• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP LATAR BELAKANG BUSHIDO

2.3. Etika Moral Bushido

Memasuki jaman Meiji, dimana pemerintahan pusat dikembalikan kepada kaisar, maka pemerintahan pun dapat mengendalikan rasa kebangsaan penduduknya. Pada zaman ini hingga berakhirnya perang dunia kedua, segenap masyarakat Jepang mempunyai hak yang sama dalam urusan bela negara. Namun, karena kebanyakan pemegang kendali pemerintahan Meiji, Taisho, dan Showa berasal dari keturunan golongan prajurit (bushi) pada Zaman Feodal, akibatnya nilai-nilai bushido pun turut

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

diterapkan dalam semua lini kehidupan masyarakat Jepang, terutama di bidang pendidikan dan militer. Diantara nilai-nilai bushido yang diterapkan tersebut adalah sikap rela mati untuk keagungan Kaisar yang berlaku sebagai kepala pemerintahan yang sekaligus keturunan dewa tersebut. Pengendalian sikap politik penduduk Jepang oleh golongan militer pada masa perang Cina-Jepang dan Perang Asia Raya menimbulkan dampak negative bagi sebagian besar penduduk Jepang sendiri, yakni terampasnya hak-hak individual untuk menenentukan nasibnya sendiri.

Karena bushido merupakan system moral maka sesungguhnya etika yang terkandung adalah etika moral. Kandungan etika moral bersifat altruistik, yaitu etika moral yang berpusat pada rasa kemanusiaan. Potensi moral yang diwarisi oleh bangsa Jepang telah menemukan bentuknya sebagai tatanan moral setelah konfusionisme datang. Etika konfusionisme yang bersifat kemanusiaan sangat cepat diterima bangsa Jepang, hal ini terjadi karena bangsa Jepang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan bangsa Cina yang membawa ajaran konfusionis.

Etika moral bushido menurut Nitobe (1969: 23-93) adalah: keberanian, kejujuran, keteguhan hati, kehormatan, kesopanan, ketulusan hati, kebajikan serta kesetiaan.

Keberanian

Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan kelompoknya (pengaruh "sistem ie"). Orang Jepang bahkan sampai berani dan rela mati demi membela kelompoknya tersebut. Sikap ini sangat terkait dengan nilai-nilai bushido lainnya. Apabila pada suatu ketika dimana orang Jepang merasa tugas yang dijalankannya gagal, ia merasa bertanggung jawab dan sangat malu. Sebagai konsekuensinya, ia rela menjalani hukuman mati dengan melakukan seppuku atau harakiri demi menjaga nama baik dirinya dan lembaga tempatnya mengabdi. Ia lebih

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

memilih mati, karena masyarakat Jepang menganggap mati lebih terhormat daripada hidup menanggung malu.

Kejujuran

Kejujuran merupakan keyakinan dalam ajaran code of the samurai. Di dalam diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan perbuatan yang tidak jujur. Ajaran bushido mendefenisikan kejujuran sebagai suatu kekuatan resolusi, kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa keragu-raguan. Samurai siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti sebagai samurai jika dianggap sebagai suatu kebenaran.

Konsep kejujuran dalam bushido adalah pembuatan keputusan dengan alasan yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah giri. Giri adalah alasan oleh seseorang untuk memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap terhadap orang tua, senior atau superioritas dan kepada masyarakat luas. Kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai. Jika seseorang bersikap jujur dan berjalan diatas jalan lurus, dapat dipastikan bahwa dia adalah orang yang berani. Pengertian berani bukan hanya mengacu pada keberanian, tetapi juga pada berani menghadapi cobaan hidup.

Kejujuran dikalangan samurai merupakan suatu etika yang tidak dapat diragukan lagi. Samurai harus tegas kapan harus membunuh dan kapan harus mati, asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus sesuai dan didasari oleh kejujuran dan akal sehat, tanpa kecerobohan dan kecurangan.

Keteguhan hati

Keteguhan hati merupakan sikap yang pantang menyerah, yaitu seseorang yang dapat bangkit dari keterpurukan atau kekalahan karena berlandaskan pengalaman yang berulang-ulang.

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Etika keteguhan hati ini sejalan dengan tiga prinsip dasar samurai, yaitu chi, jin dan

yuu. Chi menekankan pada ajaran kebijaksanaan, jin menekankan pada kasih sayang dan keserasian dengan alam dan yuu menekankan pada keberanian dan keteguhan hati.

Kebajikan

Cinta, kemurahan hati, kasih sayang untuk orang lain. Simpati dan rasa belas kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat sewenang-wenang. Menurut Nitobe bahwa rasa kasih sayang yang dimiliki kaum samurai tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa. Tetapi pada seorang samurai harus didukung oleh sebuah kekuatan untuk membela dan melindungi.

Kesopanan

Menurut Nitobe bahwa etika kesopanan masyarakat Jepang sudah terkenal ke seluruh dunia. Dan sifat itu merupakan unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik dari hubungan masyarakat. Kesopanan dalam masyrakat Jepang bermula dari tata cara yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain, bagaiman sikap dalam berjalan, duduk, diajar dan mengajar dalam bentuk kepedulian.

Kehormatan

Kehormatan merupakan implikasi dari suatu kesadaran hidupakan martabat individu yang berharga. Menurut Nitobe seroang samurai dibesarkan dengan nilai-nilai kewajiban dan keistimewaan profesi atau kedudukan mereka, bahwa kehormatan adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka.

Di dalam bahasa Jepang ada istilah na (nama), memoku (wajah), guaibun

(pendengaran), yang merupakan sebagai reputasi atau nama baik seseorang. Nama baik adalah bagian yang tidak kelihatan dalam diri manusia, tetapi dapat dirasakan.

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Kalau tidak dijaga reputasi itu bisa jatuh dan memberikan kesan yang tidak baik pada orang lain, dan kehormatan itu telah ada sejak manusia itu ada dalam kandungan ibunya. Hilangnya kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah hal yang sangat buruk dan merupakan hukuman yang sangat dihindari. Kesadaran akan mempertahankan kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah menolak segala bentuk penghinaan. Seppuku atau bunuh diri dengan cara memotong perut sendiri adalah merupakan suatu upacara ritual untuk mempertahankan kehoramtan dan keberanian.

Landasan filosofi yang diperlihatkan dalam etikan kehormatan ini adalah adanya kebutuhan bagi suatu undividu untuk menerima suatu penghargaan berupa hasil kerja. Dalam etika bushido adalah kehormatan bisa dicapai sejalan dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga dengan baik, karena reputasi yang dibangun selama hidup seorang samurai dapat hilang dengan seketika bila berbuat suatu kesalahan.

Kesetiaan

Kesetiaan adalah Kesetiaan yang diterapkan dalam ajaran bushid adalah kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya. Dalam menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh tuannya. Ajaran konfusius menempatkan kesetiaan kepada orang tua adalah hal yang paling utama. Di Jepang kesetiaan terhadap atasan adalah hal yang menempati urutan teratas. Makna kesetiaan pertamakali terlihat dari adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial kolektif untuk mempertahankan wilayah mereka dari ancaman dari luar.

Pemerintahan yang berkuasa pertamakali adalah kaisar Jimmu (abad 6 SM). Makna kesetiaan yang muncul pada pemerintahan kaisar ini adalah disamping makna solidaritas kolektif dan juga sikap patuh dan taat terhadap kasisar sebagai orang yang

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

memiliki derajat kesucian yang tinggi sebagi anak cucu dewa matahari.Kesetiaan terhadap kaisar ini tidak hanya dalam hal keduniawian tetapi juga dalam hal keabadian. Pemenuhan kewajiban yang dapat diartikan dari sifat religius dilakukan dengan bertindak setaat mungkin terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara mengabdi sepenuhnya terhadap atasan. Hal ini dianggap sebagai cara terbaik sebagai cara terbaik untuk mendapatkan berkah lindungan dari para leluhur dan para dewa untuk mencapai kondisi yang harmonis.

Setelah masuknya ajaran konfusionisme dan budhisme dari china (abad 6), telah memunculkan makna-makna baru dari kesetiaan. Dengan berlandaskan pada kita-kitab konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral. Nilai moral yang terkandung didalamnya adalah nilai moral sosial, karena berdasarkan adanya hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesame, terhadap pejabat pemerintahan dan terhadap kaisar. Pengaruh konfusionisme terhadap perkembangan makna kesetiaan semakin tampak nyata dengan perintah kaisar terhadap rakyat Jepang, yang menghendaki rakyat memiliki kesetiaan yang besar terhadap kaisar.

Pada masa pemerintahan bakufu, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh shogun dan kaisar hanya sebagai symbol memunculkan suatu makna baru dari kesetiaan. Makna kesetiaan yang lebih bersifat politik, yaitu kesetiaan terhadap pejabat pemerintah, terutama daimyo dan shogun, dimana system pemerintahan bersifat feodalisme.Kebudayaan feodal Jepang berbeda dengan feodalisme Cina, walaupun mendapat pengaruh dari Cina. Hal ini tampak pada pengaruh samurai meletakkan tekanan-tekanan utama pada kebikan militer tentang keberanian, kehormatan, disiplin diri dan siap menerima maut dengan tabah. Kewajiban utama

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

pada pemerintahan bakufu adalah kesetiaan, karena seluruh sistemnya tergantung pada ikatan kesetiaan pribadi (Reischauer, 1982:76).

Kesetiaan pada pengusasa amat penting dalam ajaran konfusionisme, tetapi lebih di batasi oleh kesetiaan terhadap keluarga. Sesungguhnya tiga dari lima etika dasar konfusionisme ada kaitannya dengan kapatuhan anak dan kesetiaan keluarga lain. Di Jepang pada masa pemerintahan bakufu, kesetiaan kepada tuan lebih berpusat terhadap seluruh system, sehingga kepada keluarga yang bersifat kelompok lebih besar menjadi lebih penting dari pada keluarga sendiri. Makna kesetiaan menjadi lebih penting pada pangabdian terhadap kepentingan kelompok dari pada perorangan dalam dimensi politik. Perkembangan yang demikian terjadi hingga abad-19 atau sampai pada jaman restorasi meiji, yaitu dengan berakhirnya kekuasaan shogun Tokugawa, kesetiaan dikembalikan pada makna semula yang selalu melekat pada kehormatan dan eksistensi para samurai. Sehingga nilai kesetiaan memiliki makna yang naturalistik, humanistik, religius dan politik serta kesetiaan terhadap kaisar dan bangsa.

2.4. Novel Shiosai

Dokumen terkait