• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

C. Hematologi Tikus

1. Eritrosit

waktu menyusui atau laktasi, derajat aktivitas dan faktor lingkungan (Phillis, 1978).

1. Eritrosit

Eritrosit (sel-sel darah merah) merupakan sel darah terbanyak dan hampir mendekati seluruh volume sel darah pada hewan (Breazile, 1971). Eritrosit pada unggas berbeda dengan eritrosit pada mamalia karena eritrosit unggas berinti dan berukuran besar sedangkan eritrosit mamalia merupakan sel yang tidak berinti, tidak mempunyai mitokondria, kompleks golgi, ribonukleoprotein, dan sentriole selama pematangan (Breazile, 1971). Pada awal pembentukannya, eritrosit mamalia memiliki inti, tetapi inti tersebut akan perlahan-lahan menghilang karena tekanan saat eritrosit menjadi dewasa untuk memberikan ruangan kepada hemoglobin. Eritrosit yang dewasa berbentuk ellips, intinya terletak di tengah tetapi pada umumnya berbentuk oval (Van tyne dan Berger, 1975).

Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel-sel tersebut melewati kapiler-kapiler. Dengan kata lain sel darah merah itu dianggap sebagai kantong yang dapat berubah bentuk menjadi berbagai macam bentuk, dimana perubahan bentuk ini tergantung pada lokasi organ yang dilaluinya. Bentuk normal sel darah merah adalah pelat, cekung ganda berdiameter 8 m dengan ketebalan pada bagian tengahnya kurang lebih 1 m (Guyton dan Hall, 1997).

Eritrosit dapat menunjang fungsi pernafasan dengan mensuplai oksigen yang diperlukan untuk metabolisme jaringan. Sel ini dapat membawa oksigen secara khusus dari paru-paru ke jaringan serta membantu membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Breazile, 1971). Selain itu, eritrosit berfungsi mengkatalisis reaksi antara karbondioksida dan air karena adanya kandungan enzim karbonat anhidrase dalam eritrosit (Guyton dan Hall, 1997).

Pembentukan eritrosit melalui sebuah proses yang disebut Eritropoesis. Proses pembentukan sel darah merah pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah faktor pertumbuhan yang menggertak pembentukan sel darah merah dan faktor penunjang yang berperan dalam proses pembentukan hingga proses pematangan. Faktor-faktor ini adalah

18

Burst Forming Unit Erythroid (BFU-E) dan Coloning Forming Unit Erythroid

(CFU-E) yang memiliki pengaruh langsung pada sumsum tulang sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan eritropoitin, yaitu hormon yang di hasilkan oleh ginjal untuk menggertak pembentukan sel darah merah. Adapun proses pembentukan sel darah merah memiliki beberapa tahapan, dimana

proeritroblas merupakan sel pertama yang diketahui masuk dalam rangkaian pembentukan sel-sel darah merah (Guyton, 1993).

Dari sebuah sel punca CFU-E akan didapatkan banyak sekali

proeritroblas. Kemudian sel proeritroblas ini akan membelah menjadi 8 hingga 16 sel darah merah matang yang disebut basofil eritroblas yang dapat menyerap warna basa, sel ini sedikit menyerap hemoglobin. Pada tingkatan selanjutnya terbentuk sel polikromatofil eritroblas yang mulai banyak menyerap hemoglobin. Setelah mengalami pembelahan kembali, akan terbentuk sel generasi keempat yang disebut ortokromatik eritroblas dimana sekarang warnanya lebih merah oleh adanya hemoglobin. Ketika sitoplasma sel-sel tersebut telah dipenuhi hemoglobin yang mencapai 34% dari volume sel terbentuk endoplasmiretikulum, maka sel yang terbentuk disebut retikulosis, sel inilah yang nanti akan berkembang menjadi dewasa dan diedarkan dalam sistem peredaran darah (Guyton, 1993). Adapun proses pembentukan sel darah merah dapat dilihat Gambar 1.

Gambar 1. Skema Pembentukan Sel Darah Merah (Guyton, 1993).

PROERITROBLAS

Membelah beberapa kali hingga mencapai 8-16 sel darah merah matang

BASOFIL ERITROBLAS

Sel yang dapat mengambil warna basa, sedikit mengandung Hb

POLIKROMATOFIL ERITROBLAS

Mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warna lebih merah

RETIKULOBLAS

Konsentrasi Hb berkisar 34% nukleus memadat dan ukurannya mengecil

19 Pembentukan eritrosit awal mulanya terjadi di dalam hati dan limpa sebelum sumsum tulang terbentuk, setelah terbentuk barulah di hasilkan eritrosit dari sumsum tulang. Dalam sumsum tulang, eritrosit terus diproduksi seiring dengan penghancuran atau perombakan eritrosit oleh retikulo endoplasmik sistem (RES) sehingga jumlah eritrosit dalam aliran darah konstan. Paruh hidup dari eritrosit sendiri adalah sekitar 120 hari (Guyton dan Hall, 1997). Jumlah eritrosit dalam peredaran darah dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : umur, jenis kelamin, keadaan gizi, masa laktasi, kebuntingan, produksi telur, pelepasan epinefrin, siklus estrus, volume darah (Hemodilusi dan Hemokonsentrasi), waktu harian, temperatur lingkungan, dan ketinggian (Swenson, 1984).

Menurut Dranville (1972) jumlah normal sel darah merah tikus berkisar 7.2-9.6 juta/L. Lama masa hidup eritrosit relatif tetap, sehingga menyebabkan jumlahnya tetap karena setiap hari sel eritrosit tua akan dihancurkan oleh retikulo endoplasmik sistem (RES). Dalam sistem pembentukannya eritrosit tergantung dari kecepatan pembentukan dalam sumsum tulang, yang dikontrol oleh sejenis hormon yang disebut eritropoitin yang merupakan molekul glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 40.000 Da (Guyton, 1993). Pada kasus-kasus hipoksia, jumlah hormon eritropoitin meningkat sehingga jumlah eritrosit juga meningkat. Meningkatnya hormon ini diakibatkan peranan ginjal, tetapi tempat pembentukan hormon ini belum diketahui secara pasti. Pengaruh

eritropoitin dalam pembentukan sel darah merah sangat besar, yaitu merangsang pembentukan eritroblas dari sel-sel punca hematopoetik. Hormon

eritropoitin juga dapat merangsang proses pembelahan sel menjadi lebih cepat (Guyton, 1993). Adapun peranan hormon eritropoitin disajikan pada Gambar 2.

2. Leukosit (Sel Darah Putih)

Leukosit atau sel darah putih merupakan unit termobil atau aktif dalam sistem pertahanan tubuh (Guyton et al., 1996). Leukosit mempunyai bentuk yang beragam yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari banyak penyakit seperti bakteri, virus, dan parasit (Svendsen, 1974). Leukosit memiliki inti dan

20 Gambar 2. Mekanisme eritropoetin dalam meningkatkan produksi eritrosit

(Guyton, 1993).

bersifat amuboid (Bell, 1965). Menurut Svendsen (1974) terdapat dua golongan leukosit yaitu : polimorfonuklear/granulosit (neutrofil, eosofil, basofil) dan mononuklear/agranulosit (limfosit dan monosit).

Dalam menjalankan fungsinya leukosit menggunakan darah sebagai media transportasi dari sumber pembentukkannya menuju jaringan-jaringan di dalam tubuh (Kelly, 1984). Sirkulasi darah sebagai media transportasi akan membawa sel-sel leukosit menuju lokasi invasi mikrooganisme atau perlukaan di dalam jaringan. Adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah

Anemia

Penurunan volume darah Hemoglobin rendah Gangguan aliran darah Penyakit pulmonum Enzim Primer plasma Di fetus Inaktif oleh 5-10% di dewasa neuroamidase

Pluripotensial sel punca Eritroid Pembelahan dan Progenitor pematangan Eritrosit dewasa HIPOKSIA HATI Sel kuffer GINJAL

Peningkatan PGE di medulla Peningkatan cAMP di Korteks

ERITROPOETIN Eritrogenin

21 akan menyebabkan sel-sel leukosit melakukan migrasi ke dalam jaringan (Martini et al, 1992).

Leukosit memiliki lebih dari satu jenis sel yang bersirkulasi dengan fungsi yang berbeda-beda dalam kurun waktu yang bersamaan (Raphael, 1987). Sejumlah besar leukosit keluar dari dalam tubuh melalui saliva, susu dan saluran mekanisme pertahanan tubuh melawan penyakit (Kelly, 1984).

Menurut Martini et al. (1992) adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah akan menyebabkan sel-sel leukosit bermigrasi ke dalam jaringan luka/infeksi. Secara fisiologis terjadi akibat peningkatan jumlah sel neutrofil atau sel limfosit di dalam sirkulasi darah dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total dan nilai absolut kedua sel tersebut. Peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara fisik maupun emosional atau akibat penyakit yang diderita dapat menyebabkan jumlah leukosit meningkat (Jain, 1993), sedangkan pada leukositosis patologis, peningkatan leukosit dalam darah disebabkan leukosit aktif dalam melawan infeksi dalam tubuh. Kondisi ini dapat meningkatkan jumlah leukosit hingga 20.000-40.000/ l (Doxey, 1971).

Jumlah total leukosit per mililiter darah adalah refleksi dari keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan berbagai jaringan terhadap leukosit. Aktivitas yang cukup akan mempengaruhi jumlah total leukosit dalam keadaan sehat (Schalm dan Carrol, 1975). Dalam keadaan normal sebagian leukosit bersirkulasi dalam seluruh aliran darah, kira-kira tiga kali jumlah leukosit yang disimpan dalam sumsum tulang (Guyton at al., 1996).

3. Hemoglobin

Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen yang membawa oksigen dalam sel darah merah. Pembentukan hemoglobin dimulai dalam eritroblas pada stadium retikulosis kemudian diteruskan sampai sel eritrosit matang (Schalm et al., 1975). Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme (Guyton, 1993).

22 Hemoglobin terbentuk dari dua komponen yaitu heme dan globin. Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi (Guyton, 1993). Heme mengandung protoporphirin dan ion Fe yang disintesis dalam mitokondria (Schalm et al., 1975). Dari beberapa penelitian dengan menggunakan isotop, pembentukan heme banyak terjadi di dalam mitokondria (Guyton, 1997). Kandungan zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami perusakan, akan segera menuju ke hati, kemudian akan dipergunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin baru (Ganong, 1995), sedangkan globin adalah suatu polipeptida untuk pembentukan hemoglobin yang disintesis dalam sitoplasma sel darah merah (Schalm et al., 1975).

Sifat dasar rantai hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen, tetapi jika ada gangguan akan mengubah sifat-sifat fisik molekul hemoglobin (Guyton, 1997). Berat molekul hemoglobin 64.450 yang berbentuk bulat terdiri dari 4 subunit (Ganong, 1995). Biosintesis hemoglobin terjadi terus-menerus selama proses

Eritropoesis hingga tahapan selanjutnya dalam perkembangan sel darah merah. Pembentukan hemoglobin terus berlangsung selama inti masih ada dalam sel, baik di dalam sel yang berada dalam sumsum tulang maupun didalam sirkulasi darah (Swenson, 1970). Lebih lanjut Swenson menegaskan bahwa hemoglobin berhubungan dengan oksigen. Pada saat eritrosit melewati kapiler paru-paru akan terjadi proses pengikatan O2 oleh Hb membentuk oksihemoglobin dan ketika melewati jaringan, oksigen yang terikat akan dibebaskan. Intensitas warna pada Hb tergantung keberadaan atau jumlah oksigen dalam eritrosit. Jika O2 banyak maka akan berwarna lebih terang sedangkan jika Hb mengalami reduksi akan berwarna lebih gelap atau ungu. Hemoglobin juga mampu berikatan dengan karbon monoksida membentuk ikatan karboksihemoglobin dan memiliki ikatan 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan ikatan dengan oksigen (Swenson, 1970).

4. Trombosit

Darah terdiri dari plasma dan sel-sel darah. Sebanyak 45% dari volume darah terdiri dari sel-sel darah dan 55% terdiri dari plasma. Elemen darah

23 terbentuk oleh tiga jenis sel, yaitu sel darah merah (RBC- red blood cell), sel darah putih (WBC- white blood cell) dan sel pembekuan darah (trombosit). Trombosit mempunyai ukuran yang sangat kecil yaitu sebesar 2 m. Trombosit tidak mempunyai inti sel dan merupakan fragmen sel, dan berbentuk giant cell

di dalam sumsum tulang belakang (Gadjahnata, 1989).

Keping-keping darah atau sering dikenal dengan sebutan trombosit berukuran kecil, tidak berwarna, dan berbentuk bulat atau batang (dalam sirkulasi darah hewan). Besar trombosit bermacam-macam, pada mamalia rata-rata berdiameter 3 , dalam keadaan tertentu dapat berukuran besar. Pada ayam dan spesies lain di bawah mamalia, trombosit mempunyai inti dan biasanya berbentuk oval dengan lebar 3-5 m dan panjang 7-10 m. Trombosit dibentuk di hati fetus, limpa, dan sumsum tulang. Pada mamalia dewasa, sumsum tulang merupakan tempat pembentukan utama. Trombosit berasal dari megakariosit dan jumlahnya paling banyak pada darah yang bersirkulasi. Jumlah trombosit tergantung pada spesies hewan. Pada individu yang sama, jumlah trombosit darah vena dan arteri berbeda (Supriatna, 1988).

Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit dibentuk di sumsum tulang belakang dari megakariosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik dalam sumsum tulang belakang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam sumsum tulang atau segera setelah memasuki darah. Trombosit mempunyai banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah sel, walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Membran sel trombosit juga memegang peranan yang penting. Di permukaannya terdapat lapisan glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari pelekatan pada endotel normal dan justru melekat pada dinding pembuluh yang terluka, terutama pada sel-sel endotel yang rusak, dan bahkan melekat pada jaringan kolagen yang terbuka pada bagian pembuluh. Waktu paruh hidup trombosit dalam darah berkisar antara 8-12 hari, setelah itu proses kehidupannya berakhir. Trombosit kemudian diambil dari sirkulasi oleh sistem makrofag jaringan dan diganti dengan sel yang baru.

Menurut Sacher dan McPheson (2000), trombosit mempunyai dua fungsi yang berbeda: (1) Melindungi integritas endotel pembuluh darah, dan

24 (2) Memulai perbaikan apabila terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah. Interaksi trombosit dengan dinding pembuluh ini disebut hemostatis primer. Orang yang trombositnya terganggu dalam hal fungsi atau jumlah akan mengalami ptekie pada kulit dan selaput lendir. Mereka juga tidak dapat menghentikan pendarahan yang terjadi akibat cendera sengaja atau tidak sengaja pada pembuluh darah.

Trombosit berfungsi dalam sistem pembekuan darah, dari trombosis jaringan yang rusak akan dikeluarkan tromboplastin yang bereaksi dengan protrombin dan kalsium membentuk trombin. Trombin akan bereaksi dengan fibrinogen membentuk fibrin yang akan menutupi jaringan yang terluka (Gadjahnata, 1989). Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit memegang peranan yang penting dalam mengubah protrombin menjadi trombin, karena banyak protrombin mula-mula melekat pada reseptor trombosit yang telah berikatan dengan jaringan yang rusak. Pengikatan ini akan mempercepat pembentukan trombin dari protrombin. Mekanisme terbentuknya benang fibrin yang akan menutup jaringan yang rusak dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen membentuk benang fibrin ( Guyton dan Hall, 1996).

Trombosit adalah fragmen sitoplasma prekusor sel induk, yaitu megakariosit. Ukuran trombosit bervariasi dan beredar selama kurang lebih 10 Trombin faktor stabilisasi

fibrin yang teraktivasi

Protrombin

Trombin

Fibrinogen Fibrinogen

monomer

Benang- benang fibrin

25 hari sebagai sel berbentuk piringan dan tidak berinti. Pembentukan trombosit dilakukan oleh trombopoietin, yang analog dengan eritropoietin pada pembentukan eritrosit. Trombopoietin memiliki homologi yang subtansial dengan eritropoietin dan tidak hanya meningkatkan produksi trombosit, tetapi juga proliferasi megakariosit (Sacher dan McPherson, 2000).

Gangguan pada jumlah atau fungsi trombosit menyebabkan pemanjangan waktu pendarahan dan kelainan pembentukan bekuan. Keadaan dimana jumlah trombosit darah berkurang disebut dengan trombositopenia. Ini terjadi saat trombosit menghilang dari sirkulasi lebih cepat sebelum waktunya dan belum digantikan oleh trombosit baru. Trombositopenia juga dapat diakibatkan oleh gagalnya produksi trombosit yang masih ada dalam sirkulasi darah. Menurut Sacher dan McPherson (2000), penyebab utama trombositopenia dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) Kegagalan sumsum tulang belang untuk menghasilkan trombosit dalam jumlah memadai, dan (2) Peningkatan destruksi perifer atau sekuestrasi trombosit.

5. Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah suatu persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PVC sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Menurut Hodges (1977), nilai hematokrit menurun dengan bertambahnya temperatur dan dapat meningkat dalam temperatur yang lebih rendah. Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia dimana jumlah eritrosit lebih banyak dibanding dengan jumlah normal.

F. Hematology Analyzer

Hematology analyzer (Gambar 4) merupakan suatu alat yang digunakan untuk memeriksa darah. Fungsi alat ini untuk menghitung jumlah sel-sel darah. Alat hematology analyzer ini dapat menghitung berbagai macam sel darah, seperti perhitungan volume rata-rata sel darah merah/Mean Cell Volume

26 dan masih banyak parameter yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan alatnya.

Alat Hematology analyzer yang dipakai pada penelitian ini berada di di Labkesda, Jln. Kesehatan No.3 Tanah Sareal, kota Bogor. Tipe alatnya yaitu

Hemavet HV950FS multispecies hematology analyser. Prosedur penggunaan dari alat ini dapat dilihat pada Lampiran 14.

Menurut Sofie (1994), dalam menghitung jumlah sel-sel darah alat ini mampu bekerja ganda. Pertama, metode otomatik optik mendasarkan pada pengumpulan hamburan cahaya dari sel-sel darah dan mengonversinya ke dalam bentuk pulsa-pulsa listrik untuk dihitung. Untuk analisis hemoglobin. Prinsip kerjanya : Cahaya sebagai sumber sinar dilewatkan melalui aliran sel kemudian diteruskan ke detektor cahaya seperti photo multiplier. Jika ada sel yang lewat maka cahaya yang ke detektor akan terhalang oleh sel. Besar kecilnya sel akan mempengaruhi banyak atau sedikitnya cahaya yang ke detektor. Detektor akan mengonversinya ke dalam pulsa-pulsa listrik dengan amplitudo yang berbeda-beda. Untuk hemoglobin diperlukan cahaya dengan panjang gelombang 535 nm. Pulsa-pulsa ini kemudian dikuatkan oleh amplifier berimpedansi inputan tinggi. Setelah melalui amplifier pulsa-pulsa ini masuk discriminator amplitudo yang dapat diatur untuk memilah-milah pulsa yang benar-benar dari sel. Kemudian dihitung dan ditampilkan ke penampil (display). Teknik ini membutuhkan waktu 30 detik untuk sekali proses penghitungan secara lengkap. Sistem ini memerlukan kurang lebih satu mililiter sample darah.

Metode kedua yaitu metode elektrik konduksi, menggunakan prinsip mengukur perubahan konduktivitas yang terjadi pada saat tiap sel melewati sebuah lubang sel pada orifice (ruang penghitungan). Prinsip ini dikenal dengan nama Coulter Counter. Untuk analisis sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Prinsip pengukurannya, darah bukanlah konduktor yang baik dan pelarut yang digunakan adalah konduktor yang baik. Metode ini menggunakan dua buah elektrode, yang satu diletakkan dalam orifice dan yang lainnya ditempatkan di luarnya. Di antara kedua elektrode (terbuat dari platinum) itu dialirkan arus listrik konstan. Penghitungan sel terjadi saat sel-sel

27 darah dialirkan melewati lubang bersama mengalirnya larutan (reagen). Pada saat tidak ada sel yang melewati lubang orifice maka resistansi antara dua elektrode sangat kecil. Tetapi pada saat sebuah sel melewati lubang orifice maka resistansi akan menjadi besar, maka pulsa tegangan akan tebentuk sesuai dengan besar atau volume sel. Untuk mendapatkan hasil yang optimum maka panjang lubang harus 75% dari ukuran diameternya.

Reagen yang digunakan untuk analisis sel darah merah adalah Larutan Lyse dan Diluent (1:50.000), Sel darah putih menggunakan Larutan Lyse (1:5000), dan Trombosit menggunakan Larutan Diluent. Larutan Lyse digunakan sebagai reagent yang mempunyai konduktifitas tinggi. Larutan lyse terdiri dari Garam ammonium < 50 g/L, Nonion surfaktan < 15 g/L, Isopropyl 0,1-1,5 ml/L, Etanol < 1,5 ml/L.

28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat 1. Bahan

a. Tikus Percobaan

Tikus percobaan yang digunakan merupakan tikus jantan jenis

Albino Norway Rats (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu hasil pengembangbiakan Badan POM RI.

b. Bahan Makanan Tikus

Bahan yang digunakan sebagai makanan tikus dalam penelitian ini adalah pati jagung, minyak jagung, kasein, mineral mix, vitamin mix, CMC, dan air.

c. Bahan Pembuatan Kultur BAL dan EPEC

Bahan yang digunakan media de Man Rogosa Sharpe Broth

(MRSB), media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA), media Nutrien Agar, media Nutrien Broth, dan standar Mc. Farland no 0.5.

c. Bahan Analisis

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembedahan tikus antara lain alkohol 70% dan kapas. Bahan untuk analisis hematologi antara lain cube yang berisi larutan EDTA, batu es, larutan lyse dan diluent.

2. Alat

a. Alat Pemeliharaan Tikus

Alat yang digunakan untuk memelihara tikus dan membuat makanan tikus adalah kandang metabolik, botol minum, timbangan, baskom plastik, dan blender.

b. Alat Pembedahan Tikus

Alat yang digunakan dalam pembedahan tikus adalah papan bedah, gunting dan jarum suntik.

c. Alat Analisis

Alat yang digunakan untuk analisis hematologi menggunakan “Hematology Analyzer” yang berada di Labkesda, Bogor.

29

B. Metoda Penelitian

1. Tahap 1 Pembuatan kultur

a. Pembuatan Kultur BAL L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4.

Kultur induk L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4 dari penelitian Arief (2008) disegarkan terlebih dahulu pada media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB). Kemudian dari kultur yang disegarkan tersebut dibuat kultur kerja. Setelah itu, kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk diketahui populasinya. Kultur yang memenuhi syarat untuk digunakan cekok pada tikus percobaan yaitu kultur dengan jumlah populasi 108 cfu/ml.

Kultur stok yang telah dibuat perlu diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang. Pemeliharaan kultur stok pada penelitian ini akan menggunakan metode Hariyadi et al. (2001) dengan cara membuat tusukan kultur pada MRSA chalk semisolid, kemudian menginokulasikannya pada MRSB, lalu kultur tersebut dapat disimpan di refrigerator.

b. Pembuatan Kultur EPEC

Kultur EPEC dibiakkan pada media Nutrien Agar selama 24 jam pada suhu 37°C untuk dijadikan kultur kerja. Setelah itu diambil sebanyak satu ose kultur kerja tersebut lalu dibiakkan ke dalam tabung berisi media Nutrien Broth. Setelah 24 jam kultur bakteri uji disetarakan kekeruhannya dengan standar Mc. Farland no 0.5, yang memiliki kesetaraan dengan jumlah populasi bakteri sebesar 8x108 sel bakteri/ml. Suspensi bakteri EPEC yang terbentuk kemudian diencerkan sampai diperoleh konsentrasi 8x106 sel bakteri/ml.

2. Tahap 2 Pengujian In vivo

a. Pengelolaan Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih albino Norway rats (Rattus novergicus) galur Sprague

30

Dawley umur 5-6 minggu berjenis kelamin jantan hasil pengembangbiakan dari Badan POM RI.

b. Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakanadalah kandang yang berukuran 17,5 x 23,75 x 17,5 cm milik Laboratorium Hewan Percobaan Seafast, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan. Kandang terbuat dari stainless steel. Kandang tikus harus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai harus mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24 ºC dan kelembaban udara 50 – 60 %, dengan ventilasi yang cukup (namun tidak ada jendela terbuka) (Muchtadi 1993).

c. Persiapan dan Pembuatan Ransum

Ransum yang diberikan kepada tikus percobaan mengacu pada AOAC (Association of Official Agricultural Chemists) (Muchtadi et al., 1992). Komposisi ransum standar disusun berdasarkan standar AOAC seperti pada Tabel 7. Semua kelompok tikus diberikan ransum standar.

Tabel 7. Komposisi Ransum Standar

Bahan-bahan campuran Jumlah (%)

Protein kasein Minyak jagung Campuran mineral Campuran vitamin CMC Air

Maizena (pati jagung)

10 8 5 1 1 5 Untuk membuat 100% Sumber : Muchtadi et al. (1992).

d. Perlakuan anti-E.coli Enteropatogenik (EPEC) secara in vivo

Pengujian ini dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al.

(2008) hanya berbeda bakteri patogen yang digunakan. Dua buah

Dokumen terkait