• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Ringkas Al-Ghazali

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

BIOGRAFI AL-GHAZALI

A. Sejarah Ringkas Al-Ghazali

Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad, mendapat gelar imam besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam dan mendapatkan julukan (laqab) ”Zainuddin”.1 Dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia suatu kota di Khurasan, Persia. Ia keturunan Persia dan mempunyai hubungan dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah seorang teolog muslim, faqih dan sufi abad pertengahan. Hanya sedikit tokoh dalam sejarah intelektual islam yang memiliki pengaruh sekuat dan seberagam Abu Hamid Al-Ghazali.2

Ayahnya adalah seorang fakir yang saleh. Bekerja hanya sebagai seorang pemintal benang wol. Bila ada waktu luang ia suka mengunjungi para ulama dan menuntut ilmu, seringkali mengabdikan dirinya untuk membantu Ulama, berbuat baik dan memberikan nafkah kepada Ulama. Dan apabila ia mendengar pembicaraan Ulama iapun menangis serta merendahkan diri dan berdoa kepada Allah swt agar dikaruniai anak dan menjadikannya sebagai anak yang berilmu agama dan pandai membimbing. Akan tetapi sebelum ia menyaksikan jawaban atas do’anya itu, beliau meninggal dunia ketika

1

Yusuf Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 9

2

Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 111

Sebelum meninggal, beliau menyerahkan kedua anak itu kapada salah seorang sahabatnya. Kedua anak itu kemudian mendapat bimbingan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Bimbingan ini berlangsung sampai harta warisan ayahnya yang dititipkan kepada sahabatnya itu habis untuk biaya pendidkan dirinya dan saudaranya. Untuk melanjutkan pendidiknnya itu, sang guru yang sederhana ini menyarankan kepada Al-Ghazali dan saudaranya agar melanjutkaan pendidikannnya di sebuah sekolah di kotanya. Dan merekapun melanjutkan pelajarannya pada sekolah tersebut tanpa dipungut biaya.4

Di madrasah tersebut Al-Ghazali belajar berbagai ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Kepada Yusuf An-Nassaj seorang sufi terkenal di masanya. Selain itu ia belajar pula kepada seorang faqih yang masih berada di kotanya yaitu Ahmad ibn Muhammad Ar-Razaqani. Terutama tentang yurisprudensi (fiqh) dan selanjutnya pergi ke Jurjan dan belajar kepada Abu-Nasr Al-Isma’ili.5

Setelah itu, Al-Ghazali pergi ke Nisapur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juawaini, Imam Al-Haramain (w. 478 H/1085 M). Dari beliau ini ia belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang yang memiliki ilmu sangat luas bagaikan laut dalam nan menenggelamkan (Bahrun Mughriq).6

Setelah Al-Juwaini meninggal dunia tahun 478 H/ 1085 M, Al-Ghazali pergi ke kota Nishapur. Ghazali mendatangi majlis menteri Nizham Al-Mulk. Majlis ini merupakan tempat pertemuan para ilmuan. Dalam majlis ini

3

Sulaiman Dunya, Al-Haqiqatu fi Nazhari Al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), cet. Ke-3, h. 18

4

Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, alih bahasa oleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bndung: Pustaaka, 1987), cet. Ke-1, h. 8

5

Abu al-Wafa al-Ganimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman-ke Zaman, alih bahasa oleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1997), cet. Ke-2, h. 148

6

Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Dr. Z.S. Nainggolan, M.A. dan Drs. Hadri Hasan, M.A., (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 25

M) ia diangkat oelh Nizham al-Mulk sebagai guru besar di Perguruan Nizhamiah di Baghdad. Di sini ia mendapat banyak murid. Di perguruan Al-Nizhamiah Al-Ghazali menjabat sebagai guru besar selama empat tahun.7

Dan pada tahun itu pula Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (ilmu tentang hukum, teologi dan ilmu filsafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizamiyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Selama kira-kira dua tahun Al-Ghazali di kota ini, ia melakukan uzlah, riyadhah dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Bait al-Maqdis, Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya, Thus; di sini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Dan pada periode itulah, ia menulis karyanya yang terbesar Ihya' 'Ulum al-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).8

Karena desakan penguasa Seljuk, Al-Ghazali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Jabatan inipun ia terima tetapi hanya bertahan selama 2 tahun saja. Setelah itu ia pun kembali lagi ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifin.

Setelah mengabdikaan diri untuk ilmu pengetahuan, berkarya dan mengajar, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111M, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuan saaudaranya, Ahmad Mujiduddin dalam usia 55 tahun di tempat kelahirannya. Beliau meninggalkan 3 orang anak perempuan dan seoraang anak laki-laki bernama

7

Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof..., h. 9 8

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet. 1, h. 78-79

sering disebut dengan sebutan Abu Hamid.

Ketenaran Al-Ghazali tidak terbatas hanya pada masanya saja, tetapi sampai sekarangpun masih diakui oleh masarakat pencinta ilmu. Ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ulama dan pemikir lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian ia mendapat gelar Hujjah al-Islam dan dianggap sebagai Pembaharu Abad V Hijriyah. Banyak ulama yang memuji serta menyanjungnya, di antaranya:

1. Imam al-Haramain, salah satu gurunya, mengatakan, ”Al-Ghazali adalah lautan ilmu yang luas.”

2. Imam Muhammad ibn Yahya, seorang murid Ghazali berkata, ” Al-Ghazali adalah Imam Syafi’i yang kedua.”

3. Abu al-Hasan Abd al-Ghafir al-Farisi, salah seorang ulama yang hidup semasa dengannya mengatakan, ”Al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan hujjah bagi seluruh umat Islam. Ia adalah imam dari semua tokoh agama. Mata manusia tidak pernah melihat orang yang setara dengannya dalam kefasihan lisan, kehebatan berbicara dan kepandaian ilmunya serta karakternya.”

4. Ibnu Najjar berkata, ” Al-Ghazali adalah imam bagi seluruh para fuqaha. Disepakati sebagai insan rabbani bagi umat Islam, mujtahid pada masanya serta kenyataanruang dan waktunya.”

5. Abu al-Abbas al-Mursi, seorang tokoh sufi mengatakan, ”Aku bersaksi bahwa Al-Ghazali telah mencapai derajat shiddiqin.”.

6. Ibn Katsir, pengarang kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, mengatakan, ” Al-Ghazali menguasai berbagai cabang ilmu secara baik. Ia memiliki karya tulis di berbagai bidang. Ia termasuk cendikiawan kaliber dunia dalam semua hal yang dibicarakannya. Ia telah menjadi tokoh pada masa muda, bahkan mengajar di al-Nadzamiyah dalam usia 34 tahun.”,

7. Ibn al-Imad al-Hambali dalam kitabnya Al-Syadzarat, mengatakan, ”Al-Imam Zainuddin, Hujjatul Islam, Abu Hamid adalah salah seorang tokoh yang telah menyusun berbagai karangan, memiliki hafalan kuat,

tidak mungkin dapat menemukan orang yang sepadan dengannya.”.9

Ketenaran Al-Ghazali seolah menembus ruang dan waktu, bahkan hingga sampai sekarangpun masih diakui oleh masarakat, terutama para pencinta ilmu. Tidak heran kalau buah pikirannya menjadi bahan pendidikan dan penelitian di mana-mana, khususnya diperguruan-perguruan tinggi.

Dokumen terkait