• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ergonomi dalam desain lingkungan kerja (workplace design)

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Pelayanan Internal Berorientasi Ergonomi

2.7.4 Ergonomi dalam desain lingkungan kerja (workplace design)

Lingkungan kerja sangat menentukan produktivitas kerja manusia. Lingkungan yang tidak kondusif untuk bekerja akan memberikan beban tambahan bagi tubuh, padahal tubuh sedang melaksanakan beban utama yaitu tugas yang sedang dilakukan. Lingkungan dingin, kelembaban relatif, penipisan kadar oksigen, adanya zat pencemar dalam udara, semuanya akan mempengaruhi penampilan kerja manusia. Penerangan tempat kerja, adanya kebisingan, lingkungan kimia, biologi dan lingkungan sosial di tempat kerja berpengaruh terhadap prestasi dan produktivitas kerja (Adiputra, 2008).

Mikroklimat di tempat kerja penting untuk diperhatikan. Mikroklimat ditentukan oleh temperature ruangan, kelembaban, kebisingan, intensitas cahaya, getaran, substansi kimia, dan bau-bauan (Dul dan Weerdmeester, 2003).

53

Menurut Manuaba (2004a), mikroklimat di ruang kerja ditentukan oleh suhu udara, suhu permukaan, kelembaban udara, gerakan udara, dan kualitas udara. Suhu yang dirasakan seseorang merupakan rerata dari suhu udara dan suhu permukaan. Untuk rasa nyaman, perbedaan suhu udara dan suhu permukaan hendaknya sekecil mungkin. Oleh karena itu diambil batasan agar perbedaan rerata suhu permukaan hendaknya tidak boleh lebih dari 2—3°C di atas atau di bawah suhu udara, sedangkan perbedaan suhu antara di dalam dan di luar ruangan, tidak lebih dari 4°C. Jika melebihi batas tersebut, hendaknya dibuat ruang antara untuk proses adaptasi terhadap perbedaan suhu tersebut.

Suhu udara di satu ruangan, hendaknya antara 20—24°C pada musim dingin dan antara 23—26°C di musim panas (Helander & Shuan, 2005), sedangkan kelembaban relative di suatu ruangan tidak boleh kurang dari 30% atau antara 4—60% di musim panas, merupakan kelembaban relative yang member suasana nyaman di ruangan tersebut. Suhu nyaman untuk daerah tropis adalah antara 22—28°C dengan kelembaban relatif antara 70—80% (Manuaba, 2004b).

Gerakan udara di suatu ruangan memberi pengaruh kepada suhu yang dirasakan seseorang. Agar gerakan udara tersebut tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, dianjurkan agar gerakan udara di dalam ruangan tidak lebih dari 0,2m/detik (Manuaba, 2004b).

Kroemer dan Grandjean (2000) menyatakan bahwa temperatur optimal untuk orang bekerja berkisar 24—26°C. Sementara menurut Dul dan Weerdmeester (2006) disebutkan bahwa kelembaban udara berkisar 30—70% dan gerakan udara kurang dari 0,1m/detik.

54

Ruang kerja akan terasa panas apabila mikroklimat di ruang kerja tidak diperhatikan sehingga akibatnya akan timbul respon fisiologis seperti; rasa lelah, yang diikuti dengan hilangnya efisiensi kerja mental dan fisik meningkat, denyut jantung meningkat, tekanan darah meningkat, aliran darah ke kulit juga meningkat, dan produksi keringat yang meningkat (Tarwaka, 2008).

Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang bersifat mengganggu pendengaran. Tingkat kebisingan diukur dengan dengan menggunakan Sound Level Meter. Nilai ambang batas kebisingan yaitu 45 dBA untuk industri dengan 8 jam kerja.

Tingkat kebisingan di hotel umumnya rendah. Sumber kebisingan di kamar hotel hanya dari suara kaki pelanggan hotel yang sekali-sekali lewat di sepanjang lorong hotel. Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan, hasil pengukuran tingkat kebisingan adalah sebesar 35 dBA.

Intensitas cahaya harus sesuai dengan jenis pekerjaan. Intensitas cahaya yang memadai antara lain: a) jumlah atau intensitas cahaya yang diperlukan hendaknya disesuaikan dengan jenis pekerjaan, daya lihat seseorang, dan lingkungannya; b) perlu diupayakan penampilan penglihatan sebesar 100%; c) di dalam merencanakan intensitas cahaya yang memadai, di samping efisiensi penglihatan, faktor keamanan, kenyamanan dan keselamatan perlu diperhitungkan; d) intensitas cahaya yang baik adalah minimal 200 lux, atau disesuaikan dengan jenis aktivitas di tempat tersebut; dan e) intensitas cahaya harus diutamakan pada pekerjaan pokok, kemudian pada latar belakangnya dan

55

terakhir pada lingkungannya seperti dinding, atap, lantai, dan lain-lain (Manuaba, 2004a).

Sedarmayanti (2011) menyatakan bahwa lingkungan kerja terbagi menjadi 2 (dua), yakni: (1) lingkungan kerja fisik, dan (2) lingkungan kerja non fisik. 1. Lingkungan kerja fisik lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan

berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :

a. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya)

b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.

2. Lingkungan Kerja Non Fisik

Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan. Lingkungan non fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan. (Sedarmayanti, 2011).

Lingkungan kerja juga dapat menjadi sumber kelelahan dan stres bagi karyawan hotel. Kozak, 2006; Kiliç& Selvi, 2009 menyebutkan terdapat 4 faktor di lingkungan kerja yang berisiko terhadap kesehatan termasuk peningkatan stres

56

dan kelelahan kerja karyawan, antara lain; 1) faktor fisik (suhu, kelembaban, getaran, kebisingan, pencahayaan dan radiasi), 2) faktor kimia (bahan kimia dalam bentuk gas, padat, dan cair yang mudah meledak dan terbakar), 3) faktor biologi (penyakit yang timbul dari mikroba), 4) faktor psikologis (hubungan kerja/team work).

Paparan bahan kimia berupa pembersih lantai, pembersih furniture berpengaruh terhadap kesehatan pramugraha. Sebanyak 72% pramugraha mengalami iritasi pada kulit dan mata yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang dipergunakan saat membersihkan kamar (Krause, 2005). Kondisi demikian perlu diantisipasi dengan memberikan informasi dan penjelasan terhadap karyawan mengenai bahaya lingkungan kerja terhadap kesehatan. Selain itu, karyawan perlu selalu diingatkan untuk menggunakan alat pelindung diri (APD) yang selama ini sering diabaikan oleh karyawan.

Selain kondisi lingkungan fisik, kondisi lingkungan dari faktor psikologis yaitu hubungan kerja antara karyawan yang satu dengan yang lainnya juga sangat penting dalam meningkatkan kinerja karyawan hotel sehingga dibutuhkan kerjasama tim dan kemampuan komunikasi yang baik agar tercapai kondisi kerja yang optimal.

Menurut Cohen dan Billey, 1999; Manzoor, 2011, kerjasama tim adalah kumpulan individu yang saling tergantung dalam tugas dan berbagi tanggung jawab dalam hasil pekerjaan. Dalam sebuah tim, memungkinkan orang untuk bekerjasama, keluar dari konflik antar individu, meningkatkan ketrampilan dan dapat memberikan umpan balik yang membangun (Jones dkk., 2007). Anggota

57

tim akan meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan saat bekerja dalam tim (Froebel & Marchington, 2005). Conti & Kleiner (2003) menyatakan bahwa tim memberikan partisipasi, tantangan dan prestasi yang lebih besar. Melalui tim, organisasi secara tidak langsung telah mempertahankan karyawan terbaik yang dimiliki organisasi

Salah satu cara untuk membentuk tim yang efektif dan sukses adalah dengan cara team building (membangun tim). Team building adalah suatu upaya yang dibuat dengan sadar untuk meningkatkan kinerja kelompok dalam suatu perusahaan atau organisasi. Apabila team building dilakukan secara efektif dan berkesinambungan akan memberi perubahan efektivitas kerja dan keberhasilan kerja yang jauh lebih baik daripada sebelumnya (Totong, 2011).

Dokumen terkait