• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

B. Kerangka Teori 1. Kinerja Karyawan

2. Etika Kerja Islami

a. Pengertian Etika Kerja Islami

Menurut Jamil (2007: 5) konsep etika kerja Islam (IWE) memiliki asal-usul dari Alqur’an dan perkataan serta perbuatan nabi Muhammad,

yang bersabda bahwa kerja keras menyebabkan dosa terampuni dan bahwa tidak ada seorangpun memakan makanan yang lebih baik

dibanding makanan yang dihasilkan dari pekerjannya. Di dalam Surat At-Taubah yat 105 Allah berfirman:



































105. “Katakanlah bekerjalah kamu, niscaya Allah akan melihat

pekerjaanmu, serta rosulNya serta orang-orang mu’min akan melihat

pekerjaaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanya kepada

kamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Etika kerja Islam menganggap dedikasi pada pekerjaan sebagai suatu kebajikan. Usaha yang memadai harus diberikan pada pekerjaan seseorang, yang dianggap sebagi kewajiban bagi orang yang mampu. Etika kerja Islam menekankan kerjasama dalam pekerjaan dan konsultasi dianggap sebagai cara mengatasi rintangan dan menghindari kekeliruan. Hubungan sosial ditempat kerja didorong dalam rangka memenuhi kebutuhan seseorang dan mencapai keseimbangan pada kehidupan individu dan sosial seseorang. Sebagai tambahan, pekerjaan dianggap sebagai sumber independensi dan sebagai cara untuk membantu pertumbuhan pribadi, menghargai diri, kepuasan dan pemenuhan diri.

Sistem etika kerja Islam berbeda dengan paham kaum mikro ekonomi yang menekankan pada efisiensi penggunanaan sumber daya untuk memuaskan kebutuhan dan berupaya memaksimalkan

mempertimbangkan persoalan etis. Sedangkan dalam etika bisnis Islam, maksimalisasi keuntungan bukanlah tujuan tertinggi ataupun satu-satunya prinsip etis bekerja dalam Islam sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Kahfi ayat 46

                        

46. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Etika kerja yang Islami adalah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan hartanya (barang/jasa), namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram. Etika kerja

dalam Syari’at Islam adalah akhlak dalam menjalankan bisnis sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga dalam melaksanakan bisnisnya tidak perlu ada kehawatiran, sebab sudah diyakini sebagai suatu yang baik dan benar.

b. Tujuan Etika Kerja Islami

Etika kerja islami di ungkapkan Triwuyono dalam Jamil (2007: 19) bahwa tujuan utama etika menurut Islam adalah “menyebarkan rahmat pada semua makhluk”. Tujuan itu secara normatif berasal dari

keyakinan Islam dan misi sejati hidup manusia. Tujuan itu pada hakekatnya bersifat trasendental karena tujuan itu tidak terbatas pada

kehidupan dunia individu, tetapi juga pada kehidupan setelah dunia ini. Walaupun tujuan itu agaknya terlalu abstrak, tujuan itu dapat diterjemahkan dalam tujuan-tujuan yang lebih praktis (operatif), sejauh penerjemahan itu masih terus terinspirasi dari dan meliputi nilai-nilai tujuan utama. Dalam pencapaian tujuan tersebut diperlukan peraturan etik untuk memastikan bahwa upaya yang merealisasikan baik tujuan umat maupun tujuan operatif selalu dijalan yang benar.

Etika kerja Islam terekspresikan dalam bentuk syari’ah, yang terdiri dari Al Qur’an , sunnah (identik dengan hadist), ijma dan Qiyas.

Etika merupakan sistem hukum dan moralitas yang komprehensif dan meliputi seluruh wilayah kehidupan manusia. Didasarkan pada sifat

keadilan, syari’ah bagi umat Islam berfungsi sebagai sumber serangkaian kriteria untuk membedakan mana yang benar (haq) dan mana yang buruk (batil). Dengan menggunakan syari’ah, bukan hanya

membawa individu dekat dengan Tuhan, tetapi juga memfasilitasi terbentuknya masyarakat yang adil yang didalamnya individu mampu merealisasikan potensinya dan kesejahteraan diperuntukkan bagi semua.

c. Karakteristik Etika Kerja Islami

Etika kerja agama (Islami) menurut Asifudin dalam Jamil (2004: 16):

1) Sikap hidup mendasar pada kerja disini identik dengan sistem keimanan/aqidah Islam berkenaan dengan kerja atas dasar

pemahaman bersumber dari wahyu dan akal yang saling bekerja sama secara proporsional. Akal lebih banyak berfungsi sebagai alat memahami wahyu (meski dimungkinkan akal memperoleh pemahaman dari sumber lain, namun menyatu dengan system keimanan Islam).

2) Iman eksis dan terbentuk sebagai buah pemahaman terhadap wahyu. Dalam hal ini akal selain berfungsi sebagai alat, juga berpeluang menjadi sumber. Disamping menjadi dasar acuan etika kerja islami, iman islami, (atas dasar pemahaman) berkenaan dengan kerja inilah yang menimbulkan sikap hidup mendasar (aqidah) terhadap kerja, sekaligus motivasi kerja islami

3) Motivasi disini timbul dan bertolak dari sistem keimanan/aqidah Islam berkenaan kerja bersumber dari ajaran wahyu dan akal yang saling bekerjasama. Maka motivasi berangkat dari niat ibadah kepada Allah dan iman terhadap adanya kehidupan ukhrawi yang jauh lebih bermakna.

4) Etika kerja berdasarkan keimanan terhadap ajaran wahyu berkenaan dengan etika kerja dan hasil pemahaman akal yang membentuk sistem keimanan/aqidah Islam sehubungan dengan kerja (aqidah kerja).

d. Bentuk Etika Kerja Islami

Afzalurrahman dalam Ayudiati (2010: 13) mengungkapkan bahwa

tidak mendapatkan sesuatu, kecuali apa yang telah diusahakannya tertulis dalam Surat An-Najm ayat 39















39. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.

Keberhasilan dan kemajuan manusia di muka bumi ini tergantun pada usahanya. Semakin keras ia bekerja, ia akan semakin kaya. Prinsip ini lebih lanjut dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 32



























































32. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Alam tidak mengenal pemisahan manusia, antara laki-laki dan perempuan, antara yang hitam dan putih, bahkan antara muslim dan non muslim, masing-masing dari mereka diberi balasan atas apa yang dikerjakannya. Barang siapa bekerja keras ia akan mendapat balasannya. Prinsip ini berlaku untuk setiap orang dan juga untuk semua bangsa.

Allah sekali-kali tidak akan mengubah nasib suatu bangsa,

sehingga bangsa itu mengubahnya sendiri dalam Surat Al-Anfal ayat 53







































53. (siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Al-Khayyath dalam Ayudiati (2010: 14) menjelaskan bahwa hal-hal penting tentang penghayatan etika kerja Islam yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

1) Adanya keterikatan individu terhadap diri dan kerja yang menjadi tanggung jawabnya

2) Berusaha dengan cara halal dalam seluruh jenis pekerjaan,

3) Dilarang memaksakan (memforsir) seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam kerja,

4) Islam tidak mengenal pekerjaan yang mendurhakai Allah SWT seperti di antaranya bekerja memeras bahan-bahan minuman keras, sebagai pencatat riba,

5) Diantara sifat pekerja adalah kuat dan dapat dipercaya 6) Profesionalisme.

Menurut Beekun (2004: 31) terdapat beberapa parameter kunci untuk sistem etika Islam, yaitu:

1) Perilaku dinilai etis bergantung pada niat baik masing-masing individu.

2) Niat yang baik harus diikuti oleh perbuatan yang baik. Niat baik tidak dapat mengubah perbuatan haram menjadi halal.

3) Islam memberikan kebebasan individu untuk mempercayai sesuatu atau berbuat sesuatu, selama tidak mengorbankan nilai tanggungjawab dan keadilan.

4) Harus ada kepercayaan bahwa Allah memberikan kepada individu pembebasan (freedom) yang komplit, dari sesuatu atau siapa pun selain Allah.

5) Keputusan mengenai keuntungan mayoritas atau minoritas tidak diperlukan. Sebab etika bukanlah permainan angka.

6) Islam menggunakan sistem pendekatan terbuka kepada etika, tidak tertutup atau self-oriented system. Tak ada egoisme dalam Islam.

e. Etika dalam ajaran islam

Menurut Sofyan (2012: 33-34) etika bisnis dalam Islam dibangun dari aksioma-aksioma etik atau nilai-nilai dasar kemudian diformulasikan menjadi prinsip-prinsip utama yang diambil dari kandungan al-Qur’an, Hadist Nabi dan keteladanan hidupnya. Berikut nilai-nilai dasar dalam etika islam:

1. Tauhid

Adalah kepercayaan secara vertikal yang diiringi ketundukan secara penuh dan murni terhadap kesatuan Tuhan. Kesatuan

sembahan ini kemudian dapat dikembangkan menjadi kesatuan aturan hidup (syariah), ciptaan, tujuan hidup, dan kesatuan kemanusiaan. Pandangan islam tentang kesatuan dunia ini tidak terbatas pada masyarakat muslim semata, islam memandang seluruh manusia sebagai komunitas yang satu (QS. 49: 13).

2. Istikhlaf

Norma ini menyatakan bahwa apa yang dimiliki oleh manusia hanyalah titipan Allah, norma ini mengukuhkan norma tauhid dalam aspek ekonomi. Seorang muslim percaya dengan sepenuhnya bahwa ia bekerja sesuai dengan hukum kausalitas yang merupakan perbuatan Allah. Allah pencipta serta pemilik sejati, sedangkan manusia hanyalah pemegang amanah di muka bumi ini (QS. Az-Zumar: 62).

3. Ibadah

Menurut Ibnu Taymiyah, ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Adapun secara terminolgis, ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah, yaitu tingkat ketundukan paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

4. Tazkiyah

Tazkiyah menurut Ibnu Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa,

adalah menjadikan sesuatu suci baik zatnya maupun keyakinan dan fisiknya. Ibnu Jarir ath-Thobari menafsirkan bahwa orang-orang

beruntung adalah mereka yang Allah sucikan jiwanya dari kekufuran dan kemaksiatan, serta memperbaikinya dengan amal sholeh.

5. Ihsan

Menurut Umaruddin sebagaimana dikutip oleh Beekum (1997: 43), ihsan adalah perbuatan yang menguntungkan orang lain melebihi orang yang melakukan perbuataan tersebut dan dilakukan tanpa memberikan kewajiban apapun.

Tabel 2.2

Aplikasi Kaidah Dasar Etika Islam dalam Aktivitas Bisnis

No. Kaidah Dasar

Prinsip-prinsip umum

Aplikasi dalam aktivitas bisnis

1. Tauhid Unity of life

Tawsiyah

- Tidak memisahkan antara tujuan ibadah dan tujuan bisnis

- Tidak berbuat diskriminatif terhadap pekerja, pemasok, pembeli, atau stakeholder atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin bahkan agama.

- Tidak menimbun yang hanya didasari sifat keserakahan.

2. Istikhlaf Amanah

Aqliyah Hurriyah Masuliyah

- Menciptakan inovasi dalam produk dan aktivitas bisnis yang bermanfaat

- Kebebasan dalam melakukan

kontrak asalkan tidak

melanggar norma yang telah ditetapkan dalam agama.

secara sepihak.

- Memenuhi pesanan pelanggan tepat waktu dan sesuai spesifikasi yang telah disepakati.

3. Ibadah Pengabdian

paripurna Maslahah

- Berbisnis dengan sungguh-sungguh untuk mencari ridho Allah tidak semata-mata mencari keuntungan.

- Bersedia membagi keuntungan kepada orang yang sangat membutuhkan.

- Memproduksi barang-barang yang bermanfaat dan tidak merusak konsumen.

- Menjual produk yang

dibenarkan dan bermanfaat bagi konsumen.

4. Tazkiyah Shidq

‘Adalah

Tabligh

- Tidak mengurangi ukuran atau timbangan dalam bertransaksi, baik kuantitas maupun kualitas

- Tidak memonopoli usaha

dengan cara-cara yang tidak

benar agar memperoleh

keuntungan yang melimpah.

- Tidak menutupi kekurangan barang yang ditransaksikan

dengan tujuan untuk

mendapatkan penawaran harga tinggi.

5. Ihsan Mendahulukan hak kepentingan orang lain Pelayanan prima Ta’awun ‘Ataradhin

- Mengambil keuntungan sedikit kepada orang yang tidak mampu untuk membayar

- Melebihkan pembayaran

kepada penjual yang sedang

dalam kekurangan dan

kesulitan.

- Memberikan kelonggaran

waktu kepada orang yang berhalangan untuk membayar hutang.

- Menghapuskan hutang kepada orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar.

- Tidak memaksa dan menipu dalam melakukan transaksi. Sumber: Mochlasin Sofyan, Etika Bisnis dan Perbankan Perspektif Islam. 2012.

3. Budaya Organisasi

a. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Tampubolon (2012: 215) budaya organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan internal organisasi karena keragaman budaya yang ada dalam suatu organisasi sama bayaknya dengan jumlah individu yang ada di dalam organisasi. Suatu organisasi memerlukan satu budaya yang merupakan kumpulan persepsi secara umum dari seluruh karyawan sebagai anggota organisasi, yang dijadikan sebagai suatu sistem yang menggabungkan

beberapa pegertian yang secara eksplisit dianggap sebagai definisi budaya organisasi. Pada umumnya, di dalam suatu organisasi, yang menjadi budaya penentu atau yang memberi nilai utama adalah budaya yang dominan dari seluruh budaya yang dimiliki karyawan, yang diserap dari mayoritas anggota organisasi.

Menurut Wagner dan Hollenbeck dalam Tampubolon (2012: 228) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah suatu pola dari dasar asumsi untuk bertindak, menetukan, atau mengembangkan anggota organisasi dalam mengatasi persoalan dengan mengadaptasinya dari luar dan mengintegrasikan ke dalam agar karyawan dapat bekerja dengan tenang dan teliti, juga bermanfaat bagi karyawan baru sebagi dasar koreksi atas persepsi mereka, pikiran, dan perasaan dalam hubungan mengatasi persoalan. Menurut Moeljono Jokosusanto yang dikutip Hastono (2009: 34), mendifinisikan budaya organisasi merupakan nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi karyawan.

Menurut Donnely, Gibson dan Ivancevich dalam Pratama (2012: 35) budaya organisasi adalah suatu nilai-nilai yang dipercayai sehingga menjadi karakteristik yang diberikan anggota kepada suatu organisasi. Budaya organisasi merupakan lingkungan internal suatu organisasi karena kereagaman budaya yang ada dalam suatu organisasi sama banyaknya dengan jumlah individu yang ada dalam organisasi tersebut, sehingga budaya organisasi sebagai pemersatu

budaya-budaya yang ada pada diri individu untuk menciptakan tindakan yang dapat diterima dalam organisasi. Budaya organisasi berarti suatu sistem yang unik, keyakinan, dan norma-norma yang dimiliki secara bersama untuk anggota suatu organisasi. Budaya organisasi menjadi suatu penyebab penting bagi keefektifan.

b. Fungsi Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2008: 262) fungsi Budaya Organisasi antara lain:

1) Sebagai penentu batas-batas artinya, kultur menciptakan perbedaan atau distingsi antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. 2) Memuat rasa identitas anggota organisasi.

3) Kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu.

4) Kultur meningkatkan stabilitas sistem sosial.

5) Kultur bertindak sebagai mekanisme sense making serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.

Menurut Chatab dalam Pratama (2012: 37) Budaya Organisasi dapat berfungsi sebagai:

1) Identitas, yang merupakan ciri atau karakter organisasi 2) Pengikat atau pemersatu.

3) Sumber (sources), misalnya inspirasi. 4) Sumber penggerak dan pola perilaku.

c. Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2008: 256-257) karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah organisasi antara lain: 1) Inovasi dan Keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan

didorong untuk bersikap inovatif dan keberanian mengambil resiko.

2) Perhatian pada hal-hal kecil. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisa, dan perhatian pada hal-hal detail. 3) Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil

ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.

4) Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut.

5) Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang pada individu-individu.

6) Keagresifan. Sejauh mana orang-orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.

7) Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.

Karakteristik sebuah organisasi spiritual menurut Robbins (2008: 283-284), sebagai berikut

1) Kesadaran akan tujuan yang kuat. Organisasi spiritual mendasarkan kultur mereka pada suatu tujuan yang bermakna. Meskipun penting, laba bukanlah nilai utama organisasi. Orang dapat terilhami oleh tujuan yang mereka yakini penting dan bermakna.

2) Fokus terhadap pengembangan individual. Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai setiap manusia. Mereka mencoba menciptakan kultur dimana karyawan dapat terus belajar dan tumbuh.

3) Kepercayaan dan respek. Organisasi spiritual dicirikan oleh tumbuhnya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka. Para manajer tidak takut untuk mengakui kesalahan.

4) Praktik kerja yang manusiawi. Praktik-praktik yang dianut oleh organisasi spiritual ini meliputi jadwal kerja yang fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan organisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, jaminan hak-hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.

5) Toleransi bagi ekspresi karyawan. Karakteristik terakhir yang membedakan organisasi berbasis spiritual adalah bahwa mereka tidak menekan sisi emosional karyawan. Mereka memberi ruang bagi karyawan untukmenjadi diri mereka sendiri, untuk mengutarakan suasana hati dan perasaan mereka.

d. Pengukuran budaya organisasi

Pengukuran budaya organisasi disesuaikan dari Boke dan Nalla dalam Meyta (2011: 84), ada lima indikator pengukuran yaitu :

1. Peraturan

Peraturan dilaksanakan secara seragam (tidak pandang bulu) kepada semua pihak tanpa memperhatikan kondisi tertentu atau masalah tertentu.

2. Jarak dengan atasan

Setiap karyawan dapat secara bebas menyatakan pendapat dan ide yang berbeda dengan atasannya.

3. Kepercayaan

Para karyawan bersifat terbuka kepada karyawan lain. 4. Profesionalisme

Melaksanakan pekerjaan dengan kualitas yang bagus dapat mengembangkan kemam-puan karyawan.

5. Integrasi

Para karyawan bersifat ramah dalam per-gaulannya.

e. Jenis Budaya Organisasi

Menurut Roe dan Byars dalam Nurjanah (2008: 49) mengemukakan ada empat jenis budaya organisasi. Yaitu,

1) The Though Person (Budaya Keras/ Budaya Macho), budaya ini ditandai oleh individu-individu yang terbiasa megambil resiko tinggi dalam rangka mengharapkan keuntungan yang cepat tanpa

memikirkan mereka salah atau benar. Dalam tipe ini kerja sama tidaklah penting, artinya nilai kerjasama tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting dan tidak ada kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Contoh, industri hiburan.

2) Work Hard (Budaya Kerja Keras), budaya organisasi ini memotivasi karyawan untuk mengambil resiko rendah dan mengharapkan pengembalian yang cepat. Dudaya organisasi ini menekankan diri pada bersenang-senang dan tindakan budaya organisasi ini lebih mengutamkan penjualan. Contoh. Real estate.

3) Bvet Your Company Culture (Budaya Pertaruhkan Perusahaan

Anda), budaya ini dalam lingkungan dimana resiko tinggi dan keputuan diambil sebelum hasil diketahui. Contoh, indutri pesawat terbang.

4) Process Culture (Budaya Proses), budaya dengan resiko rendah dan pengembalian rendah, karyawan hanya fokus pada bagaimana sesuatu dilakukan daripada hasil. Contoh, perusahaan perbankan.

f. Pengembangan Budaya Organisasi

Menurut Gross dan Shichman dalam Tampubolon (2012: 232) budaya organisasi dapat dikembangkan dengan menggunakan metode yang dapat membuat suatu kondisi budaya organisasi dapat menjadi suatu keterpaduan budaya anggotanya. Antara lain:

Bagaimana organisasi bisa belajar dari sejarah, belajar dari keberhasilan-keberhasilan yang pernah terjadi, belajar dari budaya-budaya organisasi yang pernah sukses dan berkembang, yang tentunya disesuaikan dengan konteks organisasi sendiri.

2) Kreativitas dan pemahaman keutuhan.

Hal ini dapat dibentuk dengan metode kepemimpinan, aturan yang berlaku dan etika dalam berkomunikasi. Kreativitas merupakan efek dari proses berfiir seseorang yang jika dikembangkan berdasarkan nilai, norma dan aturan yang berlaku akan menciptakan sebuah inovasi. Kepemimpinan dilihat dari dari cara supervise, pengarahan, dan proses kemudian meletakkan norma dan etika di dalam setiap anggotanya. Budaya yang terbentuk akan menuntun anggota organisasi menjadi kreatif dan saling menghargai, juga akan membentuk rasa persaudaraan, dengan berfikir ke masa depan tentang mafaat atas pemahaman dari keutuhan organisasi.

3) Promosi dan pemahaman tentang anggota

Perencanaan karies yang baik, yang merupakan hasil dari kebijakan manajemen, menggambarkan bahwa program promosi berjalan secara alamiah dan terstruktur, sesuai dengan rencana yang disusun berdasarkan tuntutan perubahan. Program promosi akan berjalan apabila performa karyawan sesuai dengan standar.

4) Tingkat pertukaran informasi diantara anggota

Hal ini dilakukan dengan tujuan menciptakan kebersamaan dan pendalaman pada masing-masing bidang keterampilan di setiap organisasi.

4. Faktor lain yang mempengaruhi kinerja

Dokumen terkait