• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

E. Darah

Seluruh cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen utama yaitu cairan ekstraselular dan cairan intraselular. Cairan ekstraselular ini dibagi menjadi cairan ekstravaskular dan cairan intravaskular. Cairan ekstravaskular terdiri dari cairan interstitial yang merupakan tiga perempat cairan ekstravaskular dan cairan intravaskular yang terdiri dari plasma darah (Guyton dan Hall, 1997).

Darah merupakan kumpulan elemen-elemen dalam bentuk suspensi atau kumpulan sel yang terendam di dalam cairan transparan berwarna kuning yang disebut plasma darah (Williams, 1987). Darah merupakan cairan yang terdiri dari plasma, sel-sel darah dan trombosit. Plasma mengandung zat-zat yang penting dalam proses digesti (asam-asam urat dan kreatin) dari metabolisme, antibodi, karbondioksida, garam inorganik, dan protein seperti albumin, globulin, dan fibrinogren (Van Tyne dan Berger, 1975).

Menurut ini Martini et al. (1992) darah mempunyai beberapa fungsi di dalam sirkulasi diantaranya: (1) Membawa oksigen dari paru-paru ke dalam jaringan dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru, (2) Mendistribusikan nutrisi yang diserap dari saluran pencernaan, (3) Membawa sisa metabolit dari jaringan perifer ke tempat-tempat eksresi, (4) Membawa enzim dan hormon ke organ lain dalam tubuh, (5) Mengatur pH dan komposisi elektrolit cairan interstitial dalam tubuh, (6) Membantu tubuh melawan toksin dan bahan-bahan patogen dengan membawa sel-sel darah putih bermigrasi ke dalam jaringan yang terinfeksi.

Volume sel darah umumnya 6-8% dari berat badan, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan volume plasma. Volume darah hewan dipengaruhi oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh,

17 waktu menyusui atau laktasi, derajat aktivitas dan faktor lingkungan (Phillis, 1978).

1. Eritrosit

Eritrosit (sel-sel darah merah) merupakan sel darah terbanyak dan hampir mendekati seluruh volume sel darah pada hewan (Breazile, 1971). Eritrosit pada unggas berbeda dengan eritrosit pada mamalia karena eritrosit unggas berinti dan berukuran besar sedangkan eritrosit mamalia merupakan sel yang tidak berinti, tidak mempunyai mitokondria, kompleks golgi, ribonukleoprotein, dan sentriole selama pematangan (Breazile, 1971). Pada awal pembentukannya, eritrosit mamalia memiliki inti, tetapi inti tersebut akan perlahan-lahan menghilang karena tekanan saat eritrosit menjadi dewasa untuk memberikan ruangan kepada hemoglobin. Eritrosit yang dewasa berbentuk ellips, intinya terletak di tengah tetapi pada umumnya berbentuk oval (Van tyne dan Berger, 1975).

Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel-sel tersebut melewati kapiler-kapiler. Dengan kata lain sel darah merah itu dianggap sebagai kantong yang dapat berubah bentuk menjadi berbagai macam bentuk, dimana perubahan bentuk ini tergantung pada lokasi organ yang dilaluinya. Bentuk normal sel darah merah adalah pelat, cekung ganda berdiameter 8 m dengan ketebalan pada bagian tengahnya kurang lebih 1 m (Guyton dan Hall, 1997).

Eritrosit dapat menunjang fungsi pernafasan dengan mensuplai oksigen yang diperlukan untuk metabolisme jaringan. Sel ini dapat membawa oksigen secara khusus dari paru-paru ke jaringan serta membantu membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Breazile, 1971). Selain itu, eritrosit berfungsi mengkatalisis reaksi antara karbondioksida dan air karena adanya kandungan enzim karbonat anhidrase dalam eritrosit (Guyton dan Hall, 1997).

Pembentukan eritrosit melalui sebuah proses yang disebut Eritropoesis. Proses pembentukan sel darah merah pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah faktor pertumbuhan yang menggertak pembentukan sel darah merah dan faktor penunjang yang berperan dalam proses pembentukan hingga proses pematangan. Faktor-faktor ini adalah

18

Burst Forming Unit Erythroid (BFU-E) dan Coloning Forming Unit Erythroid

(CFU-E) yang memiliki pengaruh langsung pada sumsum tulang sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan eritropoitin, yaitu hormon yang di hasilkan oleh ginjal untuk menggertak pembentukan sel darah merah. Adapun proses pembentukan sel darah merah memiliki beberapa tahapan, dimana

proeritroblas merupakan sel pertama yang diketahui masuk dalam rangkaian pembentukan sel-sel darah merah (Guyton, 1993).

Dari sebuah sel punca CFU-E akan didapatkan banyak sekali

proeritroblas. Kemudian sel proeritroblas ini akan membelah menjadi 8 hingga 16 sel darah merah matang yang disebut basofil eritroblas yang dapat menyerap warna basa, sel ini sedikit menyerap hemoglobin. Pada tingkatan selanjutnya terbentuk sel polikromatofil eritroblas yang mulai banyak menyerap hemoglobin. Setelah mengalami pembelahan kembali, akan terbentuk sel generasi keempat yang disebut ortokromatik eritroblas dimana sekarang warnanya lebih merah oleh adanya hemoglobin. Ketika sitoplasma sel-sel tersebut telah dipenuhi hemoglobin yang mencapai 34% dari volume sel terbentuk endoplasmiretikulum, maka sel yang terbentuk disebut retikulosis, sel inilah yang nanti akan berkembang menjadi dewasa dan diedarkan dalam sistem peredaran darah (Guyton, 1993). Adapun proses pembentukan sel darah merah dapat dilihat Gambar 1.

Gambar 1. Skema Pembentukan Sel Darah Merah (Guyton, 1993).

PROERITROBLAS

Membelah beberapa kali hingga mencapai 8-16 sel darah merah matang

BASOFIL ERITROBLAS

Sel yang dapat mengambil warna basa, sedikit mengandung Hb

POLIKROMATOFIL ERITROBLAS

Mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warna lebih merah

RETIKULOBLAS

Konsentrasi Hb berkisar 34% nukleus memadat dan ukurannya mengecil

19 Pembentukan eritrosit awal mulanya terjadi di dalam hati dan limpa sebelum sumsum tulang terbentuk, setelah terbentuk barulah di hasilkan eritrosit dari sumsum tulang. Dalam sumsum tulang, eritrosit terus diproduksi seiring dengan penghancuran atau perombakan eritrosit oleh retikulo endoplasmik sistem (RES) sehingga jumlah eritrosit dalam aliran darah konstan. Paruh hidup dari eritrosit sendiri adalah sekitar 120 hari (Guyton dan Hall, 1997). Jumlah eritrosit dalam peredaran darah dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : umur, jenis kelamin, keadaan gizi, masa laktasi, kebuntingan, produksi telur, pelepasan epinefrin, siklus estrus, volume darah (Hemodilusi dan Hemokonsentrasi), waktu harian, temperatur lingkungan, dan ketinggian (Swenson, 1984).

Menurut Dranville (1972) jumlah normal sel darah merah tikus berkisar 7.2-9.6 juta/L. Lama masa hidup eritrosit relatif tetap, sehingga menyebabkan jumlahnya tetap karena setiap hari sel eritrosit tua akan dihancurkan oleh retikulo endoplasmik sistem (RES). Dalam sistem pembentukannya eritrosit tergantung dari kecepatan pembentukan dalam sumsum tulang, yang dikontrol oleh sejenis hormon yang disebut eritropoitin yang merupakan molekul glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 40.000 Da (Guyton, 1993). Pada kasus-kasus hipoksia, jumlah hormon eritropoitin meningkat sehingga jumlah eritrosit juga meningkat. Meningkatnya hormon ini diakibatkan peranan ginjal, tetapi tempat pembentukan hormon ini belum diketahui secara pasti. Pengaruh

eritropoitin dalam pembentukan sel darah merah sangat besar, yaitu merangsang pembentukan eritroblas dari sel-sel punca hematopoetik. Hormon

eritropoitin juga dapat merangsang proses pembelahan sel menjadi lebih cepat (Guyton, 1993). Adapun peranan hormon eritropoitin disajikan pada Gambar 2.

2. Leukosit (Sel Darah Putih)

Leukosit atau sel darah putih merupakan unit termobil atau aktif dalam sistem pertahanan tubuh (Guyton et al., 1996). Leukosit mempunyai bentuk yang beragam yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari banyak penyakit seperti bakteri, virus, dan parasit (Svendsen, 1974). Leukosit memiliki inti dan

20 Gambar 2. Mekanisme eritropoetin dalam meningkatkan produksi eritrosit

(Guyton, 1993).

bersifat amuboid (Bell, 1965). Menurut Svendsen (1974) terdapat dua golongan leukosit yaitu : polimorfonuklear/granulosit (neutrofil, eosofil, basofil) dan mononuklear/agranulosit (limfosit dan monosit).

Dalam menjalankan fungsinya leukosit menggunakan darah sebagai media transportasi dari sumber pembentukkannya menuju jaringan-jaringan di dalam tubuh (Kelly, 1984). Sirkulasi darah sebagai media transportasi akan membawa sel-sel leukosit menuju lokasi invasi mikrooganisme atau perlukaan di dalam jaringan. Adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah

Anemia

Penurunan volume darah Hemoglobin rendah Gangguan aliran darah Penyakit pulmonum Enzim Primer plasma Di fetus Inaktif oleh 5-10% di dewasa neuroamidase

Pluripotensial sel punca Eritroid Pembelahan dan Progenitor pematangan Eritrosit dewasa HIPOKSIA HATI Sel kuffer GINJAL

Peningkatan PGE di medulla Peningkatan cAMP di Korteks

ERITROPOETIN Eritrogenin

21 akan menyebabkan sel-sel leukosit melakukan migrasi ke dalam jaringan (Martini et al, 1992).

Leukosit memiliki lebih dari satu jenis sel yang bersirkulasi dengan fungsi yang berbeda-beda dalam kurun waktu yang bersamaan (Raphael, 1987). Sejumlah besar leukosit keluar dari dalam tubuh melalui saliva, susu dan saluran mekanisme pertahanan tubuh melawan penyakit (Kelly, 1984).

Menurut Martini et al. (1992) adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah akan menyebabkan sel-sel leukosit bermigrasi ke dalam jaringan luka/infeksi. Secara fisiologis terjadi akibat peningkatan jumlah sel neutrofil atau sel limfosit di dalam sirkulasi darah dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total dan nilai absolut kedua sel tersebut. Peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara fisik maupun emosional atau akibat penyakit yang diderita dapat menyebabkan jumlah leukosit meningkat (Jain, 1993), sedangkan pada leukositosis patologis, peningkatan leukosit dalam darah disebabkan leukosit aktif dalam melawan infeksi dalam tubuh. Kondisi ini dapat meningkatkan jumlah leukosit hingga 20.000-40.000/ l (Doxey, 1971).

Jumlah total leukosit per mililiter darah adalah refleksi dari keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan berbagai jaringan terhadap leukosit. Aktivitas yang cukup akan mempengaruhi jumlah total leukosit dalam keadaan sehat (Schalm dan Carrol, 1975). Dalam keadaan normal sebagian leukosit bersirkulasi dalam seluruh aliran darah, kira-kira tiga kali jumlah leukosit yang disimpan dalam sumsum tulang (Guyton at al., 1996).

3. Hemoglobin

Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen yang membawa oksigen dalam sel darah merah. Pembentukan hemoglobin dimulai dalam eritroblas pada stadium retikulosis kemudian diteruskan sampai sel eritrosit matang (Schalm et al., 1975). Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme (Guyton, 1993).

22 Hemoglobin terbentuk dari dua komponen yaitu heme dan globin. Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi (Guyton, 1993). Heme mengandung protoporphirin dan ion Fe yang disintesis dalam mitokondria (Schalm et al., 1975). Dari beberapa penelitian dengan menggunakan isotop, pembentukan heme banyak terjadi di dalam mitokondria (Guyton, 1997). Kandungan zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami perusakan, akan segera menuju ke hati, kemudian akan dipergunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin baru (Ganong, 1995), sedangkan globin adalah suatu polipeptida untuk pembentukan hemoglobin yang disintesis dalam sitoplasma sel darah merah (Schalm et al., 1975).

Sifat dasar rantai hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen, tetapi jika ada gangguan akan mengubah sifat-sifat fisik molekul hemoglobin (Guyton, 1997). Berat molekul hemoglobin 64.450 yang berbentuk bulat terdiri dari 4 subunit (Ganong, 1995). Biosintesis hemoglobin terjadi terus-menerus selama proses

Eritropoesis hingga tahapan selanjutnya dalam perkembangan sel darah merah. Pembentukan hemoglobin terus berlangsung selama inti masih ada dalam sel, baik di dalam sel yang berada dalam sumsum tulang maupun didalam sirkulasi darah (Swenson, 1970). Lebih lanjut Swenson menegaskan bahwa hemoglobin berhubungan dengan oksigen. Pada saat eritrosit melewati kapiler paru-paru akan terjadi proses pengikatan O2 oleh Hb membentuk oksihemoglobin dan ketika melewati jaringan, oksigen yang terikat akan dibebaskan. Intensitas warna pada Hb tergantung keberadaan atau jumlah oksigen dalam eritrosit. Jika O2 banyak maka akan berwarna lebih terang sedangkan jika Hb mengalami reduksi akan berwarna lebih gelap atau ungu. Hemoglobin juga mampu berikatan dengan karbon monoksida membentuk ikatan karboksihemoglobin dan memiliki ikatan 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan ikatan dengan oksigen (Swenson, 1970).

4. Trombosit

Darah terdiri dari plasma dan sel-sel darah. Sebanyak 45% dari volume darah terdiri dari sel-sel darah dan 55% terdiri dari plasma. Elemen darah

23 terbentuk oleh tiga jenis sel, yaitu sel darah merah (RBC- red blood cell), sel darah putih (WBC- white blood cell) dan sel pembekuan darah (trombosit). Trombosit mempunyai ukuran yang sangat kecil yaitu sebesar 2 m. Trombosit tidak mempunyai inti sel dan merupakan fragmen sel, dan berbentuk giant cell

di dalam sumsum tulang belakang (Gadjahnata, 1989).

Keping-keping darah atau sering dikenal dengan sebutan trombosit berukuran kecil, tidak berwarna, dan berbentuk bulat atau batang (dalam sirkulasi darah hewan). Besar trombosit bermacam-macam, pada mamalia rata-rata berdiameter 3 , dalam keadaan tertentu dapat berukuran besar. Pada ayam dan spesies lain di bawah mamalia, trombosit mempunyai inti dan biasanya berbentuk oval dengan lebar 3-5 m dan panjang 7-10 m. Trombosit dibentuk di hati fetus, limpa, dan sumsum tulang. Pada mamalia dewasa, sumsum tulang merupakan tempat pembentukan utama. Trombosit berasal dari megakariosit dan jumlahnya paling banyak pada darah yang bersirkulasi. Jumlah trombosit tergantung pada spesies hewan. Pada individu yang sama, jumlah trombosit darah vena dan arteri berbeda (Supriatna, 1988).

Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit dibentuk di sumsum tulang belakang dari megakariosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik dalam sumsum tulang belakang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam sumsum tulang atau segera setelah memasuki darah. Trombosit mempunyai banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah sel, walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Membran sel trombosit juga memegang peranan yang penting. Di permukaannya terdapat lapisan glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari pelekatan pada endotel normal dan justru melekat pada dinding pembuluh yang terluka, terutama pada sel-sel endotel yang rusak, dan bahkan melekat pada jaringan kolagen yang terbuka pada bagian pembuluh. Waktu paruh hidup trombosit dalam darah berkisar antara 8-12 hari, setelah itu proses kehidupannya berakhir. Trombosit kemudian diambil dari sirkulasi oleh sistem makrofag jaringan dan diganti dengan sel yang baru.

Menurut Sacher dan McPheson (2000), trombosit mempunyai dua fungsi yang berbeda: (1) Melindungi integritas endotel pembuluh darah, dan

24 (2) Memulai perbaikan apabila terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah. Interaksi trombosit dengan dinding pembuluh ini disebut hemostatis primer. Orang yang trombositnya terganggu dalam hal fungsi atau jumlah akan mengalami ptekie pada kulit dan selaput lendir. Mereka juga tidak dapat menghentikan pendarahan yang terjadi akibat cendera sengaja atau tidak sengaja pada pembuluh darah.

Trombosit berfungsi dalam sistem pembekuan darah, dari trombosis jaringan yang rusak akan dikeluarkan tromboplastin yang bereaksi dengan protrombin dan kalsium membentuk trombin. Trombin akan bereaksi dengan fibrinogen membentuk fibrin yang akan menutupi jaringan yang terluka (Gadjahnata, 1989). Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit memegang peranan yang penting dalam mengubah protrombin menjadi trombin, karena banyak protrombin mula-mula melekat pada reseptor trombosit yang telah berikatan dengan jaringan yang rusak. Pengikatan ini akan mempercepat pembentukan trombin dari protrombin. Mekanisme terbentuknya benang fibrin yang akan menutup jaringan yang rusak dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen membentuk benang fibrin ( Guyton dan Hall, 1996).

Trombosit adalah fragmen sitoplasma prekusor sel induk, yaitu megakariosit. Ukuran trombosit bervariasi dan beredar selama kurang lebih 10 Trombin faktor stabilisasi

fibrin yang teraktivasi

Protrombin

Trombin

Fibrinogen Fibrinogen

monomer

Benang- benang fibrin

25 hari sebagai sel berbentuk piringan dan tidak berinti. Pembentukan trombosit dilakukan oleh trombopoietin, yang analog dengan eritropoietin pada pembentukan eritrosit. Trombopoietin memiliki homologi yang subtansial dengan eritropoietin dan tidak hanya meningkatkan produksi trombosit, tetapi juga proliferasi megakariosit (Sacher dan McPherson, 2000).

Gangguan pada jumlah atau fungsi trombosit menyebabkan pemanjangan waktu pendarahan dan kelainan pembentukan bekuan. Keadaan dimana jumlah trombosit darah berkurang disebut dengan trombositopenia. Ini terjadi saat trombosit menghilang dari sirkulasi lebih cepat sebelum waktunya dan belum digantikan oleh trombosit baru. Trombositopenia juga dapat diakibatkan oleh gagalnya produksi trombosit yang masih ada dalam sirkulasi darah. Menurut Sacher dan McPherson (2000), penyebab utama trombositopenia dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) Kegagalan sumsum tulang belang untuk menghasilkan trombosit dalam jumlah memadai, dan (2) Peningkatan destruksi perifer atau sekuestrasi trombosit.

5. Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah suatu persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PVC sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Menurut Hodges (1977), nilai hematokrit menurun dengan bertambahnya temperatur dan dapat meningkat dalam temperatur yang lebih rendah. Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia dimana jumlah eritrosit lebih banyak dibanding dengan jumlah normal.

Dokumen terkait