PERMOHONAN IJIN POLIGAMI
(Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syari'ah
Oleh :
M. TARGHIBUL HASAN
NIM. 21107013
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
MOTTO
”KUNCI TERCAPAINYA KESUKSESAN
ADALAH BELAJAR DAN BELAJAR DARI KEGAGALAN”
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Ø Tuhan Yang Maha Esa
Ø Untuk Bapak dan Ibuku tercinta Haji Ahmad Said dan Nayiroh yang selalu
memberikan dukungan dan do’a
Ø Untuk adik dan kakakku Ikul, Sahil, Maftukhin dan Salis
Ø Dosen pembimbingku Drs. H. Mubasirun, M.Ag
Ø Sahabat-sahabatku di UKM SSC STAIN Salatiga angkatan 2007
KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi
beserta isinya yang telah memberikan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Shalawat serta Banyubiru penulis sampaikan kepada pemimpin umat dan
penutup para Rasul, Muhammad SAW yang telah membimbing dan mendidik manusia
dari masa kegelapan menuju masa yang sangat terang benderang dengan syariatnya
yang lurus.
Skripsi yang berjudul “PERMOHONAN IJIN POLIGAMI (Studi Penetapan
Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL)” ini, Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu
(S1) Dalam Ilmu Syari'a pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga.
Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan: Apa faktor-faktor yang mempengaruhi
perkawinan poligami, Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di
Indonesia terhadap penetapan Pengadilan Agama Salatiga No.
0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu
menjalankan kewajibanya dan Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga
menetapkan izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya
kepada suami. penulis mengucapkan terima kasih kepada Yang terhormat:
1. Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag
2. Bapak Drs. H. Mubasirun, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan
meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penulisan
skripsi ini.
3. Segenap Hakim, Panitera, serta Pegawai Pengadilan Agama Salatiga yang telah
4. Untuk Bapak dan Ibuku tercinta Ahmad Said dan Nayiroh yang slalu
memberikan dukungan dan do’a
5. Untuk adik dan kakak ku Ikul, Sahil, Maftukhin dan Salis yang selalu memberi
dukungan.
6. Untuk Ita Anjarwati yang selalu menungguku
7. Sahabat ku Eko Haryanto, S.PdI, yang telah memberikan motivasi dan
memberikan masukan. sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
Semoga segala amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh, yang akan
mendaptakan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.Amin.ya rabbal
‘alamin
Salatiga, 15 Augustus 2012
ABSTRAKSI
Hasan, M. Targhibul.2012. Permohonan Ijin Poligami (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Drs. H. Mubasirun, M.Ag
Kata kunci: Permohonan Ijin Poligami (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL).
Penelitian ini membahas tentang. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami, Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di
Indonesia terhadap penetapan Pengadilan Agama Salatiga No.
0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya dan Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga menetapkan izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya kepada suami. adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami, untuk mengetahui dasar hukum penetapan perkawinan poligami dan untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian analisis penetapan (deskriptif analisis) dengan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data melalui dokumentasi, wawancara, dan obeservasi (pengamatan). Metode analisis datanya menggunakan teknik analisis deskriptif. Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan alternatif. Sumber data adalah sumber data primer melalui wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga dan dokumen (arsip penetapan nomor No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL), sedangkan sumber data alternatif adalah pasal 4 ayat (2) UU No.1 Th.1974 tentang Peradilan Agama dan syarat kumulatif pasal 5 ayat (1) UU No.1 Th.1974.
DAFTAR ISI
JUDUL...i
PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii
PENGESAHAN KELULUSAN...iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...v
MOTTO...vi
PERSEMBAHAN...vii
KATA PENGANTAR...viii
ABSTRAK...x
DAFTAR ISI...xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Rumusan Masalah...6
C. Tujuan Penelitian...6
D. Kegunaan Penelitian...7
E. Penegasan Istilah...7
F. Telaah Pustaka………..8
G. Metode Penelitian………...10
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian...10
2. Sumber Data ………..10
3. Metode Pengumpulan data ...10
4. Analisis Data...11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Poligami dalam Perspektif Islam ...14
1. Pengertian Poligami ………...14
2. Bentuk-bentuk Hubungan suami isteri ………...15
3. Dasar Hukum Poligami...18
4. Alasan Poligami ……...20
5. Batas Maksimal Wanita yang Dapat Dipoligami ………... 22
B. Poligami dalam Perspektif Undang-Undang ………25
C. Pandangan Islam terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami ………..27
D. Etika dan kebebasan seksual dalam Islam ……….29
BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga…..………36
1. Lahirnya Pengadilan Agama Salatiga...36
2. Perkara di Pengadilan Agama Salatiga ………...38
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga ……….………44
4. Penyelesaian Perkara Poligami di Pengadilan Agama ………... 46
B. Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/Pdt. G/2010 Tentang Diterimanya Ijin Poligami ……….………….51
1. Permohonan Ijin Poligami Perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………51
2. Proses Penyelesaian Perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………..53
4. Dasar Hukum ………55
5. Penetapan Majelis Hakim
Atas perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………..55
BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL TENTANG DITERIMANYA IJIN
POLIGAMI
A.Penyelesaian Terhadap
Perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL ………56
B.Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim
Dalam Menetapkan Perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL ……….63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...69
B. Saran...71
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan Agama yang sempurna, Islam tidaklah otoriter dalam
menghadapi fenomena yang ada, tetapi lebih lentur dalam konteks kemaslahatan untuk
terciptanya masyarakat rahmatan lilalamin yang diridloi Allah SWT. Pernikahan
merupakan peristiwa yang sakral, dan Islam mengaturnya dengan tata cara yang diatur
oleh syari’at untuk memuliakan makhluknya sesuai dengan tujuan diciptakannya
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk yang
lainnya. Jika ada surga di dunia maka surga itu adalah pernikahan yang bahagia, tetapi
jika ada neraka di dunia adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan
kecurigaan-kecurigaan yang menakutkan diantara suami istri (Adhim, 1998:28).
Allah SWT. Menciptakan manusia dengan baik, di mana Allah menciptakan
seorang laki-laki dari jenisnya sendiri, agar dia merasa tentram di sisinya, kemudian
Allah mengikat mereka berdua dengan tali pernikahan, kasih sayang dan cinta
Artinya: “Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya
baik dari apa yang ditumbuhkan di muka bumi dan dari diri mereka maupun dari apa
yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. Yasin: 36) (Departemen Agama RI, 2005:801)
Dalam Islam perkawinan mempunyai tujuan yang jelas dan ada etika yang
harus dijaga dan dipatuhi oleh suami sitri. Misalnya untuk mencapai ketenangan dan
kebahagiaan (Drajat, 1982:121). Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pernikahan
dilakukan dengan tujuan untuk kebahagiaan yang kekal dan abadi. Begitu juga dalam
KHI dijelaskan bahwa tujuan pernikahan yaitu Sakinah, Mawaddah, Warahmah
(Abdurrahman, 1999:114). Islam membuat konsep untuk kebaikan manusia supaya
kehidupannya terhormat sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, karena
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera memang menjadi dambaan setiap orang.
Ketenangan dan kebahagian yang penuh dengan rasa kasih dan sayang dalam
kehidupan suami Istri perlu dipertahankan sepanjang hayatnya. Dengan demikian
keluarga yang dibinanya akan muncul sebagai komponen masyarakat sesuai dengan
cita-cita (Al-Quthb, 1999:116). Ketika pasangan tersebut tidak mampu lagi mengemban
tanggung jawab dan menegakkan kehidupan sesuai tuntutan syariat Islam, yaitu
mencurahkan kasih sayang dan mendapatkan kebahagiaan, maka dalam situasi semacam
ini, pasangan tersebut tidak lagi layak meneruskan bahtera rumah tangga. Untuk
menjaga keutuhan rumah tangga dan kebahagiaan bersama, maka apabila terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan, salah satu pihak harus secepatnya mencari solusi
permasalahannya. Apabila sang istri tidak bisa memberikan keturunan atau melayani
suami dengan layak, sebuah alternatif yang bisa ditawarkan oleh syari’at Islam yaitu
bisa memberi keturunan, tidak bisa melayani suami atau cacat badan dan sakit yang
tidak bisa disembuhkan (Al-Quthb, 1999:11).
Berkenaan dengan poligami, UU No.1 tahun 1974 dalam Pasal 3 memuat
beberapa ketentuan sebagai berikut :
1. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan, seseorang hanya mempunyai seorang
istri, wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Di dalam masyarakat begitu banyak alasan yang menyebabkan sesorang
melakukan poligami. Dari hal-hal yang sepele yang terkadang tidak dapat diterima
dengan akal pikiran dan bertentangan dengan nilai keadilan dan persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan sampai kepada hal-hal yang memang diperbolehkan oleh
syariat serta tidak menodai rasa keadilan dan hati nurani. Salah satunya adalah karena
alasan seorang isteri tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri terhadap
suami.
Hal ini menjelaskan agar manusia tidak terjerumus ke dalam jurang yang
penuh dengan kenistaan, serta membedakan antara manusia dan hewan dalam
menyalurkan hasrat biologisnya (Hakim, 2000:15). Menurut fitrahnya, manusia
dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan seks (libido seksualitas). Oleh karena itu
Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang
sesuai dengan derajat kemanusiaan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata
dimaksudkan untuk menunaikan hasrat biologis tersebut.
Rumusan tujuan perkawinan diatas dapat diperinci sebagai berikut:
2. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.
3. Memperoleh keturunan yang sah.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada asasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberikan
izin kepada suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang
bersangkutan. Dalam syari’at Islam lebih disukai bila laki-laki hanya mempunyai
seorang isteri, bahkan kalau mungkin ia tetap mempertahankannya sampai akhir
hayatnya. Perkawinan yang diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Suasana yang sulit dilaksanakan seandainya seoranglaki-laki
memiliki lebih dari seorang (Hakim, 2000:113). Poligami merupakan salah satu bentuk
aturan hidup yang ada sebelum Islam. Biasanya, poligami dilakukan oleh orang-orang
perkasa atau memiliki kekuasaan, seperti para raja dan atau para panglima perang.
Tradisi poligami kala itu dijadikan sebagai bentuk keperkasaannya seseorang. Banyak
para raja yang memiliki banyak isteri dan selir. Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh
kaum-kaumterdahulu sebelum Islam datang (Husein, 1999:2).
Poligami bukanlah suatu hal yang dianjurkan dalam agama Islam, sebaliknya
juga bukan merupakan suatu larangan. Tetapi Islam memberikan peluang untuk
berpoligami sebagai upaya untuk mengatasi kepentingan yang bertalian dengan
kemaslahatan masyarakat dan para pelakunya dan bukan sebagai ajang coba-coba atau
sekedar untuk menyalurkan seks semata. Poligami adalah rahmat Allah SWT. kepada
manusia yang telah disediakan untuk mengatasi kesulitan dan merupakan jalan keluar
bagi mereka yang belum atau tidak menemukan tujuan yang didambakan dalam
menghapus poligami, walaupun Islam menghapus poliandri. Alih-alih itu Islam
membatasinya sampai empat orang isteri. Lagi pula Islam menetapkan syarat dan
batasannya, dan tidak mengizinkan setiap orang mempunyai beberapa isteri (Muthahari,
2003:217). Meski Islam sudah mengatur masalah ini, namun kerap kali timbul
permasalahan dari sebagian orang yang berpoligami. Hal ini bisa terjadi karena para
isteri yang tidak pandai merebut hati suami, atau karena ketidaktahuan dan kesalahan
suami dalam menginterpretasikan hukum tersebut sehingga dapat mendorong suami
memperlakukan isteri-isterinya dengan tidak adil (Muthahari, 2003:6).
Dengan alasan-alasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
dikabulkannya permohonan izin poligami di Pengadilan Agama, maka yang menjadi
perhatian penulis ialah tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu
memenuhi kewajibanya kepada suami, hal (alasan) tersebut menjadi pertanyaan penulis,
apakah ketidakmampuan seorang isteri dalam memenuhi kewajiban terhadap suami itu
dapat diqiyaskan dengan syarat yang ada dalam pasal 4 ayat (2) sub (b) UU No. 1 Tahun
1974 yaitu “Apabila isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan”, dan terlebih lagi seorang isteri tidak sanggup menjalankan kewajibanya
kepada suami, dan suami telah mengetahuinya. Dan selama itu pula si isteri dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri dengan dikaruniai 5 orang anak. Akan tetapi
Pengadilan Agama Salatiga memutuskan untuk menerima dan mengabulkan
permohonan poligami tersebut. Untuk mengetahui keadaan sebenarnya dalam
menyelesaikan perkara tersebut maka penulis perlu mengadakan penelitian dan analisa
dalam skripsi dengan judul:
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada diatas, agar lebih praktis maka dalampenelitian
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap
penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin
poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya?
3. Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga menetapkan izin poligami
terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya kepada suami?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami
2. Untuk mengetahui dasar hukum penetapan perkawinan poligami
3. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia
D. Manfaat penelitian
Studi ini diharapkan sekurang-kurangnya dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Secara teoritis : untuk menambah hazanah keilmuan mengenai izin poligami. Maka
dengan itu dapat dijadikan salah satu bahan untuk melakukan kajian atau penelitian
lanjutan bagi akademis atau penelitian berikutnya.
2. Secara praktis : dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
tentang izin poligami yang mungkin terjadi dikemudian hari. Bagi praktisi hukum,
hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sebuah kontribusi pemikiran dalam
berkompeten dalam menangani dan melaksanakan tugasnya, khususnya hakim
Pengadilan Agama Salatiga.
E. Penegasan istilah
Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisian judul secara
operasional agar dapat diketahui secara jelas dan Untuk menghindari terjadinya
kesalahfahaman dalam pengertian maksud dari judul di atas, maka penulis memberikan
definisi yang menunjukkan ke arah pembahasan sesuai dengan maksud yang
dikehendaki dengan maksud dari judul tersebut adalah sebagai berikut :
1. Poligami : Ikatan perkawinan di mana salah satu pihak mempunyai atau menikah
beberapa lawan jenis (Sudarsono, 1999:148). Suatu perkawinan antara seorang pria
dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama (Soemiyati, 1999:74).
2. Hukum Islam : Peraturan yang bersumber dari hukum fiqih yang berdasarkan
3. Menurut Bapak Drs. H. Musaddad Zuhdi Wawancara pada hari selasa, 4 Desember
2012 jam 12.30 WIB. “Penetapan : Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
dari Pengadilan Agama Salatiga”.
4. Pengadilan Agama Salatiga : Badan peradilan khusus untuk orang beragama Islam
dalam lingkup wilayah Kota Salatiga yang memeriksa dan memutus tentang
perceraian, talak, waris, wasiat, wakaf, hibah dan lain-lain yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
F. Tinjauan pustaka
Dalam pembahasan mengenai poligami. Penulis dalam penelitian ini akan
mengacu pada beberapa literatur, baik berupa buku maupun skripsi. Beberapa buku
yang dianggap dapat mewakili dan dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi ini,
1. DR. Musfir Aj-Jahrani (1996) dalam bukunya yang berjudul Poligami dari Berbagai
Persepsi. Dalam buku ini dijelaskan tentang definisi, jenis, sejarah dan hikmah
poligami. Disamping itu juga dijelaskan tentang berbagai pendapat ulama terkait
dengan poligami.
2. DR. Abdul Nasir Taufiq Al ‘Atthar (1976) dalam bukunya yang diterjemahkan oleh
Dra. Chadidjah Nasution dengan judul Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial
Dan Perundang-Undangan. Dalam buku ini dijelaskan tentang tinjauan agama,
sosial, dan perundang-undangan terhadap poligami. Lebih menarik buku ini
menjelaskan tentang berbagai argumen beberapa pihak yang pro dan kontra terhadap
poligami dan mensinergikan antara poligami dengan tatanan sosial dalam
masyarakat.
3. Haidar Abdullah (2003) dalam bukunya yang berjudul Kebebasan Seksual dalam
Islam. Buku inimenjelaskan tentang etika seksual dalam Islam disamping
mendeskripsikan tentang etika seks yang dianut oleh dunia barat. Dijelaskan pula
tentang asas monogamy dan poligami dalam perkawinan. Menariknya buku ini
mengkorelasikan poligami dengan kontrol populasi masyarakat.
4. Michele Weiner Davis (2004) dalam bukunya “The Sex-Starved Marriage, A Couple
‘s guide to Boosting Their Marriage Libido” yang kemudian diterjemhkan oleh Susi
Purwoko dengan judul yang sama. Dalam buku ini dijelaskan secara gambling
tentang pernikahan dan problema seksnya. Dipaparkan juga tentang petunjuk bagi
para lelaki yang mempunyai libido seks yang rendah dan tinggi. Buku ini dijadikan
pedoman untuk mendapatkan gambaran tentang hiperseks dan mencari solusinya.
5. dr Boyke Dian Nugraha, DSOG dengan bukunya yang berjudul “Problema Seks dan
dan dampak yang ditimbulkan, serta berusaha menyodorkan solusinya, seperti onani,
gay, keperawanan, WTS, biseks, hiperseks, alat kelamin, dan lain-lain. Buku ini
seolah menjadi penjelas bahwa hiperseks merupakan salah satu kelainan atau
problema seksual.
6. Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:
a. adanya persetujuan dari istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka (material);
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka (immaterial). Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya
ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk
menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau
tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan
G. Metode Penulisan Skripsi a. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yakni sebuah penelitian yang
menggunakan informasi yang diperoleh dari buku atau kutipan dengan mengkaji
penetapan hakim Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL
b. Sumber Data
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen, yaitu penetapan
hakim No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL tentang isteri yang tidak mampu
menjalankan kewajibanya kepada suami sebagai salah satu alasan di
diperbolehkannya poligami.
2. Sumber Data Skunder
Sumber data skunder yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah
buku-buku penunjang yang berkaitan dengan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
a) Dokumentasi
Pengumpulan data dokumentasi diperlukan karena sumber data tidak
hanya tempat dan orang, tetapi juga ada arsip – arsip dan dokumen,. Oleh
karena itu, penulis menggunakan metode documenter (Arikunto, 1998:236).
yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa
tulisan-tulisan, buku, artikel-artikel yang relevan dengan tema penulisan skripsi ini.
Dokumentasi utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
penetapan PA No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL
b) Study kepustakaan (library)
Yaitu sebuah tehnik pengumpulan data melaui kepustakaan yakni dengan
membaca dan mengkaji antara satu buku dengan buku yang lainnya, ini
dimaksudkan untuk menggali data literatur yang dapat dipastikan sebagai
landasan teoritis bagi permasalahan yang dibahas.
4. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data penulis menggunakan metode Content
keputusan. Segala pendekatan dalam skripsi ini penulis menggunakan
pendekatan tekstual yuridis (Muhadjir, 1996:159-160). Yaitu suatu cara
pendekatan maslah dengan meneliti dan mengkaji yang berdasarkan pada
teks-teks yang mempunyai relevansi dengan permaslahn yang sedang di bahas baik
berupa kitab suci al-Qur’an, al-Hadits, kitab-kitab keagamaan maupun
buku-buku kepustakaan lainnya
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Sebagai karya ilmiah skripsi ini disusun dengan menggunakan sistematika
tertentu sehingga secara global materi penulisan terbagi menjadi beberapa bab, yang
secara keseluruhan dikemukakan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bab ini adalah bagian pembuka yang memuat Latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penulisan skripsi, dan
sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Ketentuan Umum Tentang Poligami dalam Islam
Bab ini berisi pengertian umum Poligami (Pengertian, dasar hukum,
alasan-alasan poligami), Pandangan Islam terhadap poligami dan Pandangan Islam
terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang
isteri kepada suami. Bab ini merupakan landasan teori yang dipergunakan
untuk melangkah ke bab selanjutnya.
BAB III : Gambaran Umum Pengadilan Agama Kota Salatiga dan Penetapan No.
0525/Pdt. G/2010/PA.SAL
Pada bab ini penulis mengemukakan kedalam tiga sub bab, yaitu sekilas
diperbolehkannya poligami karena alasan Isteri tidak dapat memenuhi
kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami dan isi amar penetapan serta
dasar penetapan PA Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL
BAB IV : Analisis Penetapan PA Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL tentang
diperbolehkannya Poligami dengan alasan Isteri tidak dapat memenuhi
kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami.
Pada bab ini penulis akan menganlisis beberapa permasalahan tentang putusan
isi amar serta dasar penetapan Pengadilan Agama Salatiga No.
0525/pdt.G/2010/PA.SAL, yang memperbolehkan poligami dengan alasan
suami Isteri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada
suami dan akan dikemukakan pula pandangan penulis tentang
diperbolehkannya poligami dengan alasan Isteri tidak dapat memenuhi
kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Poligami dalam Perspektif Islam 1. Pengertian Poligami
Kata Poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Poli atau Polus
yang artinya banyak, dan kata gamain atau gamus yang berarti kawin atau
perkawinan, maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu
perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Namun
dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan
batasan umumnya dibolehkan sampai empat wanita ( Nasution, 2002:284).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami diartikan dengan ikatan
waktu yang sama (Departemen P dan K, 1994:261). Poligami juga diartikan
sebagai perkawinan lebih dari seorang istri (Mujib, 1994:261).
Menurut Ny. Soemiyati,SH, poligami diartikan sebagai perkawinan
antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari seorang dalam jangka waktu
yang sama (Soemiyati, 1999:47). Dalam pengertian umum yang berlaku
dimasyarakat, perkawinan poligami itu diartikan dengan perkawinan seorang
laki-laki dengan banyak wanita.
2. Bentuk-bentuk Hubungan Suami Isteri
Di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa bentuk hubungan suami
isteri antara lain; poligami, yaitu seorang suami yang memiliki banyak istri,
poliandri, seorang istri yang memiliki banyak suami, dan gabungan antara
poligami dan poliandri. Di samping itu ada peraturan suami istri tunggal
(monogami) dan juga Free Sex yang melegalisasi wanita bebas bagi laki-laki
tanpa perkawinan yang sah (Aj-Jahrani, 1996:32).
Adapun penjelasan mengenai bentuk-bentuk hubungan suami isteri
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Seorang Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami).
Peraturan perkawinan poligami sudah dikenal sebelum Islam di
setiap masyarakat yang berperadaban tinggi maupun masyarakat yang masih
terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini, seorang
laki-laki diperbolehkan menikah dengan lebih dari seorang istri. Aturan
Arab Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria,
Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Norwegia, dan lain-lain (Aj-Jahrani,
1996:34).
Di kalangan Arab sebelum Islam, seorang laki-laki berhak menikahi
sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat. Di dalam
Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Ghailan bin salamah ats-Tsaqafi ketika
masuk Islam masih memiliki sepuluh orang istri, Naufal bin Mu’awiyah
memiliki lima orang istri, dan Tsabit bin Qais memiliki delapan orang istri
sebelum memeluk Islam. Masyarakat Yahudi pun membolehkan poligami
tanpa batas jumlah wanita yang di nikahinya.Di dalam Taurat diterangkan
bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 orang istri wanita merdeka dan 300
orang istri dari kalangan budak; dan Nabi Daud a.s. memiliki 99 orang istri.
Dengan demikian dapat dikatakan secara umum, bahwa poligami
telah dikenal pada berbagai bangsa sebelum Islam tanpa batasan ataupun
ikatan. Umat manusia berbeda dalam membatasi jumlah istri sehingga
muncullah aturan liki di Cina bahwa seorang laki-laki boleh menikahi wanita
hingga 130 orang. Selain itu, raja-raja bangsa Khazar meperbolehkan
seorang laki-laki memiliki istri hingga 25 orang.
Dalam masyarakat tertentu, poligami tidak dibatasi, sedangkan dalam
masyarakat lain dibatasi jumlahnya. Dalam masyarakat dunia ketiga, para
pengusaha tidak dibatasi oleh ketetapan jumlah istri yang telah ditentukan.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa praktik poligami banyak terjadi
di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Poligami
telah terbiasa memiliki seorang istri (monogami), terutama yang
pekerjaannya berburu dan mengumpulkan buah-buahan. Banyak kalangan
ulama berpendapat bahwa poligami berkembang seiring dengan laju
perkembangan budaya dan peradaban suatu masyarakat (Aj-Jahrani,
1996:36).
b. Seorang Istri Memiliki Banyak Suami (Poliandri).
Dalam sistim perkawinan poliandri, banyak laki-laki dibolehkan
mengawini seorang istri dan itu merupakan hak mereka yang diakui oleh
masyarakat. Poliandri banyak terjadi di daerah selatan dan utara India dan di
beberapa wilayah Rusia. Di daerah India, kakak beradik boleh mengawini
bersama seorang wanita. Jika laki-laki tertua menikahi seorang wanita, maka
saudara laki-lakinya yang lain turut memiliki wanita tersebut. Pemuda yang
tidak memiliki saudara-saudara akan sulit mendapatkan pasangan hidup.
Di dalam komunitas masyarakat India, seorang wanita boleh
memiliki lima, enam, atau sepuluh orang suami. Bahkan, dia boleh bersuami
lebih dari sepuluh laki-laki dengan syarat laki-laki yang bersangkutan
bersaudara atau masih memiliki hubungan kekerabatan.
c. Gabungan Poligami dengan Poliandri
Jenis perkawinan yang menggabungkan poligami dan poliandri
terjadi pada golongan tertentu dari laki-laki menggauli golongan tertentu dari
wanita sebagai suami istri dengan hak yang di akui antara mereka.
Perkawinan seperti ini terjadi dalam masyarakat primitif, seperti masyarakat
Di daerah-daerah tersebut tidak jarang juga terjadi seorang laki-laki
yang menggauli adik dan kakak sendiri. Perkawinan yang seperti itu mereka
namakan sebagai perkawinan persaudaraan yang terbagi dalam dua jenis,
yaitu:
1) Diperbolehkanya laki-laki mengawini beberapa wanita, baik saudaranya
sendiri maupun orang lain.
2) Diperbolehkannya seorang laki-laki mengawini saudaranya sendiri demi
persaudaraan seperti yang terjadi di kepulauan Polinesia dan India. Di
selatan India, yaitu di masyarakat suku Taudan, jika seorang wanita
menikah dengan seorang laki-laki, maka dia sekaligus menjadi istri dari
adik-adik suaminya. Dan mereka juga sekaligus menjadi suami dari
adik-adik wanita tersebut. Anak pertama yang lahir bernasab kepada
saudara tertua, dan anak kedua bernasab kepada adiknya, begitu
seterusnya.
3. Dasar Hukum Poligami
a. Dasar Hukum Poligami dalam Al-Qur’an
Islam sebagai syari’at terakhir, universal serta merupakan rahmat bagi
seluruh alam telah mengabsahkan poligami yang telah berjalan jauh sebelumnya.
Hanya saja pengabsahan ini disertai dengan pembatasan dan
persyaratan-persyaratan tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, surat
An-Nisa ayat 3 :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya). Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS. An Nisa: 3) (Departemen Agama RI, 1999:115).
Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan kamu sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”.(QS. An Nisa: 129) (Departemen Agama RI, 1999:143-144). b. Dasar Hukum Poligami dalam Hadits
Bagi mereka yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil berarti mereka telah
melakukan tindak kezaliman. Nabi memberikan gambaran (ancaman) terhadap
mereka yang zalim seperti dalam sabdanya :
Hadis ini menginformasikan bahwa seorang suami yang berpoligami tidak adil
terhadap para isterinya akan menjadi pincang sebagai tanda yang tidak bisa
diingkari nanti di hari pembalasan. Meskipun hukuman ini bersifat moral, tetapi
seorang yang memiliki kualitas ketaqwaan yang baik tidak akan melakukan
kezaliman tersebut
4. Alasan Poligami
Islam merupakan aturan yang sesuai dengan fitrah dan diciptakannya
manusia dan sejalan kepentingan kehidupannya. Islam juga sangat
memperhatikan moralitas manusia, memelihara kebersihan masyarakat, serta
mencegah timbulnya materialisme yang mendorong terjadinya kerusakan ahlak
dan masyarakat.
Allah SWT menjadikan usrah (keluarga sebagai tonggak kehidupan),
kaidah pembangunan, asas pertumbuhan sosial kemasyarakatan, dan
perkembangan peradaban. Demikian Allah mengokohkan bangunan keluarga
dan masyarakat dengan pondasi yang kuat untuk melindungi keluarga dari apa
yang dapat melemahkannya, diantara kaidah-kaidah tersebut adalah
disyariatkannya poligami, Islam membolehkan seorang muslim menikahi
perempuan hingga empat orang dengan syarat hal itu bukan hanya dituturkan
sebagai sarana mengumbar hawa nafsu laki-laki (Aj-Jahrani, 1996:66).
Menurut Abdurrahman, ada beberapa alasan berpoligami yang diterima
di antaranya adalah:
a. Mengikuti Rasullullah tatkala wajar beliau meninggalkan seorang isteri tanpa
ada keraguan. Rasullah adalah teladan yang baik bagi kaum muslimin dalam
b. Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya, seperti lumpuh, ayan
atau penyakit menular lainnya.
c. Bila istri lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu
memenuhi kewajibannya sebagai istri.
d. Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memiliki sifat buruk dan tidak dapat
diperbaiki lagi.
e. Bila istri terbukti mandul setelah melalui pemeriksaan medis, serta istri sakit
ingatan.
f. Bila istri pergi dari rumah suaminya dan membangkangnya serta suami sulit
untuk memperbaikinya.
g. Pada masa perang dimana kaum laki-laki banyak yang terbunuh
meninggalkan wanita yang sangat banyak jumlahnya.
h. Selain hal-hal tersebut di atas, bila seorang laki-laki (suami) itu merasa
bahwa dia tidak dapat bekerja tanpa adanya istri kedua serta dia memiliki
harta yang cukup untuk membiayainya, maka sebaiknya ia mengambil istri
yang lain (Abdurrahman, 1990:211).
Sedangkan menurut undang-undang, alasan diperbolehkannya poligami
telah diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
5. Batas Maksimal Wanita yang Dapat Dipoligami
Kita telah mengerti bahwa Al-Qur’an menetapkan berlakunya poligami
Al-Qur’an juga memberikan batasan tentang jumlah wanita yang boleh
dipoligami. Dalam menetapkan poligami serta merumuskan batas-batasnya,
Islam mempunyai tujuan jangka panjang, yaitu meratakan kesejahteraan
meningkatkan budi pekerti kaum muslimin (Al-Atthar, 1976:194). Adapun
mengenai batas-batas poligami adalah sebagai berikut :
a. Pembatasan jumlah istri dalam poligami
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat
3, memberikan pembatasan dalam hal berpoligami yaitu dua, tiga atau empat
dan tidak boleh melebihi dari jumlah tersebut. Barang siapa yang khawatir
akan tidak berlaku adil kalau sampai empat, supaya dicukupkannya sampai
tiga saja , dan kalau tiga itupun masih khawatir akan tidak berlaku adil,
supaya dicukupkan dua saja, dan kalau yang dua itu pun masih juga
dikhawatirkan akan tidak adil, maka hendaklah menikah dengan seorang
saja. Oleh karena itu, barang siapa yang masih ingin lebih dari empat istri,
maka tidak ada jalan lagi baginya dalam Islam, kecuali kalau dia berani
melanggar batas-batas yang dititipkan oleh Allah SWT dan mengerjakan
yang haram.
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
penafsiran an-Nisa’ ayat 3 tersebut, antara lain:
1) Kelompok yang menafsirkan bahwa kawin berapapun jumlahnya
diperbolehkan.
Kelompok ini berpendapat, pertama, kalimat “an-Nisa’” dalam
ayat tersebut menunjukkan pemahaman bilangan-bilangan tanpa batas.
Kedua, kalimat matsna, tsulasta, dan ruba’ pada ayat tersebut tidak layak
dijadikan alasan untuk mentakhshish (membatasi) bilangan perempuan
yang boleh dikawini dari kalimat nisa’ , yang tergolong kalimat ‘am
wanita yang boleh dikawini itu hanya sebatas empat saja kurang tepat.
Karena hanya mengkhususkan sebagian(menyebutkan 2,3 dan 4), bukan
berarti hukum sebagian lain (bilangan lebih dari empat) tidak berlaku
lagi. Ketiga, huruf wawu disana mengindikasikan penjumlahan sehingga
kawin sampai sembilan (2+3+4) bahkan delapan belas (2+2+3+3+4+4)
pun dipandang absah-absah saja. Keempat, alasan ini diperkuat dengan
hadits yang menganjurkan untuk senantiasa mengikuti apa yng dilakukan
oleh Rasulullah SAW. Padahal, Rasul kawin lebih dari empat. Dengan
demikian, kawin lebih dari empat adalah termasuk sunnah yang
dianjurkan Rasul.
2) Kelompok yang membatasi kebolehan mengawini wanita hanya sampai
empat. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada kisah seorang
sahabat yang bernama Ghailan. Sebelum masuk Islam, ia mempunyai
sepuluh orang istri. Setelah Ghailan masuk Islam, Rasulullah menyuruh
untuk menetapkan istrinya hanya sampai empat saja. Sedangkan yang
lainnya diceraikan atas perintah Rasul.
3) Kelompok yang melarang poligami. Kelompok ini mewakili ulama
kontemporer seperti Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa
poligami hukumnya tidak boleh. Kelompok ini berasalan bahwa di
zaman modern ini sulit bahkan tidak ada orang yang bisa berlaku adil
kepada istri-istri mereka (Yasid, 2005: 346-350).
Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya ialah
supaya suami datang ketempat istrinya sedikitnya sekali empat hari, dan
biasanya menstruasi itu lamanya satu minggu dalam satu bulan, jadi seorang
laki-laki meninggalkan istrinya yang dalam keadaan menstruasi dan pergi ke
rumah yang lain yang ahkirnya pada minggu keempatnya dia datang lagi dan
menemukan istrinya dalam keadaan suci (Yasid, 2005: 196).
Pembatasaan ini untuk menjadi alasan bagi seorang laki-laki yang
senang dengan wanita karena jumlah empat ini sudah dapat mencukupi
bermacam-macam jenis wanita, menurut biasanya dan seorang laki-laki
berhak utuk memilih istrinya yang tinggi, yang rendah, yang kurus dan yang
gemuk atau yang putih, yang sawo matang, yang kuning dan yang
kemerah-merahan atau yang beragama , yang cantik, yang kaya dan yang bangsawan
atau yang tabi’atnya kasar, halus, suka menurut dan yang tengah-tengah.
b. Kriteria wanita yang bisa di poligami
Ajaran Islam tidak melupakan ekses yang timbul dari poligami itu,
terutama bahwa poligami itu membangkitkan perasaan cemburunya wanita,
Islam menetapkan poligami untuk memelihara keluarga muslim dan
memelihara kaum wanita. Oleh sebab itu agama Islam melarang seorang
laki-laki mengumpulkan dua orang wanita yang kakak beradik, atau ibu dan
anaknya, atau seorang wanita dengan saudara ayahnya atau dengan saudara
ibunya untuk dipoligam. Dengan demikian keluarga muslim itu dapat
memelihara berlangsungnya kasih sayang di dalamnya, dan mempersempit
pengaruh perasaan cemburu agar tidak sampai melewati wanita-wanita yang
dimadu itu, dan bukan menjadi alat untuk memutuskan silaturrohim antara
B. Poligami dalam Perspektif Undang-Undang
Menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (2), poligami boleh dilakukan
oleh seseorang dengan alasan:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Rofiq, 2000:171). lihat juga pasal 57
KHI jo. ps. 41a PP).
Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri, maka poligami diperbolehkan apabila memenuhi
syarat-syarat yang telah termuat dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (1), yang
isinya sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anaknya.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berbuat adil terhadap istri-istri dan
anak-anak.
Yang dimaksud adil di sini adalah, bahwa setiap istri berhak
mendapatkan hak-haknya dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, dan
nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal dan lain-lain, yang
diwajibkan oleh Allah SWT kepada setiap suami. Dalam hal ini, sama saja
haknya, istri satu-satunya, atau salah seorang dari dua, tiga, atau empat istri. Dan
mereka, karena dalam suasana poligami itu, istri-istri itu sama haknya terhadap
kebaikan suami (Al-Attar, 1976:193).
Adil antara istri-istri, apabila penulis cermati itu hukumnya adalah wajib,
berdasarkan ayat Al-Qur’an (yang telah kita kemukakan diatas), dan juga
berdasarkan Sunnah Nabi SAW. dan ijma’, pendapat yang telah disetujui oleh
ulama-ulama muslimin.
Adapun perkawinan yang dilarang, juga telah dijelaskan dalam
Undang-Undang Perkawinan pasal 8, antara lain:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
3. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau bapak tiri.
4. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi atau paman susuan.
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri,
dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin (Abdurrahman, 1990:67).
C. Pandangan Islam terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami
Ada beberapa faktor yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi
hormon, obat-obatan dan penyakit. Disamping itu, kita juga dapat mempelajari
bagaimana tubuh manusia bekerja selama melakukan hubungan seks. Dari
faktor-faktor tersebutlah manusia bisa memahami “mesin seksual” seseorang yang sedang
bekerja dengan baik atau tidak dan apa yang menyebabkan hal tersebut.
Ketika tubuh tidak berfungsi dengan benar dan seks tidak menjadi
pengalaman yang bisa dinikmati, mudah sekali terlihat mengapa pada akhirnya
seseorang berhenti menginginkannya. Kenyataannya banyak orang yang mengalami
masalah seksual. Menurut suatu kajian besar yang diterbitkan dalam Journal of the
American Medical Association, hampir sepertiga wanita Amerika berkata bahwa
mereka tidak mengalami orgasme secara teratur, dan 23 persen mengatakan tidak
menikmati seks. Sekitar sepertiga pria Amerika mengatakan mereka selalu
mengalami masalah ejakulasi dini. Secara keseluruhan, 43 persen wanita dan 31
persen pria mengatakan bahwa mereka memiliki satu atau lebih masalah seks
(Michele, 2004:47).
Berikut ini adalah di antara beberapa masalah seksual yang bisa
mempengaruhi gairah seksual.
1. Masalah pada rangsangan
Wanita yang mengalami masalah pada rangsangan seksual tidak merasa
gembira atau nikmat ketika dirangsang secara seksual. Mungkin ini disebabkan
oleh tidak memadainya rangsangan. Pasangannya tidak mengetahui cara
menyentuh untuk membuatnya terangsang atau ia tidak cukup mengenal
tubuhnya agar bisa memberi intruksi pada pasangannya. Atau oleh faktor-faktor
fisiologis, misalnya kurangnya aliran darah ke daerah alat kelamin atau
2. Masalah pada orgasme
Ketika wanita mengalami kelainan orgasme, mereka tidak mampu
mencapai orgasme setelah rangsangan atau gairah seksual yang memadai
dilakukan. Termasuk di dalam kategori ini adalah wanita yang tidak pernah
mengalami orgasme, serta mereka yang mengalami masalah orgasme secara
terus menerus atau berulang.
3. Kelainan nyeri seksual
Kelainan nyeri seksual termasuk Dispareunia (nyeri kelamin yang terus
menerus atau berulang yang menyertai hubungan seksual) dan Vaginismus
(kejang tidak disengaja pada dinding vagina secara terus menerus atau berulang
yang mengganggu terjadinya penetrasi atau hubungan seksual).
4. Kelainan ejakulasi
Keluhan seksual nomor satu pada pria adalah ejakulasi dini. Ketika
ejakulasi terjadi sebelum atau segera sesudah penetrasi, pria yang mengalami
ejakulasi dini seakan-akan merasa hanya sedikit atau sama sekali tidak
memiliki kendali atas ejakulasinya. Karena kinerja seksual selama
melakukan hubungan seringkali menjadi tolak ukur pria dalam mengukur
kekuatan seksualnya, maka ejakulasi dini inilah yang sering kali
memunculkan rasa malu, frustasi dan kadang terjadi penghindaran terhadap
hubungan seksual.
5. Disfungsi ereksi
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan seseorang untuk mencapai
atau mempertahankan ereksi cukup lama untuk mencapai hubungan seks
pria mengalaminya pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Kecuali jika
kelainan ini bersifat kronis atau berulang, biasanya kelainan ini tidak menjadi
masalah. Penuaan usia lebih memungkinkan terjadinya disfungsi ereksi. 52
persen pada pria berusia empat puluh tahun sampai tujuh puluh tahun
tidaklah berarti bahwa disfungsi ini tidak bisa dihindari, bahkan pada pria
berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun.
D. Etika dan kebebasan seksual dalam Islam
Berbeda dengan barat, Islam memandang seks sebagai sebuah naluri
manusia. Seperti yang dikutip Abu Fathan dalam bukunya, Fikr al-Islam,
Muhammad Ismail Mengatakan, “Dalam diri manusia terdapat suatu potensi
kehidupan atau kebutuhan hidup (thaqat al-hayawiyyah)”. Potensi kebutuhan ini
senantiasa mendorong manusia melakukan perbuatan dan menuntut pemuasan.
Bentuk manifestasinya ada dua macam, yaitu :
1. Kebutuhan yang menuntut adanya pemenuhan yang tidak dapat di tunda, jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi maka matilah manusia. Manifestasi semacam itu
disebut kebutuhan jasmani atau Hajat al-‘Udhawiyah. Contohnya: makan,
minum, bernafas, buang hajat dan sejenisnya.
2. Kebutuhan yang menuntut adanya pemuasan. Jika tidak terpenuhi maka tidak
menimbulkan kematian pada manusia. Hanya saja ia akan mengalami
kegelisahan sampai terpenuhinya kebutuhan tersebut. Manifestasi semacam ini
disebut naluri atau gharizah yakni aktifitas yang berupa getaran-getaran perasaan
alamiah yang mendorong adanya tuntutan pemuasan (Fathan, 2004:23). Adapun
a. Gharizat al-Baqa’ atau naluri untuk mempertahankan diri. Setiap manusia
pasti mempunyai naluri ini, baik secara nyata, seperti nekad menghadapi
kawanan perampok, mengendalikan setir bila mobilnya akan menabrak
maupun penampakan secara halus seperti mendebat pendapat orang yang
bertentangan dengannya.
b. Gharizat al-Tadayyun atau naluri untuk beragama atau menuhankan sesuatu.
Apapun agama atau kepercayaan seseorang, mereka pasti membutuhkan
“ibadah-ibadah” ritual untuk memenuhi nalurinya ini.
c. Gharizat al-Nau’ atau naluri untuk mempertahankan keturunan. Ringkasnya,
naluri ini adalah naluri seksual. Pelampiasannya dengan berpandangan,
berpegangan sampai berhubungan seks dengan lawan jenis (Fathan,
2004:23-24).
Sebagaimana uraian di atas, kebutuhan jasmani dengan naluri sangat jauh
berbeda. Dari segi munculnya dorongan tuntutan pemuasan keduanya juga berbeda.
Dorongan terhadap kebutuhan jasmani bersifat internal. Seseorang timbul rasa ingin
makan karena lapar, tidak perlu dirangsang dengan makanan yang lezat-lezat.
Sedangkan dorongan munculnya gharizah adalah dari luar (Eksternal). Contohnya
pemikiran atau kenyataan yang dapat di indera dan merangsang perasaan sehingga
menuntut pemuasan. Gharizat al-nau’ misalnya, seseorang bisa dirangsang oleh
pemikiran tenteng wanita cantik atau gambar-gambar porno sehingga ingin
melakukan hubungan seks. Tanpa adanya rangsangan tersebut ia tidak akan
Kesalahan ide barat mengenai seks, yang diwakili yang diwakili oleh
pendapat Freud adalah memasukkan gharizat al-nau’ atau naluri seksual tersebut
kedalam hajat al-‘udhawiyyah atau kebutuhan jasmani.
Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap naluri seks adalah sumber dari
naluri-naluri lain. Memang pelampiasan naluri tersebut dilaksanakan secara fisik
(hubungan seks). Namun tidaklah seseorang menemui kematian sebagaimana halnya
tidak makan dan minum, bila tidak berhubungan seks. Ide mereka memang
didasarkan fakta betapa berperannya seks dalam kehidupan. Islam juga tidak
mengingkari itu. Al-Quran menyiratkan dalam Surat Ali ‘Imron ayat 14 sebagai
berikut:
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis mas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14) (Departemen Agama RI, 1999:77).
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wanita sebagai kecintaan
pada dunia diletakkan oleh Allah pada posisi pertama, sebelum anak dan harta. Hal
ini mengandung arti, bahwa naluri seksual seseorang terhadap kaum wanita
memegang peranan penting dibandingkan dengan naluri yang lain.
Wanita sebagai subyek maupun obyek seksual lebih berharga dan berperan
utamanya wanita, terutama wanita yang shalehah dibanding harta di dunia, “Dunia
seisinya adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang
shaleh”.(HR Baihaqi) (Fathan, 2004:26).
Islam adalah agama yang sempurna, setiap perbuatan manusia pasti sudah
diatur dalam hukum yang tergali dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Demikian pula
mengenai hubungan seks, Al-Quran dan Sunnah juga memberikan tuntunan yang
jelas. Ada beberapa aturan dasar mengenai kehidupan seks dalam Islam sebagai
berikut :
a. Secara naluri pria tertarik pada wanita dan sebaliknya.
b. Pada badan manusia terdapat empat erotis yang dapat membangkitkan birahi.
Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk menutupinya, terutama bagi wanita
agar tidak menimbulkan fitnah.
c. Islam mewajibkan menutup aurat, karena aurat ini sebagian besar merupakan
tempat alat-alat kelamin bagian luar.
d. Islam melarang seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan
muhrimnya berkhalwat (berduaan atau bersunyi-bersunyian). Karena dalam
keadaan demikian nafsu birahi keduanya bisa terangsang.
e. Islam melarang perzinaan karena tidak beradab dan merusak sendi-sendi
kehidupan masyarakat.
f. Islam melarang perbuatan cabul seperti pemuasan seks dengan sejenis, onani
atau masturbasi.
g. Islam menganjurkan menikah untuk menyalurkan naluri seks seseorang. Tapi
bila yang belum mampu kawin, lebih baik berpuasa untuk mengendurkan
h. Islam menganjurkan khitan pada umatnya sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim
a.s.
i. Islam mewajibkan mandi junub bagi yang junub, yaitu orang yang mengeluarkan
mani(ketika mimpi basah atau berhubungan)atau berhubungan (walaupun tidak
mengeluarkan mani).
j. Mewajibkan suami istri melakukan hubungan seks secara wajar. Dilarang
menyetubuhi istri lewat jalan dubur.
k. Islam melarang menyetubuhi istri yang sedang haid.
l. Allah menerangkan proses terjadinya janin dalam rahim, yaitu berkat pertemuan
antara sel lelaki yang disebut Spermatozoa dan sel perempuan yang disebut
Ovum atau sel telur.
Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan ajaran agama, serta riset
psikoanalis, dorongan seksual adalah titik lemah manusia yang tidak dapat
dihentikan dengan menggunakan nasihat atau undang-undang. Dorongan tersebut
harus diarahkan pada jalan yang semestinya. Dalam hal ini, bukan berarti jika
dorongan seksual itu tidak dapat dihentikan, lalu tidak ada lagi batasan,
undang-undang dan aturan.
Kita mengetahui bahwa di dunia barat selama berabad-abad, diberitakan
secara luas bahwa menjadi budak dari hawa nafsu adalah bertentangan dengan
moral, ketenangan batin, mengganggu ketertiban masyarakat, dan merupakan suatu
penyakit dan penyimpangan. Sampai akhirnya keluar keputusan pelarangan
penyaluran kebutuhan biologis, karena hal itu dipandang sebagai suatu perkara yang
Kekeliruan mereka yang bermaksud menghalangi pembunuhan dorongan
seksual adalah: mereka memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
manusia. Mereka tidak memperhatikan perbedaan mencolok antara manusia dengan
binatang.mereka tidak memperhatikan bahwa dalam diri manusia terdapat
kecenderungan yang tidak terbatas. Manusia, jika memiliki kesempatan dalam
mengumpulkan harta, meraih kekuasaan politik, menguasai orang lain, dan juga
dalam berbagai perkara seksual, maka mereka tidak akan berhenti dan akan selalu
berusaha untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya.
Sebagaimana dapat kita baca dalam catatan sejarah, banyak raja yang
memiliki beratus-ratus selir yang cantik dan sempurna, namun tatkala mereka
mendengar ada seorang wanita yang cantik, mereka akan merasa gelisah dan
memerintahkan para pengawalnya untuk segera mendatangkan wanita tersebut.
Contoh lain adalah kondisi Eropa sekarang ini, dimana masyarakatnya telah melepas
dan mencabut berbagai ikatan dan batas-batas moral. Hal itu bukan meredam
dorongan seksual masyarakat, namun justru semakin mengobarkan nafsu seksual
mereka. Dengan demikian, tidak sepatutnya mengekang dan membunuh nafsu
seksual dan tidak sepantasnya pula melepaskanya secara bebas.
Masyarakat masih belum mampu memenuhi kebutuhan biologisnya secara
rasional dan tanpa melanggar syariat. Dari satu sisi, hal ini disebabkan adanya
berbagai krisis ekonomi, dan dari sisi lain disebabkan adanya mitos dan khurafat,
tradisi yang salah, dan berbagai sebab lainnya yang menyebabkan para pria harus
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA KOTA SALATIGA DAN PENETAPAN
NO. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Kota Salatiga 1. Lahirnya Pengadilan Agama Salatiga
Pengadilan Agama Salatiga adalah merupakan Pengadilan yang ada
sejak zaman Kolonial Belanda yang dibentuk berdasarkan Staatsblad Tahun
1882 Nomor : 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor : 116 dan 610. Setelah
Indonesia merdeka pada tahun 1949 Pengadilan Agama Salatiga pada saat itu
Diponegoro 72 Salatiga diatas sebidang tanah seluas 1730 m2 luas bangunan
gedung 362,60 m2. Itulah sedikit gambaran lahirnya Pengadilan Agama Salatiga
yang hingga saat ini masih menjadi pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia
khususnya di wilayah Kota Salatiga.
Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, Lembaran
Negara 1957 Nomor 99 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah di luar
Jawa dan Madura, merupakan landasan hukum bagi pembentukan Pengadilan
Agama di seluruh Indonesia (Achmad Roestandi dkk, 1991:1). Pada saat itu
terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan
Agama di Indonesia, yaitu:
a. Stb. 1882 Nomor 152 jo. Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 yang mengatur
Peradilan Agama di Jawa dan Madura;
b. Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang mengatur Peradilan Agama di Jawa dan
Madura;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur Peradilan
Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan.
Pada tahun 1970, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, peradilan dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kedua, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan
organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah kekuasaan
masing-masing departemen yang bersangkutan dan Kelima, susunan kekuasaan serta
acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang
tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi
kemandirian Peradilan Agama, dan memberikan status yang sama dengan
peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
lebih memperkokoh keberadaan Pengadilan Agama. Pada tahun 1989, lahirnya
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mandiri,
sederajat dengan pengadilan di lingkungan peradilan lainnya serta terwujudnya
kodifikasi dan unifikasi di bidang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 telah mengatur definisi Peradilan Agama sebagaimana pasal 1
angka 1 sebagai berikut (Gatot Supramono, 1993:6): “Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”.
Dengan definisi di atas tampak jelas bahwa lembaga peradilan
dimaksud khusus diperuntukkan bagi umat Islam saja. hal itu menunjukkan pula
bagi umat Islam yang berperkara dapat menyelesaikannya melalui peradilan
yang hakim-hakimnya beragama Islam serta diselesaikan menurut ajaran Islam,
walaupun tidak seluruh macam perkara merupakan wewenang Peradilan Agama.
2. Perkara di Pengadilan Agama Salatiga
Berbicara tentang perkara yang ada di Pengadilan Agama Salatiga , ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya mengenai kewenangan
a. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif)
Kewenangan relatif, yaitu mengatur tentang pembagian kekuasaan
mengadili antar pengadilan yang serupa atau sejenis. Wewenang relatif ini
akan menjawab pertanyaan pengadilan yang berada di mana yang berwenang
untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Jadi dalam hal ini berkaitan
dengan wilayah hukum suatu pengadilan.
Dalam kewenangan relatif ini, berdasarkan keputusan Mahkamah
Agung RI No. KMA/010/SK/III/1996 tanggal 6 maret 1996 Pengadilan
Agama Salatiga hanya berwenang menyelesaikan perkara yang daerah
hukumnya berada di Kota Salatiga yang meliputi:
1. Kotamadya Salatiga yang terdiri dari empat kecamatan:
a) Kecamatan Sidorejo,
b) Kecamatan Sidomukti,
c) Kecamatan Tingkir,
d) Kecamatan Argomulyo
2. Kabupaten Semarang yang terdiri dari Sembilan kecamatan yaitu :
a) Kecamatan Bringin,
b) Kecamatan Bancak,
c) Kecamatan Suruh,
d) Kecamatan Susukan,
e) Kecamatan Kaliwungu,
f) Kecamatan Pabelan,
g) Kecamatan Tuntang,
i) Kecamatan Getasan
b. Kewenangan Mutlak (Kompetensi Absolut)
Kewenangan mutlak (kompetensi absolut), yaitu wewenang badan
pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak
dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan
yang sama (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi) maupun dalam
lingkungan peradilan yang lain (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan
Agama). Dengan demikian wewenang yang mutlak ini menjawab pertanyaan
badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa yang
bersangkutan (Rasaid, 1999:19).
Dalam hal kewenangan mutlak ini, Pengadilan Agama Salatiga
berpedoman pada ketentuan UU No. 7/1989 jo. UU No. 3/2006 serta
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku antara lain: UU No.
1/1974, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
Permenag No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan
dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam, berdasarkan hukum Islam yaitu:
1) Bidang Perkawinan
Salah satu yang tercakup dalam kekuasaan mutlak pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah bidang perkawinan.
Kekuasaan badan peradilan di bidang tersebut semakin bertambah,
terutama sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, yang mulai berlaku
ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan bidang
perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, antara lain adalah (Bisri, 2000:222):
a) Ijin beristeri lebih dari seorang;
b) Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh satu) Tahun, dalam hal rang tua atau wali atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c) Dispensasi kawin;
d) Pencegahan perkawinan;
e) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
f) Pembatalan perkawinan;
g) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
h) Perceraian karena talak;
i) Gugatan perceraian
j) Penyelesaian harta bersama
k) Mengenai penguasaan anak-anak;
l) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya;
m) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
n) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
o) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
q) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
r) Menunjuk seorang wali oleh pengadilan dalam hal seorang anak
belum cukup berumur 18 (delapan belas) Tahun yang ditinggal kedua
orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
s) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;
t) Penetapan asal usul seorang anak;
u) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
v) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan
menurut peraturan yang lain.
2) Bidang Kewarisan, Wasiat dan Hibah
Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di
bidang kewarisan mencakup empat hal, yaitu: 1. Penentuan siapa-siapa
yang menjadi ahli waris; 2. Penentuan mengenai harta peninggalan
(tirkah); 3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris dari harta
peninggalan itu; 4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
3) Bidang Wakaf dan Shadaqah
Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di
bidang wakaf berkaitan dengan ketentuan PP. Nomor 28 Tahun 1977