Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA
(YUKIO MISHIMA NO SAKUHIN NO “SHIOSAI” NO SHOSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU)
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh: ANTO GULTOM
020708039
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA
(YUKIO MISHIMA NO SAKUHIN NO “SHIOSAI” NO SHOSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU)
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh: ANTO GULTOM
020708039
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Eman Kusdiyana,M.Hum M. Pujinono,SS. M.Hum
NIP. 131763365 NIP. 132299344
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Disetujui oleh
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi S-1 Sastra Jepang
Ketua Program Studi
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala Puji
milik Allah yang telah menciptakan manusia dan mengajarkan apa-apa yang tidak
diketahui.
Atas berkat dan anugrahnya-NYA, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul ANALISA PERBANDINGAN PANDANGAN DAUR HIDUP
(TSUKA GIREI) DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BETAWI, yang merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
Tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam
menyelesaikan skripsi ini, baik dari keterbatasan bahan maupun keterbatasan penulis
sendiri dalam menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada
orang-orang yang dengan izin Yang Maha Kuasa telah menjadi perantara untuk membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini :
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumater Utara.
2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D sebagai Ketua Jurusan Sastra
Jepang.
3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum selaku Pembimbing I.
4. Bapak M. Pujiono, SS., M.Hum selaku Pembimbing II.
5. Para Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,
khususnya para Dosen dan Staf Pegawai di Jurusan Sastra Jepang Universitas
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
6. Seluruh sahabat dan rekan-rekan Mahasiswa/I Sastra Jepang 2002. Friska NS,
Ibeth, Reynold, Erna, Anto, Reza, Wendy, Era, Tiur, Maria, dan seluruh kerabat
Sastra Jepang. Terima kasih untuk doa dan dukungannya.
7. Sahabat terbaikku Shelvy yang telah banyak membantu dan meluangkan
waktunya untuk penulis. Terima kasih untuk kasih sayangnya.
8. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tuaku (Alm. S.M.P Gultom dan R. Siahaan,B.A) yang
selama ini telah memperhatikanku, mengasihiku dan selalu mendoakanku
sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi ini.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Ruang Lingkup pemabahasan ... 8
1.4. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori ... 8
1.5. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 11
1.6. Metode Penelitian ... 12
BAB II.TINJAUAN UMUM TERHADAP LATAR BELAKANG BUSHIDO DAN NOVEL SHIOSAI 2.1. Pengertian Bushido ... 14
2.2. Sejarah Bushido ... 15
2.3. Etika Moral Bushido ... 25
2.4. Novel Shiosai ... 32
2.4.1. Tema ... 32
2.4.2. Alur/Plot... 32
2.4.3. Penokohan ... 33
2.4.4. Sudut Pandang ... 34
2.4.5. Latar/Setting ... 36
2.4.6. Amanat ... 36
2.5. Riwayat Pengarang ... 37
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
BAB III. ANALISA ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA
3.1. Rangkuman Cerpen ... 43
3.2. Analisis Etika Bushido Dalam Novel Shiosai ... 45
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan ... 52
4.2. Saran ... 53
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil karya salah satu cabang kebudayaan, yakni
kesenian. Seperti hasil karya kesenian pada umumnya, sebuah karya sastra memiliki
nilai apabila ia dapat dinikmati dan memberikan manfaat bagi masyarakat pembaca
atau penikmat karya tersebut. Pada karya sastra tersirat unsur keindahan yang
menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian dan menyegarkan
perasaan penikmatnya. Dengan demikian jelaslah kedudukan dan manfaat karya sastra
bagi penikmatnya. Seorang pencipta karya sastra tidak hanya ingin mengekspresikan
pengalaman jiwanya saja, namun secara implisit bermaksud mendorong,
mempengaruhi pembaca agar ikut memahami, menghayati dan menyadari berbagai
masalah kehidupan serta ide yang diungkapkan dalam karyanya.
Pengalaman jiwa dalam karya sastra dapat memperkaya kehidupan batin
pembaca sehingga pembaca lebih sempurna keadaannya. Pengungkapan yang estetis
dan artistik menjadikan karya sastra lebih mempesona dari pada karya lainnya. Karya
sastra membicarakan manusia dan aspek-aspek kehidupannya, sehingga sastra
merupakan sarana penting dalam mengenal manusia dan zamannya. Pada karya sastra
tercermin masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu masa serta
usaha pemecahan sesuai dengan cita-cita mereka.
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta yaitu sastra, yang
berarti teks yang mengandung instruksi, dari kata dasar sas- yang berarti instruksi atau
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata sastra bisa
pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah itu indah atau tidak.
Selain itu dalam kesusasteraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan
sastra lisan (oral). Disini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi
dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau
pemikiran tertentu. Jadi, yang termasuk dalam kategori sastra adalah, prosa atau
novel, Cerita/cerpen, syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi. Struktur
formal sastra adalah struktur yang terefleksi dalam satuan teks. Karena itu, struktur
formal karya sastra dapat disebut sebagai elemen atau unsur-unsur yang membentuk
karya sastra. Elemen tersebut lazim disebut sebagai unsur ekstrinsik dan intrinsik.
Namun berdasarkan genrenya telaah struktur dapat menjadi dua bagian, yaitu prosa
dan puisi.
Prosa adalah suatu jenis tulisan yang berbeda dengan puisi karena variasi ritme
(rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti
leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin “prosa” yang artinya "terus terang".
Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide.
Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia,
surat, serta berbagai jenis media lainnya. Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis,
yaitu prosa naratif, prosa deskriptif, prosa eksposisi, dan prosa argumentatif. Prosa
dibagi menjadi dua, yaitu Roman dan Novel. Roman adalah cerita yang mengisahkan
tokoh sejak lahir sampai meninggal, sedangkan novel hanya mengisahkan sebagian
kehidupan tokoh yang mengubah nasibnya.
Ciri novel yang membedakannya dengan karya sastra lainnya :
1. Novel adalah karya sastra berjenis narasi.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
3. Novel adalah karya sastra yang bersifat realis, artinya menceritakan kehidupan
tokoh secara nyata, tanpa disertai peristiwa-peristiwa yang gaib dan ajaib.
Umumnya novel merupakan tanggapan pengarang terhadap lingkungan sosial
budaya sekelilingnya.
4. Novel adalah karya sastra yang berfungsi sebagai tempat menuangkan
pemikiran pengarangnya sebagai reaksinya atas keadaan sekitarnya. Dalam
aliran imprisionisme, pengarang menempatkan dirinya dalam kehidupan yang
diceritakan. Perenungan-perenungan pembaca setelah membaca sebuah novel
akan tiba pada sebuah pemikiran baru tentang makna hidup.
Menurut Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (1998: 3) bahwa novel
sebagai karya sastra fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap
merupakan bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai tujuan yang estetik.
Oleh karena itu novel dibentuk oleh unsur-unsur pembangunan yang membentuk
cerita yang kemudian membuat sebuah novel menjadi berwujud.Unsur-unsur
pembangun yang membentuk sebuah novelterdiri dari, unsur ekstrinsik adalah unsur
pembagunan karya sastra yang berada di luar suatu karya sastra namun ikut
mempengaruhi karya sastra tersebut. Yang merupakan unsur intrinsik suatu karya
sastra adalah, tema, alur, penokohan, sudut pandang, latar, gaya bahasa, amanat.
Berbicara mengenai etika tradisional bangsa Jepang, akan terdapat hal-hal
yang menonjol bahwa masyarakat Jepang memiliki unsur budaya berupa semangat
samurai atau etika bushido yang tertanam dalam mayarakat Jepang yang dapat
memberikan motivasi tersendiri ke arah peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Keberadaan bushido sangat membantu terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
serta pada tingkat penguasaan teknologi dan industri yang tidak dapat dipisahkan dari
adanya warisan nilai samurai yang selalu melekat pada masyarakat Jepang.
Bushido (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari
nilai-nilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Bushido merupakan
nilai-nilai dasar yang awalnya berkembang dari kebutuhan dasar prajurit. Istilah bushido
yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai atau bushi. Bushido
lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism dan ajaran konfusius yang menjadikannya
menjadi suatu kode etik bagi samurai pada zaman feodalisme. Setiap samurai
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati,
kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan serta pengendalian diri
(Soryohadiprojo, 1987:197).
Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh
keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan Tokugawa
pada waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo). Lembaga keshogunan ini disebut juga
bakufu (Situmorang, 1995 : 41). Masyarakat feodal atau (h kenshakai)
lahir bersamaan dengan lahirnya shoenseid (sistem wilayah) yaitu wilayah pertanian
yang berdiri sendiri terpisah dari pemerintahan Kaisar, wilayah tersebut dikelola oleh
kizoku (keluarga bangsawan). Keluarga bangsawan disini adalah keturunan Kaisar
yang tidak menjadi pewaris istana. Mereka menguasai bagian lahan, dengan
mempunyai petani sendiri. Sistem ini berjalan sampai zaman Kamakura tahun 1185
(Situmorang, 2006:80).
Bushi adalah golongan masyarakat yang tertinggi. Pada zaman Edo, bushi juga
disebut sebagai guru masyarakat yang merupakan golongan yang menjadi teladan di
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
penguasa, Tokugawa Ieyashu mewajibkan mereka mempelajari ajaran konfusius yang
dianggap dapat memupuk ketaatan samurai terhadap pemerintah. Dalam ajaran
konfusius dipaparkan tentang lima hubungan manusia,, yaitu hubungan antara atasan
dan bawahan, suami dengan isteri, orang tua dengan anaknya, kakak dengan adiknya,
serta hubungan antar teman, yang disebut juga dengan prisip gorin (Benedict,
1982:120). Kelima macam hubungan itu didasari prinsip perbedaan antara atasan
dengan bawahan, yang mana diatas harus jadi pelindung dan panutan, sedangkan yang
dibawah tunduk dan taat terhadap atasan. Hubungan inilah yang meningkatkan rasa
ikut memiliki dan rasa kesetiaan.
Pemerintahan Tokugawa mengajarkan shido (bushido baru), sebagai ideologi
baru bagi para bushi di Jepang yang bercirikan kesetiaan terhadap keshogunan
(Situmorang, 1995:9). Hal ini disebabkan karena bushi atau samurai memadukan
nilai-nilai budaya Jepang, dan juga karena etika bushido telah menjadi etika nasional
sejak zaman Tokugawa hingga zaman modern. Walaupun pada awalnya bushido
hanya untuk kaum samurai saja, namun akhirnya dengan berakhirnya system feudal,
pengaruhnya semakin meluas hingga menjadi standar bagi kehidupan masyarakat
Jepang.
Kemudian, penulis mencoba untuk menghubungkannya dengan
kecenderungan beberapa kalangan masyarakat Jepang dan pemerintahan yang
mencoba menggali kembali nilai-nilai masa lalu Jepang, diantaranya adalah etika
bushido yang berlaku di zaman feodal. Nilai-nilai etika feudal tersebut banyak yang
disisipkan dalam berbagai hal, diantaranya adalah tayangan-tayangan film dan drama
di TV, kisah cerita di novel, ataupun pembahasan-pembahasan secara ilmiah baik di
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Salah satunya yang mengekspresikan kebudayaan Jepang khususnya bushido
yang diungkapkan Yukio Mishima dalam novel “Shiosai”. Novel ini mengangkat
tentang kisah percintaan seorang pemuda nelayan miskin dengan seorang gadis kaya
di sebuah desa di daerah pesisir Jepang yang terpencil. Novel Shiosai ini
menceritakan tentang kehidupan asmara antara Shinji dan Hatsue, dimana Shinji
adalah seorang buruh bongkar muat di kapal milik ayah Hatsue. Di sinilah muncul
sebuah intrik tentang ketegaran seorang laki-laki dalam menghadapi gelombang
fitnah.
Berikut adalah salah satu kutipan dari novel Shiosai:
“…sampai ke masalah tentang tugas-tugas tang di berikan dan dipunyai sejak
zaman dulu. Jadi mereka bisa merasakan diri mereka sebagai bagian dari hidup
bersama dan menemukan kepuasaan batin, walaupun beban yang dietakkan
dipundaknya terasa berat namun diterima sebagai orang yang dewasa (hal 21)”
Dari kutipan di atas, seperti dalam kehidupan samurai atau bushi, sangat
menekankan pentingnya sebuah kesetiaan dalam menjalankan suatu tanggung jawab
walaupun beban tugas yang diberikan cukup berat. . Menurut Situmorang dalam
Wulandari (2005:13) mengatakan bahwa kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan
perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi.
Hal diatas sangat menarik untuk dibahas dalam skripsi ini yaitu dengan judul,
Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima.
1.2. Perumusan masalah
Masyarakat Jepang berdasarkan sejarahnya sejak jaman Bakufu sudah
mengenal etika bushido. Memang, hakekat sebenarnya dari Bushido; Jalan Prajurit
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
shinu koto mitsuketari”. Namun, makna sesungguhnya yang dapat dipetik dari kalimat
tersebut adalah anugerah hidup ini hendaknya dijalani dengan sungguh-sungguh.
Bekerja keras hingga berhasil adalah cita-cita luhur dari setiap manusia. Untuk meraih
hal tersebut diperlukan kerja keras dan disiplin yang tinggi. Bagi para samurai,
kematian dalam rangka mewujudkan kesetiaan tertinggi pada sang tuan adalah
cita-cita tertinggi. Namun, bagi manusia Jepang dewasa ini kerja keras dalam rangka
mewujudkan keberhasilan itulah cita-cita tertinggi.
Masalah-masalah yang ingin diteliti dari penjelasan latar belakang dalam
novel Shiosai karya Yukio Mishima di atas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana etika bushido direalisasikan dalam kehidupan masyarakat
Jepang?
2. Bagaimana perwujudan etika bushido dalam kehidupan tokoh Shinji dalam
novel shiosai?
1.3. Ruang lingkup pembahasan
Dalam penelitian ini, agar tulisan ini terarah dan teratur maka ruang lingkup
pembahasan harus dibatasi. Sehubungan dengan itu maka penelitian ini menitik
beratkan mengenai etika bushido yang direalisasikan dalam kehidupan masyarakat
Jepang dilihat dalam dunia novel, yang berjudul Shiosai karya Yukio Mishima.
Agar pembahasan atau penelitian lebih akurat, maka akan lebih dijelaskan lagi pada
bab II dalam skripsi ini.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Bushi adalah golongan militer yang dikenal juga sebagai ahli-ahli pedang
Jepang atau disebut juga Samurai.Benedict (1982 : 335) mengatakan bahwa Samurai
adalah prajurit feodal yang berpedang dua. Sedangkan menurut Nurhayati (1987 : 10)
samurai adalah pasukan pengikut tuan tanah / penguasa setempat yang disebut
Daimyo.
Situmorang (1995 : 11) menjelaskan bahwa Bushi adalah kelompok petani
yang dipersenjatai untuk mengabdi kepada tuannya (keluarga bangsawan) dalam
mempertahankan eksistensi Shoen dan Kizoku tuannya yang mengakibatkan para
Bushi saling berperang. Setelah Bushi berhasil menjalankan tugasnya, lama kelamaan
mereka tidak bergantung lagi pada Kizoku melainkan Kizoku akhirnya bergantung
pada Bushi. Sehingga kelompok Bushi ini menjadi kelompok yang disegani.
Balas budi kelihatan juga dalam pandangan k shikannen (publik dan privat).
K = publik atau juga atasan, sedangkan shi = pribadi atau bawahan. Kepentingan
pribadi harus tunduk kepada kepentingan umum, atau juga harus tunduk kepada
kepentingan perusahaan, atau kepentingan bawahan harus tunduk kepada kepentingan
atasan. Ketika kepentingan privat tunduk kepada kepentingan umum, disinilah adanya
ch . Pada masyarakat Jepang lebih mengutamakan ch daripada k , artinya lebih
mengutamakan balas budi terhadap atasan atau perusahaan daripada balas budi
terhadap orang tua. Ketidakmampuan membalaskan budi inilah rasa malu yang paling
besar bagi masyarakat Jepang.
Bushid (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari
nilai-nilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Hal ini disebabkan karena
bushi atau samurai memadukan nilai-nilai budaya Jepang, dan juga baik pada masa
Tokugawa maupun zaman modern, etika bushid ini telah menjadi etika nasional
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan
mengorbankan kepentingan pribadi.
1.4.2. Kerangka Teori
Menurut Soekanto (2003:27), suatu teori pada hakikatnya merupakan
hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara
tertentu. Suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan fakta, membina
struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi yang penting untuk
penelitian.
Untuk memahami peristiwa-peristiwa pada zaman dahulu (zaman Edo) di
Jepang, yang mengungkapkan kesetiaan bushi, maka penulis juga menggunakan
pendekatan historis untuk melihat latar belakang sejarah ajaran bushid dalam
kehidupan masyarakat Jepang serta memahami unsur-unsur sejarahnya dan juga agar
penelitian ini dapat dilihat dari perspektif serta waktu terjadinya fenomena-fenomena
yang diselidiki.
Kevin dalam Kaelan (2005:61) berpendapat bahwa sejarah adalah
pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang
terpadu dari keadaan-keadaan, kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi di masa
lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari
kebenaran. Kartodirjo dalam Kaelan (2005:61) juga mengatakan bahwa ilmu sejarah
adalah ilmu yang membahas peristiwa di masa lampau, yang mengungkapkan fakta
mengenai apa, kapan dan di mana, serta juga menerangkan bagaimana sesuatu itu
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Ratna (2004:65) berpendapat bahwa pendekatan historis memusatkan
perhatian pada masalah bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain, sehingga
dapat diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya.
Benedict (1982:333) mengatakan bushid adalah perpaduan antara keadilan,
keberanian, kebaikan hati, kehormatan, kesopanan, kesetiaan, dan pengendalian diri.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral). Menurut Ahmad Amin, etika adalah ilmu
pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh
manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat oleh manusia.
Menurut Soegarda Poerbakawatja, etika adalah filsafat nilai, pengetahuan
tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam
hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang
merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan
manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang
secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada
saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala
macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai
menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang
disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan
untuk kepentingan kelompok sosial itu sendiri.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
1.5.1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah:
1. Untuk menjelaskan etika bushido yang diungkapkan oleh Yukio Mishima
dalam novel Shiosai.
2. Untuk menjelaskan kaitan antara nilai bushido dengan tokoh Shinji dalam
novel karya Yukio Mishima.
1.5.2. Manfaat penelitian
1. Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai etika bushido
dalam kehidupan masyatakat Jepang dewasa ini.
2. Untuk membahas referensi yang berkaitan dengan kebudayaan Jepang
khususnya etika bushido.
1.6. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan data dengan menggunakan penelaahan kepustakaan
(library research), yaitu mengumpulkan bahan dari sumber-sumber yang diterapkan
berupa buku-buku referensi, literature, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sumber
lain yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Metode dalam penulisan skripsi
yaitu dengan metode penelitian deskriptif, yakni dengan memberi gambaran secermat
mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu
(Koentjaraningrat, 1976:30). Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan
dianalisis dalam novel Shiosai, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif
dalam cakupan penelitian kualitatif dan studi literature, mengambil kutipan-kutipan
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
penelitian ini adalah Novel yang berjudul Shiosai (Nyanyian Laut) terjemahan Max
Arifin,yang diterbitkan oleh Penerbit Matahari pada tahun 2005.
Sedangkan langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Menguraikan bushido sebagai suatu etika yang mencakup pengertian, asal
mula, sumber-sumber dan nilai pokok dalam prinsip bushido.
2. Melakukan analisa terhadap novel Shiosai dengan mengambil kutipan-kutipan
yang berhubungan dengan prinsip bushido.
3. Membuat analisis mengenai perwujudan nilai-nilai bushido dalam tokoh
Shinji.
Pendekatan semiotik adalah pemahaman suatu makna karya sastra melalui
tanda. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda, sign, dan
tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain,
yaitu signifiant (penanda) adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, dan signifie
(petanda) adalah aspek kemaknaan dan konseptualnya.
Media sastra adalah bahasa karena bahasa dalam sistem tanda, untuk
memahami konsep makna dalam karya sastra, penelaah haruslah menguasai sistem
tanda atau lambang-lambang, sistem-sistem lambang, dan proses-proses
perlambangan yang ada dalam bahasa tersebut. Pemahaman terhadap esensi makna
tersebut tentunya tidak hanya sekedar pemahaman terhadap struktur tekstual. Di
antara segala sistem tanda, sastralah yang paling menarik dan komplek, antara lain
karena satra itu sendiri merupakan eksplorasi dan perenungan terus-menerus
mengenai pemberian makna dengan segala bentuknya, penafsiran pengalaman,
komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman, peninjauan
tentang kekuasaan bahasa yang kreatif, kritik terhadap kode-kode dan proses tentang
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP LATAR BELAKANG BUSHIDO DAN NOVEL SHIOSAI
2.1. Pengertian Bushido
Pemunculan Jepang modern berakar pada masyarakat tradisional di zaman
Tokugawa. Walaupun pembaharuan baru di mulai sejak resorasi meiji, namun
dasar-dasar yang diletakkan pada zaman Tokugawa memberikan landasan yang penting bagi
proses modernisasi Jepang sehingga dapat berlangsung dengan sangat pesat.
Nilai-nilai yang berkembang pada zaman tersebut memberikan dasar untuk sebuah
masyarakat yang disiplin dan teratur sebagai kekuatan yang mempunyai daya
pendorong yang besar bagi dinamika perubahan menuju modernisasi.
Bushi adalah golongan masyarakat yang tertinggi. Pada zaman Edo, bushi juga
disebut sebagai guru masyarakat yang merupakan golongan yang menjadi teladan di
masyarakat. Untuk menumbuhkan rasa kesetiaan yang kuat dari samurai terhadap
penguasa, Tokugawa Ieyashu mewajibkan mereka mempelajari ajaran konfusius yang
dianggap dapat memupuk ketaatan samurai terhadap pemerintah. Dalam ajaran
konfusius dipaparkan tentang lima hubungan manusia,, yaitu hubungan antara atasan
dan bawahan, suami dengan isteri, orang tua dengan anaknya, kakak dengan adiknya,
serta hubungan antar teman, yang disebut juga dengan prisip gorin (Benedict,
1982:120). Kelima macam hubungan itu didasari prinsip perbedaan antara atasan
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
dibawah tunduk dan taat terhadap atasan. Hubungan inilah yang meningkatkan rasa
ikut memiliki dan kesetiaan.
Bushido (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari
nilai-nilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Bushido merupakan
nilai-nilai dasar yang awalnya berkembang dari kebutuhan dasar prajurit. Istilah bushido
yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai atau bushi. Bushido
lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism dan ajaran konfusius yang menjadikannya
menjadi suatu kode etik bagi samurai pada zaman feodalisme. Setiap samurai
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati,
kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan serta pengendalian diri.
Pada perwujudan etika bushido oleh para bushi pada zaman Tokugawa adalah
adanya pengabdian diri secara mutlak kepada tuannya, gejalanya yang lebih jelas
yaitu adanya perilaku junshi (bunuh diri untuk mengikuti kematian tuannya) dan
perilaku adauchi (mewujudkan dendam tuan)(Stumorang, 1995:21).
2.2. Sejarah Bushido
Sejak zaman feudal, system pemerintahan dikenal dengan system ritsuryo
yang berlaku hingga zaman heian (abad ke-7 sampai abad ke-12). Dalam system
ritsuryo, tenno atau kaisar sebagai penguasa administrasi pemerintahan tertinggi dan
para kizoku atau bangsawan bertugas sebagai pelaksana administrasi pemerintahan di
pusat dan daerah (Situmorang, 1995:9-10). Pada masa itu belum dikenal kepemilikan
dan kepemilikan hak tanah atas nama perseorangan, tetapi dikenal dengan istilah
kochi komin (wilayah umum dan masyarakat umum). Dalam perkembangannya
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
yaitu kelompok petani dibawah kekuasaan kizoku, keluarga bangsawan yang bertugas
didaerah.
Administrasi kelompok sonraku kyodo tai tersebut terpisah dari pemerintahan
ritsuryo. Para petani kemudian banyak yang meninggalkan kochi komin dan masuk
kedalam kelompok pertanian kizoku, karena mereka mendapat perlindungan dari
kizoku. Selain itu, mereka juga diberi kebebasan untuk mengolah bagian lahan
mereka, dengan begitu para petani tersebut diakui menjadi anggota ie (keluarga)
kizoku tersebut. Ada juga petani yang meninggalkan system kochi komin dan tidak
memiliki tuan yang disebut ronin, tetapi mereka dapat dikumpulkan oleh kizoku
sehingga kedudukan mereka semakin kuat. Tanah pertanian yang terpisah dari
administrasi ritsuryo disebut shoen.
Penggarapan shoen ini melahirkan ie atau rumaj tangga yang tidak hanya
sebatas pada hubungan darah saja. Kemudian didalam ie tersebut lahir hubungan
antara atasan dan bawahan yang disebut mibunsei atau system jenjang kedudukan
antara tuan dan pengikut dalam ie. Kelompok-kelompok ini diikat dengan pemujaan
dewa yang sama, mengkonsumsi jenis makanan yang sama dan minum sake bersama,
kemudian kelompok ini disebut dozoku.
Persaingan antara dozoku ini memicu perang. Untuk itu mereka membentuk
prajurit professional yang disebut bushi, yang sebelumnya adalah petani yang
dipersenjatai. Sebelumnya dalam system ritsuryo, prajurit diambil dari masyarakat
umum yang dipersenjatai oleh pemerintah. Dengan demikian, muncullah
kekuatan-kekuatan yang berusaha memisahkan diri dari pemerintah pusat, shoen kizoku
memperluas wilayah dengan melakukan ekspansi terhadap shoen kizoku lainnya.
Pada zaman heian (abad ke-8), keluarga bangsawan Fujiwara yang berstatus
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
mengawinkan putra-putri mereka dengan keturunan kaisar. Dari hasil hubungan
kekluargaan ini, pada tahun 1017, Fujiwara No Michinaga diangkat menjadi kanpaku
(wakil kaisar) karena kaisar pada saat itu sedang melaksanakan insei yaitu tinggal di
kuil dengan mengisolasi diri dari masyarakat. Pada saat itu terjadi kekacauan di
daerah, dimana antar kizoku terjadi perang yang menyisakan kizoku-kizoku yang kuat.
Kedudukan keluarga Fujiwara semakin kuat, karena sebagian besar anggota
keluarga Fujiwara mendapat kesempatan besar untuk menjadi penguasa atas tanah
dengan tidak memiliki kewajiban membayar pajak, yang selanjutnya menjadi hak
milik secara turun temurun. Pajak tanah yang diberikan pemerintah pusat cukup
tinggi, karena kebutuhan akan dana untuk memenuhi kebutuhan negara. Para petani
akhirnya menyerahkan tanahnya kepada kizoku untuk dikelola dan menjadi buruh
penggarap. Akibatnya para kizoku menjadi tuan tanah yang lama kelamaan tumbuh
menjadi sebuah kekuatan politik yang berdiri sendiri dan menguasai perekonomian
negara. Rakyat yang tadinya milik negara akhirnya berlindung di bawah shoen dan
mengalihkan kesetiaan terhadap tuannya.
Para penguasa pada saat itu hanya ingin mempertahankan kemakmuran
sendiri, dan aparat pemerintah banyak yang korup, sehingga di daerah mereka seting
terjadi peperangan untuk mempertahankan kedudukan. Pertempuran yang sering
terjadi melahirkan suatu golongan masyarakat baru, yaitu golongan militer.
Pada awal abad ke-10 golongan ini mulai menunjukkan kekuatan dengan
saling nenyerang keluarga lain. Keluarga Minamoto dan keluarga Taira adalah
keluarga yang terkuat. Pada tahun 1159, keluarga Minamoto No Yoritomo
menghancurkan dan memusnahkan keluarga Taira, sehingga Minamoto memegang
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Minamoto tetap berada di Kamakura , tetapi untuk urusan sipil dan keagamaan tetap
berpusat di istana kaisar.
Pada tahun 1185, Minamoto meletakkan dasar-dasar pemerintahan militer
dengan menciptakan jabatan shugo (polisi) dan jito yang bertugas untuk mengawasi
pembayaran pajak. Minamoto memiliki kekuasaaan mutlak diseluruh negara, dengan
demikian hak untuk mengawasi negara jatuh ketangan militer yang melahirkan
pemerintahan militer (bakufu).
Permulaan kepemimpinan oleh shogun dianggap sebagai awal dari berlakunya
system feudal yang menyebabkan ikatan yang kuat antara tuan dan hambanya. Yakni
antara Minamoto dengan shugo dan jito serta para shoen di daerah. Para shugo
akhirnya menguasai daerah dengan menghapus shoen dengan sebutan daimyo,
kemudian membentuk aristrokasi feudal yang mempunyai pengikut yang bersenjata
yang disebut samurai.
Menilik dari sejarah perkembangannya, nilai-nilai bushido mulai muncul dan
berkembang pada zaman feodal memegang pemerintahan Jepang kuno. Pada zaman
feodal ini, stratifikasi sosial atau pengelompokan dalam masyarakat amat ketat
dijalankan, dimana bushi atau samurai menempati posisi tertinggi dalam struktur
masyarakat. Golongan samurai amat disegani dan ditakuti oleh masyarakat golongan
lain di bawahnya, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik sakoku
(penutupan diri) dari dunia luar. Hampir selama 250 tahun samurai berada di posisi
tertinggi, sehingga nilai-nilai kesamuraian menjadi sangat tersosialisasikan dalam
masyarakat Jepang. Pun walau akhirnya sakoku berakhir, dan Jepang melakukan
pembukaan diri secara paksa oleh Comodor Perry dari Amerika Serikat (saat restorasi
Meiji) terjadi, nilai-nilai ini tidak tergoyahkan karena sudah terfragmentasi dalam
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Etika bushido berasal dari tiga sumber utama yang terdapat pada masyrakat
Jepang, yaitu: Budhisme, Shinto, dan Konfusionisme.
Budhisme
Ajaran Budhisme dimana terdapat perasaan percaya, tenang pada nasib, pasrah
damai dalam hal-hal yang tidak terelakkan. Contoh : ketenangan hati menghadapi
bahaya atau bencana, rasa bosan hidup, akrab dengan maut. Selain itu, dalam Budha
tidak ada konsep Sang Pencipta dan konsep dosa. Maka dalam kasus ini, mati bunuh
diri tidak ada sangkut pautnya dengan nilai norma doktrinal agama. Yang ada
hanyalah konsep karma dimana "perbuatan yang baik akan berakibat baik pula", dan
begitu pula sebaliknya.
Secara historis, pengaruh agama budha di Jepang berasal dari Cina, yang
sekaligus menjadi wadah masuknya peradaban Cina (Reischauer, 1982:284).
Pengaruh budaya Cina muncul dalam berbagai bidang, antara lain seni, arsitektur,
filsafat, aksara, ilmu pengetahuan sampai administrasi ketatanegaraan. Pengaruh ini
dapat dilihat dengan diadopsinya aksara tulisan Kanji.
Arti penting kehadiran agama Budha di Jepang pada awalnya terletak pada
aspek magis nya. Mantra kerap kali di baca bukan untuk memahami hakikat isinya,
melainkan untuk menggunakan khasiat magisnya, untuk meminta atau meredakan
hujan, menjauhkan bencana, maupun untuk menyembuhkan penyakit.
Pada tingkat psikologis, daya tariknya terletak pada Budha sebagai lembang
kesempurnaan jiwa yang diperlukan dalam mencapai kehidupan akhirat yang
sempurna pula. Menusia diharapkan menjalani kehidupan duniawinya sebaik mungkin
sebagai suatu pencerahan. Masuknya agama Budha bukan berarti agama pribumi
menjadi ditinggalkan, para pendeta menegaskan bahwa pada hakekatnya tidak ada
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Shinto. Dewa matahari bisa disejajarkan dengan sang Budha, dewa Shinto yang lebih
rendah kedudukannya identik dengan dewa Budha yang lebih rendah juga.
Dalam perkembangan agama Budha sendiri yaitu pada abad ke-12 dan abad
ke-13, menandai suatu titik balik dimana timbul kecenderungan kuat untuk
melepaskan agama ini dari unsur-unsur magisnya. Sekte terpenting dan yang paling
besar pengaruhnya adalah sekte Zen. Ajaran ini menekankan bahwa pengetahuan
manusia mengenai pemikiran-pemikiran sang Budha dapat diperoleh melalui
meditasi, ajaran ini memiliki peranan yang besar pada periode pemerintahan shogun
Tokugawa.
Shinto
Shinto adalah agama asli banga Jepang, yang menjadi kultur bagi mereka jauh
sebelum agama atau kepercayaan lain memasuki kehidupan mereka. Shinto secara
harfiah berart jalan para dewa, tidak memiliki naskah atau kitab resmi serta ajaran
yang terorganisir seperti lazimnya sebuah agama atau kepercayaan, bahkan penemu
agama ini tidak diketahui. Tetapi agama ini mampu menjadi landasan religius bagi
hampir seluruh masyarakat Jepang.
Satu-satunya pengaruh Shinto terletak pada mitos yang dikandungnya,
mengenai asal usul kaisar dan sifat kaisar yang diaggap sebagai keturunan langsung
dari dewa. Bangsa Jepang digambarkan berasal dari satu uji, suatu bentuk unit
kekeluargaan semacam marga (Smith, 1974:7). Setiap pemimpin uji bertanggung
jawab dalam menjaga wilayah sendiri, melindungi anggota uji, serta memimpin
upacara pemujaan terhadap dewa pelindung uji atau ujikami. Tidak ada kepastian
yang dipuja tersebut adalah leluhur uji yang didewakan atau dewa yang dianggap
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Untuk meningkatkan kekuasaan dan memperluas wilayah, beberapa uji
melakukan ekspansi ke wilayah tetangga mereka. Akibatnya lambat laun keanggotaan
uji bukan hanya sebatas anggota keluarga saja, tetapi mereka yang ingin bergabung
dengan uji yang lebih kuat karena mereka telah kalah dan menguasai uji yang lebih
kecil atau lemah. Selanjutnya muncul dinasti kekaisaran Yamato yang menjadi
penguasa atas seluruh uji.
Sebelum muncul catatan sejarah yang pertama kali yaitu kojiki pada tahun 712
dan nihonshoki pada tahun 720, telah berkembang suatu konsepsi mengenai leluhur
kekaisaran. Diyakini bahwa leluhur kaisar adalah dewi matahari amaterasu o mikami
yang menurut legenda memberikan tiga buah lambing kekuasaan, yaitu pedang,
permata dan cermin, kepada cucu laki-lakinya yang diturunkan ke bumi bersama
dewa lainnya. Cicit laki-laki adalah Jimmu Tenno tang menjadi kaisar pertama
Jepang. Dalam tradisi masyarakat Jepang dewi Matahari dipuja dengan mendirikan
sebuah kuil pemujaan yaitu tse. Sementara para kaisar selanjutnya adalah keturunan
langsung dari kaisar Jimmu Tenno, disembah secara khusus di pusara-pusara mereka,
meskipun tidak semua pusara mereka belum bisa dipastikan sebagai pusara yang
sebenarnya (Smith, 1974:8).
Mitos Shinto telah menanamkan dalam pemikiran masyarakat Jepang bahwa
kaisar adalah keturunan langsung dari dewi Matahari, oleh sebab itu harus
diberlakukan dan dihormati sebagai makhluk suci. Sampai sekarang, walaupun kaisar
Hirohito pada tahun 1946 mengeluarkan pernyataan bahwa kaisar bukan keturunan
dewa, tetapi kaisar Jepang tetap menjadi pemuka agama bagi agama Shinto dan
merupakan lambang persatuan rakyat Jepang. Kedudukan kaisar di puncak hirarki
sosial bagi dalam struktur masyarakat melahirkan loyalitas dan pengabdian setiap
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Dewa Shinto dipercaya mendiami kuil-kuil, benda-benda alam seperti batu,
gunung, sungai, tanah serta gejala-gejala alam seperti angin, badai dan gempa. Maka
agama Shinto menjadi suatu kombinasi animisme dan pemujaan terhadap alam. Kami
atau dewa disembah malalui sarana upacara-upacara dan pesta-pesta. Syarat penting
untuk berpartisipasi dalam peribadahan kesucian diri dari semua yang dianggap kotor,
seperti paenyakit dan kematian.
Bentuk-bentuk tirual yang kurang lebih sama primitifnya terus ada sampai
awal abad ke-13, diamana bekembang gejala-gejala rasionalisme filosofis dan etis.
Dokumen yng disusun oleh para pendeta menyatakan bahwa sesungguhnya kami lebih
menginginkan kajujuran dan ketulusan hati, serta menyukai kebaikan dari pada
penyembahan yang bersifat meterialistis (Bellah, 1965:64). Dengan demikian
pengertian awal tentang dewa-dewa telah digantikan oleh konsep ketuhanan yang
kedua.
Gaya ritual baru Shinto mensyaratkan setiap pemuja dewa di kuil-kuil Shinto
untuk terlebih dahulu melakukan dua macam penyucian diri, yaitu pengendalian diri
dari pikiran-pikiran yang ambisius akan keinginan duniawi dan yang kedua adalah
memlihara fisik dari kekotoran, yang merupakan sarana untuk mencapai penyatuan
dengan kami.
Konfusius
Kode moral dari ajaran konfusius bersifat universal, mencakup hampir semua
nilai-nilai dalam masyarakat yang agraris pada umumnya. Dan perilaku sosial politik
masyrakat Jepang yang bersumber pada kultur rakyatnya, sesungguhnya hanya dasar
pemikiran rasional oleh pembendarahan konfusius (Bellah, 1965:171).
Masyarakat pada jaman Tokugawa berpijak pada ajaran konfusius. Dalam
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
atasan dan bawahan, hubungan antara suami dengan istri, hubungan antara anak
dengan orang tua, hubungan antara kakak dengan adiknya dan hubungan antar
sesama. Hubungan ini disebut dengan prinsip gorin. Kelima macam hubuingan ini
didasari pada hubungan antara atasan dengan bawahan, dimana yang diatas menjadi
panutan dan pedoman serta menjadi pelindung, dan bawahan tunduk dan taat kepada
atasan.
Pada zaman keshogunan Tokugawa juga dikenal adanya struktur masyarakat,
yaitu: Shi (Bushi) yaitu golongan militer, No (Nomin) yaitu golongan petani, Ko
(Shokunin) yaitu golongan pekerja, Sho (Shonin) yaitu golongan pedagang. Tetapi
walaupun demikian mereka tidak nerhasil membuat suatu konsep shido baru yang
didasarkan pada konsep gorin diatas. Atas desakan tersebut, maka tampil seorang
pemikir Minkan Gakusha (pemikir yang berasal dari kalangan swasta) yang bernama
Yamaga Soko. Namanya sangat dikenal dikalangan shogun, karena dia sempat
diizinkan untuk belajar di istana keshogunan.
Konsep ajaran shido baru dari Soko ini menitikberatkan pada penjelasan akan
gorin terhadap tuan dan bawahan secara mendetail. Menurut Soko ada 10 sikap yang
harus dimiliki oleh bushi dalam mewujudkan moral shido:
1. menjaga perasaan
2. mempunyai kebebasan hati
3. mempunyai harapan
4. kemurahan
5. kecerahan
6. membicarakan giri
7. menerima takdir jiwa dengan pasrah
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
9. kejujuran
10.teguh hati (gusho)
Kesepuluh sikap tersebut, menurut Soko (Watsuji dalam Situmorang, 1995:54)
harus ditetapkan dalam tingkah laku sehari-hari dengan melakukan pekerjaan sebagai
berikut:
1. mengupayakan chuko (kesetiaan pengabdian terhadap tuan dan terhadap ayah)
2. mengutamakan jinggi (kamusiaan)
3. melakukan berbagai penelitian terhadap alam
4. mempelajari tulisan
Kemudian Soko mengatakan bushi harus mempertahankan igi
(kesan/penampilan) dalam kehidupan sehari-hari. Igi tersebut diterapkan dalam cara
berpakaian, cara makan dan tempat tinggal, karena menurutnya luar adalah gambaran
dari isi, jikalau dalam benar maka luarnya akan benar pula.
Penegertian Igi adalah:
1. cara pandang tentang yang dilihat dan didengar
2. etiket dalam berbicara
3. memperhatikan yobo (tampang)
2.3. Etika Moral Bushido
Memasuki jaman Meiji, dimana pemerintahan pusat dikembalikan kepada
kaisar, maka pemerintahan pun dapat mengendalikan rasa kebangsaan penduduknya.
Pada zaman ini hingga berakhirnya perang dunia kedua, segenap masyarakat Jepang
mempunyai hak yang sama dalam urusan bela negara. Namun, karena kebanyakan
pemegang kendali pemerintahan Meiji, Taisho, dan Showa berasal dari keturunan
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
diterapkan dalam semua lini kehidupan masyarakat Jepang, terutama di bidang
pendidikan dan militer. Diantara nilai-nilai bushido yang diterapkan tersebut adalah
sikap rela mati untuk keagungan Kaisar yang berlaku sebagai kepala pemerintahan
yang sekaligus keturunan dewa tersebut. Pengendalian sikap politik penduduk Jepang
oleh golongan militer pada masa perang Cina-Jepang dan Perang Asia Raya
menimbulkan dampak negative bagi sebagian besar penduduk Jepang sendiri, yakni
terampasnya hak-hak individual untuk menenentukan nasibnya sendiri.
Karena bushido merupakan system moral maka sesungguhnya etika yang
terkandung adalah etika moral. Kandungan etika moral bersifat altruistik, yaitu etika
moral yang berpusat pada rasa kemanusiaan. Potensi moral yang diwarisi oleh bangsa
Jepang telah menemukan bentuknya sebagai tatanan moral setelah konfusionisme
datang. Etika konfusionisme yang bersifat kemanusiaan sangat cepat diterima bangsa
Jepang, hal ini terjadi karena bangsa Jepang memiliki karakteristik yang hampir sama
dengan bangsa Cina yang membawa ajaran konfusionis.
Etika moral bushido menurut Nitobe (1969: 23-93) adalah: keberanian,
kejujuran, keteguhan hati, kehormatan, kesopanan, ketulusan hati, kebajikan serta
kesetiaan.
Keberanian
Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan
kelompoknya (pengaruh "sistem ie"). Orang Jepang bahkan sampai berani dan rela
mati demi membela kelompoknya tersebut. Sikap ini sangat terkait dengan nilai-nilai
bushido lainnya. Apabila pada suatu ketika dimana orang Jepang merasa tugas yang
dijalankannya gagal, ia merasa bertanggung jawab dan sangat malu. Sebagai
konsekuensinya, ia rela menjalani hukuman mati dengan melakukan seppuku atau
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
memilih mati, karena masyarakat Jepang menganggap mati lebih terhormat daripada
hidup menanggung malu.
Kejujuran
Kejujuran merupakan keyakinan dalam ajaran code of the samurai. Di dalam
diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan
perbuatan yang tidak jujur. Ajaran bushido mendefenisikan kejujuran sebagai suatu
kekuatan resolusi, kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa
keragu-raguan. Samurai siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti
sebagai samurai jika dianggap sebagai suatu kebenaran.
Konsep kejujuran dalam bushido adalah pembuatan keputusan dengan alasan
yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah giri. Giri adalah alasan oleh seseorang untuk
memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap terhadap orang tua, senior atau superioritas
dan kepada masyarakat luas. Kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai.
Jika seseorang bersikap jujur dan berjalan diatas jalan lurus, dapat dipastikan bahwa
dia adalah orang yang berani. Pengertian berani bukan hanya mengacu pada
keberanian, tetapi juga pada berani menghadapi cobaan hidup.
Kejujuran dikalangan samurai merupakan suatu etika yang tidak dapat
diragukan lagi. Samurai harus tegas kapan harus membunuh dan kapan harus mati,
asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus sesuai
dan didasari oleh kejujuran dan akal sehat, tanpa kecerobohan dan kecurangan.
Keteguhan hati
Keteguhan hati merupakan sikap yang pantang menyerah, yaitu seseorang
yang dapat bangkit dari keterpurukan atau kekalahan karena berlandaskan
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Etika keteguhan hati ini sejalan dengan tiga prinsip dasar samurai, yaitu chi, jin dan
yuu. Chi menekankan pada ajaran kebijaksanaan, jin menekankan pada kasih sayang
dan keserasian dengan alam dan yuu menekankan pada keberanian dan keteguhan
hati.
Kebajikan
Cinta, kemurahan hati, kasih sayang untuk orang lain. Simpati dan rasa belas
kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan
semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat
sewenang-wenang. Menurut Nitobe bahwa rasa kasih sayang yang dimiliki kaum
samurai tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa. Tetapi pada seorang
samurai harus didukung oleh sebuah kekuatan untuk membela dan melindungi.
Kesopanan
Menurut Nitobe bahwa etika kesopanan masyarakat Jepang sudah terkenal ke
seluruh dunia. Dan sifat itu merupakan unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik
dari hubungan masyarakat. Kesopanan dalam masyrakat Jepang bermula dari tata cara
yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain,
bagaiman sikap dalam berjalan, duduk, diajar dan mengajar dalam bentuk kepedulian.
Kehormatan
Kehormatan merupakan implikasi dari suatu kesadaran hidupakan martabat
individu yang berharga. Menurut Nitobe seroang samurai dibesarkan dengan
nilai-nilai kewajiban dan keistimewaan profesi atau kedudukan mereka, bahwa kehormatan
adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka.
Di dalam bahasa Jepang ada istilah na (nama), memoku (wajah), guaibun
(pendengaran), yang merupakan sebagai reputasi atau nama baik seseorang. Nama
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Kalau tidak dijaga reputasi itu bisa jatuh dan memberikan kesan yang tidak baik pada
orang lain, dan kehormatan itu telah ada sejak manusia itu ada dalam kandungan
ibunya. Hilangnya kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah hal yang sangat buruk
dan merupakan hukuman yang sangat dihindari. Kesadaran akan mempertahankan
kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah menolak segala bentuk penghinaan.
Seppuku atau bunuh diri dengan cara memotong perut sendiri adalah merupakan suatu
upacara ritual untuk mempertahankan kehoramtan dan keberanian.
Landasan filosofi yang diperlihatkan dalam etikan kehormatan ini adalah
adanya kebutuhan bagi suatu undividu untuk menerima suatu penghargaan berupa
hasil kerja. Dalam etika bushido adalah kehormatan bisa dicapai sejalan dengan
bertambahnya usia dan pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga
dengan baik, karena reputasi yang dibangun selama hidup seorang samurai dapat
hilang dengan seketika bila berbuat suatu kesalahan.
Kesetiaan
Kesetiaan adalah Kesetiaan yang diterapkan dalam ajaran bushid adalah
kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya.
Dalam menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap
aturan-aturan yang ditetapkan oleh tuannya. Ajaran konfusius menempatkan kesetiaan
kepada orang tua adalah hal yang paling utama. Di Jepang kesetiaan terhadap atasan
adalah hal yang menempati urutan teratas. Makna kesetiaan pertamakali terlihat dari
adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial
kolektif untuk mempertahankan wilayah mereka dari ancaman dari luar.
Pemerintahan yang berkuasa pertamakali adalah kaisar Jimmu (abad 6 SM).
Makna kesetiaan yang muncul pada pemerintahan kaisar ini adalah disamping makna
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
memiliki derajat kesucian yang tinggi sebagi anak cucu dewa matahari.Kesetiaan
terhadap kaisar ini tidak hanya dalam hal keduniawian tetapi juga dalam hal
keabadian. Pemenuhan kewajiban yang dapat diartikan dari sifat religius dilakukan
dengan bertindak setaat mungkin terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara
mengabdi sepenuhnya terhadap atasan. Hal ini dianggap sebagai cara terbaik sebagai
cara terbaik untuk mendapatkan berkah lindungan dari para leluhur dan para dewa
untuk mencapai kondisi yang harmonis.
Setelah masuknya ajaran konfusionisme dan budhisme dari china (abad 6),
telah memunculkan makna-makna baru dari kesetiaan. Dengan berlandaskan pada
kita-kitab konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral. Nilai moral yang
terkandung didalamnya adalah nilai moral sosial, karena berdasarkan adanya
hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesame, terhadap
pejabat pemerintahan dan terhadap kaisar. Pengaruh konfusionisme terhadap
perkembangan makna kesetiaan semakin tampak nyata dengan perintah kaisar
terhadap rakyat Jepang, yang menghendaki rakyat memiliki kesetiaan yang besar
terhadap kaisar.
Pada masa pemerintahan bakufu, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh
shogun dan kaisar hanya sebagai symbol memunculkan suatu makna baru dari
kesetiaan. Makna kesetiaan yang lebih bersifat politik, yaitu kesetiaan terhadap
pejabat pemerintah, terutama daimyo dan shogun, dimana system pemerintahan
bersifat feodalisme.Kebudayaan feodal Jepang berbeda dengan feodalisme Cina,
walaupun mendapat pengaruh dari Cina. Hal ini tampak pada pengaruh samurai
meletakkan tekanan-tekanan utama pada kebikan militer tentang keberanian,
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
pada pemerintahan bakufu adalah kesetiaan, karena seluruh sistemnya tergantung
pada ikatan kesetiaan pribadi (Reischauer, 1982:76).
Kesetiaan pada pengusasa amat penting dalam ajaran konfusionisme, tetapi
lebih di batasi oleh kesetiaan terhadap keluarga. Sesungguhnya tiga dari lima etika
dasar konfusionisme ada kaitannya dengan kapatuhan anak dan kesetiaan keluarga
lain. Di Jepang pada masa pemerintahan bakufu, kesetiaan kepada tuan lebih berpusat
terhadap seluruh system, sehingga kepada keluarga yang bersifat kelompok lebih
besar menjadi lebih penting dari pada keluarga sendiri. Makna kesetiaan menjadi
lebih penting pada pangabdian terhadap kepentingan kelompok dari pada perorangan
dalam dimensi politik. Perkembangan yang demikian terjadi hingga abad-19 atau
sampai pada jaman restorasi meiji, yaitu dengan berakhirnya kekuasaan shogun
Tokugawa, kesetiaan dikembalikan pada makna semula yang selalu melekat pada
kehormatan dan eksistensi para samurai. Sehingga nilai kesetiaan memiliki makna
yang naturalistik, humanistik, religius dan politik serta kesetiaan terhadap kaisar dan
bangsa.
2.4. Novel Shiosai 2.4.1. Tema
Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pangarang yang melatarbelakangi
ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka
tema yang terkandung dalam suatu karya sastra bisa sangat beragam. Tema bisa
berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait
dengan erat dengan masalah kehidupan. Namun tema bisa berupa pandangan
pengarang, ide, atau keinginan pengarang yang menyiasati persoalan yang muncul.
Dalam novel Shiosai karya Yukio Mishima ini, tema yang diusung adalah
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
keagungan cinta, dalam novel ini terselubung ajaran “berani berbuat dan berani
bertanggungjawab”, bahwa seseorang harus berani menentukan sikap dalam setiap
permasalahan dan tidak lari dari masalah.
2.4.2. Alur/Plot
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sbuah karya fiksi adalah plot
cerita. Dalam analisis cerpen, plot sering pula disebut dengan istilah alur. Dalam
pengertiannya yang paling umum plot atau alur dapat diartikan sebagai keseluruhan
rangkaian peristiwa yang ada dalam satu cerita. Alur atau plot diartikan juga sebagai
suatu konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara
logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan dan dialami oleh para pelaku.
2.4.3. Penokohan
Sebagian besar tokoh karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan. Kendati hanya
rekaan atau imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan salah satu sarana
penting dalam membangun suatu cerita. Tokoh-tokoh tersebut bukan hanya berfungsi
dalam memainkan cerita, tetapi juga berperan dalam memainkan ide, motif, plot dan
tema. Semakin berkembangnya ilmu jiwa, terutama psiko-analisa, merupakan salah
satu alasan pentingnya peranan tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan oleh
pengarang.
Tahap ini menguraikan latar cerita atau penokohan.
• Tahap pengenalan
Yaitu dengan memperkenalkan tokoh utama yaitu Shinji yang pekerjaan
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Lalu Hatsue anak dari pemilik kapal dan orang terkaya di desa itu, yaitu
Terukichi Miyata, yang menaruh hati pada Shinji.
• Tahap penampilan masalah/konflik
Ditahap ini, Shinji dan Hatsue mendapat larangan untuk berhubungan oleh
ayah Hatsue, yaitu Terujichi Miyata. Dan ditandai munculnya tokoh antagonis,
yaitu Chiyoko dan Yasuo. Chiyoko adalah wanita yang menaruh simpati
terhadap Shinji, dan seorang yang terpelajar, dan Yasuo adalah seorang
pemimpin sebuah perkumpulan pemuda di desa itu, yang sangat
mengidam-idamkan menjadi pendamping Hatsue.
• Tahap konflik memuncak
Dalam tahap ini Shinji dan Hatsue mulai tidak mendapat simpati dari keluarga
mereka, dimana mereka sudah menjadi bahan pembicaraan orang-orang di
desa itu. Shinji menjadi bahan pembicaraan oleh teman-temannya di
perkumpulan pemuda dan Hatsue dimarahi oleh ayahnya dan melarang dia
untuk bertemu dengan Shinji.
• Puncak ketegangan/klimaks
Tahap ini dimana ibu Shinji mendapat perlakuan yang arogan dari ayah
Hatsue, dengan diusir dari rumahnya, dan dia merasa terhina. Shinji dimarahi
ibunya karena bergaul dengan Hatsue.
• Tahap ketegangan menurun
Di sini, Shinji mendapat kesempatan untuk membuktikan bahwa dialah yang
cocok menjadi pendamping Hatsue dengan keberanian dan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya.
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
Dalam tahap ini, Terukichi Miyata telah memilih calon menantunya, yaitu
Shinjii, yang dengan pemberitahuan kapten kapal, bahwa dia lebih baik dari
pada Yasuo, seorang penakut. Dan Terukichi memberi Shinji kesempatan
untuk mempersunting anak perempuannya. Karena Shinji telah membuktikan
keberanian dala menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
2.4.4. Sudut Pandang
Sudut pandang atau cara bercerita adalah kedudukan pencerita atau penulis
dalam membawakan cerita atau kisah. Ada beberapa macam sudut pandang atau cara
bercerita.
• Sudut pandang orang pertama
Pengarang memakai istilah aku untuk menghidupkan tokoh, seolah-olah dia
menceritakan pengalamannya sendiri.
• Sudut pandang orang ketiga
Pengarang memilih salah seorang tokohnya untuk menceritakan orang lain,
tokoh yang diceritakan itu disebut dengan dia.
• Sudut pandang pengarang sebagai pencerita (objective point of view)
Pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seolah-olah pembaca
menonton pementasan sandiwara. Pembaca hanya dapat menafsirkan cerita
berdasarkan kejadian, dialog, dan perbuatan para pelakunya karena pengarang
tidak memberikan petunjuk atau tuntunan terhadap pembaca.
• Sudut pandang serba tahu (omniscient point of view)
Pengarang seolah serba tahu akan segalanya. Ia dapat menciptakan apa saja
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
diinginkannya. Pengarang dapat mengomentari kelakuan para pelakunya dan
ia dapat berbicara langsung dengan pembaca
Dalam novel Shiosai ini, sudut pandang yang digunakan oleh Yukio Mishima
adalah sudut pandang serba tahu (omniscient point of view). Dimana Mishima
menceritakan semua apa saja yang ia perlukan untuk mencapai tujuannya, yaitu
dengan menjelaskan setiap karakter dari pada tokoh-tokohnya. Shinji yang merupakan
seorang pekerja keras dan bertanggung jawab dalam setiap tindakannya. Hatsue yang
pendiam dan taat kepada perintah ayahnya, dan ayah Hatsue, yaitu Terukichi Miyata
adalah orang terkaya di pulau itu, digambarkan sebagai orang yang keras dan disiplin,
dia adalah orang yang sangat disegani.
2.4.5. Latar/Setting
Dalam karya sastra, setting merupakan elemen pembentuk cerita yang sangat
penting, karena elemen tersebut dapat menggambarkan situasi umum sebuah karya.
Walaupun setting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam
cerita, keberadaan setting hakikatnya tidaklah hanya untuk menyatakan di mana,
kapan dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan
gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu
cerita ditulis. Dari kajian setting dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi
antara perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan
pandangan masyarakatnya.
Dalam novel Shiosai ini, menggambarkan sebuah kehidupan para nelayan
yang hidup di sebuah pulau, yaitu utajima, dan watak dan perilaku para tokohnya
Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.
USU Repository © 2009
cerita ini lebih menonjolkan kultur dan kebiasaan masyarakat desa di Jepang pada
umumnya.
2.4.6. Amanat
Amanat adalah hal yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca,
yang berkaitan dengan tema. Amanat disebut juga hikmah cerita. Amanat dapat
berupa paham-paham tertentu, nasihat-nasihat, ajakan, atau larangan. Anda dapat
mengetahui amanat yang disampaikan pengarang setelah membaca seluruh karangan.
Dalam novel Shiosai ini, Mishima mengajak penikmat atau pembaca untuk
tidak mencoba lari dari kenyataan, tetapi harus berusaha untuk menlesaikan masalah
yang datang. Dan dalam setiap pekerjaan atau tindakan pasti ada ganjaran yang di
terima
.
2.5. Riwayat Pengarang
Penulis yang produktif, dan oleh para kritikus sastra merupakan salah satu
novelis yang sangat penting pada abad 20 di Jepang. Karya-karya Yukio Mishima
termasuk 40 novel, puisi, essay, dan naskah Kabuki serta naskah drama Noh modern.
Dia tiga kali dicalonkan sebagai nominasi penerima hadiah Nobel untuk
kesusasteraan. Karyanya yang paling diakui adalah Candi novel yang berjudul The
Temple of the Golden Pavilion (1956). The tetralogy The Sea of Fertility (1965-70)
dianggap sebagai prestasi Mishima dalam dunia sastra yang paling banyak mendapat
penghargaan. Sebagai penulis Mishima mengambil ilham dari kesusasteraan
pramodern, baik novel, puisi, essay dan naskah Kabuki dan Noh modern.
Yukio Mishima terlahir dengan nama Kimitake Haraoka di Tokyo, anak lelaki