• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estetika Positivisme (Abad ke-19)

Dalam dokumen Estetika barat Pendidikan seni rupa UNNE (Halaman 42-45)

POKOK BAHASAN V (PERTEMUAN KE-9-11) ESTETIKA POSITIVISME DAN ROMANTISME

2.1 Estetika Positivisme (Abad ke-19)

Sejak tahun 1850-an, filsafat seni atau estetika berubah dari dasar metafisik idealistik ke arah dasar metafisik positif dan evolusi. Pertengahan akhir abad ke-19 di Eropa tampaknya merupakan masa yang kacau, campur aduk antara gagasan materialistik dan idealistik, teori mekanikal, dan teori teologi, skeptisme, dan lain- lain. Dengan mengutip tulisan Sumarjo (2000) bahasan perkembangan tentang pemikiran mengenai estetika pada masa-masa ini yang diwarnai oleh padangan dari beberapa tokoh dapat diuraikan sebagai berikut.

2.1.1 Herbert Spencer

Spencer mulai menerbitkan berbagai telaahnya mengenai seni. Ia mulai membandingkan nilai kegunaan dengan nilai seni. Sesuatu yang berguna menjadi sesuatu yang indah ketika sesuatu itu sudah tak memerankan fungsi kegunaannya lagi. Pendapat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh teori evolusi yang sedang populer waktu itu. Persyaratan agar sesuatu itu dikatakan bernilai seni atau indah adalah adanya simetri dan kesatuan, adanta sifat ekonomi dalam gaya keindahan, adanya keagungan dan kekuasaan atau kekuatan, adanya efek moral yang baik pada penanggapnya.

Karya seni yang baik mampu membangkitkan energi, kekuatan, dan emosi, dan emosi tingkat tinggi. Namun demikian, jarang ada karya seni yang demikian itu, karena hampir semua karya seni merupakan campuran antara efek artistik dan anti artisitik. Jelas bahwa pendapat Spencer mengenai seni berada antara sentimentalisme dan moralisme.

2.1.2 Kaum Fisiologis

Pada masa ini, terdapat perkembangan pemikiran seni yang menjurus kepada efek biologis pada manusia.Pelopor jenis ini adalah Grant Allen yang menulis buku

Estetika Fisiologis (1877). Menurutnya, secara fisiologis kesenangan estetik pada manusia yang ditimbulkan oleh karya seni merupakan kumpulan aktivitas subjektif dalam diri manusia yang tidak punya hubungan langsung dengan fungsi vitalnya, tetapi hanya menyentuh terminal organ pikiran sistem saraf otak manusia.

Para peneliti lain menyatakan bahwa kesenangan estetik dapat mengakibatkan aktivitas organ fisik manusia seperti pernafasan, peredaran darah, dan peregangan otot. Kegilaan ilmu-ilmu alam dalam mencoba menembus makna seni ini mengakibatkan laboratorium kimia, fisika, dan fisiologi menjadi ajang percobaan untuk mempertanyakan dan menjawab hal-hal spiritual seperti ini.

2.1.3 Hyppolyte Taine

Tokoh estetika fisiologis ini percaya adanya hukum estetika. Hukum ini daidapat berdasarkan studi lingkungan alam dan sosial sebagai sumber penciptaan karya seni. Dari berbagai daerah eskisistensi seni tersebut akhirnya akan didapat hukum umum estetika. Nyata bahwa pengaruh berbagai ilmu pengetahuan alam amat besar dalam telaah estetika.

Bagi Taine, seni itu imitasi (mimesis) yang mengarah kepada penggambaran sifat karakteristik yang esensial dari objeknya. Dalam arsitektur dan musik, mimesis tak memerlukan objek nyata, namun tetap menyuguhkan karakter esensial. Inti seni adalah menghadirkan esensi sesuatu, tetapi ia menolak arti esensi segala sesuatu sebagai hanya peristilahan teknis.

Ada dua cara untuk mencapai tingkat hidup tertinggi pada manusia, yakni lewat ilmu pengetahuan dan lewat seni. Cara ilmu pengetahuan adalah menemukan sebab dan hukum dasar kenyataan (realitas), sedangkan cara seni adalah menemukan sebab dan hukum, bukan dalam peristilahan kering dan abstrak, melainkan dalam pengalaman inderawi yang tepat; bukan hanya menyangkut logika pemikiran, melainkan juga perasaan hati dan penginderaan untuk semua orang. Di dalamnya termuat sesuatu yang muskil dalam kesedarhanaan, sesuatu yang tinggi dalam gaya yang populer, sesuatu yang tinggi dalam gaya yang biasa, agar semua orang mampu menangkap dan menghayatinya.

Bagi Taine, nilai seni itu juga bertingkat-tingkat, seperti layaknya bagi para pengikut Hegel. Menurutnya ada tiga tingkat nilai seni. Yang dipersoalkan pada tingkat pertama adalah apakah sebuah karya seni memiliki bobot karakter yang memadai. Apakah gagasan yang diajukannya besar atau sepele, apakah tingkat afektifnya pada penanggap tinggi atau rendah, apakah bobot moralnya besar atau dangkal. Pada tingkat kedua, apakah sebuah karya seni berhasil mencapai tingkat harmoni antara ide dan bentuknya. Pada tingkat terakhir, Taine membuat solusi dialektik dengan memberikan contoh sejarah seni. Pada lukisan Italia kuno seperti karya Giotto, yang terjadi adalah seni yang punya jiwa (spirit) namun tak punya tubuh (bentuk). Ini merupakan tesis pertama. Pada anti-tesis ia menunjukkan lukisan kaum Renaisans yang punya tubuh dan bentuk tetapi kehilangan jiwa, sedang pada karya Raphael ia menemukan adanya penyatuan tubuh dan jiwa dalam seni sintesis.

2.1.4 Gustaf Theodor Fechner

Buku Fechner yang terkenal adalah Introduction to Aesthetic (1876). Ia dikenal sebagai pakar estetika eksperimental. Disebut demikian karena ia menolak konsep deterministik terhadap objek esensi seni dan keindahan. Ia menyebut estetika demikian itu sebagai estetika dari atas (von oben). Ia sendiri menciptakan estetika dari bawah (von unten) yang lebih mencari kejelasan, bukan sublimitas seni.

Fechner bekerja secara induktif dengan melakukan berbagai eksperimen estetik. Ia mengumpulkan data tentang warna yang paling banyak disenangi responden, serta alasan mereka menyenangi warna tersebut. Ia juga meminta responden memilih dua bentuk atau dua warna, dan mengapa mereka memilih itu. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis. Temuannya ini masih diperdebatkan dalam kajian estetika. Temuan eksperimentalnya meliputi antara lain masalah hukum dan prinsip estetika seperti kesatuan dalam keberagaman, kejelasan, asosiasi, kontras, konsekuensi, konsiliasi, makna yang benar, prinsip ekonomi, perubahan, pengukuran, dan masih banyak lagi masalah lainnya.

Ketika ditanya apakah sebenarnya makna keindahan itu dalam berbagai eksperimennya. Ia kembali kepada jawaban spekulatif. Menurutnya ada tiga arti keindahan, yaitu : pertama, dalam arti luas bahwa seni adalah segala yang menyenangkan secara umum, kedua, dalam arti lebih sempit bahwa keindahan memberikan kesenangan yang lebih tinggi, tetapi masih bersifat inderawi, dan ketiga, dalam arti paling sempit, keindahan sejati tidak hanya menyenangkan, tetapi juga

kesenangan yang sesungguhnya, yakni memiliki nilai-nilai dalam kesenangan tersebut yang di dalamnya terkait konsep keindahan dan konsep moral, kebaikan.

Adapun beberapa prinsip seni yang diajukan adalah sebagai berikut. Pertama, seni selalu memilih ide berharga dan menarik untuk direpresentasikan. Kedua, seni harus mengekspresikan gagasannya dalam bentuk meterial yang begitu rupa sehingga bentuk setara dengan isi. Ketiga, dari berbagai bentuk kemungkinan bentuk ekspresinya, harus dipilih bentuk seni yang paling memberikan kesenangan tertinggi. Keempat, semua unsur bentuknya secara rinci harus diperlakukan begitu rupa sehingga memberikan efek kesenangan maksimal. Kelima, tujuan seni adalah memberikan pencapaian kesenangan tertinggi yang mengandung nilai-nilai.

2.1.5 Ernst Grosse

Seperti Fechner, Grosse juga bekerja secara induktif untuk mencapai prinsip atau hukum keindahan. Hanya saja data yang diambilnya bukan lewat eksperimen, melainkan lewat data sejarah seni. Namun, banyak pertanyaan estetika yang hanya bisa dijawab oleh Grosse dengan cara pemikiran spekulatif, dan bukan induktif berdasarkan data sejarah, dari yang primitif sampai dengan yang modern.

Pada akhirnya Grosse menyimpulkan bahwa seni adalah suatu aktivitas yang hasilnya memiliki nilai emosi dengan tujuan dirinya sendiri. Aktivitas estetik dan aktivitas praktis bagi manusia selalu bertentangan. Jalan tengahnya adalah aktivitas permainan, karena aktivitas praktis selalu mengarah pada hasil di luar aktivitas`itu, sedangkan aktivitas`estetik hasilnya ada dalam aktivitas`itu sendiri. Hasil itu dalah kegembiraan atau kesenangan dalam aktivitasnya.

Pada akhir telaahnya, Grosse menyimpulkan pula bahwa di lingkungan masyarakat primitif jarang ada karya seni yang bersifat praktis-pragmatis; seni hanya bersifat sosial dan individual dalam masyarakat yang telah beradab.

Begitulah estetika positivisme dan naturalisme akhir abad ke-19 yang amat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan alam, fisika, dan kimia.

Dalam dokumen Estetika barat Pendidikan seni rupa UNNE (Halaman 42-45)

Dokumen terkait