• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estetika barat Pendidikan seni rupa UNNE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Estetika barat Pendidikan seni rupa UNNE"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN AJAR

MATA KULIAH

ESTETIKA BARAT

DISUSUN OLEH TRIYANTO

NIP. 195701031983031003

JURUSAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-I S.D.3

POKOK BAHASAN I

PENGERTIAN ESTETIKA DAN LINGKUP KAJIANNYA

1. TUJUAN PERKULIAHAN:

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan pengertian estetika dan ruang lingkup kajiaanya, serta dapat memahami tentang teori keindahan.

2. Materi Perkuliahan 2.1 Pengertian Estetika

Estetika merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Kata estetika dikutip dari bahasa Yunani aisthetikos, atau aisthanomai yang berarti mengamati dengan indera (Lexicon Webster Dic: 1977:18). Pengertian tersebut juga berkaitan dengan istilah aesthesis (bahasa Yunani) yang mempunyai pengertian pengamatan.

Feldman dalam hal ini melihat estetika sebagai ilmu pengetahuan pengamatan atau ilmu pengetahuan inderawi, mengacu pada kesan-kesan inderawi. Demikian juga J. Addison, memadankan estetika dengan teori cita rasa, dilandasi tradisi empirisme dan teori yang mengacu kepada tradisi lain yakni menurut pandangan Platonis dan Neoplatonis. Struktur teori ini telah dikembangkan menjadi lima bagian yakni: (1) persepsi, (2) cita rasa, (3) produk mental, (4) objek pengamatan, (5) pertimbangan cita rasa ( Dickie, 1989) sehingga jika dilihat dari kelima struktur tersebut maka teori pengamatan identik dengan teori cita rasa.

(3)

telaah filsafat keindahan dan keburukan. Selain itu, dikatakan bahwa estetika adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral yang berkaitan dengan karya seni.

Di sisi lain John Hosper mendefinisikan estetika sebagai salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis., artinya estetika tidak hanya sekedar mempermasalahkan tentang objek seni, melainkan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan suatu “karya yang indah”. Demikian halnya Plato mengutarakan ciri-ciri dan hukum keindahan, Aristoteles dalam hal ini merumuskan keindahan sebagai suatu yang baik dan menyenangkan, sedangkan Politinus menulis tentang ilmu dan kebajikan yang indah. Orang Yunani juga mengemukakan bahwa keindahan berkaitan dengan tradisi atau adat kebiasaan, selain itu mereka juga mengenal pengertian keindahan yang bersifat kasat mata, dikenal dengan sebutan symetria, misal pada karya seni visual , dan harmonia untuk keindahan dalam seni musik yang berkaitan dengan pendengaran. Jadi pengertian estetika secara luas meliputi keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual.

Beberapa ahli pikir menyatakan bahwa keindahan tersusun dari berbagai keselarasan dan perlawanan unsur-unsurnya seperti garis, bentuk, nada dan kata-kata, ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan inderawi, sehingga bisa dibedakan antara ekstraestetis dan intraestetis. Keindahan yang menyangkut pengalaman estetis seseorang yang berkaitan dengan segala sesuatu yang tidak secara langsung dicerap melalui indera, disebut ekstraestetis, sedangkan intraestetis adalah segala sesuatu yang bersifat kasat mata, berkaitan dengan penglihatan (jiwo katon), berupa keindahan bentuk, warna, garis, tekstur, ruang, cahaya dan sejumlah kualita pokok tertentu antara lain; kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry)

keseimbangan (balance), irama (rytme), perulangan (repetion), perlawanan,

(contrast), dominasi (emphasis) (lihat Read; 1998)

(4)

berlaku. Sebagai contoh, dari sudut pandang ekonomi “kecil itu indah” atau “sederhana itu indah” (konsep estetika Jepang). Pengertian estetika dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan lainnya misal, “pikiran original itu indah” dan dari sudut pandang teknologi, bisa mengatakan: “teknologi itu indah” atau “rasional itu indah”. Sehingga konsep estetika bukan saja untuk para pencipta karya seni, tetapi bisa untuk siapa saja yang dapat menentukan dan merasakan keindahan secara kontekstual berdasarkan tingkat apresiasi, situasi dan latar belakang budaya.

Akhirnya pengertian estetika meliputi totalitas dari esensi kehidupan yang mampu menggelitik jiwa manusia, dan berlaku terhadap apa saja yang dirasakan manusia sejalan dengan konsep hidup dan jamannya. Gejala semacam ini merupakan suatu kenyataan, bahwa estetika bukan lagi suatu yang perlu diagungkan seperti yang pernah terjadi pada abad pertengahan, melainkan telah melebur dalam totalitas yang disebut dengan era “Estetika Paripurna” (Sutrisno 1999). Salah satu yang paling penting dalam konsep estetika ini adalah keindahan yang melekat pada karya seni atau merupakan ruh dari suatu karya seni. Dalam estetika modern, lebih cenderung membicarakan tentang seni dan pengalaman estetik, karena keindahan bukan pengertian yang bersifat abstrak tetapi merupakan suatu gejala kongkret yang dapat ditelaah dengan pengamatan empiris serta dapat diuraikan secara sistematis.

Sebelum abad ke 18 muncul teori keindahan yang mempermasalahkan tentang hakikat keindahan dan setelah abad ke 18, mulai dibicarakan tentang keindahan yang adiluhung dan keindahan yang dangkal, di antaranya adalah: Kant, Shaftesbury, Hutcheson, Burke, dan Alison (sebelum abad ke18). Mereka menyoroti tentang teori selera (taste theory) dengan menggunakan “pengalaman keindahan” sebagai pendekatan analisisnya. Selain itu mereka juga mengaitkan seni dalam estetika dengan rasa indah, halus, dan luhung Kemudian setelah abad ke 18 arti kata “indah” disamakan dengan “sesuatu yang mempunyai nilai estetis” lazim digunakan untuk mengkaitkan seni dengan alam. Sehingga masalah keindahan dibahas melalui dua teori yakni teori estetika dan teori seni. Secara rinci akan dibicarakan dalam mata kuliah estetika 2.

2.2 Lingkup Kajian Estetika.

2.2.1 Hubungan antara Keindahan dan Kebudayaan.

(5)

tersebut, keindahan tidak terlepas dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan penentu corak, typical, gaya hidup suatu kelompok masyarakat sebagai pendukung kebudayaan tersebut.

Di sisi lain manusia sebagai mahluk multidimensi mempunyai peran untuk mencipta dan mengamati suatu karya seni sesuai dengan cita rasanya. Konsep keindahan dan cita rasa ini terbentuk dan mengacu dari ajaran-ajaran agama dan konsep budaya dari masing-masing kelompok. Estetika sebagai sub sistem kebudayaan dalam berkesenian berisi tentang (1) nilai-nilai, (2) pedoman, (3) gagasan-gagasan vital, (4) kepercayaan atau keyakinan tentang berkesenian. Nilai atau pedoman tersebut digunakan untuk menciptakan dan memahami karya seni.

Kebudayaan secara hakiki mempunyai pengertian sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang isinya berupa sistem-sistem makna atau sistem-sistem simbol. Fungsinya bukan hanya digunakan atau menjadi pedoman strategi adaptasi dalam menghadapi lingkungan dan sumber daya alam, tetapi sekaligus berfungsi sebagai pedoman strategi dalam menghadapi lingkungan sosial dan lingkungan kebudayaan itu sendiri (Suparlan Parsudi 1995 ). Budaya sebagai acuan bagi suatu masyarakat yang bersifat normatif, maka ia mampu melahirkan “gaya hidup” tertentu, serta memberi makna yang dapat membedakan dengan kelompok lain. Misal kebudayaan Jawa berbeda dengan kebudayaan Irian, Sumatra, Bali dst, demikian juga kebudayaan Indonesia, berbeda dengan kebudayaan Jepang, Korea, Eropa atau India. Di dalam suatu kebudayaan mengandung unsur-unsur seperti ilmu pengetahuan, kepercayaan (termasuk agama) dan nilai-nilai (etika dan estetika). Agama dalam hal ini merupakan salah satu unsur dari kebudayaan telah beroperasi dan berperan melalui kebudayaan. Agama bersifat Illahi sebagai sistem kepercayaan terhadap adikodrati, yang berkaitan dengan nilai, norma, kelembagaan dan simbol-simbol tertentu. Sehingga agama sebagai pedoman bagi ketepatan kebudayaan, telah berfungsi untuk menstrukturkan kebudayaan, dan beroperasi melalui sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subjektif dan individual. Keberadaan kebudayaan itu telah didukung oleh manusia, maka dengan sendirinya manusia tidak dapat terlepas dari kebudayaan tersebut, karena budaya merupakan wujud/ ekspresi dari eksistensi manusia,

(6)

berkenaan dengan hakikat manusia sebagai mahluk berpikir, bermoral dan bercita-rasa, mencakup etika-estetika dan seni. Kendatipun masih ada dua kebutuhan lainnya sebagai penunjang kehidupan manusia yakni kebutuhan primer; adalah kebutuhan yang bersumber pada aspek biologis berkaitan dengan kelangsungan hidup seperti sandang, pangan, dan papan. Dan kebutuhan sekunder atau sosial; merupakan suatu kebutuhan yang berkaitan dengan keterlibatan hidup orang lain.

Etika dalam hal ini merupakan nilai-nilai moral menyangkut agama terdiri dari (a) kesediaan untuk bertanggung jawab, (b) kejujuran, (c) kemandirian moral, (d) prinsip sikap baik-buruk (lihat Magnis Suseno; 1998). Sedangkan seni, desain, teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan perwujudan dari kebudayaan. Secara realitas karya seni / desain tidak lebih dari fenomena praktis kebutuhan manusia atau sebagai proyeksi diri manusia dalam dimensi lain yang mencerminkan suatu sikap budaya dari kelompok manusia dalam membangun lingkungannya. (Malvin Rader: 1990). Sikap budaya dalam hal ini merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia untuk memberi makna kultural dan makna sosial terhadap setiap pemikiran dan perbuatan manusia. Selain itu mampu memperkaya nilai-nilai dan khasanah peradapan rohani di sekitarnya. Sedangkan keindahan merupakan ruh dari kesenian dan sebagai sistem dalam kebudayaan dalam berkesenian yang berisi nilai- nilai, pedoman-pedoman, gagasan vital serta kepercayaan atau keyakinan tentang berkesenian.

(7)

Karakteristik dari tiap-tiap dimensi adalah sebagai berikut :

 Agama bersifat trasendental, dasarnya kepercayaan, pengabdian penuh dan

takwa, ajarannya ’apa seharusnya’ (das sollen) , bertujuan meraih keselamatan, harmoni, kedamaian, konsep berdasarkan filsafat masing-masing.

 Ilmu, bersifat nalar, logis, mempunyai sistem dan metode, bersumber pada fakta, empiri (das sein) ’apa adanya’. Bertujuan untuk membuktikan kebenaran secara khusus dan terbatas, serta mempunyai fungsi untuk deskripsi, prediksi dan kontrol pada kenyataan empiris.

 Filsafat, bersifat nalar, logis, tidak ada metoda yang spekulatif, bertujuan untuk mencapai kebenaran yang menyeluruh serta mendasar dalam sistem konsepsional, berfungsi untuk kearifan hidup.

 Seni, menciptakan realita baru dari kenyataan empiris. Bentuknya ekspresi realita baru secara sensoris dengan simbol dalam kebulatan dunia besar. Berdasarkan apresiasi dari pengalaman manusia, serta mengandung das sollen

dan das sein.

Keempat karakter tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan dalam hal cara kerja, sumber, wujud dan fungsi masing-masing dimensi. Pada mulanya keempat dimensi pengetahuan tersebut tidak mempunyai batas yang jelas, namun dalam perkembangannya batas-batas tersebut semakin jelas dan berkembang menjadi spesialisasi. Di bidang ilmu terdapat tiga penggolongan besar yakni ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora. Saat ini penggolongan tersebut kurang lebih berkembang sampai 700 disiplin ilmu.

Kesenian termasuk dalam bidang ilmu humaniora pada tiap-tiap kebudayaan/bangsa mempunyai perbedaan perincian yang berkisar antara 9 sampai dengan 10 ilmu antara lain; bahasa, sastra, sejarah, filsafat, dan seni. Bidang humaniora ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang hakikat manusia. Khusus dalam hal seni memberikan keindahan sebagai pengalaman tersendiri yang membedakan manusia dengan mahluk lain yang tidak mampu menjadikan lebih bersifat manusia.

(8)

2.2.2 Hubungan antara Seni, Estetika dan Filsafat Seni.

Kata seni pada umumnya selalu dihubungkan dengan bentuk seni plastis atau seni visual, walaupun sebenarnya kata seni telah mencakup berbagai cabang seni lain seperti; seni sastra, seni musik, seni tari, seni drama dan seterusnya. Berdasarkan penggolongan seni, cabang-cabang seni tersebut mempunyai kekhasan. Namun suatu difinisi yang berlaku umum terhadap semua cabang seni ini akan menjadi titik tolak yang baik. Dalam hal ini Schopenhauer pertama kali mengatakan bahwa semua cabang seni bersumber pada kondisi seni musik, pernyataan itu sering disalah tafsirkan padahal pemikiran Schopenhauer bertumpu pada kualitas abstrak dari seni musik. Alasannya di dalam seni musik seniman menciptakan pesonanya secara langsung untuk peminatnya, tanpa adanya campur tangan media komunikasi yang bisa digunakan untuk tujuan-tujuan lain. Selanjutnya dikatakan bahwa seorang arsitek seharusnya mengekspresikan dirinya dalam bentuk bangunan-bangunan yang mempunyai tujuan praktis dan seorang penyair wajib menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan percakapan sehari-hari. Demikian halnya dengan seorang pelukis harus mampu mengungkapkan dirinya lewat pembabaran dunia visual.

Menurut Schopenhauer hanya para komponis yang benar-benar bisa bebas mencipta karya seni lepas dari kesadarannya sendiri, tidak mempunyai tujuan lain kecuali agar dapat menyenangkan. Kendatipun semua seniman mempunyai tujuan yang sama yakni menyenangkan publik. Sehingga seni secara sederhana didefinisikan sebagai usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang meyenangkan dan bentuk-bentuk tersebut dapat memberikan kepuasan rasa ’indah’. Terpenuhinya rasa indah akan terjadi, jika seseorang pengamat dapat meresapi kesatuan atau harmoni dari tata susunan bentuk.

(9)

. Estetika, secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah yang terdapat pada alam maupun seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit. Penggunaan istilah estetika berbeda dengan filsafat keindahan, karena estetika semata-mata tidak lagi menjadi permasalahan di dalam ilmu filsafat. Estetika memuat bahasan ilmiah yang berkaitan dengan karya seni, sehingga estetika termasuk lingkup bahasan ilmiah, yang mencakup tentang keindahan dalam seni, pengalaman seni, gaya atau aliran seni, dan perkembangan seni.

Masalah-masalah yang diketengahkan dalam kajian estetika menurut George T.Dickie adalah pertama, pernyataan kritis yang menggambarkan, menafsirkan, atau menilai karya-karya seni yang khas. Kedua, pernyataan yang bersifat umum oleh para ahli sastra, musik atau seni visual untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik, missal tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak dst . Ketiga, ada pertanyaan tentang keindahan seni imitasi.

Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan struktur dan peran dari keindahan, khususnya dalam seni. Sehingga muncul teori-teori tentang seni, teori tentang keindahan, serta hal-hal yang menjelaskan tentang arti keindahan, keindahan subjektif dan objektif serta masalah peran keindahan dalam kehidupan manusia. Pada intinya persoalan pokok estetika meliputi empat hal yakni (1) nilai estetika (esthetic value); (2) pengalaman estetis (esthetic experience) ; (3) Prilaku pencipta /seniman; dan (4) seni/ karya seni.

Selain pembagian estetika yang berkaitan dengan esensi dan pokok permasalahan, menurut ruang lingkupnya estetika dibagi menjadi dua bagian, pertama estetika falsafahi, terdiri dari : pertama, filsafsat keindahan, teori seni indah dan filsafat kritik; kedua, estetika ilmiah yang meliputi: ilmu seni, psikologi seni, sosiologi seni, antropologi seni, semiologi seni, sejarah seni dan filsafat seni.

(10)

Thomas Munro merinci berbagai persoalan yang berkaitan dengan filsafat seni atau estetika modern sebagai berikut :

(1) Penggolongan sistematika seni

(2) Morfologi estetis; telaah deskriptif tentang bentuk seni dan gaya dalam berbagai seni.

(3) Teori sejarah seni: berkaitan dengan adanya kecenderungan utama, pola-pola, pengaruh-pengaruh, sebab akibat, dan gaya-gaya dalam seni yang berhubungan dengan factor budaya.

(4) Sosiologi seni; menjelaskan kausal antara karya seni dengan kondisi social budaya masyarakat atau sebaliknya.

(5) Semiologi seni; membahas tentang masalah-masalah bahasa seni berupa tanda, symbol, serta konsep-konsep dalam seni.

(6) Ragam dan gaya seni, membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan sifat dasar manusia, pribadi dan social.

(7) Pengetahuan tentang jenis akibat yang cenderung memperngaruhi manusia dalam berbagai kondisi..

Pembagian filsafat berdasarkan karakteristik filosofis adalah; spekulatif, mendasar, menyeluruh dan logis. Bentuk ajarannya adalah sistemik konsepsional. Berikut ini disajikan dua penggolongan yaitu penggolongan berdasarkan subjek dan penggolongan bersadarkan objek antara lain sebagai berikut :

Penggolongan Filsafat Berdasarkan Subjek :

ADA ONTOLOGIA : MANUSIATHEOLOGIA : TUHAN COSMOLOGIA: ALAM

PENGETAHUAN ANTROPOLOGIALOGIKA

(11)

Penggolongan Filsafat Berdasarkan Objek;

(Model dikutip dari Sumardjo, 2000)

2.2.3 Hubungan antara Tiga Aspek dalam Seni: Karya Seni, Seniman, dan Publik Seni

Lingkup kajian dalam filsafat keindahan ini terdiri dari tiga kenyataan; pertama, objek seni atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seni; kedua, pendapat (pandangan) tentang seni dan; ketiga, adalah fakta. Kenyataan pertama berupa objek seni yang meliputi karya seni; aktivitas penciptaan/seniman dan pengamat atau publik seni. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

(1). Karya / benda seni

Karya atau benda seni ini terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk dalam hal ini mempunyai pengertian suatu kesatuan organis yang terdiri dari unsur-unsur seni, yang memiliki nilai ekspresi atau nilai ungkap. Unsur-unsur tersebut terdiri dari representasi, kualitas keinderaan (sensasi) dan konotasi. Representasi merupakan perwujudan ekspresi, yang mengandung sensasi /sensori (suara, warna, bentuk, tekstur, ruang, cahaya, dst). Sensori ini merupakan kualitas keinderaan/ kepekaan terhadap rangsangan yang menciptakan suasana perasaan misal, rasa segar, senang, bahagia, sedih dst. Di sisi lain wujud tidak hanya dipahami secara tuntas sebagai wujud, tetapi ada sisa sesuatu yang tidak bisa tertangkap indera yakni isi atau makna.

MANUSIA :ANTROPOLOGIA AKAL : LOGIKA TINGKAH LAKU :ETIKA KEINDAHAN :ESTETIKA ONTOLOGIA : MANUSIA

THELOGIA : TUHAN COSMOLOGIA : ALAM

ADA

UMUM

KHUSUS

MUTLAK

TIDAK MUTLAK

(12)

Dalam hal ini untuk memperoleh makna/ isi,perlu melakukan konotasi terhadap karya/ benda seni dengan cara mengkaitkan antara unsur, prinsip dan lingkup budaya. Bentuk dan isi dalam suatu karya seni merupakan satu kesatuan. Bentuk lebih menekankan pada munculnya kesatuan di antara unsur-unsurnya dalam bentuk organis. Sedangkan isi adalah unsur-unsur yang membentuk struktur dalam ’kesatuan arti’ atau makna. Karya seni bisa diterima oleh penikmat atau publik seni, jika nilai-nilai yang terdapat karya seni tersebut juga bisa diterima oleh publik pengamat seni. Dengan demikian maka akan terjadi komunikasi seni. Komunikasi akan terjadi jika publik/ pengamat seni mempunyai pengalaman seni atau pengalaman estetik.

Karya seni terwujud berdasarkan medium tertentu, yakni; (1) medium pendengaran (audio) menghasilkan seni audio; seni sastra, dan musik (2) Medium penglihatan (visual) menghasilkan seni visual (seni rupa): seni patung, seni lukis, arsitektur dst. (3) gabungan keduanya, akan melahirkan bidang seni audio visual : seni tari, seni teater, seni film dst. Aspek tinjauan seni sebagai benda atau karya seni (artefak) menyangkut masalah:

 Nilai seni ( nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan nilai hidup)

 Material seni

 Bentuk dan isi seni (imajinasi, metafora, simbol, mimesis, ekspresi, subjek matter dan tema.)

 Makna seni

(2) Seniman/ Aktivitas Penciptaan ;

Sebagai pemilik ide, seniman memiliki sejumlah nilai-nilai intraestetik maupun ekstraestetik, yang kemudian diekspresikan dalam sebuah wujud atau benda/ karya seni. Berkaitan aktivitas penciptaan ini seni identik dengan ekspresi, artinya seni merupakan penjelmaan bentuk-bentuk ekspresi dari nilai- nilai kemanusiaan yang bersifat individual maupun sosial. Aspek seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas dan ekspresi yang berkaitan dalam penciptaan karya seni antara lain : tujuan karakteristik seni, keunikan, orsinalitas, keontentikan karya seni, dan gaya (style). Teori ekspresi seni yang mengacu dari seniman (lihat Leo Tolstoi) seni adalah ekspresi atau ungkapan perasaan seniman akibat pengalaman hidupnya yang bertujuan bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan umum.

(13)

Masyarakat yang mempunyai karakteristik dan kemampuan untuk membaca dan menerima suatu produk seni tergolong dalam publik atau pengamat seni. Sehingga tidak semua masyarakat adalah pengamat/ publik seni ini. Penemuan nilai seni dan munculnya pengalaman seni dalam pengamat/ public seni merupakan peristiwa penting dalam lahirnya fenomena seni. Pandangan ini muncul ketika ada permasalahan filosofis tentang : komunikasi seni, relasi seni, wacana seni, pendidikan seni, interpertasi seni, evaluasi seni dan selera seni ( lihat Yokop Sumardjo: 1995). Sehingga untuk mengetahui persoalan karakter masyarakat dalam public seni diperlukan peran serta bidang kajian sosiologi, psikologi dan antrophologi seni.

(4) Nilai Seni:

Benedetto Croce, seorang filusuf seni mengatakan bahwa seni pada karya atau suatu benda itu tidak pernah ada, sebab seni itu ada di dalam jiwa pengamatnya. (seni identik dengan keindahan). Bagi Benedetto, nilai merupakan masalah yang mendasar yang terdapat dalam bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika) dan estetika (keindahan), di samping terdapat pula pada peristiwa perasaan yang lain seperti keadilan, kebahagiaan, kegembiraan, kegelisahan dan seterusnya ( lihat Yakop Sumardjo: 1995). Semuanya menyangkut tentang subjektivitas dan objektivitas, juga sekaligus menyangkut hal-hal khusus dan universal, budaya kontekstual dan esensi universal. Keindahan yang menyangkut seni, mengandung nilai-nilai universal dan sekaligus juga kontekstual budaya.

(5) Pengalaman Seni.

Pengalaman seni ini diperlukan dalam berkomunikasi seni yakni mengkomunikasikan nilai-nilai, kualitas perasaan,dan kualitas medium seni itu sendiri. Dalam proses berkomunikasi atau berinteraksi diperlukan pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi dan intuisi. Pengalaman seni berlangsung dalam suatu proses yang berkaitan dengan waktu. Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa hakikat seni terletak pada pengalaman seni bukan pada ilmu dan filsafat seni. Sedangkan analisis pengalaman seni meliputi pengalaman artistik, empati, jarak estetis dan unsur-unsur serta struktur pengalaman seni.

(14)

Permasalahan yang masih panjang diperdebatkan adalah masalah ekspresi seni dalam sepanjang sejarah seni. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa pemikir besar Yunani kuno, Plato dan Aristoteles telah meletakan dasar-dasar persoalan filosofis seni sampai sekarang.

Berikut bagan eksistensi seni hubungan antara empat aspek dalam seni yakni karya seni, seniman, publik seni dan konteks seni, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Aspek Konteks seni menyangkut persoalan nilai-nilai dasar dalam suatu masyarakat.

(6) Konteks Seni

Hakikat seni pada konteks : Seni merupakan konsep yang mendapat kesepakatan dari masyarakat sejamannya. Hakikat seni dapat ditelusur dari berbagai institusi seni maupun institusi yang bukan seni yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

3TUGAS / LATIHAN :

Membaca dan membuat resume ; hasil resume didiskusikan secara berkelompok. Diskusikan dengan anggota kelompok saudara tentang ruang lingkup, aliran dan hubungan anatara estetika dan seni.

 Buat laporan kelompok hasil diskusi Saudara dalam suatu kertas kerja (paparan) untuk disampaikan dalam forum diskusi kelas.

NILAI-NILAI SENI

PENGALAMAN SENI KARYA SENI

TEORI FORMALIS

SENIMAN

TEORI EKSPRESI PUBLIK SENITEORI RELASI

(15)

POKOK BAHASAN 2

Nilai Karya Seni

1. Tujuan Perkuliahan

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan pengertian, fungsi, dan jenis nilai serta dapat menjelaskan nilai karya seni yang meliputi nilai intrinsik, ekstrinsik, dan instrumental.

2. Materi Perkuliahan

2.1. Nilai : Pengertian, Fungsi, dan Jenis- Jenisnya

Nilai, baik sebagai sebuah kata maupun sebagai suatu istilah sudah sering dikenal, didengar, bahkan sering diucapkan. Namun demikian sangat dimungkinkan masih cukup banyak orang yang belum mengetahui secara lebih mendalam apa arti, fungsi, makna, atau jenis-jenis nilai. Acapkali kata atau istilah nilai dipakai begitu saja tanpa mempersoalkan tepat atau tidak penggunaannya. Nilai, baik sebagai kata atau istilah memiliki pengertian, makna,dan fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Demikian pula jenis-jenis nilai juga cukup banyak sejalan dengan bidang-bidang kehidupan yang ada di dalam masyarakat; tak terkecuali dalam bidang kehidupan seni. Artinya semakin kompleks bidang kehidupan masyarakat semakin kompleks kemunculan sebuah nilai.

Kata atau istilah nilai, sesungguhnya, bukan sesuatu yang bersifat kuantitatif atau menunjuk pada sesuatu yang bersifat konkret, melainkan menunjuk pada sesuatu yang bersifat kualitatif dan abstrak. Nilai dalam bahasan ini bukan score atau biji, yang berfungsi sebagai angka yang menandai prestasi seseorang seperti yang tertera dalam raport atau laporan hasil belajar. Melainkan harga atau sifat-sifat/ hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia ( Lihat KBBI; 1996: 690 ). Dari sisi filsafat The Liang Gie menjelaskan bahwa istilah nilai sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Selanjutnya ia mengatakan bahwa nilai atau value adalah kemampuan yang dipercayakan pada sesuatu benda untuk memuaskan keinginan manusia, dan penyebab ketertarikan minat seseorang atau suatu golongan terhadap benda tersebut. Nilai dalam hal ini mempunyai makna suatu realitas psikologis karena sebagai penetu nilai adalah jiwa manusia bukan bendanya.

(16)

bahwa objek itu memiliki nilai dan suatu yang bernilai acapkali menimbulkan makna tertentu. Suatu nilai, selain berharga juga mempunyai potensi untuk menimbulkan makna dengan lain kata, makna merupakan implikasi lebih lanjut dari persepsi suatu keberhargaan. Setiap benda yang berharga memiliki sebuah makna bagi seseorang. Misal, rokok, kendati tidak menyehatkan, tetapi bagi sebagian besar orang menjadi salah satu kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan. Karena ada suatu nilai yang melekat pada rokok yaitu kualitas tertentu sangat berharga yang dirasakan sebagian orang untuk memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika rokok sangat bermakna bagi mereka yang membutuhkan. Banyak fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa rokok dapat mendorong seseorang untuk bersikap dan bertindak untuk mengupayakan dengan berbagai cara agar ia dapat memperoleh, memiliki, dan menikmatinya.

Contoh sederhana tersebut menyiratkan pengertian bahwa nilai merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi pikiran, sikap, tindakan, atau gaya hidup seseorang atau sekelompok orang, bahkan masyarakat. Dalam hal demikian, nilai memiliki fungsi sebagai variabel bebas yang berpengaruh dalam membentuk pikiran, sikap, tindakan, atau gaya hidup. Dengan kata lain nilai dapat berfungsi sebagai dasar, acuan, rujukan, pedoman bagi para pemiliknya untuk menentukan arah berpikir, bersikap, dan berbuat dalam melakukan sesuatu. Fungsi ini menunjukkan bahwa nilai merupakan sumber dasar pembentukan pola berpikir, pola bertindak, dan pola atau gaya hidup. Tegasnya dengan nilai, suatu kebudayaan dapat hidup dan berkembang.

(17)

dan dibutuhkan untuk mengatur atau mengendalikan cara-cara berpikir, bersikap, bertindak dalam rangka memenuhi dan mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat yang amat kompleks itu. Tanpa adanya nilai maka kehidupan manusia tidak akan menjadi tertib atau teratur, liar, tidak berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya. Tegasnya, tanpa nilai kehidupan manusia tidak berbeda dengan kehidupan mahluk lain atau binatang.

2. 2. Nilai dalam Karya Seni

Jika dikatakan bahwa kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan (Koentjaraningrat 1984) maka karya seni adalah produk atau hasil salah satu kreativitas kebudayaan di samping hasil-hasil kreativitas kebudayaan yang lainnya.. Berbeda dengan hasil kreativitas kebudayaan lainnya, karya seni memiliki ciri tersendiri yaitu perwujudannya senantiasa dikemas melalui pertimbangan-pertimbangan atau kaidah-kaidah estetis. Penggunaan kaidah-kaidah estetis inilah yang menyebabkan perwujudan seni memiliki citarasa keindahan. Karena itu tidaklah mengherankan jika secara umum orang mengatakan bahwa seni senantiasa identik dengan keindahan atau seni adalah perwujudan perasaan akan keindahan itu sendiri. Menurut Bahtiar (1982) karya seni merupakan salah satu jenis simbol yang masuk dalam kategori simbol ekspresif yakni simbol pengungkapan perasaan yang, tentu saja, perwujudannya dikemas melalui bentuk-bentuk estetis.

Sebagai salah satu hasil kreativitas kebudayaan maka karya seni tentu memiliki nilai tersendiri yang berbeda dengan nilai hasil-hasil kebudayaan yang lainnya. Dalam wawasan kebudayaan karya seni dilihat sebagai suatu perwujudan manusia dalam upaya mengungkapkan perasaan akan keindahan yang dipedomani atau dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan lingkungan yang menyelimutinya (lihat Melalatoa 1992; Koentjaraningrat 1987). Oleh karena itu nilai karya seni bukan hanya sekadar perwujudan benda fisik yang berkeindahan tertentu yang lepas dari aspek-aspek lain yang mempengaruhinya.

Secara sederhana, dengan menggunakan perspektif filsafat, nilai karya seni dapat dikategorikan dalam tiga jenis nilai, yaitu nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan nilai instrumental (lihat : The Liang Gie 2005; ). Berdasarkan perspektif ini uraian berikut di bawah ini akan menjelaskannya lebih lanjut.

2. 2.1. Nilai Intrinsik

(18)

suatu objek. Pada karya seni, dengan demikian, yang dimaksud dengan nilai intrinsik adalah kualitas atau sifat yang memiliki harga tertentu itu terletak pada bentuk fisiknya. Dengan kata lain nilai intrisik karya seni adalah nilai perbentukan fisik dari suatu karya, yaitu kualitas atau sifat dari perbentukan fisik itu yang menimbulkan rasa atau kesan indah. Menurut Anwar (1985 : 76-77) suatu perbentukan fisik karya seni yang menimbulkan rasa indah dianggap memiliki nilai normal karena ia memperlihatkan fungsi-fungsi psikologis dan sosiologis yang bersangkutan dengan terbentuknya keselarasan (harmoni). Sebaliknya, karya seni mempunyai nilai negatif,abnormal, jelek, bila gagal memenuhi salah satu fungsinya yakni memperlihatkan arah yang menimbulkan rasa atau kesan tidak indah atau bertentangan dengan tujuannya.

Pada musik, nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur nada, melodi, irama, dan harmoni. Pada tari, nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur gerak dan pola lantai(wiraga) irama (wirama), pengungkapan atau ekspresinya (wirasa), dan, bahkan mungkin terletak pada penampilan pakaian atau busananya (wirupa). Sedangkan pada karya seni rupa nilai intrinsiknya terletak pada struktur dan bentuknya.

Dalam karya seni rupa yang dimaksud dengan struktur adalah susunan atas serangkaian unsur-unsur rupa (visual) yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur rupa atau visual itu antara lain adalah garis, bidang, warna, gelap terang, ruang, dan tekstur.

Garis sebagai salah satu unsur rupa bisa diartikan sebagai : tanda atau markah yang membekas pada suatu permukaan dan memiliki arah (dalam hal ini bisa berupa grafis yang konkret yang terbentuk oleh suatu goresan yang membetuk irama), batas suatu bidang/permukaan, dan sifat atau kualitas yang melekat pada objek yang memanjang (Sunaryo 2000:7; lihat juga : Kartika 2004 : 40-41; Wong 1986 : 5). Djelantik (2000:19) mengemukakan bahwa terbentuknya garis dapat menimbulkan kesan tertentu pada pengamat, missal garis kencang berkesan keras, keras, sementara itu garis yang membelok atau melengkung berkesan luwes, lemah gemulai.

(19)

dipahami setelah ada sosok atau bentuk yang mengisinya atau unsur yang mengikutinya. Ruang mempunyai tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Dalam seni rupa dua dimensi, kesan ruang diciptakan oleh ilusi yang dibuat dengan pengolahan garis dan dibantu oleh warna sebagai unsur penunjang yang mampu menciptakan ilusi sinar atau bayangan yang meliputi gelap dan terang sehingga memiliki kesan tiga dimensi. Warna merupakan kualitas rupa yang membedakan kedua objek atau bentuk yang identik dengan raut, ukuran, dan gelap terangnya. Tekstur adalah sifat atau kualitas permukaan suatu benda. Ia dapat halus, kasar, polos, licin, mengkilap, berkerut, lunak, keras dan lain sebagainya. Tekstur terdiri atas tekstur visual dan tekstur taktil. Yang pertama dicerap me;lalui penglihatan yang kedua dirasakan dengan melihat dan rabaan tangan. Tekstur taktil dapat berupa tekstur nyata dan tekstur semu.

Struktur atau susunan unsur-unsur tersebut jika ditata atau dikomposisikan sedemikian rupa dengan menggunakan kaidah-kaidah estetis yang acapkali dikenal dengan istilah prinsip kesatuan, irama, keseimbangan, proporsi, dominasi, variasi, dan harmoni akan menentukan kualitas keindahan fisik suatu karya seni rupa (Lihat The Liang Gie. 2005; Djelantik 2004; Sunaryo 2000; Kartika 2004; Wong 1`986). Dngan kata lain dapat ditegaskan bahwa nilai intrinsik karya seni rupa dapat dilihat dari bagaimana kaidah-kaidah estetis itu digunakan dalam penataan susunan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.

2. 2.2. Nilai Ekstrinsik

Berlawanan arti dengan kata atau istilah intrinsik di atas, kata atau istilah eksrinsik berarti sesuatu yang berada di luar atau di balik suatu objek atau benda. Dalam kamus kata ekstrinsik berarti berasal dari luar atau tidak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sesuatu (Depdikbud 1989 : 223). Merujuk pengertian ini maka yang dimaksud dengan nilai ekstrinsik ialah kualitas atau harga yang berada di luar atau di balik suatu perwujudan fisik. Kualitas atau harga ini merupakan sesuatu yang tidak konkret yakni berupa pengertian, makna, pesan, dan ajaran atau informasi lainnya yang berharga. Nilai yang demikian ini dapat pula disebut dengan nilai simbolis, artinya dalam posisi ini karya seni adalah sebagai simbol yang memiliki makna, pesan, atau harapan-harapan di luar bentuk fisiknya itu.

(20)

membawa pesan-pesan, harapan-harapan, atau muatan-muatan makna di luar bentuk estetisnya itu.

Sebagai contoh, misalnya karya-karya pelukis Indonesia di zaman pra-kemerdekaan yang menggelorakan semangat perjuangan atau nasionalisme melalui bentuk-bentuk fisik dengan tema-tema tertentu seperti tema perjuangan, penindasan, penderitaan, dan lain sebagainya akibat penjajahan Belanda dan Jepang. Demikian pula pada zaman pasca kemerdekaan hingga pada era modern sekarang banyak dijumpai karya-karya seni rupa yang selain menampilkan bentuk-bentuk fisik estetis yang kreatif juga membawa pesan, harapan, muatan-muatan makna tertentu di luar bentuk fisiknya. Pada karya-karya instalasi misalnya, seniman bukan hanya sekadar menciptakan bentuk-bentuk kreatif yang unik, menarik, dan bahkan terasa absurd, tetapi lebih dari itu mereka ingin menyampaikan sesuatu di balik karya nya. Dengan kata lain karya tersebut berfungsi sebagai simbol dari apa yang sejatinya dirasakan atau diinginkan.

2. 2.3. Nilai Instrumental

Kata instrumental merupakan kata sifat dari kata instrumen yang berarti alat atau peralatan. Pengertian kata alat atau peralatan adalah segala benda atau barang yang dapat digunakan sebagai sarana mermbantu atau melakukan suatu tugas untuk mengerjakan kepentingan tertentu (lihat : Dedikbud 1996 : 382). Sebagai contoh, alat-alat musik adalah benda atau barang-barang yang memiliki tugas untuk memunculkan nada-nada tertentu bila dimainkan atau digunakan. Peralatan musik tersebut selain secara visual memiliki nilai bentuk atau struktur tertentu juga memiliki nilai instrumental sebagai benda atau barang yang berfungsi untuk memunculkan nada-nada tertentu jika dimainkan. Oleh karena itu, tidak akan ada arti atau harganya jika suatu alat musik tertentu meskipun secara visual memiliki nilai fisik atau bentuk yang indah tetapi tidak dapat digunakan atau dimainkan dengan baik dalam upaya menghasilkan nada-nada tertentu yang diinginkan dalam suatu permainan musik.

(21)

karya seni rupa yang memiliki nilai keindahan struktur dan bentuk tersendiri (nilai intrinsiknya).

Namun demikian hal itu belumlah cukup jika guitar itu tidak dapat digunakan atau dimainkan secara baik sebagai alat untuk bermain musik. Dengan demikian nilai instrumental guitar bukan hanya terletak pada nilai keindahan bentuknya saja tetapi lebih dari itu justru terletak pada fungsi alat itu ketika dimainkan yaitu apakah memenuhi keperluan yang diinginkan atau tidak. Contoh lain bisa ditunjukkan pada karya-karya seni perabot atau peralatan rumah tangga (mebeler). Suatu karya mebeler kursi atau meja misalnya, nilai instrumentalnya terletak pada tingkat kenyamanan barang tersebut ketika digunakan. Artinya meskipun secara visual mebeler tersebut desainnya bagus akan tetapi ketika digunakan tidak memenuhi kenyamanan fungsinya, sebagai tempat duduk atau menulis, maka nilai instrumentalnya menjadi rendah. Termasuk dalam kategori nilai instrumental ini adalah karya-karya seni rupa yang memiliki fungsi fisik sebagai tempat atau konstruksi.

Dalam karya-karya arsitektur, bangunan atau unsur bangunan misalnya, dikatakan memiliki nilai instrumental jika secara fisik bangunan atau unsur bangunan tertentu memenuhi fungsinya sebagai tempat yang nyaman dan memenuhi fungsi konstruksinya .yang menjamin keamanan penggunanya. Secara khusus, misalnya, unsur bangunan berupa tiang dengan berbagai bentuknya yang indah secara visual akan kehilangan nilai instrumentalnya jika tidak mampu memenuhi fungsinya dalam menopang atau menyangga suatu balok di atasnya secara maksimal. Dalam sejarah seni rupa Yunani atau Romawi kuno, dapat dilihat karya-karya seni tiang bangunan dengan bentuk kapitelnya yang sangat indah dan menarik namun secara konstruktif tetap kuat menopang balok yang berada di atasnya.

(22)

Dalam pengertian yang lebih luas, nilai instrumental karya seni bukan hanya yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik teknis sebagaimana dijelaskan di atas. Ada kalanya, nilai instrumental karya seni ini dimaknai secara abstrak sebagai media atau sarana untuk menyampaikan suatu misi atau pesan tertentu. Sebagai contoh, misalnya karya seni poster, baliho, patung, atau lukisan dapat dianggap memiliki nilai instrumental ketika karya seni tersebut dipakai sebagai media atau sarana untuk menyampaikan pesan-pesan atau misi tertentu kepada khalayak baik yang bersiafat komersial atau non-komersial. Itu sebabnya ada kalanya dapat dijumpai karya seni (rupa) yang difungsikan sebagai media atau sarana promosi, persuasi, atau edukasi.

3. Tugas

 Diskusikan dengan anggota kelompok Saudara tentang jenis-jenis dan makna nilai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Saudara. Masih dalam kelompok diskusi Saudara, amati dan identifikasi beberapa jenis karya seni rupa dilihat dari nilai intrinsik, ekstrinsik, dan instrumentalnya.

(23)

POKOK BAHASAN III (PERTEMUANKE-4-6)

ESTETIKA KLASIK DOGMATIS

1.Tujuan Perkuliahan

Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep estetika klasik-dogmatis yang meliputi konsep estetika platonisme dan konsep estetika neo-platonisme.

2. Materi Perkuliahaan 2.1 Estetika Platonisme

Ada dua tokoh filsuf penting yang perlu dikemukakan dalam kelompok faham estetika platonisme, yaitu Plato dan Aristatoles.Uraian penjelasan singkat mengenai pemikiran dua tokoh filsuf tersebut dibahas dalam paparan di bawah ini sebagai berikut.

2.1.1 Plato

Dalam tulisan Sahman (1993) dijelaskan beberapa pemikiran tentang pemikian Plato mengenai hakikat keindahan. Pandangan Plato mengenai konsep keindahan dikembangkan berdasarkan teori atau konsep tentang idea atau eidos. Plato berpendapat bahwa keindahan sebagai konsep idea memiliki esksistensinya sendiri terlepas dari eksistensi yang lain. Eksistensi idea bersifat transendental dan berada pada alam spiritual yang serba sempurna. Dunia idea merupakan kenyataan yang sesungguhnya yang paling sempurna dan menjadi contoh atau model yang abadi dan dilihat sebagai landasan untuk membuat kenyataan yang bersifat fisik. Kenyataan-kenyataan fisik yang bersifat alamiah bukanlah Kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya. Eksistensi dari kenyataan fisik atau alamiah hakikatnya adalah kenyataan semu atau tiruan dari kenyataan idea.

Dalam kaitan dengan seni, keindahan yang muncul bersifat semu atau tiruan dari keindahan yang ada di dunia idea. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa keindahan seni adalah imitasi yang bersifat mimesis (meniru) dari keindahan sesungguhnya yang berada di dunia idea.

(24)

atau derajatnya lebih rendah jika dibandingkan dengan keindahan idea. Dikatakan demikian karena keindahan seni yang muncul bersifat semu atau hanyalah merupakan tiruan yang, tentu saja, tidak akan pernah memiliki kesempurnaan. Dengan kata lain bagi Plato, seni sebaiknya tidak meingimitasi apa pun yang ada di sekitar kita sebagai sesuatu yang pernah ditahui atau dikenal sebelumnya. Seni yang baik, dengan demikian, mempersyaratkan adanya peran inspirasi dalam arti menyatu dengan keindahan idea (a communion with the idea of beauty). Pandangan ini menyiratkan bahwa sesungguhnya Plato tidak menyukai seni apa pun yang bersifat imitatif. Eidos (idea keindahan) menjadi kata kunci yang harus dijadikan sebagai acuan dalam membuat karya seni. Jika keindahan idea yang diacu, maka karya yang dibuat akan berpartisipasi di dalam eidos, artinya akan ikut menjadi indah karena mendapat aliran atau emanasi eidos keindahan itu.

Untuk mencapai eidos, bisa dilakukan melalui nous (arti harafiahnya adalah intelegensi atau kemampuan menalari secara dialektis). Sebelum memasuki dunia yang tidak sempurna, nous sempat melihat eidos. Eidos tertanam dalam jiwa atau

nous (yang dimaksud jiwa pranatal, jiwa yang belum diturunkan ke dunia menyatu dengan raga) untuk selama-lamanya, dan dapat dikenali dengan anamnesis

(pengenalan kembali). Lewat communion with the idea of beauty seniman akan mengamnanesis eidos. Namun produk anamnesis ini tidak pernah akan sesempurna eidos itu sendiri, apalagi setelah jiwa atau nous itu terikat pada raga (jiwa pascanatal).Keterikatan kepada raga menjadikan jiwa tak mampu lagi melihat eidos

dalam kadarnya yang paling murni. Menjangkau eidos memang tidaklah mudah. Untuk ke situ setidaknya perlu empat tangga yang harus dilalui, yakni : keindahan ragawi, keindahan rukhaniah, keindahan intelektual, dan keindahan mutlak.

Orang yang pernah mengenali atau bersatu dengan idea keindahan akan mendapatkan imortalitas. Di samping itu, jiwanya akan menjadi kreatif. Jiwanya akan sarat dengan ide-idea ia akan mampu berkarya secara kreatif sehingga seninya menjadi inventif (kaya akan penemuan-penemuan). Tidak seperti halnyapara teknisi (Plato sebenarnya adalah orang konservatif yang tidak menyukai pembahauruan-pembaharuan). Penghayatan eidos keindahan akan menjadikan potensi kreativitas menjadi kreativitas yang aktual.

Selain mempersyaratkan peran nous (sebagai potensi mental spiritual) dan

(25)

tidak menyukai keindahan, kita tidak akan termotivasi untuk mengadakan perjumpaan dengan eidos keindahan. Peran imajinasi tidak disinggung oleh Plato. Yang indah dalam artian yang mengacu pada eidos, tidak hanya mengekspresikan hakikat eiditis, tetapi juga yang dapat difungsikan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan tertentu. Yang indah adalah yang fungsional atau yang berguna. Kegunaan inilah yang menjadi tolok ukur keberhasilan suatu ciptaan. Yang memiliki otoritas menilai keberhasilan tersebut dari segi kegunaan atau utilitasnya adalah negarawan atau filsuf selaku seniman unggulan. Di dalam melakukan penilaian ini mereka akan menelaahnya dari segi tujuan moral dari polis (negara kota/masyarakat). Jika pertimbangan-pertimbangan teknis dan moral bertumbukan, maka yang terakhirlah yang akan dijadikan dasar pertimbangan.

Hal lain yang menarik untuk diketahui tentang Plato adalah apa yang pernah dikemukakannya teori tentang seni sebagai permainan, klasifikasi seni, dan kriteria mempertimbangkan seni imitatif. Yang pertama menjelaskan bahwa siapa pun yang ingin mengembangkan diri menjadi orang berkeahlian dalam bidangnya, sejak masa mudanya sudah melakukan langkah-langkah persiapan dalam bentuk permainan i berkesungguhan di dalam bidang tersebut. Misalnya, yang ingin jadi arsitek yang baik, harus mengawali langkah-langkahnya dengan membangun rumah-rumah mainan. Dengan cara demikian ia akan dapat menghimpun pengalaman yang diperlukan sebagai persiapan bekerja dan berkarya sebagai arsitek sungguhan. Yang kedua, oleh Plato, seni dibagi menjadi dua kategori, yakni yang lebih eksak seperti seni ketukangan kayu dan yang kurang eksak seperti seni musik. Yang ketiga, untuk kriteria mempertimbangkan seni imitatif, seseorang harus menjadi penilai yang kompeten yang memiliki tiga hal, yakni ia harus tahu pertama apa imitasinya, kedua ia harus tahu bahwa itu benar, dan ketiga ia sudah pernah melakukannya dengan baik.

Dalam pandangan lain (lihat: Sutrisno SJ dan Verhaak SJ 1993), diperoleh penjelasan tentang hakikat keindahan menurut pemikiran Plato. Menurut Plato, keindahan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori dunia, yaitu dunia idea dan dunia yang nyata. Yang pertama, keindahan yang hakiki atau sempurna adalah keindahan yang ada di dunia idea. Semua keindahan lain hanya ikut ambil bagian pada yang indah dalam dunia idea. Artinya, keindahan yang muncul hanyalah bersifat mimesis

(26)

nada yang sederhana. Yang dimaksud dengan sederhana adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi. Bagi Plato, kesederhanaan dilihatnya sebagai ciri khas keindahan, baik dalam alam maupun dalam seni. Keindahan kategori pertama dilepaskan dari pengalaman akan yang jasmani (karena dunia idea adalah dunia abstrak) sedangkan keindahan kategori kedua merupakan keindahan taraf kedua. Keindahan taraf kedua ini tidak pengalaman estetis dan keindahan sehari-hari, tetapi unsur inderawi dijabarkan sesedikit mungkin. Singkatnya Plato amat menghargaia dan menekankan pengetahuan murni (episteme) yang mengungguli segala pengetahuan semu (doxa), dalam bidang keindahan pun Plato amat menekankan bahwa yang berarti adalah idea (eidos), sedangkan yang lain dari idea itu hanyalah berhala (eidola atau idols) saja.

Dalam kaitan dengan karya seni, Plato menjelaskan penilaianya ada dua unsur, yaitu unsur teoretis dan unsur praktis. Unsur teoretis menyatakan bahwa segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli yang terdapat di dunia idea dan jauh lebih unggul dari pada kenyataan di dunia nyata ini. Karya seni merupakan tiruan dari (mimesis memesos) Oleh karena itu Plato menilai rendah karya seni. Karya seni adalah tiruan yang jauh dari kebenaran sejati dan menjauhkan warga negara terutama para remaja dari tugasnya membangun negara. Seniman dianggap baik dalam negara jika mereka menyajikan apa yang benar, baik, sopan dan adil, dan ikut mendidik rakyat.

2.1.2 Aristoteles

Dalam tulisan Surisno S.J. dan Verhaak S.J (1993) dikemukakan pokok-pokok penting tentang pemikiran Aristoteles dalam tautan dengan hakikat keindahan dan karya seni. Pokok-pokok penting pemikiran tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

Pandangan Aristoteles tentang keindahan agak dekat dengan pandangan kedua dari Plato, yaitu bahwa keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam atauapun untuk karya seni buatan manusia.

(27)

Aristoteles sendiri. Kalaupun ada catatan tentang seni rupa itu pun sedikit dan kalah menonjol bila dibandingkan dengan dengan pandangannya tentang tragedi.

Titik pangkal pandangan Aristoteles adalah bahwa karya seni harus dinilai sebagai tiruan, yakni tiruan dunia alamiah dan dunia manusia. Ia tidak sependapat dengan penilaian negatif Plato atas karya seni dengan dasar penolakannya terhadap teori idea. Tiruan di sini dimaksudkan tidak sekadar tiruan belaka. Maksud ini sudah jelas karena minat Aristoteles pertama-tama bukan seni rupa melainkan justru seni drama dan musik.

Menurut Aristoteles, karya seni seharusnya memiliki keunggulan falsafi, yakni bersifat universal. Kendati partikular, peristiwa dan peran yang dipentaskan harus melambangkan an mengandung unsur-unsur universal dalam kepartikularannya itu, yaitu unsur yang khas manusiawi yang seolah-olah berlaku pada segala masa dan dan segala tempat. Dengan demikian, karya seni diharapkan menjadi simbol yang maknanya harus ditemukan dan dikenali oleh penikmat berdasarkan pengalamannya sendiri baik dalam posisi sebagai pemain ataupun sebagai penonton.

Pokok pemikiran penting dari Aristoteles yang perlu mendapat perhatian adalah pandangannya tentang teori katharsis yang artinya pemurnian (dari kata kathoros

artinya murni atau bersih). Menurutnya, katarsis adalah puncak dan tujuan karya drama dalam bentuk tragedi. Segala peristiwa, pertemuan, wawancara, permenungan, keberhasilan, kegagalan, dan kekecewaan harus disusun dan dipentaskan sedemikian rupa sehingga pada suatu saat secara serentak semuanya tampak logis tetapi juga seolah-olah tak terduga. Pada saat itulah katharsis terjadi secara tiba-tiba, yakni seakan-akan segala masalah dan kejadian yang muncul tertimbun dalam pengalaman peran-peran utama dan dalam diri penonton tiba-tiba pecah atau mencair, tak jarang ini terjadi secara mengharukan.

Pandangan tersebut lama mempengaruhi filsafat karya seni, bahkan teori drama.

(28)

2.2 Estetika Neo-Platonisme

Sesudah Aristatoles, tidak ada teori estetika yang orisinal. Teori, kosep, atau pemikiran-pemikiran filosofis mengenai keindahan yang berkembang merupakan perkembangan dari teori, konsep, atau pemikiran sebelemumnya. Pada tahap ini acuan pemikiran bersifat Platonis telah dikembangkan sesuai dengan gagasan atau pemikiran mereka masing-masing. Pemikiran-pemikiran yang muncul kemudian dari beberapa tokoh tersebut lebih dikenal atau dapat dikategorikan dalam kelompok Estetika Neo-Platonisme. Beberapa tokoh tersebut antara lain adalah kaum Stoa, Plotinus, S. Agustinus, dan St.Thomas Aquinas. Di bawah ini dikemukakan secara singkat pokok-pokok pemikiran mereka sebagai berikut. Dengan mengutip tulisan Sutrisno S.J. dan Verhaak S.J. (1993) pokok-pokok pemikiran dari para tokoh tersebut dapat dibahas sebagai berikut.

2.2.1 Estetika dalam Pandangan Stoa dan Epikurisme

Pandangan aliran Stoa dan Epikurisme menyinggung persoalan filsafat keindahan dan karya seni. Dalam lingkungan Stoa, objek seni yang dibicarakan terutama, seni sastra seperti syair dan sajak. Dalam pandangan aliran ini yang dihargai dalam seni ialah keteraturan dan simetri. Keteraturan dan simetri dimaknai dapat menimbulkan ketenteraman jiwa (apathea) .

Berbeda dengan Stoa, aliran Epikurisme justru membicarakan seni musik sebagai objek kajiannya. Musik dan keindahan pada umumnya, tidak dihargai pada dirinya secara formal. Penghargaan akan yang formal itu menyangkut ukuran-ukuran yang seimbang atau kemurnian dan kesederhanaan, yakni sesuai dengan kriteria Plato dan Aristatoles, yang sebenarnya melanjutkan suatu pandangan dasar dari sekolah Pythagoras. Yang dihargai para penganut Epikurisme ialah isi keindahan yang bersifat material, antara lain demi pendidikan. Dengan begitu, mereka berdiri lebih dekat dengan Poietike filsafat maupun psikologi. Selain itu, sikap mereka dipengaruhi oleh penghargaan akan kenikmatan material.

2.2.2 Plotinos

(29)

termasuk diri manusia sendiri—manusia menempuh jalan kembali tersebut. Dalam menghadapi kenyataan tersebut dan dalam perjalanan kembali ke sumbernya, manusia mengalami sesuatu yang disebut indah. Keindahan itu ia temukan baik dalam yang terlihat maupun terdengar, bahkan juga dalam watak dan tingkah laku manusia.

Setelah mengalami keindahan, manusia mulai merefleksikan pengalaman tersebut. Plotinos menolak pandangan Stoa tentang simetri dan menganggapnya tidak perlu serta tidak memadai. Yang membuat sesuatu indah bukan warna, nada, bentuk, yang muni homogen. Sebaliknya, pengalaman akan keindahan justru terbentuk kalau ada persatuan anatara pelbagai bagian yang berbeda satu sama lain. Persatuan semacam itu hanya bisa terjadi jika ada heteroginitas dan bukan homogenitas. Misalnya, sebuah rumah atau perahu kita anggap indah karena kesatuan rancangan bentuknya. Semakin sesuatu mendekati Yang Esa`sebagai sumber dan tujuan segala-galanya dan ikut ambil bagian di dalamnya, semakin indahlah sesuatu itu.

Dalam perkembangan dunia dan pengalaman manusia kembali ke tujuannya, keindahan sekali-kali sirna. Pengalaman estetis ini menenteramkan dan akrab dan mengikat, memikat, dan mengambil dia kepadaNya.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Plotinos mendekatkan pengalaman estetis dengan pengalaman religius, bahkan puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah pengalaman religius yang disebut dengan pengalaman mistik. Sesuai dengan titik awal filsafat Plotinos (emanasi) titik akhir pun bukan karunia khusus, namun hanya merupakan penyelesaian dari awal itu. Meskipun begitu, tidak banyak insan mengendalikan diri dalam latihan.

Meskipun dipengaruhi oleh Plato, filsafat keindahan Plotinos amat berbeda. Seorang pelukis, misalnya, mula-mula meniru keindahan alam. Ini tidak berarti bahwa ia melengkapi keindahan alam, tetapi dalam interaksi seniman dengan alam di sekitarnya dan dalam terjadinya karya seni melalui tangannya, semuanya itu— termasuk senimannya sendiri—semakin menuju kembali pada keindahan asasi, sambil mengatasi dan melewati dirinya sendiri, sampai tak teraba dan teralami secara inderawi lagi.

2.2.3 Agustinus

(30)

keteraturan, dan lain-lain sebagai ciri-ciri khas keindahan. Di antara semua faham itu kesatuanlah yang dikemukakan Agustinus sebagai sumber atau dasar keindahan.

Yang lebih khas bagi Agustinus ialah bahwa menurut dia pengamatan mengenai keindahan mengandaikan dan memuat suatu penilaian. Artinya apabila kita menilai suatu objek itu indah, kita mengamati sebagai sesuatu yang sesuai dengan apa yang seharusnya ada di dalamnya, yakni keteraturan. Sebaliknya apabila kita menilai suatu objek itu jelek, kita mengamatinya sebagai sesuatu yang menyimpang dari apa yang seharusnya terdapat di dalamnya, yaitu ketidakteraturannya. Agar kita mampu mengamati kedua-keduanya, kita memerlukan idea tentang “keteraturan ideal” yang hanya kita terima lewat Terang Ilahi. Pandangan terakhir ini sesuai dengan paham “iluminisme” Agustinus, yang menilai rendah kemampuan manusia.

Keteraturan ideal betul-betul ada dalam apa yang diamati manusia. Yang hadir dalam objek yang indah itu, dan yang dapat kita bedakan berkat Terang Ilahi itu ialah “ splendor ordinis”, artinya gemilangnya keteraturan.

2.2.4 Thomas Aquinas

Pemikiran Thomas yang paling terkenal ialah keindahan berkaitan dengan pengetahuan; kita menyebut sesuatu itu indah jika sesuatu itu menyenangkan mata pengamat. Di samping tekanan pada pengetahuan, yang paling mencolok ialah peranan subjek dalam keindahan.

Menurut Thomas, keindahan harus mencakupi tiga kualitas, yaitu : integritas atau kelengkapan, proporsi atau keselarasan yang benar, dan kecemerlangan. Keindahan terjadi jika pengarahan subjek muncul lewat kontemplasi atau pengatahuan inderawi. Dengan begitu pada pokoknya indra-indra terasosiasi dengan keindahan yang paling berperanan bagi pengetahuan kita, misalnya penglihatan dan pendengaran yang berperanan bagi akal; kita bicara tentang penglihatan yang indah dan suara bagus; tetapi kita tidak bicara tentang perasaan yang indah dan bau yang bagus; kita tidak membicarakan keindahan dengan mengacu pada tiga indera lainnya. Di sini tampak sekali tekanan subjek dalam hal pengetahuan. Selain itu, dalam teks ini Thomas menunjukkan “berakhirnya kegiatan” dan tercapainya sesuatu yang diidam-idamkan. Lagi pula dalam teks itu peranan indera, dengan membedakan penglihatan dan pendengaran dari indera lainnya, tampak jelas.

(31)

dalam proses terjadinya keindahan, Thomas mengemukakan sesuatu yang baru. Peranan subjek sebenarnya sudah diangkat juga dalam teori Aristoteles tentang drama. Aristoteles, sama seperti Thomas, menggarisbawahi betapa pentingnya pengetahuan dan pengalaman yang terjadi dalam diri manusia.

3. Tugas

(32)

POKOK BAHASAN IV (PERTEMUAN KE-7&8)

ESTETIKA KRITISISME (KANTIANISME)

1. Tujuan Perkuliahan

Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep estetika kritisisme (Kantianisme) yang meliputi konsep estetika sebelum Kant, pada ma- sa Kant, dan sesudah Kant.

2. Materi Perkuliahan

Ketika estetika beralih dari tahap Dogmatis ke tahap Kritika, atau dari objektivisme ke relativisme, atau dengan lebih tepat ke arah subjektivisme, maka ia mengalami perkembangan yang membawanya keluar dari pembahasan ontologis dan masuk ke bidang pembahasan ilmu-jiwa. Inilah yang dikatakan salah satu di antara fenomena Revolusi Kopernik dalam filsafat.

Di bawah ini, dengan mengutip tulisan Anwar (1985) secara singkat akan dikemukakan pemikiran-pemikiran estetika pada masa sebelum, pada masa , dan sesudah masa Kant sebagai berikut.

2.1. Estetika Sebelum Kant

Jika kita memandang kepada gerakan filsafat sebelum Kant, maka dari jauh kita dapat dengan mudah menentukan bahwa gerakan itu berkisar antara dua aliran besar, yaitu : rasionalisme Leibnniz dan Baumgarten dan sensualisme Burke. Sedang Kant berusaha memadukan kedua aliran tersebut. Akan tetapi sebelum itu Descartes telah mengubah haluan filsafat umum dari objektivisme ke arah yang subjektif dan relatif sebagai tanda dibukanya babak baru di dalam sejarah pemikiran murni.

(33)

Ketika ditanyakan apakah keindahan itu, maka tak akan ada orang yang bisa menjawabnya. Ia berubah menurut tempat dan budaya bangsa. Kebenaran ada di seberang gunung, kata Pascal. Untuk mencapai kebenaran kita tidak boleh hanya berada di dalam batas budaya negeri sendiri, seperi katak di dalam tempurung. Kebenaran bersifat relatif.

Di tempat lain, estetika menurut Kant dapat dikatakan sebagai terjemahan dengan secara subjektif terhadap estetika Leibniz. Ini berarti bahwa Leibniz (1646-1716) mempunyai arti yang penting di dalam sejarah teori estetika karena ia telah menghidupkan kembali konsepsi lama seperti simbolisme, vitalisme, dan

teleologisme1 yang bertentangan dengan Descartes. Namun demikian, ia juga justru

memperdalam dan menyempurnakan apa yang masih tampak dangkal dan kurang dalam filsafat Descartes. Wujud menurut Leibniz merupakan lapisan yang bertingkat-tingkat, terdiri dari mahluk hidup yang membentuk kesatuan yang sagat seragam. Alam ini tidak lain dari gambaran tentang pengamatan kita, di mana ada satu, di sana ada banyak; dan keindahan seragamnya alam pada hakikatnya adalah pencerminan dari keseragaman yang terdapat di dalam diri kita sendiri.

Orang yang sangat besar pengaruhnya terhadap sejarah estetika adalah Baumgarten yang hidup sesudah Leibniz. Baumgarten (1714-1762) memperkenalkan kepada dunia nama “Aesthetika” untuk pengkajian khusus yang menyangkut teori tentang keindahan. Istilah ini akhirnya dap menjawab bahwa tujuan hidup at diterima sebagai nama dari setiap filsafat yang membahas tentang keindahan secara keseluruhan. Selain penemuan nama atau istilah itu, Baumgarten tidak banyak memberikan pikiran yang baru mengenai teori keindahan. Meskipun Kant banyak mengambil istilah-istilah teknis dari Baumgarten, namun justru dia banyak mengembangkan pikiran-pikiran baru. Karena pengkajian itu belum mempunyai nama khusus sebelum Baumgarten menemukan istilah tadi, maka Baumgarten di kemudian hari diberi gelar bapak ilmu estetika.

Beberapa karya lain menyusul setelah dierbitkannya “Aesthetika” karya Baumgarten pada tahun 1750. karya-karya itu berasal dari penulis-penulis Inggris yang bersifat empirisis, di antaranya “Analysis of Beauty” karya Hogarth (1753), dan

1 Istilah ini merupakan persoalan etika sebagaimana pernah dijelaskan oleh Aristoteles sebagai berikut.

(34)

Essay on the Sublime and Beautiful” karya Burke (1756). Analisis keindahan menurut Hogarth erat sekali hubungannya dengan seni bangunan (formative art), seperti seni ukir, patung, dan arsitektur. Ia mengemukakan prinsip abstrak tentang kesatuan dalam aneka (unity in variety) sebagai tingkat yang tertinggi dari keindahan.

Hogarth pada praktek artistiknya berusaha mencari keistimewaan di belakang batas kejelekan. Tema yang dikemukakan oleh Burke adalah sederhana. Ia mengemukakan bahwa selera tidaklah dapat dijadikan hakim keindahan. Cantik berasal dari tabiat atau instink kemasyarakatan yang ada pada manusia, sedang sublimisme (agung) berasal dari instink pemeliharaan diri. Yang membentuk kecantikan ialah “rasa kesenangan positif yang menimbulkan cinta diiringi lepasnya ketegangan urat saraf. Sedangkan agung ialah sebaliknya, erat hubungannya dengan ketegangan urat saraf. Kalau indah berasal dari idea tentang kesenangan yang bertalian dengan tabiat kemasyarakatn manusia, maka agung berasal dari idea-idea mengenai sakit dan bahaya yang menimbulkan emosi-emosi dahsyat, seperti kekosongan, kekuatan besar, diam, gelap , dan seterusnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa siang itu indah, malam adalah sublim, perempuan bersifat cantik, dan lelaki bersifat sublim.

Lord Kaimes sependapat dengan Burke dengan mengemukakan suatu titik tolak baru bahwa pengalaman mengenai suatu emosi walaupun sangat pedih seperti emosi takut atau kesengsaraan simpatis adalah menyenangkan. Seperti yang dikatakan Lord Kaimes, emosi menyedihkan adalah menyenangkan bila direnungkan. Perang, bencana alam adalah menyedihkan; tetapi kita suka mendengar beritanya dan senang melihat gambaran berkecamuknya, di dalam panggung sandiwara dan surat-surat kabar. Kejadian yang paling dahsyat dan ngeri justru yang paling mengesankan dan menggembirakan.

Di sini kita melihat antitesa aliran Platonisme, karena yang penting bukan keindahan “an-sich” tetapi selera manusia. Di sini benih-benih romantisme mulai disebarkan, dan pahlawan revolusi Kopernik di dalam filsafat, yaitu Kant, memperoleh landasan kuat bagi kritiknya.

2.2 Estetika Kant

(35)

forma atau konsepsi mengenai fenomena dan menganggap selera (geschmack) sebagai fungsi persepsi dan bukan fungsi akal. Mereka mengemukakan konsepsi subjektif tentang keindahan. Pendapat yang berserakan mengenai segi kejiwaan dari estetika ini akhirnya tersusun rapi di dalam filsafat Kant.

Ada pertentangan sebelum Kant mengenai idea tentang adanya “selera subjektif” sebagai bahan perasaan di satu pihak, yang terdiri dari segala apa yang terdapat di dalam daya rasa (sinnlichkeit) seperti ketiadapastian, kekhususan, dan penyusunan baru; di pihak lain mengenai idea tentang adanya “selera lain yang bersifat universal dan pasti. Idea mengenai selera perasaan ini berkesudahan pada dua kutub ini kadang-kadang dikembalikan kepada kesenangan dan kadang kepada penilaian, sehingga akhirnya selera itu sendiri tidak mempunyai arti apa-apa.

Filsafat Kant memiliki ciri khusus, yaitu ditemukannya “kritik ketiga” yang merupakan teori baru mengenai selera. Selera tidak lagi merupakan sekadar penilaian tentang perasaan “gefuehlsurtheit” tapi juga merupakan perasaan mengenai penilaian “urtheilsgefuehl”. Dengan kata lain ia bersifat universal, pasti, berdasar emosi.

Dalam bukunya “Kritik de Urtheilskraf” Kant mengemukakan beberapa pokok persoalan, yang secara umum mengemukakan dua aspek penting : pertama, tentang analisis daya penilaian estetis dan dialektika daya penilaian, kedua daya penilaian teleologis atau penyelidikan objecktive purposiveness di dalam alam. Analisis putusan terdiri dua hal, ikut. yakni tentang analisis tentang cantik (beautiful) dan analisis tentang agung (sublime). Hal pertama dipaparkan dalam empat pertimbangan sebagai berikut. Pertama, penilaian terhadap selera perasaan dari segi kualitas. Setelah menganalisis dengan teliti perasaan puas yang menjadi ciri putusan yang diberikan oleh selera, yaitu suatu perasaan yang tidak bertujuan apa pun. Kant membandingkan antara bentuk-bentuk pemuasan ini, yaitu pemuasan estetis terhadap selera, kelezatan dan kebaikan. Setelah membandingkan bentuk-bentuk ini, ia menyimpulkan definisi kecantikan berdasarkan pertimbangan pertama, bahwa “selera ialah kemampuan untuk memberikan putusan senang atau tidak senang atas suatu objek atau perbuatan tertentu dengan syarat bahwa putusan itu bebas dari tujuan. Objek dari rasa puas ini di sebut cantik”.

(36)

putusan yang tidak menegaskan mana yang lebih dahulu di antara dua hal tadi. Definisi lain tentang keindahan berdasarkankan pertimbangan yang kedua mengatakan bahwa keindahan ialah yang mendatangkan kesenangan dengan menyeluruh dan tidak berkonsepsi.

Pertimbangan ketiga mengenai putusan selera dari segi hubungan. Putusan selera bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari “daya tarik” dan “emosi” dan juga bebas`dari konsep “kesempurnaan”. Pertimbangan ketiga tentang keindahan ialah bahwa konsepi tentang adanya tujuan pada objek tapi tujuan itu tidak berwujud dengan tegas.

Pertimbangan keempat mengenai putusan selera menurut arahnya (menurut kesenangan yang timbul dari objek tertentu), yaitu bahwa keharusan kesenangan umum yang terlukis dalam putusan selera ialah keharusan subjektif, akan tetapi terwujud dalam bentuk objektif ketika dijangkau oleh indera bersama. Definisi terakhir keindahan adalah apa yang diakui sebagi objek pemuasan darurat yang tidak berkonsep.

Kant selanjutnya menerangkan perbedaan antara cantik dan agung. Ia sependapat dengan Burke bahwa agama adalah tidak termasuk bagian dari cantik. Kedua-duanya termasuk dalam penilaian estetis; kecantikan termasuk putusan selera. Sedangkan keagungan memiliki akar di dalam emosi kecedasan (geistesgefuehl) . Keindahan selamanya bertalian dengan bentuk (formal), tapi keagungan adakalanya bergantung pada forma dan adakalanya bergantung pada non-forma (uniform) yang menyangkut tidak adanya forma dan cacat. Kant membedakan antara dua bentuk keagungan ; bentuk matematis yang statis dan bentuk dinamis.

Kita perlu memahami perasaan estetis menurut Kant berada pada keselarasan pikiran dengan imajinasi dengan dasar bebasnya kerja imajinasi. Di samping itu geni atau semangat (geist) kreatif yang menghasilkan objek-objek seni tersembunyi pula di dalam adonan antara pikiran dan imajinasi. Teori keselarasan subjektif ini menafsirkan segala idea estetis Kant.

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan seni melibatkan semua bentuk kegiatan berupa aktivitas fisik dan cita rasa keindahan ( Estetik ) Aktivitas fisik dan cita rasa keindahan itu tertuang dalam

Penelitian dirangkum dalam bentuk buku yang bersifat semi-popular, yang diberikan judul ‘Seni dan Prinsip Estetika Jaman Bali Kuno: Masa Pemerintahan Udayana dan Anak

Matakuliah ini memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa agar secara mandiri mampu menghasilkan rancangan bahasa rupa melalui medium seni kriya sebagai solusi dari

Dalam sejarah seni rupa modern Indonesia, Ahmad Sadali dikenal sebagai Bapak Seni Lukis Abstrak dan salah seorang perintis seni rupa bernafas Islam.  Contoh Hasil Karya

Dalam seni kontemporer (termasuk seni modern) yang dihasilkan seniman tidak hanya karya yang indah, tetapi juga karya yang tidak indah dan tidak menyenangkana. Banyak

Sebagai sarana atau alat pendidikan, pendidikan seni sebagai sarana pendidikan estetik (apresiasi) berfungsi sebagai media pelestarian dan pewarisan nilai-nilai

Nilai Estetis Karya Seni Rupa Dimensi Nilai estetis yang bersifat subjektif, keindahan tidak hanya pada unsur- unsur fisik yang ditangkap oleh mata secara visual, tetapi ditentukan

Kreativitas seni rupa kontemporer memiliki ciri- ciri sebagai berikut:  Unik tidak memiliki persamaan dengan karya seni lainnya  Individual bersifat pribadi atau perseorangan 