• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Belajar Siswa dalam memilih Teman Belajar

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

ANALISIS ETIKA BELAJAR SISWA MENURUT AL-GHAZALI

A. Konsep Etika Belajar Siswa

4. Etika Belajar Siswa dalam memilih Teman Belajar

Tidak kalah pentingnya seorang siswa dapat berakhlakul karimah dalam belajar dengan teman sebayanya di sekolah. Teman sebaya merupakan teman sepergaulan yang seumur dalam usianya. Dalam pergaulan seorang siswa dengan teman sebayanya sangat diperlukan adanya kerjasama, saling pengertian dan saling menghargai. Pergaulan yang dijalin dengan kerajasama yang baik dapat memecahkan berbagai kesulitan yang dihadapi, karena sangat banyak masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh siswa itu sendiri tanpa adanya kerja sama dengan orang lain.

13

hendaknya janganlah seseorang merasa lebih baik dari yang lainnya walaupun terhadap diri sendiri. Kalau kerja sama itu terjalin baik dalam pergaulan tak ubahnya seperti suatu bangunan yang mana didalamnya semua unsur saling keterkaitan dan kuat menguatkan.

Pergaulan yang ditopang dengan saling pengertian akan menimbulkan kehidupan yang tenang dan tenteram. Dengan adanya saling pengertian maka akan terbina rasa saling kasih mengasihi dan tolong menolong, sehingga apabila yang satu merasa sakit, maka yang lain ikut merasakannya.

Pergaulan yang dilandasi oleh saling menghargai akan menimbulkan rasa setia kawan yang akrab dan kerukunan yang mantap, serta tidak akan timbul rasa curiga mencurigai, rasa dendam, saling jelek menjelekkan, cela mencela, sehingga terhindar percecokan dan perkelahian antar pelajar.

Berdasarkan hal tersebut, Imam Al-Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah menjelaskan konsep etika belajar siswa dalam memilih teman, yaitu:

merupakan racun yang mematikan. Kelima, jujur, maka janganlah engkau mencari teman yang sangat pendusta karena engkau pun akan tertipu olehnya.14

Etika belajar siswa terhadap teman dalam mempererat ukhuwah Islamiyah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali yang berlandaskan tuntunan Nabi Muhammad, di ringkas oleh Ayuhan Asmara dalam beberapa point berikut:

1. I’tisham bi Hablillah (perpegang teguh pada tali Allah). Maksudnya, tanpa pertolongan Allah SWT mustahil ukhuwah dapat diwujudkan 2. Ta’lif al-Qulub (menyatukan hati), terhadap sesama muslim tidak pilih

kasih

3. Sikap tasamuh (toleransi) yaitu tengang rasa, penuh maaf, dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain

4. Musyawarah, yakni tolong menolong mempersatukan segenap potensi umat untuk menegakan kebenaran

5. Ta’awun, yakni tolong menolong memepersatukan potensi umat untuk menegakkan kebenaran

6. Takaful al-Ijtima’, yakni rasa kebersamaan dan solidaritas sosial 7. Istiqomah, yakni teguh pendirian, berjalan di atas jalan yag benar,

disiplin, dan bertangung jawab.15

Dikalangan dunia pendidikan Islam di Indonesia, contoh ukhuwah Islamiyah harus dibudayakan oleh semua komponen kependidikan, tidak hanya antar siswa, sehingga kehidupan kampus akan terasa sangat sejuk, damai, penuh persaudaraan. Bila ini terwujud maka amanah al-Qur’an dan as-sunnah menjadi realitas dan sudah pasti manfaat besar akan didapat kampus yang menerapkan ukhuwah Islmiyah sebagai potensi menuju cita-cita.

14

Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah..., h. 80-82 15

Ayuhan Asmara, Merajut Ukhuwah

Islamiyah,http://www.umj.ac.id/main/artikel/index.php?detail=20100922143210, diakses pada tanggal 10 Desember 2010 pukul 8.00 WIB.

belajar siswa menurut Al-Ghazali mempunyai empat konsep etika belajar siswa, yaitu 1) diri sendiri, yang meliputi aspek fisik dan psikis berupa aspek keimanan, akhlak, aqliyah, sosial dan jasmaniyah; 2) terhadap guru yang menekankan guru harus dianggap sebagaimana kita menganggap orang tua kita sendiri; 3) memilih pelajaran yang teridiri atas ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah; dan 4) memilih teman belajar yang terbaik dalam hal ketakwaan. Keempat konsep etika belajar siswa Al-Ghazali tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh untuk membentuk kepribadian siswa yang paripurna sehingga ia dapat berhasil dalam proses belajarnya meraih ilmu yang bermanfaat tidak saja hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.

Modern

Ismail Razi Al-Faruqi mengatakan bahwa inti masalah yang dihadapai umat Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan dan tugas terberatnya adalah memecahkan masalah tersebut. Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses pendidikan menghasilkan orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugasnya kepada tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila outputnya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap gagal.16

Ciri-ciri utama dari kegagalan proses pendidikan ialah manusia-manusia produk pendidikan itu lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir berbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Di berbagai media masa telah banyak diungkapkan mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para cendekiawan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Berbicara mengenai mutu pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas dari proses perubahan siswa di dalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup dalam pengetahuan, sikap, dan psikomotor.

Berangkat dari kondisi pendidikan kita, seperti telah dikemukakan di atas, tampak pemikiran Al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling diutamakan. Untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran Al-Ghazali bagi

16

M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 69

Dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Tujuan pendidikan

Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:

a. Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah

b. Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat.

Pendapat al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek sufistik. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu.

Secara implisit, Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai sesama manusia. Dalam sudut pandang ilmu pendidikan Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini dimaksudkan untuk melatih pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn hati seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap insan.17

Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk manusia paripurna, berbahagia di dunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh Al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan dengan upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.

17

Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Nainggolan, Hadri Hasan, (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 12

Imam Al-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan kebutuhan anak didik. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa hal ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.

Yang menarik adalah hingga hari ini pendidikan Islam di negara kita masih jauh terbelakang, dalam arti bahwa pendidikan Islam hari ini masih membedakan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu umum. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan beberapa polemic yang kemudian memunculkan upaya-upaya untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan atu modernisasi Islam yang pada prinsipnya hendak membangun kembali semangat umat Islam untuk selalu modern, maju, progressif dan terus melakukan perbaikan bagi diri dan masyarakatnya tanpa harus mengabaikan sisi ketakwaan kepada Sang Pencipta.18

Untuk menghilangkan kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendidikan tinggi Islam milik pemerintah seperti Madrasah Aliyah meningkatkan lembaganya ke tingkat lebih tinggi yakni ke tingkat Internasional. Jadi relevansi pandangan Al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik, misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disayangkan bila materi ini di kemudian hari menjadi hilang di lembaga-lembaga pendidikan.

Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah

18

M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab…, h. 68-74

seperti itu.

Dokumen terkait