• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Al-Quran sebagai Agenda

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID.pdf (Halaman 87-92)

NURCHOLISH MADJID

B UDHY M UNAWAR -R ACHMAN

3. Etika Al-Quran sebagai Agenda

Setelah berjalan lebih dari 35-an tahun—sejak 1970 hingga kini—tentu saja perkembangan Cak Nur semakin dalam, lebih historis dan interpre-tatif. Misalnya, terlihat dalam analisisnya mengenai arti kemodernan Islam, yang menjadi tema besarnya sekarang ini yang justru berbeda dengan masa sebelumnya sekarang, dipelajarinya secara mendalam melalui tradisi dan perkembangan sejarah umat Islam, dan juga sejarah zaman modern ini. Keluasan dan kemendalaman pikiran Cak Nur itu bisa kita rasakan kalau kita sempat menamatkan ensiklopedi ini. Misalnya, ia sangat menyadari bahwa jika hakikat zaman ini adalah teknikalisme dan sikap modern dalam kehidupan sosial-politik; sebagai suatu zaman baru, abad teknik ini, me-nurut Cak Nur, dapat dibandingkan dengan peradaban masa Islam klasik— yang telah mendominasi peradaban umat manusia selama paling sedikit-nya delapan abad, dan menjadi dasar munculsedikit-nya masyarakat modern Barat itu—dalam zaman klasik Islam, apa yang sekarang dianggap sebagai ideal manusia modern, justru telah menjadi kenyataan, seperti sikap-sikap uni-versalistik, kosmopolit, relativisme-internal, terbuka, dan menerima paham pluralisme dalam kehidupan sosial. Untuk menggambarkan ini, ia selalu mengutip Robert N. Bellah, yang juga termuat dalam ensiklopedi ini, “Islam klasik, di bidang konsep sosial-politiknya, menurut ukuran tempat dan zamannya waktu itu, adalah sangat modern. Tapi karena Timur Tengah waktu itu belum mempunyai prasarana sosial yang mendukung moderni-tas Islam, sistem dan konsep yang sangat modern itu pun gagal, sampai kemudian diadopsi oleh Barat.”

Begitu biasa Cak Nur sering menjelaskan genius kemodernan Islam. Konsep sosial-politik Islam disebut Cak Nur “sangat modern”, itu, justru disebabkan oleh sifat universal dan kosmopolitannya ajaran Islam. Sumber universalisme Islam dapat dilihat dari perkataan generik al-islâm itu sendiri, yang berarti “sikap pasrah kepada Tuhan”. Dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar pasti bersifat al-islâm (karena mengajarkan ke-pasrahan kepada Tuhan). Hingga al-islâm pun, tersebut menjadi konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity), yang keduanya merupakan kelanjutan dari konsep

ke-Maha-Esa-an Tuhan (the unity of God/tawhîd). Semua konsepsi kesatuan itulah yang menjadikan Islam, menurut Cak Nur, bersifat kosmopolit, sejalan dengan hakikat kemanusiaan yang “yang bersifat ilahi”, (hanîfiyah al-samhah).

Yang menarik, menurut teoretisasi Cak Nur, sebagai seorang Islam, al-islâm telah menjadi sebuah nama agama (organized religion): “Islam” apa artinya? Menurut Cak Nur, ini berarti umat Islam harus menjadi penengah (al-wasîth), dan saksi (syuhadâ’) di antara sesama manusia. Itu sebabnya orang Islam disebut, dalam istilah sekarang, sebagai golongan “moderator” atau mediator, di mana orang Islam diharapkan berdiri tegak di tengah. Seorang Muslim tak boleh ekstrem memihak terlalu jauh. Seorang Muslim harus selalu mempunyai dalam jiwa dan alam pikirannya melihat keadaan secara objektif, secara adil.

Cak Nur selalu menunjukkan bahwa keadaan umat Islam sebagai pe-nengah merupakan keadaan yang pernah dibuktikan dalam sejarah per-adaban Islam, yang sangat menghargai minoritas non-Muslim (Yahudi-Kristiani). Sikap inklusivisme ini ada karena Al-Quran mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality). Sikap inklusivisme dan pluralisme inilah yang telah menjadi prinsip pada masa jaya Islam, dan telah mendasari kebijaksanaan politik kebebasan beragama. “Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di zaman modern ini, prinsip-prinsip kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut, yang lebih konsisten dengan yang ada dalam zaman Islam klasik,” kata Cak Nur.

Berdasarkan argumen teologis tersebut, menurutnya, terletaklah cita-cita etika dan politik Islam di mana pun. Ia beranggapan karena cita-cita-cita-cita keislaman yang fitrah dan selalu merupakan pesan ( al-dîn al-nashîhah, “agama adalah pesan”) itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan: sehingga cita-cita keislaman di Indonesia juga harus sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Sehingga sistem politik Islam itu tidak hanya baik untuk umat Islam, tapi juga akan dan harus membawa kebaikan bagi semua masyarakat Indonesia. Dalam bahasa Cak Nur, seperti diungkapkan dalam ensiklopedi ini, “Kemenangan Islam adalah kemenangan semua

go-longan.” Semua pemikiran modernitas Islam, termasuk cita-cita politik Islam Indonesia itu titik tolaknya sangat jelas, yaitu konsep tawhîd, yang menurutnya, mempunyai efek pembebasan. Dalam sebuah entri, Cak Nur menyebut:

Bagi umat Islam, konsep lâ ilâha illâllâh itu menjadi semacam “teologi pembebasan”. Tetapi tentu saja kita harus berhati-hati menggunakan istilah yang terakhir ini, sebab “teologi pembebasan” yang biasa diasosiasikan dengan Amerika Latin identik dengan Marxisme. Ketika para pastur dan pendeta di sana tidak lagi melihat jalan lain untuk membebaskan rakyat Amerika Latin dari penindasan, mereka lalu membuat interpretasi Marxis terhadap ajaran-ajaran Kristen, terutama Katolik, maka disebut teologi pembebasan. Karena itu pula, salah satu unsur kekatolikan adalah penguasaan atas tanah-tanah oleh gereja.

Dalam Islam, pembebasan dimulai dari konsep lâ ilâha illallâh, yaitu bahwa untuk menjadi orang yang benar kita harus lebih dulu membebas-kan diri dari kecenderungan untuk menyucimembebas-kan setiap objek di depan kita; bahwa semua itu tidak suci, dalam arti tidak tabu dan tertutup, dan karena itu tidak boleh diletakkan lebih tinggi dari diri kita sendiri. Di sini, kita harus benar-benar hati-hati, sebab problem manusia bukanlah tidak percaya kepada tuhan, tetapi percaya kepada tuhan yang salah atau percaya kepada tuhan secara salah.

Pembebasan pertama dari tawhîd itu tentu saja pembebasan dari unsur-unsur mitologis (ini yang tahun 1970-an disebutnya dengan “sekularisasi”, sebuah kata yang kemudian selalu disalahpahami). Menurut Cak Nur, dalam soal kepercayaan kepada Tuhan, ateisme bukanlah problem utama manusia. Problem utama manusia sepanjang masa adalah politeisme atau syirik, yaitu kepercayaan yang sekalipun berpusat pada Tuhan, masih mem-buka peluang bagi adanya kepercayaan pada wujud-wujud lain yang di-anggap bersifat Ilahi, meskipun lebih rendah dari Allah sendiri. Dari sudut lain, ateisme itu sendiri, adalah bentuk lain dari politeisme, karena wa-laupun dalam pengakuannya mereka menyebut ateis, tapi dalam praktik-nya mereka mengambil sesuatu yang lain sebagai “tuhan”. Itu sebabpraktik-nya mengapa, menurut Cak Nur, program utama Al-Quran adalah membe-baskan manusia dari belenggu paham tuhan yang banyak, dengan men-canangkan dasar kepercayaan “negasi-afirmasi” yang diungkapkan dalam

kalimat al-nafy wa al-itsbât: Lâ ilâha illallâh. “Tak ada tuhan” setelah itu “kecuali Tuhan itu”.

Halangan utama mendapatkan pembebasan itu, kata Cak Nur, adalah belenggu yang kita ciptakan dalam diri kita sendiri, atau yang dalam bahasa agama disebut hawâ’ al-nafs, “keinginan diri sendiri”. Hawa nafsu ini, adalah sumber pandangan-pandangan subjektif, yang menjadikan manusia biased , dan menjadi dasar fenomena dari orang yang “menuhankan diri sendiri”. Seseorang disebut menuhankan diri sendiri jika, istilah Cak Nur, “ia memutlakkan pandangan atau pikirannya sendiri”, atau terkungkung dalam tirani vested interest-nya sendiri. Keadaan ini dapat menjadikannya kufr (bersifat kafir karena menolak Kebenaran). Cak Nur mengatakan, hanya dengan melawan itu semua, melalui proses pembebasan diri (self liberation) seseorang akan mampu menangkap Kebenaran dan, ketika ia telah dalam proses menangkap kebenaran itu, ia akan berproses dalam pembebasan dirinya.

Implikasi dari pembebasan ini adalah seseorang akan menjadi manusia yang terbuka, yang secara kritis selalu tanggap kepada masalah-masalah Kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam masyarakat. Sikap tanggap itu ia lakukan dengan keinsafan sepenuhnya akan tanggung jawabnya atas se-gala pandangan dan tingkah laku serta kegiatan dalam hidup ini yang muncul dari rasa keadilan (al-‘adl) dan perbuatan positif pada sesama ma-nusia ( al-ihsân).

Efek pembebasan tawhîd akan mengalir dari yang sifatnya individual kepada yang lebih sosial. Menurut Cak Nur, dalam Al-Quran prinsip tawhîd ini berkaitan dengan sikap menolak thâghût (“apa-apa yang melewati batas”), sehingga konsekuensi logis tawhîd adalah pembebasan sosial yang bersifat egalitarianisme. Tawhîd menghendaki sistem kemasyarakatan yang demokratis berdasarkan musyawarah, yang memungkinkan masing-masing anggota masyarakat saling memperingatkan tentang apa yang benar dan baik, dan tentang ketabahan dan kesabaran.

Etika Al-Quran tentang sistem masyarakat demokratis ini, menginspi-rasikan pemikiran Cak Nur tentang proses demokratisasi di Indonesia. Ter-jadinya dorongan ke arah demokrasi yang lebih maju oleh perkembangan

ekonomi disebabkan adanya kaitan yang jelas antara demokrasi dan tingkat kemakmuran rakyat. Ini meliputi jumlah besar kelas menengah yang me-mainkan peranan semakin penting di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, profesi, dan lain-lain. Demokrasi sendiri, menurutnya, adalah cara, bukan tujuan. Tujuannya jelas: keadilan sosial. Walaupun untuk mencapai itu selalu ada dilema, yaitu antara “pertumbuhan” dan “keadilan sosial”.

Dilema ini, bagi Cak Nur tampaknya merupakan konsekuensi yang akan menjadi bagian dari masalah besar masalah modernisasi. Dan Cak Nur sangat menyadari soal ini. Pertumbuhan ekonomi memang menim-bulkan masalah ketidakmerataan. Tapi pembangunan tanpa pertumbuhan tampaknya tidak mungkin. Karena itulah, berbarengan dengan pertum-buhan, problem keadilan sosial harus dipecahkan. Karena, tak akan ada keadilan sosial tanpa pertumbuhan. Pertumbuhan adalah jalan pertama pembangunan. Cak Nur amat-sangat yakin tentang hal tersebut. Karena itu, ia merasa pertumbuhan tersebut perlu dimulai dengan membangun kelas menengah (yang nota bene di Indonesia mayoritas adalah Muslim) yang kuat. Menumbuhkan kelas menengah inilah yang sangat menjadi perhatiannya (paling tidak secara intelektual), karena berkaitan dengan etos kerja dan transformasi masyarakat Indonesia. Di sini Cak Nur memikirkan tentang kemungkinan pengembangan etos kerja dari sudut teologi Islam. Untuk itu, ia mengambil manfaat dari tradisi Weberian dalam menafsirkan Al-Quran, termasuk di dalamnya mendinamisir teologi Al-Asy‘ariyah (yang sering diklaim orang sebagai Jabariah), hingga mempunyai dinamika seperti layaknya etika Calvinisme yang predistin itu, tapi membawa pada akumulasi kapital yang terus-menerus—sebagai akibat dari cara hidup asketis.

Dari sketsa tentang pemikiran Cak Nur di atas, tafsir al-islâm sebagai suatu konsep untuk mencapai common platform—yaitu tafsir al-islâm sebagai “sikap tunduk kepada Allah”, atau “sikap pasrah kepada Kebenar-an”—adalah tafsir yang sangat ideal, yang menurut Cak Nur, dapat men-jadi suatu titik temu agama-agama. Karena dalam pandangan ini, semua agama yang benar adalah agama yang membawa kepada sikap pasrah kepada Tuhan itu. Yang lain adalah palsu. Dalam konteks ini, Cak Nur

menjadi pelopor yang mengingatkan kembali paham-paham inklusivisme dalam beragama, yang dewasa ini cenderung terlupakan.

Dari sudut pandang yang menganggap “agama sendiri yang paling be-nar”, pandangan Cak Nur ini memang membuat shock, karena itu berarti kebenaran bukan monopoli suatu kelompok, bahkan tidak berhubungan dengan kelompok, tapi pada sikap pasrah itu. Di sinilah terletak sum-bangan Cak Nur, karena ia telah memberikan suatu kerangka orientasi ben-tuk keberagamaan yang tepat sejalan dengan perubahan masyarakat di ma-sa depan, termasuk bentuk-bentuk hubungan agama-agama yang tidak ter-elakkan lagi, akibat pluralisme yang menjadi gejala sosial masyarakat modern. Keberadaan suatu agama dewasa ini harus mempertimbangkan keberadaan agama lain karena kita sekarang hidup dalam suatu lingkung-an ylingkung-ang plural.

Maka respons sebagian masyarakat yang terlalu keras terhadap pe-mikiran Cak Nur malah mengherankan, sebabnya perspektif Cak Nur ini sebenarnya akan membawa pemahaman keislaman yang sangat humanis, dalam wawasan Islam substansial dan terbebas dari kemungkinan-ke-mungkinan Islam yang otoritarianisme. Suatu perspektif yang sangat di-harapkan menjadi kenyataan dalam masyarakat Islam di Indonesia: “Ke-menangan Islam di Indonesia diharapkan menjadi ke“Ke-menangan semua umat beragama.” Tapi sejauh mana ini akan berhasil? Inilah persoalan besar tantangan Islam di Indonesia dewasa ini.

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID.pdf (Halaman 87-92)