• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbeda dengan barat, Islam memandang seks sebagai sebuah naluri manusia. Seperti yang dikutip Abu Fathan dalam bukunya, Fikr al-Islam, Muhammad Ismail Mengatakan, “Dalam diri manusia terdapat suatu potensi kehidupan atau kebutuhan hidup (thaqat al-hayawiyyah)”. Potensi kebutuhan ini senantiasa mendorong manusia melakukan perbuatan dan menuntut pemuasan. Bentuk manifestasinya ada dua macam, yaitu :

1. Kebutuhan yang menuntut adanya pemenuhan yang tidak dapat di tunda, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka matilah manusia. Manifestasi semacam itu disebut kebutuhan jasmani atau Hajat al-‘Udhawiyah. Contohnya: makan, minum, bernafas, buang hajat dan sejenisnya.

2. Kebutuhan yang menuntut adanya pemuasan. Jika tidak terpenuhi maka tidak menimbulkan kematian pada manusia. Hanya saja ia akan mengalami kegelisahan sampai terpenuhinya kebutuhan tersebut. Manifestasi semacam ini disebut naluri atau gharizah yakni aktifitas yang berupa getaran-getaran perasaan alamiah yang mendorong adanya tuntutan pemuasan (Fathan, 2004:23). Adapun Gharizah jenisnya yaitu ada tiga:

a. Gharizat al-Baqa’ atau naluri untuk mempertahankan diri. Setiap manusia pasti mempunyai naluri ini, baik secara nyata, seperti nekad menghadapi kawanan perampok, mengendalikan setir bila mobilnya akan menabrak maupun penampakan secara halus seperti mendebat pendapat orang yang bertentangan dengannya.

b. Gharizat al-Tadayyun atau naluri untuk beragama atau menuhankan sesuatu. Apapun agama atau kepercayaan seseorang, mereka pasti membutuhkan “ibadah-ibadah” ritual untuk memenuhi nalurinya ini.

c. Gharizat al-Nau’ atau naluri untuk mempertahankan keturunan. Ringkasnya, naluri ini adalah naluri seksual. Pelampiasannya dengan berpandangan, berpegangan sampai berhubungan seks dengan lawan jenis (Fathan, 2004:23- 24).

Sebagaimana uraian di atas, kebutuhan jasmani dengan naluri sangat jauh berbeda. Dari segi munculnya dorongan tuntutan pemuasan keduanya juga berbeda. Dorongan terhadap kebutuhan jasmani bersifat internal. Seseorang timbul rasa ingin makan karena lapar, tidak perlu dirangsang dengan makanan yang lezat-lezat. Sedangkan dorongan munculnya gharizah adalah dari luar (Eksternal). Contohnya pemikiran atau kenyataan yang dapat di indera dan merangsang perasaan sehingga menuntut pemuasan. Gharizat al-nau’ misalnya, seseorang bisa dirangsang oleh pemikiran tenteng wanita cantik atau gambar-gambar porno sehingga ingin melakukan hubungan seks. Tanpa adanya rangsangan tersebut ia tidak akan membutuhkan pelampiasan.

Kesalahan ide barat mengenai seks, yang diwakili yang diwakili oleh pendapat Freud adalah memasukkan gharizat al-nau’ atau naluri seksual tersebut kedalam hajat al-‘udhawiyyah atau kebutuhan jasmani.

Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap naluri seks adalah sumber dari naluri-naluri lain. Memang pelampiasan naluri tersebut dilaksanakan secara fisik (hubungan seks). Namun tidaklah seseorang menemui kematian sebagaimana halnya tidak makan dan minum, bila tidak berhubungan seks. Ide mereka memang didasarkan fakta betapa berperannya seks dalam kehidupan. Islam juga tidak mengingkari itu. Al-Quran menyiratkan dalam Surat Ali ‘Imron ayat 14 sebagai berikut:

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa- apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis mas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14) (Departemen Agama RI, 1999:77).

Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wanita sebagai kecintaan pada dunia diletakkan oleh Allah pada posisi pertama, sebelum anak dan harta. Hal ini mengandung arti, bahwa naluri seksual seseorang terhadap kaum wanita memegang peranan penting dibandingkan dengan naluri yang lain.

Wanita sebagai subyek maupun obyek seksual lebih berharga dan berperan dari pada ‘hiburan’ yang lain. Nabi SAW sendiri pernah bersabda mengenai lebih

utamanya wanita, terutama wanita yang shalehah dibanding harta di dunia, “Dunia seisinya adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shaleh”.(HR Baihaqi) (Fathan, 2004:26).

Islam adalah agama yang sempurna, setiap perbuatan manusia pasti sudah diatur dalam hukum yang tergali dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Demikian pula mengenai hubungan seks, Al-Quran dan Sunnah juga memberikan tuntunan yang jelas. Ada beberapa aturan dasar mengenai kehidupan seks dalam Islam sebagai berikut :

a. Secara naluri pria tertarik pada wanita dan sebaliknya.

b. Pada badan manusia terdapat empat erotis yang dapat membangkitkan birahi. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk menutupinya, terutama bagi wanita agar tidak menimbulkan fitnah.

c. Islam mewajibkan menutup aurat, karena aurat ini sebagian besar merupakan tempat alat-alat kelamin bagian luar.

d. Islam melarang seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrimnya berkhalwat (berduaan atau bersunyi-bersunyian). Karena dalam keadaan demikian nafsu birahi keduanya bisa terangsang.

e. Islam melarang perzinaan karena tidak beradab dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.

f. Islam melarang perbuatan cabul seperti pemuasan seks dengan sejenis, onani atau masturbasi.

g. Islam menganjurkan menikah untuk menyalurkan naluri seks seseorang. Tapi bila yang belum mampu kawin, lebih baik berpuasa untuk mengendurkan nafsunya.

h. Islam menganjurkan khitan pada umatnya sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim a.s.

i. Islam mewajibkan mandi junub bagi yang junub, yaitu orang yang mengeluarkan mani(ketika mimpi basah atau berhubungan)atau berhubungan (walaupun tidak mengeluarkan mani).

j. Mewajibkan suami istri melakukan hubungan seks secara wajar. Dilarang menyetubuhi istri lewat jalan dubur.

k. Islam melarang menyetubuhi istri yang sedang haid.

l. Allah menerangkan proses terjadinya janin dalam rahim, yaitu berkat pertemuan antara sel lelaki yang disebut Spermatozoa dan sel perempuan yang disebut Ovum atau sel telur.

Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan ajaran agama, serta riset psikoanalis, dorongan seksual adalah titik lemah manusia yang tidak dapat dihentikan dengan menggunakan nasihat atau undang-undang. Dorongan tersebut harus diarahkan pada jalan yang semestinya. Dalam hal ini, bukan berarti jika dorongan seksual itu tidak dapat dihentikan, lalu tidak ada lagi batasan, undang- undang dan aturan.

Kita mengetahui bahwa di dunia barat selama berabad-abad, diberitakan secara luas bahwa menjadi budak dari hawa nafsu adalah bertentangan dengan moral, ketenangan batin, mengganggu ketertiban masyarakat, dan merupakan suatu penyakit dan penyimpangan. Sampai akhirnya keluar keputusan pelarangan penyaluran kebutuhan biologis, karena hal itu dipandang sebagai suatu perkara yang bertolak belakang dengan kesucian diri, nilai-nilai moral, dan ketenangan jiwa.

Kekeliruan mereka yang bermaksud menghalangi pembunuhan dorongan seksual adalah: mereka memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada manusia. Mereka tidak memperhatikan perbedaan mencolok antara manusia dengan binatang.mereka tidak memperhatikan bahwa dalam diri manusia terdapat kecenderungan yang tidak terbatas. Manusia, jika memiliki kesempatan dalam mengumpulkan harta, meraih kekuasaan politik, menguasai orang lain, dan juga dalam berbagai perkara seksual, maka mereka tidak akan berhenti dan akan selalu berusaha untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya.

Sebagaimana dapat kita baca dalam catatan sejarah, banyak raja yang memiliki beratus-ratus selir yang cantik dan sempurna, namun tatkala mereka mendengar ada seorang wanita yang cantik, mereka akan merasa gelisah dan memerintahkan para pengawalnya untuk segera mendatangkan wanita tersebut. Contoh lain adalah kondisi Eropa sekarang ini, dimana masyarakatnya telah melepas dan mencabut berbagai ikatan dan batas-batas moral. Hal itu bukan meredam dorongan seksual masyarakat, namun justru semakin mengobarkan nafsu seksual mereka. Dengan demikian, tidak sepatutnya mengekang dan membunuh nafsu seksual dan tidak sepantasnya pula melepaskanya secara bebas.

Masyarakat masih belum mampu memenuhi kebutuhan biologisnya secara rasional dan tanpa melanggar syariat. Dari satu sisi, hal ini disebabkan adanya berbagai krisis ekonomi, dan dari sisi lain disebabkan adanya mitos dan khurafat, tradisi yang salah, dan berbagai sebab lainnya yang menyebabkan para pria harus membujang selama 10 sampai 15 tahun setelah usia akil baligh.

Dokumen terkait