• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode pendidikan Islam

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

ANALISIS ETIKA BELAJAR SISWA MENURUT AL-GHAZALI

A. Konsep Etika Belajar Siswa

3. Metode pendidikan Islam

Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan, namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah.19

Pendidikan agama kenyataannya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu, usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersifat sempurna, maka agama bagi murid dijadikan pembimbing akal.

Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan di atas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis siswa itu sendiri sebagai penggunaan metode pendidikan.

Azyumardi Azra dalam pengantar karya ilmiah Armai Arif Reformulasi Pendidikan Islam, mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.20 Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini.

19

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 75

20

Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.

Berdasarkan uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan demikian kesan Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak di bidang ruhani dan perasaan jiwa.

2. Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan sosial bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insan kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan di akhirat kelak. Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.

3. Materi pendidikan Islam menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ialah berasaskan berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.

Namun di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang fardhu ‘ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum, mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman pembagian ilmu menjadi religius dan intelektual “merupakan pembedaan paling malang yang pernah di buat dalam sejarah intelektual Islam”. Memang sarjana Muslim tidak menolak ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah “pengabaian ilmu intelektual”.21

21

Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung : Mizan,1997), h. 247

“klasifikasi ini bisa menyebabkan miss-konsepsi bahwa ilmu non agama terpisah dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam”.22 Demikian juga, Amin Abdullah mengkritik pendapat al-Ghazali tentang kewajiban adanya mursyid (pembimbing moral) bagi seorang yang ingin menempuh pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan tasawuf.23 Pemikiran rasional modem cenderung menolak posisi murid yang menurut al-Ghazali “seperti mayat di tangan orang yang memandikan” atau “ilmu tanpa guru, maka gurunya adalah Syetan.” Al Ghazali mengungkapkannya dengan bahasa:

etika atas metafisika.25

Selain itu, ada juga perbedaan-perbedaan di antara mereka yang berasal dari pendekatan metodologis terhadap masalah. Al-Ghazali menggunakan metode hipotesis, sementara Kant memanfaatkan metode analitis. Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang “teliti” terhadap ilmu-ilmu rasional. Karena Al-Ghazali lebih menekankan pada ilmu-ilmu agama, sedangkan bagi Kant keduanya (Ilmu-ilmu agama dan (Ilmu-ilmu-(Ilmu-ilmu rasional) adalah penting.26

Contoh yang menonjol dari kerancuan sikap Al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasional adalah konsepsinya mengenai hukum kausalitas. Konsepsinya begitu kabur karena dia menderita “ketegangan teologis” yang serius. Dia mempertahankan kedaulatan Tuhan atas seluruh fenomena alamiah dan fenomena moral dan menggarisbawahi kehendak mutlak Tuhan. Sedangkan Kant, dapat menguraikan ketegangan teologis ini tanpa harus menghilangkan kontak dengan esensi dasar pengalaman keagamaan, untuk tidak menggunakan terma teologi spekulatif.27

Penetapan Al-Ghazali dalam wilayah etika jauh lebih menonjol. Jika Kant, melalui penerapan fungsi konstritutif akal budi, dengan mudah dapat merumuskan hubungan antara keutamaan dan kebahagiaan sebagai hubungan kausal yang di dalamnya peran subyek aktif dominan, Al-Ghazali tidak dapat melihatnya dari perspektif serupa.

Dari sudut pandang teologis Al-Ghazali, ide tentang akhlaq atau etika hanya terkungkung dalam ruang lingkup terbatas dari ide normatif. Akhlaq tidak lebih dari wacana tentang baik dan buruk yang semata-mata berdasarkan perspektif teologis. Sebaliknya, Kant dapat mengatasi kesulitan ini. Baginya, moralitas atau etika bukanlah tanpa tatanan. Dia dengan jelas berkata bahwa pada esensinya

25

Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah (Bandung; Mizan: 2002), h. 120

26

Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 121 27

seluruh manusia rasional.28

Etika mistik (religius) Al-Ghazali hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat dan perhatian tertingginya adalah melihat Tuhan. Dia tidak memiliki konsepsi mengenai kehidupan sosial secara umum, dan ini dapat dicapai hanya melalui penyucian hati dan hidup menyendiri. Sedangkan etika filosofis mencoba menemukan prinsip dasar yang tertanam dalam setiap budaya akan memiliki nilai dan manfaat yang besar untuk mereduksi potensi konflik sosial dan ketegangan internal dalam diri kita.

Akhirnya penulis mengungkapkan bahwa untuk menyelamatkan manusia dari keadaan terperangkap dalam keterpecahan kepribadian memerlukan adanya kerja sama antara “etika wahyu” Al-Ghazali dan “etika rasional” Kant.

28

72 BAB V

Dokumen terkait