• Tidak ada hasil yang ditemukan

EPISODE KEEMPAT

Dalam dokumen Episode Perang Yarmuk | Abu Dzakwan's Blog (Halaman 37-52)

(Di kamp tentara Romawi). Di tenda Bahan yang besar, tampak dia sedang duduk di kursinya. Di sekitarnya, berdiri para komandan tentara, khususunya orang-orang kepercayaannya yang terdiri dari Jurjair, Ibnu Qunathir, Dranger, Jabalah bin Aehim dan Jurjah.

Dranger : “Apakah kamu tahu sekarang tentang perangkap ini?”

Ibnu Qunathir: “Saya sudah cukup lama memperingatkan kalian.”

Dranger : “Kamu memperingatkan kami tentang sesuatu yang belum kamu ketahui.”

Ibnu Qunathir: “Bukankah saya sudah mengatakan kepada kalian bahwa saya khawatir kalau pergerakan pasukan Arab ke arah timur hanyalah tipu muslihat dari Khalid, panglima mereka?”

Dranger : “Tapi kamu tidak menjelaskan kepada kami tentang tipu muslihat macam apa itu.”

Ibnu Qunathir: “Tipu muslihat yang semacam ini, yang sedang kita alami. Terkurung di antara dua lembah, sungai dan musuh.”

Jurjair : “Peringatan itu telah menjadi kenyataan, lalu buat apa sekarang kita berdebat?”

Bahan : “Saya lihat kalian telah membesar-besarkan pengepungan ini seakan-akan telah timbul keyakinan kalau kita akan kalah dan karena itu kalian pesimis untuk memperoleh kemenangan. Ini lembah Riqad di depan kita dan kita dapat melewatinya untuk menuju ke arah timur. Dan yang di belakang kita adalah lembah Alan, kita juga dapat melaluinya untuk menuju ke arah barat.”

Ibnu Qunathir: “Bukankah Khalid dapat mengirimkan pasukan berkudanya ke arah timur maupun barat dengan leluasa. Dan dia dapat menghalangi kita dan menipu kita dengan gerakan pasukan berkudanya?”

Dranger : “Berapa jumlah pasukan berkudanya sehingga dapat bergerak ke arah timur dan barat, dan menghalangi

kita? Lalu dengan pasukan berkuda apalagi dia akan berperang setelah itu? “

Ibnu Qunathir: “Dia menguasai pintu masuk (jalan utama) daerah rendah ini. Jadi dia tidak perlu untuk berperang dengan pasukan berkudanya melawan kalian di sini.”

Jurjah : “Hai orang-orang, kecilkan suara kalian semua. Saya khawatir rencana kita ini akan terdengar oleh Khalid dan akhirnya justru dialah yang menggunakannya.”

Bahan : “Siapa orangnya yang dapat membawa berita tentang rencana kita kepada Khalid?”

Jurjah : “Mata-matanya!!”

Bahan : “Apakah ada di antara kita yang menjadi mata-matanya?”

Jurjah : “Barangkali!?”

Bahan : “Apakah kamu mengetahuinya?” Jurjah : “Barangkali.”

Bahan : “Siapa?”

Jurjah : “Misalnya Abu Basyir al-Tanukhi.”

Jabalah : “Jaga ucapanmu. Abu Bakar al-Tanukhi adalah mata-mata kita, karena itu tidak merugikan kita.” Jurjah : “Lalu apa yang dapat mencegahnya kalau

seandainya besok justru dia merugikan kita? bukankah dia adalah orang Arab seperti mereka?” Jabalah : “Saya menolak pendapatmu yang semacam ini.

Seakan-akan kamu menuduh kami semua, orang-orang Arab, tidak ikhlas dalam perjuangan kami demi kaisar Heraklius.”

Jurjah : “Saya tidak ingin menuduh siapapun. Tetapi seandainya saya orang Arab dan saya melihat

mereka, lalu apakah saya tetap dapat menjaga loyalitas saya kepada Romawi?!”

Jabalah : “Jadi kamu tidak ikhlas dan patuh kepada kaisar.”

Jurjah : “Kenapa? apakah seseorang mengatakan kepadamu bahwa orang-orang muslim itu adalah berasal dari negeri Romawi atau dari Armenia?”

Jabalah : “Kamu dengar, wahai Bahan, apa yang dikatakannya?”

Bahan : “Cukup Jurjah. Kamu harus tahu kalau pemimpin kita ini, Jabalah, adalah sahabat kaisar yang terpercaya.”

Jurjah : “Saya tidak menuduhnya, tuanku. Tetapi saya menuduh Abu Basyir al-Tanukhi.”

Jabalah : “Abu Basyir itu adalah anak buah saya.”

Bahan : “Kamu jangan menentang Abu Basyir atau yang lainnya.”

Jurjah : “Baiklah tuanku. Saya tidak akan pernah menentang semua orang Arab anak buah pemimpin kita, Jabalah, walaupun dia berkhianat atau merugikan kita.”

Jabalah : “Saya bersumpah wahai Bahan, Jurjah telah berubah sejak dia kembali dari mereka (pasukan kaum muslimin).”

Bahan : “Berubah? berubah bagaimana?”

Jabalah : “Saya tidak tahu bagaimana. Tetapi yang jelas dia telah berubah.”

Jurjah : “Ya, memang saya telah berubah karena saya sekarang mengetahui berbagai permasalahan yang sangat bayak sekali.”

Jurjah : “Tidak, tidak usah saya katakan. Nanti kamu akan marah lagi!”

Bahan : “Saya lihat bicaramu penuh dengan misteri dan teka teki, Jurjah!!”

Jurjah : “Barang siapa yang tidak mampu untuk menerangkannya (karena tidak diberi kesempatan) maka dia akan berusaha menjelaskan dengan cara isyarat dan sindiran.”

Jabalah : “Demi tuhan Bahan, seandainnya saja saya tidak menghormati kedudukannya di sisimu, tentu aku akan mengajarinya bagaimana cara menghormati para raja!!”

Jurjah : “Sekarang saya sudah tenang.” Bahan : “Tenang karena apa?”

Jurjah : “Karena pemimpin kita, Jabalah, tidak akan pernah sesuai dengan mereka. Anda tahu kenapa?” Bahan : “Kenapa? karena mereka tidak mengenal istilah

raja ataupun rakyat jelata. Menurut mereka, semua manusia adalah sama.”

Jabalah : “Seandainya kamu berniat benar maka kamu akan mengatakan bahwa sesungguhnya saya adalah Nasrani dan saya tidak akan mengganti agamaku, saya adalah sahabat kaisar dan tidak akan pernah mengkhianatinya, dan tanah ini adalah tanah nenek moyangku dan saya tidak akan pernah menyerahkannya kepada orang-orang asing.”

Jurjah : “Orang-orang asing? padahal mereka berbicara dengan bahasa yang sama denganmu. Jadi bagaimana dengan bangsa Romawi?”

Jabalah : “Antara Romawi dan kami sudah terjalin hubungan yang erat sejak lama.”

Jurjah : “Tetapi hubungan darah, nasab dan kekeluargaan lebih lama dan kuat!”

Jabalah : “Sialan kamu, sesungguhnya apa yang kamu inginkan? apakah kamu ingin mendesak saya untuk berkhianat kepada kaisar?”

Jurjah : “Tidak, wahai raja Arab! Bahkan saya sangat berharap supaya tidak ada yang menipu dan mengkhianati kaisar kita!”

(seorang penjaga masuk) Bahan : “Ada apa denganmu?”

penjaga : “Farmus tuanku, dia minta izin untuk menghadap.” Para hadirin : “(Dengan serempak) Farmus!!?”

Bahan : “Celaka dia, kenapa dia kembali? biarkan dia masuk.”

(lalu penjaga itu keluar dan kembali lagi dengan Farmus. Di wajahnya tampak kesedihan yang mendalam)

Farmus : “Ma’afkan saya tuanku.”

Bahan : “Ada apa denganmu? apa yang menimpamu? kenapa kamu kembali lagi?”

Farmus : “Mereka menyerang kami.” Bahan : “Siapa?”

Farmus : “Orang-orang Arab.”

Bahan : “Orang Arab? Arab mana?”

Jabalah : “Katakanlah orang-orang muslim, jangan bilang orang Arab karena kami juga orang Arab!!”

(dia beradu pandang dengan Jurjah). Farmus : “Ya, orang-orang muslim.”

Bahan : “Bagaimana mereka bisa menemukan kalian?”

Farmus : “Kami temukan mereka tiba-tiba sudah berada di hadapan kami.”

Farmus : “Saya tidak tahu. Seakan-akan mereka keluar dari perut bumi.”

Bahan : “Dan mana kelompokmu?”

Farmus : “Mereka dibunuh semua di tempat.”

Bahan : “Dan kamu melarikan diri untuk menyelamatkan hidupmu dengan meninggalkan mereka padahal kamu adalah pemimpinnya?!”

Farmus : “Tidak tuanku, mereka membiarkan saya dengan sengaja supaya kembali kepada kalian dengan berita sarung pedang dan kuda?”

Para hadirin : “Sarung pedang dan kuda?” Farmus : “Ya.”

Bahan : “Celakalah mereka, apa sebenarnya maksud mereka?”

Farmus : “Pemimpin mereka mengatakan kepada saya: ”Katakan kepada panglima kamu, Bahan, bahwa kami dapat mengambil kembali sarung pedang dan kuda kami sebelum perang berkecamuk. Dan ambillah sarung pedang dan kuda ini untuk kedua kalinya dan berusahalah mencegah kami untuk mengambilnya kembali di lain waktu jika kamu mampu.”

Bahan : “(Terlihat marah) celakalah dia, saya akan menunjukan kepadanya sekarang juga! Jurjah?”

Jurjah : “Ya, tuanku.”

Bahan : “Pergilah, bakar sarung pedang ini dan bunuhlah kuda itu sekarang juga!”

Jrujah : “(Dengan nada membantah) saya harus membakar sarung pedang dan membunuh kuda ini?”

Bahan : “(Dengan nada keras) ya!!”

Ibnu Qunathir: “Jangan tuanku, tidak baik kamu melakukan hal itu.”

Bahan : “Kenapa tidak? supaya yang punya tidak melihat barang miliknya lagi.”

Ibnu Qunathir: “Dia menantang kita. Karena itu kita harus mengalahkan mereka di medan perang, bukan membakar sarung pedang dan membunuh kudanya di sini.”

Dranger : “Hilangkan saja kedua barang itu tuanku, dengan begitu anda dapat beristirahat dengan tenang.” Ibnu Qunathir: “Jika itu dilakukan, maka akan menjadi aib

atau cacat yang menempel pada bangsa Romawi selamanya.“

Dranger : “Justru cacat itu jika kita mempertahankan kedua barang itu untuk diambil kembali di lain waktu.” Ibnu Qunathir: “Wahai penyebab kekalahan! siapa yang bilang

kepadamu bahwa akan ada yang dapat melakukan itu?” Bahan : “Apa pendapatmu Jabalah?”

Jabalah : “Pendapatku sama seperti pendapat Ibnu Qunathir.”

Jurjah : “Kamu benar, wahai raja Arab. Sesungguhnya orang Arab itu menyembah kuda yang kuat, oleh karena itu mereka tidak akan pernah membunuhnya sama sekali.” Jabalah : (Memandang Jurjah dengan pandangan sinis tanpa

membalas perkataannya)...?

Bahan : “(Diam sebentar kemudian menoleh ke arah Farmus) dan bagaimana kamu dapat kembali sambil membawa kedua barang itu padahal kamu sendirian?”

Farmus : “Tidak tuanku, saya tidak kembali sendirian. Sebagian dari mereka mengantar saya sampai di pinggir lembah yang berada di sebelah kita ini.” Dranger : “Mereka telah menipumu Farmus. Mereka telah

menjadikanmu sebagai penunjuk jalan kepada kita menuju arah timur.”

Dranger : “Kamu harus menolaknya walaupun mereka terpaksa membunuhmu!”

Ibnu Qunathir: “Demi tuhan saya heran dengan pendapat kamu itu, bagaimana kamu mengira kalau jalan ini tidak diketahui oleh syetan-syetan itu? Bukankah tadi saya sudah mengatakan kepadamu bahwa panglima Arab itu dapat melakukan apa saja, dapat mengerahkan pasukan kudanya ke arah timur maupun barat dan dapat mendeteksi gerakan kita?”

Dranger : “Sekarang saya dapat menambahkan lagi daftar baru kemenangan dan ramalanmu!”

Ibnu Qunathir: “Saya juga dapat menambahkan daftar baru bagi kekalahan dan khayalanmu!”

Bahan :(Tampak kemarahan di wajahnya) “Bukankah kalian dapat melanjutkan pertengkaran kalian ini di lain waktu? saya ingin memikirkan jawaban apa yang paling tepat untuk penghinaan yang kita peroleh hari ini. Jika kalian tidak mau berhenti bertengkar, keluarlah dariku (para hadirin diam seketika) beri tahu aku Farmus, berapa jumlah pasukan berkuda yang menyerangmu itu!?”

Farmus : “Tidak kurang dari lima ratus.” Bahan : “Lima ratus?”

Farmus : “Mungkin lebih banyak.”

Bahan : “Mereka mengerahkan lima ratus pasukan untuk menghadang dua puluh orang?”

Ibnu Qunathir: “Sudah jelas sekarang kalau mereka mempunyai tujuan lain selain para prajurit kita itu.”

Bahan : “Apa itu?”

Ibnu Qunathir: “Mungkin mereka ingin memutuskan jalan yang menghubungkan antara kita dengan daerah timur

sehingga tidak ada bantuan bahan makanan maupun intruksi dari kaisar.”

Bahan : “(Seakan-akan dia mengingat sesuatu yang telah dilupakannya) mana surat itu Farmus? mana surat dariku yang kamu bawa untuk diberikan kepada kaisar!?”

Farmus : “Saya telah menyobeknya supaya tidak jatuh ke tangan mereka, tuanku!”

Bahan : “Bagus Farmus. Dengan begitu mereka tidak mengetahui rencana kita sampai saat ini.”

Ibnu Qunathir: “Saya berpendapat lebih baik kita menyerang mereka sekarang juga tuanku.”

Dranger : “Jangan, kita harus menunggunya sampai mereka mengambil inisiatif untuk menyerang kita terlebih dahulu.”

Ibnu Qunathir: “Mereka sama sekali tidak akan pernah mengambil inisiatif untuk menyerang kita dulu. Keadaan mereka pada posisi yang menguntungkan sedangkan kita berada dalam posisi yang sulit. Karena itu sebaiknya kita menyerang mereka sebelum mereka bertambah kuat dan kita bertambah lemah.” Bahan : “Tidak, sebaiknya kita tidak menyerang mereka

terlebih dahulu sampai datang bala bantuan dari kaisar yang mengepung mereka dari belakang. Inilah rencananya.”

Ibnu Qunathir: “Kita kirim pasukan berkuda sekarang sebelum jalan di lembah ‘Alan sebelah barat ditutup oleh mereka untuk kita.”

Bahan : “Bagaimana pendapatmu Jabalah?” Jabalah : “Saya sependapat denganmu.”

Bahan : “Yang tersisa hanya pasukan berkudamu, Jabalah. Selain itu mereka juga lebih cepat, lebih tangkas dan lebih mirip dengan pasukan musuh.”

Jabalah : “Baiklah tuanku. Jika anda menginginkan maka saya akan berangkat sekarang dengan pasukanku.” Bahan : “Tunggu sampai waktu malam tiba.”

Jabalah : “Saya minta izin untuk mempersiapkan mereka.” (lalu Jabalah keluar).

Jurjah : “Berhati-hatilah tuanku jika hanya mengirim pasukan Arab sendirian. Kirim bersama mereka juga pasukan dari Romawi supaya mereka dapat mengawasinya.”

Ibnu Qunathir: “Apa yang kamu bicarakan, Jurjah? ocehan baru apalagi ini yang kamu perdengarkan kepada kita? apakah kamu ingin memecah belah kita?”

Jurjah : “Saya hanya menginginkan kita aman dari pengkhianatan dan persekongkolan mereka dengan orang-orang yang sebangsa dengan mereka.”

Ibnu Qunathir: “Kami tidak pernah mendengar kamu berkata begitu kecuali setelah kamu kembali dari mereka (orang-orang muslim).”

Jurjah : “Benar, selama ini saya tidak mengetahui bahaya macam apa yang akan menimpa kita kecuali setelah saya berbaur dengan mereka. Saya menemukan fakta bahwa mereka, orang-orang muslim, tidak berbeda dengan orang-orang Arab yang ada bersama kita dalam berbagai hal. Kecuali dalam hal keimanan mereka terhadap risalah agung yang mereka bawa untuk disebarkan kepada seluruh manusia.”

Ibnu Qunathir: “Saya melihat kamu berbicara tentang mereka seakan-akan kamu percaya dengan risalah yang mereka bawa!”

Jurjah : “(Tertawa terbahak-bahak) saya hanya punya ini, wahai Ibnu Qunathir. Orang-orang muslim juga menyangka saya begitu. Dan saya berbicara kepada kalian dengan apa yang mereka sangka.” (penjaga masuk).

Penjaga : “Abu Basyir al-Tanukhi, tuanku. Dia ingin menghadap.”

Bahan : “Biarkan dia masuk penjaga!”

(penjaga itu keluar kemudian masuklah Abu Basyir al-Tanukhi) berita apa yang kamu bawa, wahai Abu Basyir?”

Abu Basyir : “Saya membawakan kabar baru dari pihak musuh untuk anda, tuanku?!”

(menoleh ke kanan ke kiri seakan-akan dia khawatir kalau di antara para hadirin ada yang tidak bisa menjaga rahasia).

Bahan : “Berikan kepadaku apa yang kamu bawa. Tenang, tidak ada orang lain di sini.”

Abu Basyir : “Sejak beberapa hari telah datang bantuan pasukan dari Madinah yang jumlahnya mencapai dua ribu orang. Dan dalam waktu dekat ini mereka juga menunggu bala bantuan yang lain.”

Bahan : “Lalu apalagi?”

Abu Basyir : “Khalid bin Walid membagi pasukannya menjadi empat puluh bagian (kavaleri atau detasemen) dan pada setiap detasemen dipimpin oleh seorang yang pemberani di antara mereka.”

Bahan : “(Dengan nada yang agak grogi) empat puluh bagian?”

Jurjair : “Tanyakan kepadanya berapa jumlah pasukan pada tiap satu bagian!?”

Abu Basyir : “Antara dua ratus sampai tiga ratus orang.” Bahan : “Segitu saja?”

Abu Basyir : “Ya, hanya segitu.”

Bahan : “Kalau kita membagi pasukan kita dengan cara seperti ini, maka kita akan mempunyai lebih dari empat ratus bagian (detasemen).”

Jurjah : “Tetapi anda jangan lupa tuanku. Dalam pasukan kita ada sekitar enam puluh ribu pasukan berkuda yang berasal dari bangsa Arab!”

Bahan : “(Terkejut) pasukan Arab di pihak kita?”

Jurjah : “Ya, pasukan Arab di pihak kita. Sedangkan dalam pasukan Khalid tidak ada orang Romawi ataupun persia!”

Ibnu Qunathir: “Jurjah masih saja menyanjung kaum muslimin, pasukan dan panglima mereka.”

Jurjah : “Saya memperingatkan kalian supaya kalian tidak meremehkan kekuatan mereka.”

Ibnu Qunathir: “Tenanglah. Tidak ada di antara kita yang meremehkan kekuatan mereka.”

Bahan : “Lalu apalagi, wahai Abu Basyir?”

Abu Basyir : “Sejak beberapa hari lalu Khalid pergi menuju ke arah Damsiq dengan membawa dua detasemen pasukan.”

Farmus : “Pasti dia pemimpin kelompok yang menyerang kita di tengah jalan!”

Abu Basyir : “Ceritakan kepada saya bagaimana bentuk tubuhnya!?”

Farmus : “Tinggi besar, putih, menaiki kuda berwarna pirang dan memakai peci hitam di kepalanya.”

Abu Basyir : “Ya, itulah Khalid bin Walid.” Bahan : “Lalu apalai wahai Abu Basyir?”

Abu Basyir : “Itulah semua informasi yang saya miliki tuanku.”

(Lalu Bahan mengisyaratkan kepadanya untuk keluar, maka Abu Basyir pun keluar).

Jurjah : “Berhati-hatilah kalian kalau saja mata-mata kalian inilah yang justeru membawa berita rahasia tentang Farmus kepada kaum muslimin!”

Bahan : “Celaka kamu atas apa yang kamu katakan!”

Jurjah : “Jangan buru-buru marah dulu kepada saya tuanku. Sebab, bukankah dia yang pergi ke perkemahan orang Arab sehari sebelum pasukan penyusup Farmus berangkat?”

Ibnu quanthir: “Ini bukan dalil yang pasti.”

Dranger : “Untuk apa kita membutuhkan dalil yang pasti dalam masalah seperti ini?”

Ibnu Qunathir: “Sebaiknya kita tidak menuduh seorangpun sebelum mempunyai bukti yang pasti.”

Dranger : “Petunjuk-petunjuk yang ada terkadang dapat menjadi bukti.”

Bahan : “Celaka kalian semua, kita tidak punya mata-mata yang dapat dipercayai kaum muslimin selain laki-laki ini. Jika kita kehilangan dia, kita tidak punya penggantinya.”

Dranger : “Tapi kita harus memastikan terlebih dahulu sebelumnya, apakah dia adalah mata-mata kita atau justru mata-mata musuh.”

Jurjah : “Atau lebih baik kita tidak punya mata-mata sekalian, daripada kita punya mata-mata tetapi kita sendiri ragu tentang dirinya.”

Bahan : “(Diam dalam kebingungannya. Kemudian, secara tiba-tiba, kemarahannya meledak). Celakalah kalian, kalian telah menjadikanku ragu-ragu dalam

segala hal. Keluarlah kalian semua dari sini. (semuanya bangkit untuk keluar) Ibnu Qunathir, kamu tetap di sini. (Semua keluar selain Ibnu Qunathir) bagaimana pendapatmu tentang semua ini, tentang semua yang telah kamu dengarkan tadi?” Ibnu Qunathir: “Apakah kamu benar-benar menginginkan

pendapatku?” Bahan : “Ya.”

Ibnu Qunathir: “Tapi kamu jangan marah.”

Bahan : “Apa yang menyebabkan aku marah?”

Ibnu Qunathir: “Saya tidak meragukan kesetiaan Abu Basyir tetapi justru saya meragukan Jurjah.”

Bahan : “Jurjah?”

Ibnu Qunathir: “Ya, yang muncul dalam pikiranku adalah kalau dia telah menjual dirinya kepada kaum muslimin.” Bahan : “(Menampakkan kemarahan) hei, kamu menuduhnya

karena kamu iri kepadanya!?”

Ibnu Qunathir: “Aku iri kepadanya? untuk apa aku iri kepadanya?”

Bahan : “Kamu iri kepada kami, orang Armenia.” Ibnu quanthir: “Dalam hal apa kami iri kepada kalian?”

Bahan : “Dalam hal posisi kita di mata kaisar, dimana beliau lebih mendahulukan kita dan lebih mempercayai kita daripada kalian.”

Ibnu Qunathir: “Justru kalianlah yang iri kepada kami, karena kami menjadi rakyat sang kaisar, dan kami memiliki kemampuan dan kekuatan.”

Bahan : “Keluar dari tempatku sekarang juga!”

Ibnu Qunathir: “Saya tidak butuh perintahmu.” (Ibnu Qunathir keluar).

(Bahan mengobrak-abrik segala apa yang ada di sekitarnya dengan meluapkan kemarahan dan kebingungannya).

Dalam dokumen Episode Perang Yarmuk | Abu Dzakwan's Blog (Halaman 37-52)

Dokumen terkait