• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari'ah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari'ah"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PERMOHONAN IJIN POLIGAMI

(Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Dalam Ilmu Syari'ah

Oleh :

M. TARGHIBUL HASAN

NIM. 21107013

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

”KUNCI TERCAPAINYA KESUKSESAN

ADALAH BELAJAR DAN BELAJAR DARI KEGAGALAN”

(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

Ø Tuhan Yang Maha Esa

Ø Untuk Bapak dan Ibuku tercinta Haji Ahmad Said dan Nayiroh yang selalu

memberikan dukungan dan do’a

Ø Untuk adik dan kakakku Ikul, Sahil, Maftukhin dan Salis

Ø Dosen pembimbingku Drs. H. Mubasirun, M.Ag

Ø Sahabat-sahabatku di UKM SSC STAIN Salatiga angkatan 2007

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahir rahmanir rahim

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi

beserta isinya yang telah memberikan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada

penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Shalawat serta Banyubiru penulis sampaikan kepada pemimpin umat dan

penutup para Rasul, Muhammad SAW yang telah membimbing dan mendidik manusia

dari masa kegelapan menuju masa yang sangat terang benderang dengan syariatnya

yang lurus.

Skripsi yang berjudul “PERMOHONAN IJIN POLIGAMI (Studi Penetapan

Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL)” ini, Diajukan Untuk

Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu

(S1) Dalam Ilmu Syari'a pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga.

Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan: Apa faktor-faktor yang mempengaruhi

perkawinan poligami, Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di

Indonesia terhadap penetapan Pengadilan Agama Salatiga No.

0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu

menjalankan kewajibanya dan Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga

menetapkan izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya

kepada suami. penulis mengucapkan terima kasih kepada Yang terhormat:

1. Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag

2. Bapak Drs. H. Mubasirun, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan

meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penulisan

skripsi ini.

3. Segenap Hakim, Panitera, serta Pegawai Pengadilan Agama Salatiga yang telah

(9)

4. Untuk Bapak dan Ibuku tercinta Ahmad Said dan Nayiroh yang slalu

memberikan dukungan dan do’a

5. Untuk adik dan kakak ku Ikul, Sahil, Maftukhin dan Salis yang selalu memberi

dukungan.

6. Untuk Ita Anjarwati yang selalu menungguku

7. Sahabat ku Eko Haryanto, S.PdI, yang telah memberikan motivasi dan

memberikan masukan. sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi

ini.

Semoga segala amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh, yang akan

mendaptakan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.Amin.ya rabbal

‘alamin

Salatiga, 15 Augustus 2012

(10)

ABSTRAKSI

Hasan, M. Targhibul.2012. Permohonan Ijin Poligami (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Drs. H. Mubasirun, M.Ag

Kata kunci: Permohonan Ijin Poligami (Studi Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL).

Penelitian ini membahas tentang. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami, Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di

Indonesia terhadap penetapan Pengadilan Agama Salatiga No.

0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya dan Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga menetapkan izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya kepada suami. adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami, untuk mengetahui dasar hukum penetapan perkawinan poligami dan untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian analisis penetapan (deskriptif analisis) dengan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data melalui dokumentasi, wawancara, dan obeservasi (pengamatan). Metode analisis datanya menggunakan teknik analisis deskriptif. Jenis data yang dipergunakan adalah data primer dan alternatif. Sumber data adalah sumber data primer melalui wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga dan dokumen (arsip penetapan nomor No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL), sedangkan sumber data alternatif adalah pasal 4 ayat (2) UU No.1 Th.1974 tentang Peradilan Agama dan syarat kumulatif pasal 5 ayat (1) UU No.1 Th.1974.

(11)

DAFTAR ISI

JUDUL...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

PENGESAHAN KELULUSAN...iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...v

MOTTO...vi

PERSEMBAHAN...vii

KATA PENGANTAR...viii

ABSTRAK...x

DAFTAR ISI...xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian...6

D. Kegunaan Penelitian...7

E. Penegasan Istilah...7

F. Telaah Pustaka………..8

G. Metode Penelitian………...10

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian...10

2. Sumber Data ………..10

3. Metode Pengumpulan data ...10

4. Analisis Data...11

(12)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Poligami dalam Perspektif Islam ...14

1. Pengertian Poligami ………...14

2. Bentuk-bentuk Hubungan suami isteri ………...15

3. Dasar Hukum Poligami...18

4. Alasan Poligami ……...20

5. Batas Maksimal Wanita yang Dapat Dipoligami ………... 22

B. Poligami dalam Perspektif Undang-Undang ………25

C. Pandangan Islam terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami ………..27

D. Etika dan kebebasan seksual dalam Islam ……….29

BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga…..………36

1. Lahirnya Pengadilan Agama Salatiga...36

2. Perkara di Pengadilan Agama Salatiga ………...38

3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga ……….………44

4. Penyelesaian Perkara Poligami di Pengadilan Agama ………... 46

B. Penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/Pdt. G/2010 Tentang Diterimanya Ijin Poligami ……….………….51

1. Permohonan Ijin Poligami Perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………51

2. Proses Penyelesaian Perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………..53

(13)

4. Dasar Hukum ………55

5. Penetapan Majelis Hakim

Atas perkara No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL ………..55

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA No. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL TENTANG DITERIMANYA IJIN

POLIGAMI

A.Penyelesaian Terhadap

Perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL ………56

B.Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim

Dalam Menetapkan Perkara No. 0525/Pdt.G/2010/PA.SAL ……….63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...69

B. Saran...71

DAFTAR PUSTAKA

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan Agama yang sempurna, Islam tidaklah otoriter dalam

menghadapi fenomena yang ada, tetapi lebih lentur dalam konteks kemaslahatan untuk

terciptanya masyarakat rahmatan lilalamin yang diridloi Allah SWT. Pernikahan

merupakan peristiwa yang sakral, dan Islam mengaturnya dengan tata cara yang diatur

oleh syari’at untuk memuliakan makhluknya sesuai dengan tujuan diciptakannya

manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk yang

lainnya. Jika ada surga di dunia maka surga itu adalah pernikahan yang bahagia, tetapi

jika ada neraka di dunia adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan

kecurigaan-kecurigaan yang menakutkan diantara suami istri (Adhim, 1998:28).

Allah SWT. Menciptakan manusia dengan baik, di mana Allah menciptakan

seorang laki-laki dari jenisnya sendiri, agar dia merasa tentram di sisinya, kemudian

Allah mengikat mereka berdua dengan tali pernikahan, kasih sayang dan cinta

(15)

Artinya: “Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya

baik dari apa yang ditumbuhkan di muka bumi dan dari diri mereka maupun dari apa

yang tidak mereka ketahui.” (Q.S. Yasin: 36) (Departemen Agama RI, 2005:801)

Dalam Islam perkawinan mempunyai tujuan yang jelas dan ada etika yang

harus dijaga dan dipatuhi oleh suami sitri. Misalnya untuk mencapai ketenangan dan

kebahagiaan (Drajat, 1982:121). Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pernikahan

dilakukan dengan tujuan untuk kebahagiaan yang kekal dan abadi. Begitu juga dalam

KHI dijelaskan bahwa tujuan pernikahan yaitu Sakinah, Mawaddah, Warahmah

(Abdurrahman, 1999:114). Islam membuat konsep untuk kebaikan manusia supaya

kehidupannya terhormat sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, karena

rumah tangga yang bahagia dan sejahtera memang menjadi dambaan setiap orang.

Ketenangan dan kebahagian yang penuh dengan rasa kasih dan sayang dalam

kehidupan suami Istri perlu dipertahankan sepanjang hayatnya. Dengan demikian

keluarga yang dibinanya akan muncul sebagai komponen masyarakat sesuai dengan

cita-cita (Al-Quthb, 1999:116). Ketika pasangan tersebut tidak mampu lagi mengemban

tanggung jawab dan menegakkan kehidupan sesuai tuntutan syariat Islam, yaitu

mencurahkan kasih sayang dan mendapatkan kebahagiaan, maka dalam situasi semacam

ini, pasangan tersebut tidak lagi layak meneruskan bahtera rumah tangga. Untuk

menjaga keutuhan rumah tangga dan kebahagiaan bersama, maka apabila terjadi hal-hal

yang tidak diinginkan, salah satu pihak harus secepatnya mencari solusi

permasalahannya. Apabila sang istri tidak bisa memberikan keturunan atau melayani

suami dengan layak, sebuah alternatif yang bisa ditawarkan oleh syari’at Islam yaitu

(16)

bisa memberi keturunan, tidak bisa melayani suami atau cacat badan dan sakit yang

tidak bisa disembuhkan (Al-Quthb, 1999:11).

Berkenaan dengan poligami, UU No.1 tahun 1974 dalam Pasal 3 memuat

beberapa ketentuan sebagai berikut :

1. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan, seseorang hanya mempunyai seorang

istri, wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih

dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Di dalam masyarakat begitu banyak alasan yang menyebabkan sesorang

melakukan poligami. Dari hal-hal yang sepele yang terkadang tidak dapat diterima

dengan akal pikiran dan bertentangan dengan nilai keadilan dan persamaan hak antara

laki-laki dan perempuan sampai kepada hal-hal yang memang diperbolehkan oleh

syariat serta tidak menodai rasa keadilan dan hati nurani. Salah satunya adalah karena

alasan seorang isteri tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri terhadap

suami.

Hal ini menjelaskan agar manusia tidak terjerumus ke dalam jurang yang

penuh dengan kenistaan, serta membedakan antara manusia dan hewan dalam

menyalurkan hasrat biologisnya (Hakim, 2000:15). Menurut fitrahnya, manusia

dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan seks (libido seksualitas). Oleh karena itu

Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang

sesuai dengan derajat kemanusiaan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata

dimaksudkan untuk menunaikan hasrat biologis tersebut.

Rumusan tujuan perkawinan diatas dapat diperinci sebagai berikut:

(17)

2. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.

3. Memperoleh keturunan yang sah.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada asasnya

dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan

seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberikan

izin kepada suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang

bersangkutan. Dalam syari’at Islam lebih disukai bila laki-laki hanya mempunyai

seorang isteri, bahkan kalau mungkin ia tetap mempertahankannya sampai akhir

hayatnya. Perkawinan yang diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah,

mawaddah, dan rahmah. Suasana yang sulit dilaksanakan seandainya seoranglaki-laki

memiliki lebih dari seorang (Hakim, 2000:113). Poligami merupakan salah satu bentuk

aturan hidup yang ada sebelum Islam. Biasanya, poligami dilakukan oleh orang-orang

perkasa atau memiliki kekuasaan, seperti para raja dan atau para panglima perang.

Tradisi poligami kala itu dijadikan sebagai bentuk keperkasaannya seseorang. Banyak

para raja yang memiliki banyak isteri dan selir. Hal ini sudah lumrah dilakukan oleh

kaum-kaumterdahulu sebelum Islam datang (Husein, 1999:2).

Poligami bukanlah suatu hal yang dianjurkan dalam agama Islam, sebaliknya

juga bukan merupakan suatu larangan. Tetapi Islam memberikan peluang untuk

berpoligami sebagai upaya untuk mengatasi kepentingan yang bertalian dengan

kemaslahatan masyarakat dan para pelakunya dan bukan sebagai ajang coba-coba atau

sekedar untuk menyalurkan seks semata. Poligami adalah rahmat Allah SWT. kepada

manusia yang telah disediakan untuk mengatasi kesulitan dan merupakan jalan keluar

bagi mereka yang belum atau tidak menemukan tujuan yang didambakan dalam

(18)

menghapus poligami, walaupun Islam menghapus poliandri. Alih-alih itu Islam

membatasinya sampai empat orang isteri. Lagi pula Islam menetapkan syarat dan

batasannya, dan tidak mengizinkan setiap orang mempunyai beberapa isteri (Muthahari,

2003:217). Meski Islam sudah mengatur masalah ini, namun kerap kali timbul

permasalahan dari sebagian orang yang berpoligami. Hal ini bisa terjadi karena para

isteri yang tidak pandai merebut hati suami, atau karena ketidaktahuan dan kesalahan

suami dalam menginterpretasikan hukum tersebut sehingga dapat mendorong suami

memperlakukan isteri-isterinya dengan tidak adil (Muthahari, 2003:6).

Dengan alasan-alasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat

dikabulkannya permohonan izin poligami di Pengadilan Agama, maka yang menjadi

perhatian penulis ialah tentang izin poligami terhadap isteri yang tidak mampu

memenuhi kewajibanya kepada suami, hal (alasan) tersebut menjadi pertanyaan penulis,

apakah ketidakmampuan seorang isteri dalam memenuhi kewajiban terhadap suami itu

dapat diqiyaskan dengan syarat yang ada dalam pasal 4 ayat (2) sub (b) UU No. 1 Tahun

1974 yaitu “Apabila isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan”, dan terlebih lagi seorang isteri tidak sanggup menjalankan kewajibanya

kepada suami, dan suami telah mengetahuinya. Dan selama itu pula si isteri dapat

menjalankan kewajibannya sebagai isteri dengan dikaruniai 5 orang anak. Akan tetapi

Pengadilan Agama Salatiga memutuskan untuk menerima dan mengabulkan

permohonan poligami tersebut. Untuk mengetahui keadaan sebenarnya dalam

menyelesaikan perkara tersebut maka penulis perlu mengadakan penelitian dan analisa

dalam skripsi dengan judul:

(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada diatas, agar lebih praktis maka dalampenelitian

dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami?

2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap

penetapan Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL) tentang izin

poligami terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya?

3. Apa dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga menetapkan izin poligami

terhadap isteri yang tidak mampu menjalankan kewajibanya kepada suami?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami

2. Untuk mengetahui dasar hukum penetapan perkawinan poligami

3. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia

D. Manfaat penelitian

Studi ini diharapkan sekurang-kurangnya dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Secara teoritis : untuk menambah hazanah keilmuan mengenai izin poligami. Maka

dengan itu dapat dijadikan salah satu bahan untuk melakukan kajian atau penelitian

lanjutan bagi akademis atau penelitian berikutnya.

2. Secara praktis : dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara

tentang izin poligami yang mungkin terjadi dikemudian hari. Bagi praktisi hukum,

hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sebuah kontribusi pemikiran dalam

(20)

berkompeten dalam menangani dan melaksanakan tugasnya, khususnya hakim

Pengadilan Agama Salatiga.

E. Penegasan istilah

Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisian judul secara

operasional agar dapat diketahui secara jelas dan Untuk menghindari terjadinya

kesalahfahaman dalam pengertian maksud dari judul di atas, maka penulis memberikan

definisi yang menunjukkan ke arah pembahasan sesuai dengan maksud yang

dikehendaki dengan maksud dari judul tersebut adalah sebagai berikut :

1. Poligami : Ikatan perkawinan di mana salah satu pihak mempunyai atau menikah

beberapa lawan jenis (Sudarsono, 1999:148). Suatu perkawinan antara seorang pria

dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama (Soemiyati, 1999:74).

2. Hukum Islam : Peraturan yang bersumber dari hukum fiqih yang berdasarkan

3. Menurut Bapak Drs. H. Musaddad Zuhdi Wawancara pada hari selasa, 4 Desember

2012 jam 12.30 WIB. “Penetapan : Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

dari Pengadilan Agama Salatiga”.

4. Pengadilan Agama Salatiga : Badan peradilan khusus untuk orang beragama Islam

dalam lingkup wilayah Kota Salatiga yang memeriksa dan memutus tentang

perceraian, talak, waris, wasiat, wakaf, hibah dan lain-lain yang sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

F. Tinjauan pustaka

Dalam pembahasan mengenai poligami. Penulis dalam penelitian ini akan

mengacu pada beberapa literatur, baik berupa buku maupun skripsi. Beberapa buku

yang dianggap dapat mewakili dan dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi ini,

(21)

1. DR. Musfir Aj-Jahrani (1996) dalam bukunya yang berjudul Poligami dari Berbagai

Persepsi. Dalam buku ini dijelaskan tentang definisi, jenis, sejarah dan hikmah

poligami. Disamping itu juga dijelaskan tentang berbagai pendapat ulama terkait

dengan poligami.

2. DR. Abdul Nasir Taufiq Al ‘Atthar (1976) dalam bukunya yang diterjemahkan oleh

Dra. Chadidjah Nasution dengan judul Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial

Dan Perundang-Undangan. Dalam buku ini dijelaskan tentang tinjauan agama,

sosial, dan perundang-undangan terhadap poligami. Lebih menarik buku ini

menjelaskan tentang berbagai argumen beberapa pihak yang pro dan kontra terhadap

poligami dan mensinergikan antara poligami dengan tatanan sosial dalam

masyarakat.

3. Haidar Abdullah (2003) dalam bukunya yang berjudul Kebebasan Seksual dalam

Islam. Buku inimenjelaskan tentang etika seksual dalam Islam disamping

mendeskripsikan tentang etika seks yang dianut oleh dunia barat. Dijelaskan pula

tentang asas monogamy dan poligami dalam perkawinan. Menariknya buku ini

mengkorelasikan poligami dengan kontrol populasi masyarakat.

4. Michele Weiner Davis (2004) dalam bukunya “The Sex-Starved Marriage, A Couple

‘s guide to Boosting Their Marriage Libido” yang kemudian diterjemhkan oleh Susi

Purwoko dengan judul yang sama. Dalam buku ini dijelaskan secara gambling

tentang pernikahan dan problema seksnya. Dipaparkan juga tentang petunjuk bagi

para lelaki yang mempunyai libido seks yang rendah dan tinggi. Buku ini dijadikan

pedoman untuk mendapatkan gambaran tentang hiperseks dan mencari solusinya.

5. dr Boyke Dian Nugraha, DSOG dengan bukunya yang berjudul “Problema Seks dan

(22)

dan dampak yang ditimbulkan, serta berusaha menyodorkan solusinya, seperti onani,

gay, keperawanan, WTS, biseks, hiperseks, alat kelamin, dan lain-lain. Buku ini

seolah menjadi penjelas bahwa hiperseks merupakan salah satu kelainan atau

problema seksual.

6. Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus

dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:

a. adanya persetujuan dari istri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup

istri-istri dan anak-anak mereka (material);

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak

mereka (immaterial). Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami

dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya

ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk

menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau

tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan

G. Metode Penulisan Skripsi a. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yakni sebuah penelitian yang

menggunakan informasi yang diperoleh dari buku atau kutipan dengan mengkaji

penetapan hakim Pengadilan Agama Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL

b. Sumber Data

(23)

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen, yaitu penetapan

hakim No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL tentang isteri yang tidak mampu

menjalankan kewajibanya kepada suami sebagai salah satu alasan di

diperbolehkannya poligami.

2. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah

buku-buku penunjang yang berkaitan dengan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

a) Dokumentasi

Pengumpulan data dokumentasi diperlukan karena sumber data tidak

hanya tempat dan orang, tetapi juga ada arsip – arsip dan dokumen,. Oleh

karena itu, penulis menggunakan metode documenter (Arikunto, 1998:236).

yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa

tulisan-tulisan, buku, artikel-artikel yang relevan dengan tema penulisan skripsi ini.

Dokumentasi utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

penetapan PA No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL

b) Study kepustakaan (library)

Yaitu sebuah tehnik pengumpulan data melaui kepustakaan yakni dengan

membaca dan mengkaji antara satu buku dengan buku yang lainnya, ini

dimaksudkan untuk menggali data literatur yang dapat dipastikan sebagai

landasan teoritis bagi permasalahan yang dibahas.

4. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data penulis menggunakan metode Content

(24)

keputusan. Segala pendekatan dalam skripsi ini penulis menggunakan

pendekatan tekstual yuridis (Muhadjir, 1996:159-160). Yaitu suatu cara

pendekatan maslah dengan meneliti dan mengkaji yang berdasarkan pada

teks-teks yang mempunyai relevansi dengan permaslahn yang sedang di bahas baik

berupa kitab suci al-Qur’an, al-Hadits, kitab-kitab keagamaan maupun

buku-buku kepustakaan lainnya

H. Sistematika Penulisan Skripsi

Sebagai karya ilmiah skripsi ini disusun dengan menggunakan sistematika

tertentu sehingga secara global materi penulisan terbagi menjadi beberapa bab, yang

secara keseluruhan dikemukakan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini adalah bagian pembuka yang memuat Latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penulisan skripsi, dan

sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Ketentuan Umum Tentang Poligami dalam Islam

Bab ini berisi pengertian umum Poligami (Pengertian, dasar hukum,

alasan-alasan poligami), Pandangan Islam terhadap poligami dan Pandangan Islam

terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang

isteri kepada suami. Bab ini merupakan landasan teori yang dipergunakan

untuk melangkah ke bab selanjutnya.

BAB III : Gambaran Umum Pengadilan Agama Kota Salatiga dan Penetapan No.

0525/Pdt. G/2010/PA.SAL

Pada bab ini penulis mengemukakan kedalam tiga sub bab, yaitu sekilas

(25)

diperbolehkannya poligami karena alasan Isteri tidak dapat memenuhi

kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami dan isi amar penetapan serta

dasar penetapan PA Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL

BAB IV : Analisis Penetapan PA Salatiga No. 0525/pdt.G/2010/PA.SAL tentang

diperbolehkannya Poligami dengan alasan Isteri tidak dapat memenuhi

kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami.

Pada bab ini penulis akan menganlisis beberapa permasalahan tentang putusan

isi amar serta dasar penetapan Pengadilan Agama Salatiga No.

0525/pdt.G/2010/PA.SAL, yang memperbolehkan poligami dengan alasan

suami Isteri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada

suami dan akan dikemukakan pula pandangan penulis tentang

diperbolehkannya poligami dengan alasan Isteri tidak dapat memenuhi

kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami.

(26)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Poligami dalam Perspektif Islam 1. Pengertian Poligami

Kata Poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Poli atau Polus

yang artinya banyak, dan kata gamain atau gamus yang berarti kawin atau

perkawinan, maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu

perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Namun

dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan

batasan umumnya dibolehkan sampai empat wanita ( Nasution, 2002:284).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami diartikan dengan ikatan

(27)

waktu yang sama (Departemen P dan K, 1994:261). Poligami juga diartikan

sebagai perkawinan lebih dari seorang istri (Mujib, 1994:261).

Menurut Ny. Soemiyati,SH, poligami diartikan sebagai perkawinan

antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari seorang dalam jangka waktu

yang sama (Soemiyati, 1999:47). Dalam pengertian umum yang berlaku

dimasyarakat, perkawinan poligami itu diartikan dengan perkawinan seorang

laki-laki dengan banyak wanita.

2. Bentuk-bentuk Hubungan Suami Isteri

Di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa bentuk hubungan suami

isteri antara lain; poligami, yaitu seorang suami yang memiliki banyak istri,

poliandri, seorang istri yang memiliki banyak suami, dan gabungan antara

poligami dan poliandri. Di samping itu ada peraturan suami istri tunggal

(monogami) dan juga Free Sex yang melegalisasi wanita bebas bagi laki-laki

tanpa perkawinan yang sah (Aj-Jahrani, 1996:32).

Adapun penjelasan mengenai bentuk-bentuk hubungan suami isteri

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Seorang Suami Memiliki Banyak Istri (Poligami).

Peraturan perkawinan poligami sudah dikenal sebelum Islam di

setiap masyarakat yang berperadaban tinggi maupun masyarakat yang masih

terbelakang, baik penyembah berhala maupun bukan. Dalam hal ini, seorang

laki-laki diperbolehkan menikah dengan lebih dari seorang istri. Aturan

(28)

Arab Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Austria,

Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Norwegia, dan lain-lain (Aj-Jahrani,

1996:34).

Di kalangan Arab sebelum Islam, seorang laki-laki berhak menikahi

sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat. Di dalam

Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Ghailan bin salamah ats-Tsaqafi ketika

masuk Islam masih memiliki sepuluh orang istri, Naufal bin Mu’awiyah

memiliki lima orang istri, dan Tsabit bin Qais memiliki delapan orang istri

sebelum memeluk Islam. Masyarakat Yahudi pun membolehkan poligami

tanpa batas jumlah wanita yang di nikahinya.Di dalam Taurat diterangkan

bahwa Nabi Sulaiman a.s. memiliki 700 orang istri wanita merdeka dan 300

orang istri dari kalangan budak; dan Nabi Daud a.s. memiliki 99 orang istri.

Dengan demikian dapat dikatakan secara umum, bahwa poligami

telah dikenal pada berbagai bangsa sebelum Islam tanpa batasan ataupun

ikatan. Umat manusia berbeda dalam membatasi jumlah istri sehingga

muncullah aturan liki di Cina bahwa seorang laki-laki boleh menikahi wanita

hingga 130 orang. Selain itu, raja-raja bangsa Khazar meperbolehkan

seorang laki-laki memiliki istri hingga 25 orang.

Dalam masyarakat tertentu, poligami tidak dibatasi, sedangkan dalam

masyarakat lain dibatasi jumlahnya. Dalam masyarakat dunia ketiga, para

pengusaha tidak dibatasi oleh ketetapan jumlah istri yang telah ditentukan.

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa praktik poligami banyak terjadi

di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Poligami

(29)

telah terbiasa memiliki seorang istri (monogami), terutama yang

pekerjaannya berburu dan mengumpulkan buah-buahan. Banyak kalangan

ulama berpendapat bahwa poligami berkembang seiring dengan laju

perkembangan budaya dan peradaban suatu masyarakat (Aj-Jahrani,

1996:36).

b. Seorang Istri Memiliki Banyak Suami (Poliandri).

Dalam sistim perkawinan poliandri, banyak laki-laki dibolehkan

mengawini seorang istri dan itu merupakan hak mereka yang diakui oleh

masyarakat. Poliandri banyak terjadi di daerah selatan dan utara India dan di

beberapa wilayah Rusia. Di daerah India, kakak beradik boleh mengawini

bersama seorang wanita. Jika laki-laki tertua menikahi seorang wanita, maka

saudara laki-lakinya yang lain turut memiliki wanita tersebut. Pemuda yang

tidak memiliki saudara-saudara akan sulit mendapatkan pasangan hidup.

Di dalam komunitas masyarakat India, seorang wanita boleh

memiliki lima, enam, atau sepuluh orang suami. Bahkan, dia boleh bersuami

lebih dari sepuluh laki-laki dengan syarat laki-laki yang bersangkutan

bersaudara atau masih memiliki hubungan kekerabatan.

c. Gabungan Poligami dengan Poliandri

Jenis perkawinan yang menggabungkan poligami dan poliandri

terjadi pada golongan tertentu dari laki-laki menggauli golongan tertentu dari

wanita sebagai suami istri dengan hak yang di akui antara mereka.

Perkawinan seperti ini terjadi dalam masyarakat primitif, seperti masyarakat

(30)

Di daerah-daerah tersebut tidak jarang juga terjadi seorang laki-laki

yang menggauli adik dan kakak sendiri. Perkawinan yang seperti itu mereka

namakan sebagai perkawinan persaudaraan yang terbagi dalam dua jenis,

yaitu:

1) Diperbolehkanya laki-laki mengawini beberapa wanita, baik saudaranya

sendiri maupun orang lain.

2) Diperbolehkannya seorang laki-laki mengawini saudaranya sendiri demi

persaudaraan seperti yang terjadi di kepulauan Polinesia dan India. Di

selatan India, yaitu di masyarakat suku Taudan, jika seorang wanita

menikah dengan seorang laki-laki, maka dia sekaligus menjadi istri dari

adik-adik suaminya. Dan mereka juga sekaligus menjadi suami dari

adik-adik wanita tersebut. Anak pertama yang lahir bernasab kepada

saudara tertua, dan anak kedua bernasab kepada adiknya, begitu

seterusnya.

3. Dasar Hukum Poligami

a. Dasar Hukum Poligami dalam Al-Qur’an

Islam sebagai syari’at terakhir, universal serta merupakan rahmat bagi

seluruh alam telah mengabsahkan poligami yang telah berjalan jauh sebelumnya.

Hanya saja pengabsahan ini disertai dengan pembatasan dan

persyaratan-persyaratan tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, surat

An-Nisa ayat 3 :

(31)

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya). Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS. An Nisa: 3) (Departemen Agama RI, 1999:115).

Firman Allah SWT :

Artinya: “Dan kamu sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”.(QS. An Nisa: 129) (Departemen Agama RI, 1999:143-144). b. Dasar Hukum Poligami dalam Hadits

Bagi mereka yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil berarti mereka telah

melakukan tindak kezaliman. Nabi memberikan gambaran (ancaman) terhadap

mereka yang zalim seperti dalam sabdanya :

(32)

Hadis ini menginformasikan bahwa seorang suami yang berpoligami tidak adil

terhadap para isterinya akan menjadi pincang sebagai tanda yang tidak bisa

diingkari nanti di hari pembalasan. Meskipun hukuman ini bersifat moral, tetapi

seorang yang memiliki kualitas ketaqwaan yang baik tidak akan melakukan

kezaliman tersebut

4. Alasan Poligami

Islam merupakan aturan yang sesuai dengan fitrah dan diciptakannya

manusia dan sejalan kepentingan kehidupannya. Islam juga sangat

memperhatikan moralitas manusia, memelihara kebersihan masyarakat, serta

mencegah timbulnya materialisme yang mendorong terjadinya kerusakan ahlak

dan masyarakat.

Allah SWT menjadikan usrah (keluarga sebagai tonggak kehidupan),

kaidah pembangunan, asas pertumbuhan sosial kemasyarakatan, dan

perkembangan peradaban. Demikian Allah mengokohkan bangunan keluarga

dan masyarakat dengan pondasi yang kuat untuk melindungi keluarga dari apa

yang dapat melemahkannya, diantara kaidah-kaidah tersebut adalah

disyariatkannya poligami, Islam membolehkan seorang muslim menikahi

perempuan hingga empat orang dengan syarat hal itu bukan hanya dituturkan

sebagai sarana mengumbar hawa nafsu laki-laki (Aj-Jahrani, 1996:66).

Menurut Abdurrahman, ada beberapa alasan berpoligami yang diterima

di antaranya adalah:

a. Mengikuti Rasullullah tatkala wajar beliau meninggalkan seorang isteri tanpa

ada keraguan. Rasullah adalah teladan yang baik bagi kaum muslimin dalam

(33)

b. Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya, seperti lumpuh, ayan

atau penyakit menular lainnya.

c. Bila istri lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu

memenuhi kewajibannya sebagai istri.

d. Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memiliki sifat buruk dan tidak dapat

diperbaiki lagi.

e. Bila istri terbukti mandul setelah melalui pemeriksaan medis, serta istri sakit

ingatan.

f. Bila istri pergi dari rumah suaminya dan membangkangnya serta suami sulit

untuk memperbaikinya.

g. Pada masa perang dimana kaum laki-laki banyak yang terbunuh

meninggalkan wanita yang sangat banyak jumlahnya.

h. Selain hal-hal tersebut di atas, bila seorang laki-laki (suami) itu merasa

bahwa dia tidak dapat bekerja tanpa adanya istri kedua serta dia memiliki

harta yang cukup untuk membiayainya, maka sebaiknya ia mengambil istri

yang lain (Abdurrahman, 1990:211).

Sedangkan menurut undang-undang, alasan diperbolehkannya poligami

telah diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974.

5. Batas Maksimal Wanita yang Dapat Dipoligami

Kita telah mengerti bahwa Al-Qur’an menetapkan berlakunya poligami

Al-Qur’an juga memberikan batasan tentang jumlah wanita yang boleh

dipoligami. Dalam menetapkan poligami serta merumuskan batas-batasnya,

Islam mempunyai tujuan jangka panjang, yaitu meratakan kesejahteraan

(34)

meningkatkan budi pekerti kaum muslimin (Al-Atthar, 1976:194). Adapun

mengenai batas-batas poligami adalah sebagai berikut :

a. Pembatasan jumlah istri dalam poligami

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat

3, memberikan pembatasan dalam hal berpoligami yaitu dua, tiga atau empat

dan tidak boleh melebihi dari jumlah tersebut. Barang siapa yang khawatir

akan tidak berlaku adil kalau sampai empat, supaya dicukupkannya sampai

tiga saja , dan kalau tiga itupun masih khawatir akan tidak berlaku adil,

supaya dicukupkan dua saja, dan kalau yang dua itu pun masih juga

dikhawatirkan akan tidak adil, maka hendaklah menikah dengan seorang

saja. Oleh karena itu, barang siapa yang masih ingin lebih dari empat istri,

maka tidak ada jalan lagi baginya dalam Islam, kecuali kalau dia berani

melanggar batas-batas yang dititipkan oleh Allah SWT dan mengerjakan

yang haram.

Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang

penafsiran an-Nisa’ ayat 3 tersebut, antara lain:

1) Kelompok yang menafsirkan bahwa kawin berapapun jumlahnya

diperbolehkan.

Kelompok ini berpendapat, pertama, kalimat “an-Nisa’” dalam

ayat tersebut menunjukkan pemahaman bilangan-bilangan tanpa batas.

Kedua, kalimat matsna, tsulasta, dan ruba’ pada ayat tersebut tidak layak

dijadikan alasan untuk mentakhshish (membatasi) bilangan perempuan

yang boleh dikawini dari kalimat nisa’ , yang tergolong kalimat ‘am

(35)

wanita yang boleh dikawini itu hanya sebatas empat saja kurang tepat.

Karena hanya mengkhususkan sebagian(menyebutkan 2,3 dan 4), bukan

berarti hukum sebagian lain (bilangan lebih dari empat) tidak berlaku

lagi. Ketiga, huruf wawu disana mengindikasikan penjumlahan sehingga

kawin sampai sembilan (2+3+4) bahkan delapan belas (2+2+3+3+4+4)

pun dipandang absah-absah saja. Keempat, alasan ini diperkuat dengan

hadits yang menganjurkan untuk senantiasa mengikuti apa yng dilakukan

oleh Rasulullah SAW. Padahal, Rasul kawin lebih dari empat. Dengan

demikian, kawin lebih dari empat adalah termasuk sunnah yang

dianjurkan Rasul.

2) Kelompok yang membatasi kebolehan mengawini wanita hanya sampai

empat. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada kisah seorang

sahabat yang bernama Ghailan. Sebelum masuk Islam, ia mempunyai

sepuluh orang istri. Setelah Ghailan masuk Islam, Rasulullah menyuruh

untuk menetapkan istrinya hanya sampai empat saja. Sedangkan yang

lainnya diceraikan atas perintah Rasul.

3) Kelompok yang melarang poligami. Kelompok ini mewakili ulama

kontemporer seperti Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa

poligami hukumnya tidak boleh. Kelompok ini berasalan bahwa di

zaman modern ini sulit bahkan tidak ada orang yang bisa berlaku adil

kepada istri-istri mereka (Yasid, 2005: 346-350).

Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya ialah

supaya suami datang ketempat istrinya sedikitnya sekali empat hari, dan

(36)

biasanya menstruasi itu lamanya satu minggu dalam satu bulan, jadi seorang

laki-laki meninggalkan istrinya yang dalam keadaan menstruasi dan pergi ke

rumah yang lain yang ahkirnya pada minggu keempatnya dia datang lagi dan

menemukan istrinya dalam keadaan suci (Yasid, 2005: 196).

Pembatasaan ini untuk menjadi alasan bagi seorang laki-laki yang

senang dengan wanita karena jumlah empat ini sudah dapat mencukupi

bermacam-macam jenis wanita, menurut biasanya dan seorang laki-laki

berhak utuk memilih istrinya yang tinggi, yang rendah, yang kurus dan yang

gemuk atau yang putih, yang sawo matang, yang kuning dan yang

kemerah-merahan atau yang beragama , yang cantik, yang kaya dan yang bangsawan

atau yang tabi’atnya kasar, halus, suka menurut dan yang tengah-tengah.

b. Kriteria wanita yang bisa di poligami

Ajaran Islam tidak melupakan ekses yang timbul dari poligami itu,

terutama bahwa poligami itu membangkitkan perasaan cemburunya wanita,

Islam menetapkan poligami untuk memelihara keluarga muslim dan

memelihara kaum wanita. Oleh sebab itu agama Islam melarang seorang

laki-laki mengumpulkan dua orang wanita yang kakak beradik, atau ibu dan

anaknya, atau seorang wanita dengan saudara ayahnya atau dengan saudara

ibunya untuk dipoligam. Dengan demikian keluarga muslim itu dapat

memelihara berlangsungnya kasih sayang di dalamnya, dan mempersempit

pengaruh perasaan cemburu agar tidak sampai melewati wanita-wanita yang

dimadu itu, dan bukan menjadi alat untuk memutuskan silaturrohim antara

(37)

B. Poligami dalam Perspektif Undang-Undang

Menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (2), poligami boleh dilakukan

oleh seseorang dengan alasan:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (Rofiq, 2000:171). lihat juga pasal 57

KHI jo. ps. 41a PP).

Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang istri, maka poligami diperbolehkan apabila memenuhi

syarat-syarat yang telah termuat dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 4 (1), yang

isinya sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan

anak-anaknya.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berbuat adil terhadap istri-istri dan

anak-anak.

Yang dimaksud adil di sini adalah, bahwa setiap istri berhak

mendapatkan hak-haknya dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, dan

nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal dan lain-lain, yang

diwajibkan oleh Allah SWT kepada setiap suami. Dalam hal ini, sama saja

haknya, istri satu-satunya, atau salah seorang dari dua, tiga, atau empat istri. Dan

(38)

mereka, karena dalam suasana poligami itu, istri-istri itu sama haknya terhadap

kebaikan suami (Al-Attar, 1976:193).

Adil antara istri-istri, apabila penulis cermati itu hukumnya adalah wajib,

berdasarkan ayat Al-Qur’an (yang telah kita kemukakan diatas), dan juga

berdasarkan Sunnah Nabi SAW. dan ijma’, pendapat yang telah disetujui oleh

ulama-ulama muslimin.

Adapun perkawinan yang dilarang, juga telah dijelaskan dalam

Undang-Undang Perkawinan pasal 8, antara lain:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara

neneknya.

3. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau bapak tiri.

4. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan

bibi atau paman susuan.

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri,

dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

6. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku dilarang kawin (Abdurrahman, 1990:67).

C. Pandangan Islam terhadap seorang Isteri yang tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri kepada suami

Ada beberapa faktor yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi

(39)

hormon, obat-obatan dan penyakit. Disamping itu, kita juga dapat mempelajari

bagaimana tubuh manusia bekerja selama melakukan hubungan seks. Dari

faktor-faktor tersebutlah manusia bisa memahami “mesin seksual” seseorang yang sedang

bekerja dengan baik atau tidak dan apa yang menyebabkan hal tersebut.

Ketika tubuh tidak berfungsi dengan benar dan seks tidak menjadi

pengalaman yang bisa dinikmati, mudah sekali terlihat mengapa pada akhirnya

seseorang berhenti menginginkannya. Kenyataannya banyak orang yang mengalami

masalah seksual. Menurut suatu kajian besar yang diterbitkan dalam Journal of the

American Medical Association, hampir sepertiga wanita Amerika berkata bahwa

mereka tidak mengalami orgasme secara teratur, dan 23 persen mengatakan tidak

menikmati seks. Sekitar sepertiga pria Amerika mengatakan mereka selalu

mengalami masalah ejakulasi dini. Secara keseluruhan, 43 persen wanita dan 31

persen pria mengatakan bahwa mereka memiliki satu atau lebih masalah seks

(Michele, 2004:47).

Berikut ini adalah di antara beberapa masalah seksual yang bisa

mempengaruhi gairah seksual.

1. Masalah pada rangsangan

Wanita yang mengalami masalah pada rangsangan seksual tidak merasa

gembira atau nikmat ketika dirangsang secara seksual. Mungkin ini disebabkan

oleh tidak memadainya rangsangan. Pasangannya tidak mengetahui cara

menyentuh untuk membuatnya terangsang atau ia tidak cukup mengenal

tubuhnya agar bisa memberi intruksi pada pasangannya. Atau oleh faktor-faktor

fisiologis, misalnya kurangnya aliran darah ke daerah alat kelamin atau

(40)

2. Masalah pada orgasme

Ketika wanita mengalami kelainan orgasme, mereka tidak mampu

mencapai orgasme setelah rangsangan atau gairah seksual yang memadai

dilakukan. Termasuk di dalam kategori ini adalah wanita yang tidak pernah

mengalami orgasme, serta mereka yang mengalami masalah orgasme secara

terus menerus atau berulang.

3. Kelainan nyeri seksual

Kelainan nyeri seksual termasuk Dispareunia (nyeri kelamin yang terus

menerus atau berulang yang menyertai hubungan seksual) dan Vaginismus

(kejang tidak disengaja pada dinding vagina secara terus menerus atau berulang

yang mengganggu terjadinya penetrasi atau hubungan seksual).

4. Kelainan ejakulasi

Keluhan seksual nomor satu pada pria adalah ejakulasi dini. Ketika

ejakulasi terjadi sebelum atau segera sesudah penetrasi, pria yang mengalami

ejakulasi dini seakan-akan merasa hanya sedikit atau sama sekali tidak

memiliki kendali atas ejakulasinya. Karena kinerja seksual selama

melakukan hubungan seringkali menjadi tolak ukur pria dalam mengukur

kekuatan seksualnya, maka ejakulasi dini inilah yang sering kali

memunculkan rasa malu, frustasi dan kadang terjadi penghindaran terhadap

hubungan seksual.

5. Disfungsi ereksi

Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan seseorang untuk mencapai

atau mempertahankan ereksi cukup lama untuk mencapai hubungan seks

(41)

pria mengalaminya pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Kecuali jika

kelainan ini bersifat kronis atau berulang, biasanya kelainan ini tidak menjadi

masalah. Penuaan usia lebih memungkinkan terjadinya disfungsi ereksi. 52

persen pada pria berusia empat puluh tahun sampai tujuh puluh tahun

tidaklah berarti bahwa disfungsi ini tidak bisa dihindari, bahkan pada pria

berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun.

D. Etika dan kebebasan seksual dalam Islam

Berbeda dengan barat, Islam memandang seks sebagai sebuah naluri

manusia. Seperti yang dikutip Abu Fathan dalam bukunya, Fikr al-Islam,

Muhammad Ismail Mengatakan, “Dalam diri manusia terdapat suatu potensi

kehidupan atau kebutuhan hidup (thaqat al-hayawiyyah)”. Potensi kebutuhan ini

senantiasa mendorong manusia melakukan perbuatan dan menuntut pemuasan.

Bentuk manifestasinya ada dua macam, yaitu :

1. Kebutuhan yang menuntut adanya pemenuhan yang tidak dapat di tunda, jika

kebutuhan ini tidak terpenuhi maka matilah manusia. Manifestasi semacam itu

disebut kebutuhan jasmani atau Hajat al-‘Udhawiyah. Contohnya: makan,

minum, bernafas, buang hajat dan sejenisnya.

2. Kebutuhan yang menuntut adanya pemuasan. Jika tidak terpenuhi maka tidak

menimbulkan kematian pada manusia. Hanya saja ia akan mengalami

kegelisahan sampai terpenuhinya kebutuhan tersebut. Manifestasi semacam ini

disebut naluri atau gharizah yakni aktifitas yang berupa getaran-getaran perasaan

alamiah yang mendorong adanya tuntutan pemuasan (Fathan, 2004:23). Adapun

(42)

a. Gharizat al-Baqa’ atau naluri untuk mempertahankan diri. Setiap manusia

pasti mempunyai naluri ini, baik secara nyata, seperti nekad menghadapi

kawanan perampok, mengendalikan setir bila mobilnya akan menabrak

maupun penampakan secara halus seperti mendebat pendapat orang yang

bertentangan dengannya.

b. Gharizat al-Tadayyun atau naluri untuk beragama atau menuhankan sesuatu.

Apapun agama atau kepercayaan seseorang, mereka pasti membutuhkan

“ibadah-ibadah” ritual untuk memenuhi nalurinya ini.

c. Gharizat al-Nau’ atau naluri untuk mempertahankan keturunan. Ringkasnya,

naluri ini adalah naluri seksual. Pelampiasannya dengan berpandangan,

berpegangan sampai berhubungan seks dengan lawan jenis (Fathan,

2004:23-24).

Sebagaimana uraian di atas, kebutuhan jasmani dengan naluri sangat jauh

berbeda. Dari segi munculnya dorongan tuntutan pemuasan keduanya juga berbeda.

Dorongan terhadap kebutuhan jasmani bersifat internal. Seseorang timbul rasa ingin

makan karena lapar, tidak perlu dirangsang dengan makanan yang lezat-lezat.

Sedangkan dorongan munculnya gharizah adalah dari luar (Eksternal). Contohnya

pemikiran atau kenyataan yang dapat di indera dan merangsang perasaan sehingga

menuntut pemuasan. Gharizat al-nau’ misalnya, seseorang bisa dirangsang oleh

pemikiran tenteng wanita cantik atau gambar-gambar porno sehingga ingin

melakukan hubungan seks. Tanpa adanya rangsangan tersebut ia tidak akan

(43)

Kesalahan ide barat mengenai seks, yang diwakili yang diwakili oleh

pendapat Freud adalah memasukkan gharizat al-nau’ atau naluri seksual tersebut

kedalam hajat al-‘udhawiyyah atau kebutuhan jasmani.

Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap naluri seks adalah sumber dari

naluri-naluri lain. Memang pelampiasan naluri tersebut dilaksanakan secara fisik

(hubungan seks). Namun tidaklah seseorang menemui kematian sebagaimana halnya

tidak makan dan minum, bila tidak berhubungan seks. Ide mereka memang

didasarkan fakta betapa berperannya seks dalam kehidupan. Islam juga tidak

mengingkari itu. Al-Quran menyiratkan dalam Surat Ali ‘Imron ayat 14 sebagai

berikut:

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis mas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14) (Departemen Agama RI, 1999:77).

Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wanita sebagai kecintaan

pada dunia diletakkan oleh Allah pada posisi pertama, sebelum anak dan harta. Hal

ini mengandung arti, bahwa naluri seksual seseorang terhadap kaum wanita

memegang peranan penting dibandingkan dengan naluri yang lain.

Wanita sebagai subyek maupun obyek seksual lebih berharga dan berperan

(44)

utamanya wanita, terutama wanita yang shalehah dibanding harta di dunia, “Dunia

seisinya adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang

shaleh”.(HR Baihaqi) (Fathan, 2004:26).

Islam adalah agama yang sempurna, setiap perbuatan manusia pasti sudah

diatur dalam hukum yang tergali dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Demikian pula

mengenai hubungan seks, Al-Quran dan Sunnah juga memberikan tuntunan yang

jelas. Ada beberapa aturan dasar mengenai kehidupan seks dalam Islam sebagai

berikut :

a. Secara naluri pria tertarik pada wanita dan sebaliknya.

b. Pada badan manusia terdapat empat erotis yang dapat membangkitkan birahi.

Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk menutupinya, terutama bagi wanita

agar tidak menimbulkan fitnah.

c. Islam mewajibkan menutup aurat, karena aurat ini sebagian besar merupakan

tempat alat-alat kelamin bagian luar.

d. Islam melarang seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan

muhrimnya berkhalwat (berduaan atau bersunyi-bersunyian). Karena dalam

keadaan demikian nafsu birahi keduanya bisa terangsang.

e. Islam melarang perzinaan karena tidak beradab dan merusak sendi-sendi

kehidupan masyarakat.

f. Islam melarang perbuatan cabul seperti pemuasan seks dengan sejenis, onani

atau masturbasi.

g. Islam menganjurkan menikah untuk menyalurkan naluri seks seseorang. Tapi

bila yang belum mampu kawin, lebih baik berpuasa untuk mengendurkan

(45)

h. Islam menganjurkan khitan pada umatnya sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim

a.s.

i. Islam mewajibkan mandi junub bagi yang junub, yaitu orang yang mengeluarkan

mani(ketika mimpi basah atau berhubungan)atau berhubungan (walaupun tidak

mengeluarkan mani).

j. Mewajibkan suami istri melakukan hubungan seks secara wajar. Dilarang

menyetubuhi istri lewat jalan dubur.

k. Islam melarang menyetubuhi istri yang sedang haid.

l. Allah menerangkan proses terjadinya janin dalam rahim, yaitu berkat pertemuan

antara sel lelaki yang disebut Spermatozoa dan sel perempuan yang disebut

Ovum atau sel telur.

Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan ajaran agama, serta riset

psikoanalis, dorongan seksual adalah titik lemah manusia yang tidak dapat

dihentikan dengan menggunakan nasihat atau undang-undang. Dorongan tersebut

harus diarahkan pada jalan yang semestinya. Dalam hal ini, bukan berarti jika

dorongan seksual itu tidak dapat dihentikan, lalu tidak ada lagi batasan,

undang-undang dan aturan.

Kita mengetahui bahwa di dunia barat selama berabad-abad, diberitakan

secara luas bahwa menjadi budak dari hawa nafsu adalah bertentangan dengan

moral, ketenangan batin, mengganggu ketertiban masyarakat, dan merupakan suatu

penyakit dan penyimpangan. Sampai akhirnya keluar keputusan pelarangan

penyaluran kebutuhan biologis, karena hal itu dipandang sebagai suatu perkara yang

(46)

Kekeliruan mereka yang bermaksud menghalangi pembunuhan dorongan

seksual adalah: mereka memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada

manusia. Mereka tidak memperhatikan perbedaan mencolok antara manusia dengan

binatang.mereka tidak memperhatikan bahwa dalam diri manusia terdapat

kecenderungan yang tidak terbatas. Manusia, jika memiliki kesempatan dalam

mengumpulkan harta, meraih kekuasaan politik, menguasai orang lain, dan juga

dalam berbagai perkara seksual, maka mereka tidak akan berhenti dan akan selalu

berusaha untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya.

Sebagaimana dapat kita baca dalam catatan sejarah, banyak raja yang

memiliki beratus-ratus selir yang cantik dan sempurna, namun tatkala mereka

mendengar ada seorang wanita yang cantik, mereka akan merasa gelisah dan

memerintahkan para pengawalnya untuk segera mendatangkan wanita tersebut.

Contoh lain adalah kondisi Eropa sekarang ini, dimana masyarakatnya telah melepas

dan mencabut berbagai ikatan dan batas-batas moral. Hal itu bukan meredam

dorongan seksual masyarakat, namun justru semakin mengobarkan nafsu seksual

mereka. Dengan demikian, tidak sepatutnya mengekang dan membunuh nafsu

seksual dan tidak sepantasnya pula melepaskanya secara bebas.

Masyarakat masih belum mampu memenuhi kebutuhan biologisnya secara

rasional dan tanpa melanggar syariat. Dari satu sisi, hal ini disebabkan adanya

berbagai krisis ekonomi, dan dari sisi lain disebabkan adanya mitos dan khurafat,

tradisi yang salah, dan berbagai sebab lainnya yang menyebabkan para pria harus

(47)

BAB III

GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA KOTA SALATIGA DAN PENETAPAN

NO. 0525/Pdt. G/2010/PA.SAL

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Kota Salatiga 1. Lahirnya Pengadilan Agama Salatiga

Pengadilan Agama Salatiga adalah merupakan Pengadilan yang ada

sejak zaman Kolonial Belanda yang dibentuk berdasarkan Staatsblad Tahun

1882 Nomor : 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor : 116 dan 610. Setelah

Indonesia merdeka pada tahun 1949 Pengadilan Agama Salatiga pada saat itu

(48)

Diponegoro 72 Salatiga diatas sebidang tanah seluas 1730 m2 luas bangunan

gedung 362,60 m2. Itulah sedikit gambaran lahirnya Pengadilan Agama Salatiga

yang hingga saat ini masih menjadi pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia

khususnya di wilayah Kota Salatiga.

Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, Lembaran

Negara 1957 Nomor 99 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah di luar

Jawa dan Madura, merupakan landasan hukum bagi pembentukan Pengadilan

Agama di seluruh Indonesia (Achmad Roestandi dkk, 1991:1). Pada saat itu

terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan

Agama di Indonesia, yaitu:

a. Stb. 1882 Nomor 152 jo. Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 yang mengatur

Peradilan Agama di Jawa dan Madura;

b. Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang mengatur Peradilan Agama di Jawa dan

Madura;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur Peradilan

Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan.

Pada tahun 1970, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman yang menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Pertama, peradilan dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”. Kedua, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan

Peradilan Tata Usaha Negara. Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan

(49)

organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah kekuasaan

masing-masing departemen yang bersangkutan dan Kelima, susunan kekuasaan serta

acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang

tersendiri.

Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi

kemandirian Peradilan Agama, dan memberikan status yang sama dengan

peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

lebih memperkokoh keberadaan Pengadilan Agama. Pada tahun 1989, lahirnya

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mandiri,

sederajat dengan pengadilan di lingkungan peradilan lainnya serta terwujudnya

kodifikasi dan unifikasi di bidang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 telah mengatur definisi Peradilan Agama sebagaimana pasal 1

angka 1 sebagai berikut (Gatot Supramono, 1993:6): “Peradilan Agama adalah

peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam”.

Dengan definisi di atas tampak jelas bahwa lembaga peradilan

dimaksud khusus diperuntukkan bagi umat Islam saja. hal itu menunjukkan pula

bagi umat Islam yang berperkara dapat menyelesaikannya melalui peradilan

yang hakim-hakimnya beragama Islam serta diselesaikan menurut ajaran Islam,

walaupun tidak seluruh macam perkara merupakan wewenang Peradilan Agama.

2. Perkara di Pengadilan Agama Salatiga

Berbicara tentang perkara yang ada di Pengadilan Agama Salatiga , ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya mengenai kewenangan

(50)

a. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif)

Kewenangan relatif, yaitu mengatur tentang pembagian kekuasaan

mengadili antar pengadilan yang serupa atau sejenis. Wewenang relatif ini

akan menjawab pertanyaan pengadilan yang berada di mana yang berwenang

untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Jadi dalam hal ini berkaitan

dengan wilayah hukum suatu pengadilan.

Dalam kewenangan relatif ini, berdasarkan keputusan Mahkamah

Agung RI No. KMA/010/SK/III/1996 tanggal 6 maret 1996 Pengadilan

Agama Salatiga hanya berwenang menyelesaikan perkara yang daerah

hukumnya berada di Kota Salatiga yang meliputi:

1. Kotamadya Salatiga yang terdiri dari empat kecamatan:

a) Kecamatan Sidorejo,

b) Kecamatan Sidomukti,

c) Kecamatan Tingkir,

d) Kecamatan Argomulyo

2. Kabupaten Semarang yang terdiri dari Sembilan kecamatan yaitu :

a) Kecamatan Bringin,

b) Kecamatan Bancak,

c) Kecamatan Suruh,

d) Kecamatan Susukan,

e) Kecamatan Kaliwungu,

f) Kecamatan Pabelan,

g) Kecamatan Tuntang,

(51)

i) Kecamatan Getasan

b. Kewenangan Mutlak (Kompetensi Absolut)

Kewenangan mutlak (kompetensi absolut), yaitu wewenang badan

pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak

dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan

yang sama (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi) maupun dalam

lingkungan peradilan yang lain (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan

Agama). Dengan demikian wewenang yang mutlak ini menjawab pertanyaan

badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa yang

bersangkutan (Rasaid, 1999:19).

Dalam hal kewenangan mutlak ini, Pengadilan Agama Salatiga

berpedoman pada ketentuan UU No. 7/1989 jo. UU No. 3/2006 serta

peraturan perundang-undangan lain yang berlaku antara lain: UU No.

1/1974, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,

Permenag No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan

dalam bidang hukum keluarga dan harta perkawinan bagi mereka yang

beragama Islam, berdasarkan hukum Islam yaitu:

1) Bidang Perkawinan

Salah satu yang tercakup dalam kekuasaan mutlak pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama adalah bidang perkawinan.

Kekuasaan badan peradilan di bidang tersebut semakin bertambah,

terutama sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, yang mulai berlaku

(52)

ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan bidang

perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, antara lain adalah (Bisri, 2000:222):

a) Ijin beristeri lebih dari seorang;

b) Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21

(dua puluh satu) Tahun, dalam hal rang tua atau wali atau keluarga

dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

c) Dispensasi kawin;

d) Pencegahan perkawinan;

e) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

f) Pembatalan perkawinan;

g) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;

h) Perceraian karena talak;

i) Gugatan perceraian

j) Penyelesaian harta bersama

k) Mengenai penguasaan anak-anak;

l) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak

memenuhinya;

m) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada

bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;

n) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;

o) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

(53)

q) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut;

r) Menunjuk seorang wali oleh pengadilan dalam hal seorang anak

belum cukup berumur 18 (delapan belas) Tahun yang ditinggal kedua

orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;

s) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah

menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah

kekuasaannya;

t) Penetapan asal usul seorang anak;

u) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran;

v) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan

menurut peraturan yang lain.

2) Bidang Kewarisan, Wasiat dan Hibah

Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di

bidang kewarisan mencakup empat hal, yaitu: 1. Penentuan siapa-siapa

yang menjadi ahli waris; 2. Penentuan mengenai harta peninggalan

(tirkah); 3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris dari harta

peninggalan itu; 4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

3) Bidang Wakaf dan Shadaqah

Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di

bidang wakaf berkaitan dengan ketentuan PP. Nomor 28 Tahun 1977

Referensi

Dokumen terkait

adalah: pertama, memberikan sesuatu (hadiah) atau janji kepada pejabat (pegawai negeri atau penyelenggara negara) dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat

EDUSCOTECH: Scientific Journal of Education, Economics, and Engineering 34 Dengan mengambil keputusan dari pemaparan di atas dapat ditafsirkan bahwa dari hasil

Penelitian ini melihat bagaimana strategi PUG terintegrasi dalam kebijakan pembangunan kualitas SDM di Indonesia, guna memastikan terjaminnya Kesetaraan dan Keadilan

Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah penderita tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan Asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah

Simpulan: dapat disimpulkan bahwa terdapat dua tema umum untuk meningkatkan praktek blended learning pada pendidikan tinggi, yaitu: pertama, perbedaan belajar

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, Pada hari Minggu, 7 Agustus 2016 dalam Kebaktian ke-III (Pk.10.00 WIB) akan dilayankan Sakramen Baptis Kudus Anak yang

Untuk melaksanakan kebijakan yang telah diambil pada tahun 2020, maka perlu dijabarkan dalam 14 program dan 52 kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan.

7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dalam Pasal 16-nya memberikan jaminan dalam masalah pengasuhan anak dengan persamaan hak