan untuk transmisi

langsung ke manusia (Zhou et al. 1999; Cauthen et al. 2000).

Kejadian tersebut merupakan kasus pertama, dimana

infeksi VAI H5N1 langsung pada manusia tanpa terlebih dulu

beradaptasi pada hospes mamalia perantara (Tumpey et al.

(41)

mematikan ribuan unggas air migratori dilaporkan juga

merupakan virus hasil reasorsi (Zhou et al. 2006). Burung puyuh menyediakan lingkungan yang memungkinkan VAI H3N2 babi

mengalami reasorsi dan menghasilkan virus influenza yang

berpotensi menyebabkan pandemi (Perez et al. 2003).

Transmisi VAI H5N1 dari manusia ke manusia belum

pernah dilaporkan (Buxton et al. 2000; The Writing Committee WHO 2005; Kandun et al. 2006). Namun, VAI subtipe H5N1 berpotensi sebagai penyebab pandemi influenza pada manusia

melalui 2 mekanisme. Manusia yang terinfeksi VAI H5N1 dan

strain influenza manusia (misalnya H1N1) akan memicu reasorsi,

sehingga memunculkan VAI subtipe H5 yang mampu

ditransmisikan dari manusia ke manusia. Alternatif lain adalah

mutasi langsung VAI H5N1 yang berkemampuan untuk transmisi

(42)

BAB III

TEKNIK MENUMBUHKAN DAN MENGISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA

Penelitian yang berhubungan dengan virus avian influenza

dilakukan di laboratorium standart Biosafety Level 2 (BSL-2) plus atau BSL-3. Namun untuk propagasi virus AI subtipe H5N1 pada

hewan coba (pada tikus, marmut, ayam atau itik, dll) harus

dilakukan di laboratorium BSL-3. Semakin tinggi potensi suatu

agen penyakit (mikroorganisme) untuk menular dan

menyebabkan penyakit pada manusia (peneliti/pekerja

laboratorium), semakin tinggi tingkat (level) biosafety laboratorium yang diperlukan. Pada Tabel 2 berisi jenjang safety laboratorium dan penggunaannya.

Tabel 2. Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit

No Laboratorium Penggunaan Contoh

(43)
(44)

Preparasi Sampel

Tahap pertama yang harus dilakukan untuk memperbanyak

dan mengisolasi virus adalah mengambil contoh/sampel yang

diduga mengandung virus. Mengingat VAI berkembang/

bermultiplikasi pada sel epitel saluran pencernaan dan

pernafasan, maka sampel dapat diambil dari usap hidung, usap

anus atau usap kloaka. Sampel usap kloaka diambil dari hewan

yang diperiksa atau hewan/manusia yang diduga terinfeksi VAI.

Sampel usap kloaka/anus/hidung selanjutnya dimasukkan dalam

tabung berisi media transport PBS gliserol (WHO 2002). Sampel

selanjutnya dimasukkan dalam inkubator suhu dingin -4oC atau lebih dingin lagi. Jika pengambilan sampel dari lapangan, tabung

berisi sampel dimasukkan dalam ice box kemudian dibawa ke laboratorium. Cara membuat PBS gliserol adalah dengan

mencampurkan PBS 1x dan gliserol dengan perbandingan 1:1.

Dalam 1 liter PBS Gliserol, ditambahkan Penisilin-G 2x106 U/L dan Srteptomisin 200 mg/L (Susanti et al. 2008b).

Media Perbanyakan virus

Untuk mengetahui apakah pada sampel terdapat virus yang

dimaksud atau tidak, sampel harus ditanam pada media yang

sesuai. Mengingat virus adalah organisme yang hanya dapat

bereplikasi pada sel hidup, maka media yang sesuai untuk

menumbuhkan virus adalah sel hidup. Virus influenza A dapat

(45)

Kidney (MDCK) (Ito et al. 1997; Whittaker 2001). Sel MDCK

mempunyai reseptor α-(2,6) dan α-(2,3) sehingga efektif untuk replikasi virus influenza isolat manusia maupun avian. Untuk

dapat menumbuhkan virus influenza pada sel MDCK, perlu

ditambahkan protease tripsin untuk memotong HA menjadi HA1

dan HA2 (Webster et al. 1992). Pertumbuhan virus ditandai adanya cytopathogenic effect (CPE). Karena sel MDCK memiliki

2 jenis reseptor (α-(2,6) dan α-(2,3)), kultur virus influenza pada MDCK tidak menyebabkan tekanan seleksi sehingga tidak terjadi

substitusi asam amino tertentu, namun kurang efektif jika

digunakan untuk mendapatkan virus dalam jumlah besar (Ito et al. 1997).

Ruang alantois TAB hanya mempunyai reseptor α-(2,3),

sementara pada sel amnion mempunyai reseptor α-(2,6) dan α -(2,3). Secara in ovo, perbedaan reseptor sel hospes dengan spesifisitas asam amino titik pengikat reseptor merupakan

tekanan seleksi yang memicu substitusi hemaglutinin (HA). Kultur

virus influenza strain manusia pada sel amnion (yang mempunyai

reseptor α-(2,6) dan α-(2,3)), sampai pasase ke-2 masih

mempertahankan spesifisitas reseptor pada α-(2,6). Namun, jika virus influenza strain manusia ini dikultur pada sel alantois yang

hanya mempunyai reseptor α-(2,3) menyebabkan mutasi substitusi L226G sehingga spesifisitas reseptor bergeser dari α

-(2,6) menjadi α-(2,3) (Ito et al. 1997). Isolasi virus dalam TAB lebih tepat untuk strain avian (Ito et al. 1997). Meskipun demikian, menurut hasil-hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa

(46)

1992; Harimoto & Kawaoka 2001; Whittaker 2001). Hal ini

disebabkan karena protease serupa dengan faktor pembeku

darah “Xa” (anggota famili protrombrin) dalam cairan alantois

bertanggung jawab atas proteolitik HA pada cleavage site

sehingga virus dapat bereplikasi secara in ovo (Harimoto & Kawaoka 2001). Protease yang dapat memotong HPAI dan LPAI

adalah enzim “trypsin like”, yaitu faktor pembeku darah “Xa”,

triptase, mini plasmin dan protease bakterial (Harimoto &

Kawaoka 2005). Enzim proteolitik mengenal sekuen asam amino

motif B-X-B-R (B=asam amino basa, X=asam amino non-basa)

(Harimoto & Kawaoka 2001).

Propagasi virus pada TAB merupakan metode yang

banyak dilakukan untuk diagnosis, isolasi virus, identifikasi virus

dan uji neutralisasi. TAB merupakan metode terbaik untuk isolasi

virus influenza, karena lebih sensitif dibandingkan sel kultur

MDCK (Clavijo et al. 2002). Meskipun demikian, MDCK

merupakan sel yang paling sensitif untuk isolasi virus influenza A

dibanding sel kultur Vero dan MRC-5 (Reina et al. 1997). Propagasi virus pada TAB digunakan sebagai metode pembuatan

vaksin influenza A yang telah beredar selama beberapa dekade

(kurang lebih 30 tahun) (Scannon 2006). Lebih lanjut disebutkan

bahwa TAB merupakan media utama produksi vaksin influenza

(47)

Metode Propagasi Virus pada Telur Ayam Berembrio SPF

Setiap sampel dari setiap ekor hewan yang diduga

mengandung virus, idealnya ditumbuhkan pada 1 butir TAB.

Namun, hal ini bergantung pada tujuan penelitian dan

ketersediaan biaya. Jika tujuannya untuk mengetahui apakah

hewan-hewan di suatu tempat (biasanya hewan dipelihara

berkelompok) terinfeksi, maka sampel diambil secara sampling

atau diambil semua. Jika sampel diambil semua, untuk efisiensi

biaya dan tujuan tercapai, maka sampel di-polling. Setiap 1-4 sampel usap kloaka/anus/hidung (masing masing sebanyak 100

µl) dikumpulkan (polling) menjadi satu inokulum berdasarkan jenis hewan dan pemilik. Hal ini ditujukan untuk efisiensi jumlah TAB.

Jika sampel yang dianalisa menunjukkan hasil positif, hal ini

berimplikasi pada pengambilan keputusan bahwa hewan di lokasi

dan hewan tersebut terdapat hewan positif terinfeksi virus AI

sehingga pencegahan dan pengendaliannya ditujukan pada

semua hewan dan manusia di kawasan tersebut (Susanti et al.

2008b). Inokulum yang berhasil ditumbuhkan dalam TAB,

menunjukkan bahwa pada sampel mengandung virus yang hidup

dengan jumlah melebihi ambang batas untuk dapat tumbuh

dalam TAB yaitu 1 egg infectious dose 50% (EID50) (Beato et al.

2007; Terregino et al. 2007).

TAB yang digunakan hendaknya specific pathogen free

(SPF). Artinya, jika kita akan menumbuhkan sampel yang diduga

mengandung virus AI, maka TAB yang digunakan minimal bebas

dari virus tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan untuk

(48)

bebar-benar berasal dari sampel dan bukan dari TAB. TAB dapat

diperoleh di laboratorium-laboratorium yang memproduksi TAB

SPF, seperti laboratorium pada perusahaan yang memproduksi

vaksin.

Sampel usap kloaka ditumbuhkan pada TAB (SPF) umur 9

hari. Inokulum dibuat dengan mencampur sampel usap kloaka ke

dalam tabung yang telah berisi 10 µl phosphate buffer saline

(PBS) yang mengandung 2x106 U/L penisilin dan 200 mg/L streptomisin. Setelah diinkubasi 30 menit pada suhu kamar,

inokulum diinokulasikan pada ruang alantois TAB SPF. Telur

diinkubasi pada suhu 37 oC dan diamati setiap hari selama 4 hari. Telur ayam berembrio yang mati sebelum hari keempat dan

embrio yang masih hidup sampai hari ke empat, dipanen cairan

alantoisnya untuk diidentifikasi kemampuannya mengaglutinasi

sel darah merah (SDM) (WHO 2002; Susanti et al. 2008b). Berdasar hasil penelitian, kurva pertumbuhan virus HPAI

H5N1 pada TAB selama 24 jam menunjukkan bahwa virus telah

bereplikasi dengan jumlah titer virus cukup tinggi (Gambar 4)

(Susanti 2009; data tidak dipublikasi). Menurut Coleman (2007),

proses replikasi virus terjadi sangat cepat, yaitu 10 jam. Ambang

batas jumlah virus yang viabel yang dapat tumbuh dalam telur

ayam berembrio adalah 1 EID50 (Beato et al. 2007; Terregino et

al. 2007). Pada kurva pertumbuhan nampak bahwa pertumbuhan

mencapai titer tertinggi pada inkubasi 48 jam (2 hari). Setelah 48

jam, titer virus pada cairan alantois mulai menurun. Menurunnya

jumlah titer virus pada inkubasi lebih dari 48 jam, kemungkinan

(49)

berbagai organ embrio, sehingga pada cairan alantois

menunjukkan penurunan titer virus (Susanti 2009, data tidak

dipublikasi).

Gambar 4. Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada

TAB (Susanti 2009)

Pada inkubasi 24 jam, virus dapat terdeteksi di sebagian

besar pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan).

Virus berikatan dengan reseptor α-(2,3) pada sel alantois, bereplikasi dan dilepaskan dalam cairan alantois. Dari cairan

alantois, virus masuk sistem pembuluh darah dan keluar pada

tissu-blood junction (Kuiken et al. 2006). Virus HPAI dilaporkan dapat bereplikasi secara efisien pada sel endotel pembuluh darah

dan perivaskuler sel parenkim, sehingga virus dapat terdeteksi

pada berbagai organ internal dan pembuluh darah (Harimoto &

Kawaoka 2005; Swayne 2007). Dengan metoda imunohistokimia,

(50)

antigen virus dapat terdeteksi pada organ ginjal, paru-paru, hati

dan intestinum (Gambar 5). Pada ginjal, virus banyak terdapat di

glomerulus. Pada intestinum, virus banyak terdeteksi di epitel vili,

lumen dan serosa. Pada paru, terutama virus banyak terdapat di

pembuluh darah (Susanti 2009, data tidak dipublikasikan). Infeksi

virus HPAI H5N1 secara in vivo pada itik menunjukkan bahwa virus menyebar secara sistemik pada trakea, paru, hati, pankreas,

rektum, bursa fabrisius, limpa, otak, jantung dan ginjal (Songserm

et al. 2006). Pada mamalia (mencit), infeksi HPAI H5N1 isolat itik juga menyebar secara sistemik pada limpa, ginjal dan otak (Chen

et al. 2004).

C D

(51)

Gambar 5. Antigen virus virus HPAI H5N1 isolat unggas air pada organ-organ embrio. (A) Glomerulus, (C) Intestinum, (E)

Paru-paru. B, D dan F adalah kontrol negatif (Susanti 2009)

(52)

BAB IV

TEKNIK IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA DAN

SUBTIPENYA

Deteksi atau identifikais virus AI dapat dilakukan dengan uji

hemaglutinasi (HA), Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test

atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation test (AGPT),

haemagglutination inhibition (HI), atau PRC (WHO 2002; OIE

2005b). Uji HI dan AGID dilakukan untuk mengetahui variasi

antigenik molekul HA virus dengan mereaksikannya dengan

antibodi monoklonal/poliklonal (WHO 2002; OIE 2005).

Uji Hemaglutinasi (HA)

Sebagai skrining awal keberadaan virus influenza adalah uji

hemaglutinasi (HA). Uji hemaglutinasi digunakan untuk

mendeteksi keberadaan virus yang mempunyai kemampuan

mengaglutinasi sel darah merah. Hemaglutinasi adalah terjadinya

penggumpalan sel darah merah (SDM). Penggumpalan dapat

diakibatkan oleh protein hemaglutinin yang dimiliki oleh beberapa

virus seperti golongan virus influenza, virus New castle disease,

virus mixo, dan virus rabies. Dengan demikian, untuk identifikasi

virus AI menggunakan uji HA ini memiliki diagnostik banding virus

New-castle yang juga memiliki hemaglutinin. Hemaglutinin akan

melekat secara spontan pada SDM. Bagian dari virus yang

melekat SDM merupakan bagian spesifik (yaitu glikoprotein

(53)

spesifik juga) pada SDM. Secara sederhana, konsep dasar

hemaglutinasi digambarkan di Gambar 6.

Jika sampel yang diduga mengandung berasal dari unggas,

virus yang berkemampuan mengaglutinasi SDM merupakan virus

golongan Orthomyxoviridae (misal: virus influenza) atau

Paramyxoviridae (misal: New Castle Disease; ND) (OIE 2004).

Dengan demikian, jika hasil uji HA positif, kemungkinan sampel

mengandung virus ND atau virus AI, sehingga perlu diuji lebih

lanjut dengan penanda lain (misal dengan PCR atau uji

antigenesitas). Uji HA dapat dilakukan 2 tahap, yaitu secara

makro dan secara mikro (Susanti et al. 2008b). Uji HA secara makro hanya ditujukan untuk mendeteksi keberadaan virus yang

memiliki protein hemaglutinin (kualitatif) sehingga mampu

mengaglutinasi, sementara uji HA mikro ditujukan untuk

mengatahui titer virus (kuantitatif) yang mampu mengaglutinasi

sel darah merah.

Gambar 6. Hemaglutinasi sel darah merah oleh virus yang

(54)

Metode Uji Hemaglutinasi (HA)

Sebelum uji HA titrasi secara mikro, dilakukan uji aglutinasi

cepat dengan mencampurkan satu tetes cairan alantois dengan

SDM ayam 5% (v/v). Keberadaan virus ditunjukkan adanya

aglutinasi SDM dalam waktu 15 detik setelah dicampur. Cairan

alantois yang positif berdasar uji HA cepat, selanjutnya dilakukan

uji HA secara mikro menggunakan microplate U buttom (Nunc). Uji hemaglutinasi cairan alantois dilakukan sesuai dengan

prosedur standar yang berlaku. Sumur 1–12 dari microplate diisi dengan PBS pH 7,2 masing-masing 25 l dengan mikropipet

kapasitas 10-100 l. Cairan alantois diambil sebanyak 25 l dan

dimasukkan ke dalam sumur yang telah ditandai dengan nomor

sampel uji. Selanjutnya cairan alantois diencerkan bertingkat

kelipatan dua dengan PBS, kemudian ditambahkan 25 l

suspensi SDM ayam 0,5% ke dalam seluruh sumur. Tahap

terakhir dilakukan pengocokan microplate dengan menggoyang-goyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama

kurang lebih 30 menit. Pembacaan hasil uji dapat dilakukan

apabila SDM pada sumur kontrol telah teraglutinasi di dasar

sumur. Sampel dinyatakan positif apabila SDM pada sumur

sampel mengalami aglutinasi. Titer HA dihitung berdasarkan

pengenceran tertinggi alantois yang dapat mengaglutinasi SDM

(55)

Gambar 7. Gambaran contoh hasil uji HA

Uji Agar Gel Immunodiffusion (AGID) Test

Uji AGID atau dikenal juga dengan Agar gel Presipitation

test (AGPT) adalah teknik imunopresipitasi, merupakan salah

satu cara yang banyak dipakai untuk mengukur secara kualitatif

antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding

dengan uji pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan.

Pada uji ini digunakan selapis media agar yang dilubangi (dengan

alat khusus) membentuk sumur-sumur. Kemudian ke dalam

sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan

serum yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi

akan merembes, berdifusi ke sekitar sumur secara radial

(Gambar 8). Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik,

akan terbentuk kompleks antigen-antibodi yang besar sehingga

Gambar

Gambar 2. Struktur dan segmen-segmen genom virus influenza
Gambar 3. Siklus replikasi virus influenza (Whittaker 2001)
Tabel 2. Level laboratorium untuk penelitian yang berhubungan dengan mikroorganisme penyebab penyakit
Gambar 4. Pertumbuhan virus avian influenza subtipe H5N1 pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam stability of consociational settlement yang akan disinggung dalam pembahasan konflik di Irlandia Utara ini meliputi agenda kebijakan politik dan kebijakan

agglomerans LAS-2b yang berasal dari Sumber Air Panas Lejja, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, dengan tahapan peremajaan bakteri, pembuatan medium inokulum dan medium

Berdasarkan pemaparan data dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran fisika topik optika geometri yang dikembangkan dengan berorientasi pada

(4) Permohonan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) serta pengurangan atau

Berdasarkan hasil asuhan kebidanan yang dilakukan, diharapkan ibu memeriksakan kehamilannya secara rutin untuk memantau kondisi kehamilannya karena sangat berpengaruh pada

Hasil regresi terhadap hipotesa 3 yakni untuk menguji pengaruh variabel desentralisasi fiskal bidang kesehatan, PDRB per kapita, jumlah tenaga medis dan jumlah tempat

Beberapa penelitian terkait dengan penera- pan konsep lean manufacturing antara lain : Daonil(2012) menggunakan metode Value Steam Mapping untuk menghilangkan pemborosan di

Seperti halnya pada palung cermin parabola, transfer cairan panas atau uap dipanaskan dalam receiver (menara yang mampu mengkonsentrasikan energi