• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA

(YUKIO MISHIMA NO SAKUHIN NO “SHIOSAI” NO SHOSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: ANTO GULTOM

020708039

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

(2)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA

(YUKIO MISHIMA NO SAKUHIN NO “SHIOSAI” NO SHOSETSU NI OKERU BUSHIDO NO DOUTOKU)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: ANTO GULTOM

020708039

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana,M.Hum M. Pujinono,SS. M.Hum

NIP. 131763365 NIP. 132299344

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

(3)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Disetujui oleh

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi S-1 Sastra Jepang

Ketua Program Studi

(4)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala Puji

milik Allah yang telah menciptakan manusia dan mengajarkan apa-apa yang tidak

diketahui.

Atas berkat dan anugrahnya-NYA, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul ANALISA PERBANDINGAN PANDANGAN DAUR HIDUP

(TSUKA GIREI) DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BETAWI, yang merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

Tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam

menyelesaikan skripsi ini, baik dari keterbatasan bahan maupun keterbatasan penulis

sendiri dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada

orang-orang yang dengan izin Yang Maha Kuasa telah menjadi perantara untuk membantu

penulis menyelesaikan skripsi ini :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumater Utara.

2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D sebagai Ketua Jurusan Sastra

Jepang.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum selaku Pembimbing I.

4. Bapak M. Pujiono, SS., M.Hum selaku Pembimbing II.

5. Para Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,

khususnya para Dosen dan Staf Pegawai di Jurusan Sastra Jepang Universitas

(5)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

6. Seluruh sahabat dan rekan-rekan Mahasiswa/I Sastra Jepang 2002. Friska NS,

Ibeth, Reynold, Erna, Anto, Reza, Wendy, Era, Tiur, Maria, dan seluruh kerabat

Sastra Jepang. Terima kasih untuk doa dan dukungannya.

7. Sahabat terbaikku Shelvy yang telah banyak membantu dan meluangkan

waktunya untuk penulis. Terima kasih untuk kasih sayangnya.

8. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada kedua orang tuaku (Alm. S.M.P Gultom dan R. Siahaan,B.A) yang

selama ini telah memperhatikanku, mengasihiku dan selalu mendoakanku

sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi ini.

(6)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Ruang Lingkup pemabahasan ... 8

1.4. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori ... 8

1.5. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Metode Penelitian ... 12

BAB II.TINJAUAN UMUM TERHADAP LATAR BELAKANG BUSHIDO DAN NOVEL SHIOSAI 2.1. Pengertian Bushido ... 14

2.2. Sejarah Bushido ... 15

2.3. Etika Moral Bushido ... 25

2.4. Novel Shiosai ... 32

2.4.1. Tema ... 32

2.4.2. Alur/Plot... 32

2.4.3. Penokohan ... 33

2.4.4. Sudut Pandang ... 34

2.4.5. Latar/Setting ... 36

2.4.6. Amanat ... 36

2.5. Riwayat Pengarang ... 37

(7)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

BAB III. ANALISA ETIKA BUSHIDO DALAM NOVEL SHIOSAI KARYA YUKIO MISHIMA

3.1. Rangkuman Cerpen ... 43

3.2. Analisis Etika Bushido Dalam Novel Shiosai ... 45

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan ... 52

4.2. Saran ... 53

(8)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan hasil karya salah satu cabang kebudayaan, yakni

kesenian. Seperti hasil karya kesenian pada umumnya, sebuah karya sastra memiliki

nilai apabila ia dapat dinikmati dan memberikan manfaat bagi masyarakat pembaca

atau penikmat karya tersebut. Pada karya sastra tersirat unsur keindahan yang

menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian dan menyegarkan

perasaan penikmatnya. Dengan demikian jelaslah kedudukan dan manfaat karya sastra

bagi penikmatnya. Seorang pencipta karya sastra tidak hanya ingin mengekspresikan

pengalaman jiwanya saja, namun secara implisit bermaksud mendorong,

mempengaruhi pembaca agar ikut memahami, menghayati dan menyadari berbagai

masalah kehidupan serta ide yang diungkapkan dalam karyanya.

Pengalaman jiwa dalam karya sastra dapat memperkaya kehidupan batin

pembaca sehingga pembaca lebih sempurna keadaannya. Pengungkapan yang estetis

dan artistik menjadikan karya sastra lebih mempesona dari pada karya lainnya. Karya

sastra membicarakan manusia dan aspek-aspek kehidupannya, sehingga sastra

merupakan sarana penting dalam mengenal manusia dan zamannya. Pada karya sastra

tercermin masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu masa serta

usaha pemecahan sesuai dengan cita-cita mereka.

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta yaitu sastra, yang

berarti teks yang mengandung instruksi, dari kata dasar sas- yang berarti instruksi atau

(9)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata sastra bisa

pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah itu indah atau tidak.

Selain itu dalam kesusasteraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan

sastra lisan (oral). Disini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi

dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau

pemikiran tertentu. Jadi, yang termasuk dalam kategori sastra adalah, prosa atau

novel, Cerita/cerpen, syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi. Struktur

formal sastra adalah struktur yang terefleksi dalam satuan teks. Karena itu, struktur

formal karya sastra dapat disebut sebagai elemen atau unsur-unsur yang membentuk

karya sastra. Elemen tersebut lazim disebut sebagai unsur ekstrinsik dan intrinsik.

Namun berdasarkan genrenya telaah struktur dapat menjadi dua bagian, yaitu prosa

dan puisi.

Prosa adalah suatu jenis tulisan yang berbeda dengan puisi karena variasi ritme

(rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti

leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin “prosa” yang artinya "terus terang".

Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide.

Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia,

surat, serta berbagai jenis media lainnya. Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis,

yaitu prosa naratif, prosa deskriptif, prosa eksposisi, dan prosa argumentatif. Prosa

dibagi menjadi dua, yaitu Roman dan Novel. Roman adalah cerita yang mengisahkan

tokoh sejak lahir sampai meninggal, sedangkan novel hanya mengisahkan sebagian

kehidupan tokoh yang mengubah nasibnya.

Ciri novel yang membedakannya dengan karya sastra lainnya :

1. Novel adalah karya sastra berjenis narasi.

(10)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

3. Novel adalah karya sastra yang bersifat realis, artinya menceritakan kehidupan

tokoh secara nyata, tanpa disertai peristiwa-peristiwa yang gaib dan ajaib.

Umumnya novel merupakan tanggapan pengarang terhadap lingkungan sosial

budaya sekelilingnya.

4. Novel adalah karya sastra yang berfungsi sebagai tempat menuangkan

pemikiran pengarangnya sebagai reaksinya atas keadaan sekitarnya. Dalam

aliran imprisionisme, pengarang menempatkan dirinya dalam kehidupan yang

diceritakan. Perenungan-perenungan pembaca setelah membaca sebuah novel

akan tiba pada sebuah pemikiran baru tentang makna hidup.

Menurut Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (1998: 3) bahwa novel

sebagai karya sastra fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap

merupakan bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai tujuan yang estetik.

Oleh karena itu novel dibentuk oleh unsur-unsur pembangunan yang membentuk

cerita yang kemudian membuat sebuah novel menjadi berwujud.Unsur-unsur

pembangun yang membentuk sebuah novelterdiri dari, unsur ekstrinsik adalah unsur

pembagunan karya sastra yang berada di luar suatu karya sastra namun ikut

mempengaruhi karya sastra tersebut. Yang merupakan unsur intrinsik suatu karya

sastra adalah, tema, alur, penokohan, sudut pandang, latar, gaya bahasa, amanat.

Berbicara mengenai etika tradisional bangsa Jepang, akan terdapat hal-hal

yang menonjol bahwa masyarakat Jepang memiliki unsur budaya berupa semangat

samurai atau etika bushido yang tertanam dalam mayarakat Jepang yang dapat

memberikan motivasi tersendiri ke arah peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Keberadaan bushido sangat membantu terhadap perubahan-perubahan yang terjadi

(11)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

serta pada tingkat penguasaan teknologi dan industri yang tidak dapat dipisahkan dari

adanya warisan nilai samurai yang selalu melekat pada masyarakat Jepang.

Bushido (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari

nilai-nilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Bushido merupakan

nilai-nilai dasar yang awalnya berkembang dari kebutuhan dasar prajurit. Istilah bushido

yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai atau bushi. Bushido

lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism dan ajaran konfusius yang menjadikannya

menjadi suatu kode etik bagi samurai pada zaman feodalisme. Setiap samurai

menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati,

kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan serta pengendalian diri

(Soryohadiprojo, 1987:197).

Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh

keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan Tokugawa

pada waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo). Lembaga keshogunan ini disebut juga

bakufu (Situmorang, 1995 : 41). Masyarakat feodal atau (h kenshakai)

lahir bersamaan dengan lahirnya shoenseid (sistem wilayah) yaitu wilayah pertanian

yang berdiri sendiri terpisah dari pemerintahan Kaisar, wilayah tersebut dikelola oleh

kizoku (keluarga bangsawan). Keluarga bangsawan disini adalah keturunan Kaisar

yang tidak menjadi pewaris istana. Mereka menguasai bagian lahan, dengan

mempunyai petani sendiri. Sistem ini berjalan sampai zaman Kamakura tahun 1185

(Situmorang, 2006:80).

Bushi adalah golongan masyarakat yang tertinggi. Pada zaman Edo, bushi juga

disebut sebagai guru masyarakat yang merupakan golongan yang menjadi teladan di

(12)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

penguasa, Tokugawa Ieyashu mewajibkan mereka mempelajari ajaran konfusius yang

dianggap dapat memupuk ketaatan samurai terhadap pemerintah. Dalam ajaran

konfusius dipaparkan tentang lima hubungan manusia,, yaitu hubungan antara atasan

dan bawahan, suami dengan isteri, orang tua dengan anaknya, kakak dengan adiknya,

serta hubungan antar teman, yang disebut juga dengan prisip gorin (Benedict,

1982:120). Kelima macam hubungan itu didasari prinsip perbedaan antara atasan

dengan bawahan, yang mana diatas harus jadi pelindung dan panutan, sedangkan yang

dibawah tunduk dan taat terhadap atasan. Hubungan inilah yang meningkatkan rasa

ikut memiliki dan rasa kesetiaan.

Pemerintahan Tokugawa mengajarkan shido (bushido baru), sebagai ideologi

baru bagi para bushi di Jepang yang bercirikan kesetiaan terhadap keshogunan

(Situmorang, 1995:9). Hal ini disebabkan karena bushi atau samurai memadukan

nilai-nilai budaya Jepang, dan juga karena etika bushido telah menjadi etika nasional

sejak zaman Tokugawa hingga zaman modern. Walaupun pada awalnya bushido

hanya untuk kaum samurai saja, namun akhirnya dengan berakhirnya system feudal,

pengaruhnya semakin meluas hingga menjadi standar bagi kehidupan masyarakat

Jepang.

Kemudian, penulis mencoba untuk menghubungkannya dengan

kecenderungan beberapa kalangan masyarakat Jepang dan pemerintahan yang

mencoba menggali kembali nilai-nilai masa lalu Jepang, diantaranya adalah etika

bushido yang berlaku di zaman feodal. Nilai-nilai etika feudal tersebut banyak yang

disisipkan dalam berbagai hal, diantaranya adalah tayangan-tayangan film dan drama

di TV, kisah cerita di novel, ataupun pembahasan-pembahasan secara ilmiah baik di

(13)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Salah satunya yang mengekspresikan kebudayaan Jepang khususnya bushido

yang diungkapkan Yukio Mishima dalam novel “Shiosai”. Novel ini mengangkat

tentang kisah percintaan seorang pemuda nelayan miskin dengan seorang gadis kaya

di sebuah desa di daerah pesisir Jepang yang terpencil. Novel Shiosai ini

menceritakan tentang kehidupan asmara antara Shinji dan Hatsue, dimana Shinji

adalah seorang buruh bongkar muat di kapal milik ayah Hatsue. Di sinilah muncul

sebuah intrik tentang ketegaran seorang laki-laki dalam menghadapi gelombang

fitnah.

Berikut adalah salah satu kutipan dari novel Shiosai:

“…sampai ke masalah tentang tugas-tugas tang di berikan dan dipunyai sejak

zaman dulu. Jadi mereka bisa merasakan diri mereka sebagai bagian dari hidup

bersama dan menemukan kepuasaan batin, walaupun beban yang dietakkan

dipundaknya terasa berat namun diterima sebagai orang yang dewasa (hal 21)”

Dari kutipan di atas, seperti dalam kehidupan samurai atau bushi, sangat

menekankan pentingnya sebuah kesetiaan dalam menjalankan suatu tanggung jawab

walaupun beban tugas yang diberikan cukup berat. . Menurut Situmorang dalam

Wulandari (2005:13) mengatakan bahwa kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan

perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi.

Hal diatas sangat menarik untuk dibahas dalam skripsi ini yaitu dengan judul,

Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima.

1.2. Perumusan masalah

Masyarakat Jepang berdasarkan sejarahnya sejak jaman Bakufu sudah

mengenal etika bushido. Memang, hakekat sebenarnya dari Bushido; Jalan Prajurit

(14)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

shinu koto mitsuketari”. Namun, makna sesungguhnya yang dapat dipetik dari kalimat

tersebut adalah anugerah hidup ini hendaknya dijalani dengan sungguh-sungguh.

Bekerja keras hingga berhasil adalah cita-cita luhur dari setiap manusia. Untuk meraih

hal tersebut diperlukan kerja keras dan disiplin yang tinggi. Bagi para samurai,

kematian dalam rangka mewujudkan kesetiaan tertinggi pada sang tuan adalah

cita-cita tertinggi. Namun, bagi manusia Jepang dewasa ini kerja keras dalam rangka

mewujudkan keberhasilan itulah cita-cita tertinggi.

Masalah-masalah yang ingin diteliti dari penjelasan latar belakang dalam

novel Shiosai karya Yukio Mishima di atas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana etika bushido direalisasikan dalam kehidupan masyarakat

Jepang?

2. Bagaimana perwujudan etika bushido dalam kehidupan tokoh Shinji dalam

novel shiosai?

1.3. Ruang lingkup pembahasan

Dalam penelitian ini, agar tulisan ini terarah dan teratur maka ruang lingkup

pembahasan harus dibatasi. Sehubungan dengan itu maka penelitian ini menitik

beratkan mengenai etika bushido yang direalisasikan dalam kehidupan masyarakat

Jepang dilihat dalam dunia novel, yang berjudul Shiosai karya Yukio Mishima.

Agar pembahasan atau penelitian lebih akurat, maka akan lebih dijelaskan lagi pada

bab II dalam skripsi ini.

(15)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Bushi adalah golongan militer yang dikenal juga sebagai ahli-ahli pedang

Jepang atau disebut juga Samurai.Benedict (1982 : 335) mengatakan bahwa Samurai

adalah prajurit feodal yang berpedang dua. Sedangkan menurut Nurhayati (1987 : 10)

samurai adalah pasukan pengikut tuan tanah / penguasa setempat yang disebut

Daimyo.

Situmorang (1995 : 11) menjelaskan bahwa Bushi adalah kelompok petani

yang dipersenjatai untuk mengabdi kepada tuannya (keluarga bangsawan) dalam

mempertahankan eksistensi Shoen dan Kizoku tuannya yang mengakibatkan para

Bushi saling berperang. Setelah Bushi berhasil menjalankan tugasnya, lama kelamaan

mereka tidak bergantung lagi pada Kizoku melainkan Kizoku akhirnya bergantung

pada Bushi. Sehingga kelompok Bushi ini menjadi kelompok yang disegani.

Balas budi kelihatan juga dalam pandangan k shikannen (publik dan privat).

K = publik atau juga atasan, sedangkan shi = pribadi atau bawahan. Kepentingan

pribadi harus tunduk kepada kepentingan umum, atau juga harus tunduk kepada

kepentingan perusahaan, atau kepentingan bawahan harus tunduk kepada kepentingan

atasan. Ketika kepentingan privat tunduk kepada kepentingan umum, disinilah adanya

ch . Pada masyarakat Jepang lebih mengutamakan ch daripada k , artinya lebih

mengutamakan balas budi terhadap atasan atau perusahaan daripada balas budi

terhadap orang tua. Ketidakmampuan membalaskan budi inilah rasa malu yang paling

besar bagi masyarakat Jepang.

Bushid (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari

nilai-nilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Hal ini disebabkan karena

bushi atau samurai memadukan nilai-nilai budaya Jepang, dan juga baik pada masa

Tokugawa maupun zaman modern, etika bushid ini telah menjadi etika nasional

(16)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan

mengorbankan kepentingan pribadi.

1.4.2. Kerangka Teori

Menurut Soekanto (2003:27), suatu teori pada hakikatnya merupakan

hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara

tertentu. Suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan fakta, membina

struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi yang penting untuk

penelitian.

Untuk memahami peristiwa-peristiwa pada zaman dahulu (zaman Edo) di

Jepang, yang mengungkapkan kesetiaan bushi, maka penulis juga menggunakan

pendekatan historis untuk melihat latar belakang sejarah ajaran bushid dalam

kehidupan masyarakat Jepang serta memahami unsur-unsur sejarahnya dan juga agar

penelitian ini dapat dilihat dari perspektif serta waktu terjadinya fenomena-fenomena

yang diselidiki.

Kevin dalam Kaelan (2005:61) berpendapat bahwa sejarah adalah

pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang

terpadu dari keadaan-keadaan, kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang terjadi di masa

lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari

kebenaran. Kartodirjo dalam Kaelan (2005:61) juga mengatakan bahwa ilmu sejarah

adalah ilmu yang membahas peristiwa di masa lampau, yang mengungkapkan fakta

mengenai apa, kapan dan di mana, serta juga menerangkan bagaimana sesuatu itu

(17)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Ratna (2004:65) berpendapat bahwa pendekatan historis memusatkan

perhatian pada masalah bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain, sehingga

dapat diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya.

Benedict (1982:333) mengatakan bushid adalah perpaduan antara keadilan,

keberanian, kebaikan hati, kehormatan, kesopanan, kesetiaan, dan pengendalian diri.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan

tentang asas-asas akhlak (moral). Menurut Ahmad Amin, etika adalah ilmu

pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang

seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh

manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang

seharusnya diperbuat oleh manusia.

Menurut Soegarda Poerbakawatja, etika adalah filsafat nilai, pengetahuan

tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam

hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang

merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan.

Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan

manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang

secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada

saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala

macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai

menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang

disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan

untuk kepentingan kelompok sosial itu sendiri.

(18)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

1.5.1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah:

1. Untuk menjelaskan etika bushido yang diungkapkan oleh Yukio Mishima

dalam novel Shiosai.

2. Untuk menjelaskan kaitan antara nilai bushido dengan tokoh Shinji dalam

novel karya Yukio Mishima.

1.5.2. Manfaat penelitian

1. Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai etika bushido

dalam kehidupan masyatakat Jepang dewasa ini.

2. Untuk membahas referensi yang berkaitan dengan kebudayaan Jepang

khususnya etika bushido.

1.6. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan data dengan menggunakan penelaahan kepustakaan

(library research), yaitu mengumpulkan bahan dari sumber-sumber yang diterapkan

berupa buku-buku referensi, literature, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sumber

lain yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Metode dalam penulisan skripsi

yaitu dengan metode penelitian deskriptif, yakni dengan memberi gambaran secermat

mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu

(Koentjaraningrat, 1976:30). Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan

dianalisis dalam novel Shiosai, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif

dalam cakupan penelitian kualitatif dan studi literature, mengambil kutipan-kutipan

(19)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

penelitian ini adalah Novel yang berjudul Shiosai (Nyanyian Laut) terjemahan Max

Arifin,yang diterbitkan oleh Penerbit Matahari pada tahun 2005.

Sedangkan langkah-langkah penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Menguraikan bushido sebagai suatu etika yang mencakup pengertian, asal

mula, sumber-sumber dan nilai pokok dalam prinsip bushido.

2. Melakukan analisa terhadap novel Shiosai dengan mengambil kutipan-kutipan

yang berhubungan dengan prinsip bushido.

3. Membuat analisis mengenai perwujudan nilai-nilai bushido dalam tokoh

Shinji.

Pendekatan semiotik adalah pemahaman suatu makna karya sastra melalui

tanda. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda, sign, dan

tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain,

yaitu signifiant (penanda) adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, dan signifie

(petanda) adalah aspek kemaknaan dan konseptualnya.

Media sastra adalah bahasa karena bahasa dalam sistem tanda, untuk

memahami konsep makna dalam karya sastra, penelaah haruslah menguasai sistem

tanda atau lambang-lambang, sistem-sistem lambang, dan proses-proses

perlambangan yang ada dalam bahasa tersebut. Pemahaman terhadap esensi makna

tersebut tentunya tidak hanya sekedar pemahaman terhadap struktur tekstual. Di

antara segala sistem tanda, sastralah yang paling menarik dan komplek, antara lain

karena satra itu sendiri merupakan eksplorasi dan perenungan terus-menerus

mengenai pemberian makna dengan segala bentuknya, penafsiran pengalaman,

komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman, peninjauan

tentang kekuasaan bahasa yang kreatif, kritik terhadap kode-kode dan proses tentang

(20)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP LATAR BELAKANG BUSHIDO DAN NOVEL SHIOSAI

2.1. Pengertian Bushido

Pemunculan Jepang modern berakar pada masyarakat tradisional di zaman

Tokugawa. Walaupun pembaharuan baru di mulai sejak resorasi meiji, namun

dasar-dasar yang diletakkan pada zaman Tokugawa memberikan landasan yang penting bagi

proses modernisasi Jepang sehingga dapat berlangsung dengan sangat pesat.

Nilai-nilai yang berkembang pada zaman tersebut memberikan dasar untuk sebuah

masyarakat yang disiplin dan teratur sebagai kekuatan yang mempunyai daya

pendorong yang besar bagi dinamika perubahan menuju modernisasi.

Bushi adalah golongan masyarakat yang tertinggi. Pada zaman Edo, bushi juga

disebut sebagai guru masyarakat yang merupakan golongan yang menjadi teladan di

masyarakat. Untuk menumbuhkan rasa kesetiaan yang kuat dari samurai terhadap

penguasa, Tokugawa Ieyashu mewajibkan mereka mempelajari ajaran konfusius yang

dianggap dapat memupuk ketaatan samurai terhadap pemerintah. Dalam ajaran

konfusius dipaparkan tentang lima hubungan manusia,, yaitu hubungan antara atasan

dan bawahan, suami dengan isteri, orang tua dengan anaknya, kakak dengan adiknya,

serta hubungan antar teman, yang disebut juga dengan prisip gorin (Benedict,

1982:120). Kelima macam hubungan itu didasari prinsip perbedaan antara atasan

(21)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

dibawah tunduk dan taat terhadap atasan. Hubungan inilah yang meningkatkan rasa

ikut memiliki dan kesetiaan.

Bushido (jalan prajurit) sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari

nilai-nilai dan etika masa Tokugawa dan masa Jepang modern. Bushido merupakan

nilai-nilai dasar yang awalnya berkembang dari kebutuhan dasar prajurit. Istilah bushido

yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai atau bushi. Bushido

lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism dan ajaran konfusius yang menjadikannya

menjadi suatu kode etik bagi samurai pada zaman feodalisme. Setiap samurai

menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, keberanian, kemurahan hati,

kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan serta pengendalian diri.

Pada perwujudan etika bushido oleh para bushi pada zaman Tokugawa adalah

adanya pengabdian diri secara mutlak kepada tuannya, gejalanya yang lebih jelas

yaitu adanya perilaku junshi (bunuh diri untuk mengikuti kematian tuannya) dan

perilaku adauchi (mewujudkan dendam tuan)(Stumorang, 1995:21).

2.2. Sejarah Bushido

Sejak zaman feudal, system pemerintahan dikenal dengan system ritsuryo

yang berlaku hingga zaman heian (abad ke-7 sampai abad ke-12). Dalam system

ritsuryo, tenno atau kaisar sebagai penguasa administrasi pemerintahan tertinggi dan

para kizoku atau bangsawan bertugas sebagai pelaksana administrasi pemerintahan di

pusat dan daerah (Situmorang, 1995:9-10). Pada masa itu belum dikenal kepemilikan

dan kepemilikan hak tanah atas nama perseorangan, tetapi dikenal dengan istilah

kochi komin (wilayah umum dan masyarakat umum). Dalam perkembangannya

(22)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

yaitu kelompok petani dibawah kekuasaan kizoku, keluarga bangsawan yang bertugas

didaerah.

Administrasi kelompok sonraku kyodo tai tersebut terpisah dari pemerintahan

ritsuryo. Para petani kemudian banyak yang meninggalkan kochi komin dan masuk

kedalam kelompok pertanian kizoku, karena mereka mendapat perlindungan dari

kizoku. Selain itu, mereka juga diberi kebebasan untuk mengolah bagian lahan

mereka, dengan begitu para petani tersebut diakui menjadi anggota ie (keluarga)

kizoku tersebut. Ada juga petani yang meninggalkan system kochi komin dan tidak

memiliki tuan yang disebut ronin, tetapi mereka dapat dikumpulkan oleh kizoku

sehingga kedudukan mereka semakin kuat. Tanah pertanian yang terpisah dari

administrasi ritsuryo disebut shoen.

Penggarapan shoen ini melahirkan ie atau rumaj tangga yang tidak hanya

sebatas pada hubungan darah saja. Kemudian didalam ie tersebut lahir hubungan

antara atasan dan bawahan yang disebut mibunsei atau system jenjang kedudukan

antara tuan dan pengikut dalam ie. Kelompok-kelompok ini diikat dengan pemujaan

dewa yang sama, mengkonsumsi jenis makanan yang sama dan minum sake bersama,

kemudian kelompok ini disebut dozoku.

Persaingan antara dozoku ini memicu perang. Untuk itu mereka membentuk

prajurit professional yang disebut bushi, yang sebelumnya adalah petani yang

dipersenjatai. Sebelumnya dalam system ritsuryo, prajurit diambil dari masyarakat

umum yang dipersenjatai oleh pemerintah. Dengan demikian, muncullah

kekuatan-kekuatan yang berusaha memisahkan diri dari pemerintah pusat, shoen kizoku

memperluas wilayah dengan melakukan ekspansi terhadap shoen kizoku lainnya.

Pada zaman heian (abad ke-8), keluarga bangsawan Fujiwara yang berstatus

(23)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

mengawinkan putra-putri mereka dengan keturunan kaisar. Dari hasil hubungan

kekluargaan ini, pada tahun 1017, Fujiwara No Michinaga diangkat menjadi kanpaku

(wakil kaisar) karena kaisar pada saat itu sedang melaksanakan insei yaitu tinggal di

kuil dengan mengisolasi diri dari masyarakat. Pada saat itu terjadi kekacauan di

daerah, dimana antar kizoku terjadi perang yang menyisakan kizoku-kizoku yang kuat.

Kedudukan keluarga Fujiwara semakin kuat, karena sebagian besar anggota

keluarga Fujiwara mendapat kesempatan besar untuk menjadi penguasa atas tanah

dengan tidak memiliki kewajiban membayar pajak, yang selanjutnya menjadi hak

milik secara turun temurun. Pajak tanah yang diberikan pemerintah pusat cukup

tinggi, karena kebutuhan akan dana untuk memenuhi kebutuhan negara. Para petani

akhirnya menyerahkan tanahnya kepada kizoku untuk dikelola dan menjadi buruh

penggarap. Akibatnya para kizoku menjadi tuan tanah yang lama kelamaan tumbuh

menjadi sebuah kekuatan politik yang berdiri sendiri dan menguasai perekonomian

negara. Rakyat yang tadinya milik negara akhirnya berlindung di bawah shoen dan

mengalihkan kesetiaan terhadap tuannya.

Para penguasa pada saat itu hanya ingin mempertahankan kemakmuran

sendiri, dan aparat pemerintah banyak yang korup, sehingga di daerah mereka seting

terjadi peperangan untuk mempertahankan kedudukan. Pertempuran yang sering

terjadi melahirkan suatu golongan masyarakat baru, yaitu golongan militer.

Pada awal abad ke-10 golongan ini mulai menunjukkan kekuatan dengan

saling nenyerang keluarga lain. Keluarga Minamoto dan keluarga Taira adalah

keluarga yang terkuat. Pada tahun 1159, keluarga Minamoto No Yoritomo

menghancurkan dan memusnahkan keluarga Taira, sehingga Minamoto memegang

(24)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Minamoto tetap berada di Kamakura , tetapi untuk urusan sipil dan keagamaan tetap

berpusat di istana kaisar.

Pada tahun 1185, Minamoto meletakkan dasar-dasar pemerintahan militer

dengan menciptakan jabatan shugo (polisi) dan jito yang bertugas untuk mengawasi

pembayaran pajak. Minamoto memiliki kekuasaaan mutlak diseluruh negara, dengan

demikian hak untuk mengawasi negara jatuh ketangan militer yang melahirkan

pemerintahan militer (bakufu).

Permulaan kepemimpinan oleh shogun dianggap sebagai awal dari berlakunya

system feudal yang menyebabkan ikatan yang kuat antara tuan dan hambanya. Yakni

antara Minamoto dengan shugo dan jito serta para shoen di daerah. Para shugo

akhirnya menguasai daerah dengan menghapus shoen dengan sebutan daimyo,

kemudian membentuk aristrokasi feudal yang mempunyai pengikut yang bersenjata

yang disebut samurai.

Menilik dari sejarah perkembangannya, nilai-nilai bushido mulai muncul dan

berkembang pada zaman feodal memegang pemerintahan Jepang kuno. Pada zaman

feodal ini, stratifikasi sosial atau pengelompokan dalam masyarakat amat ketat

dijalankan, dimana bushi atau samurai menempati posisi tertinggi dalam struktur

masyarakat. Golongan samurai amat disegani dan ditakuti oleh masyarakat golongan

lain di bawahnya, terlebih pada zaman Tokugawa, saat diterapkannya politik sakoku

(penutupan diri) dari dunia luar. Hampir selama 250 tahun samurai berada di posisi

tertinggi, sehingga nilai-nilai kesamuraian menjadi sangat tersosialisasikan dalam

masyarakat Jepang. Pun walau akhirnya sakoku berakhir, dan Jepang melakukan

pembukaan diri secara paksa oleh Comodor Perry dari Amerika Serikat (saat restorasi

Meiji) terjadi, nilai-nilai ini tidak tergoyahkan karena sudah terfragmentasi dalam

(25)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Etika bushido berasal dari tiga sumber utama yang terdapat pada masyrakat

Jepang, yaitu: Budhisme, Shinto, dan Konfusionisme.

Budhisme

Ajaran Budhisme dimana terdapat perasaan percaya, tenang pada nasib, pasrah

damai dalam hal-hal yang tidak terelakkan. Contoh : ketenangan hati menghadapi

bahaya atau bencana, rasa bosan hidup, akrab dengan maut. Selain itu, dalam Budha

tidak ada konsep Sang Pencipta dan konsep dosa. Maka dalam kasus ini, mati bunuh

diri tidak ada sangkut pautnya dengan nilai norma doktrinal agama. Yang ada

hanyalah konsep karma dimana "perbuatan yang baik akan berakibat baik pula", dan

begitu pula sebaliknya.

Secara historis, pengaruh agama budha di Jepang berasal dari Cina, yang

sekaligus menjadi wadah masuknya peradaban Cina (Reischauer, 1982:284).

Pengaruh budaya Cina muncul dalam berbagai bidang, antara lain seni, arsitektur,

filsafat, aksara, ilmu pengetahuan sampai administrasi ketatanegaraan. Pengaruh ini

dapat dilihat dengan diadopsinya aksara tulisan Kanji.

Arti penting kehadiran agama Budha di Jepang pada awalnya terletak pada

aspek magis nya. Mantra kerap kali di baca bukan untuk memahami hakikat isinya,

melainkan untuk menggunakan khasiat magisnya, untuk meminta atau meredakan

hujan, menjauhkan bencana, maupun untuk menyembuhkan penyakit.

Pada tingkat psikologis, daya tariknya terletak pada Budha sebagai lembang

kesempurnaan jiwa yang diperlukan dalam mencapai kehidupan akhirat yang

sempurna pula. Menusia diharapkan menjalani kehidupan duniawinya sebaik mungkin

sebagai suatu pencerahan. Masuknya agama Budha bukan berarti agama pribumi

menjadi ditinggalkan, para pendeta menegaskan bahwa pada hakekatnya tidak ada

(26)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Shinto. Dewa matahari bisa disejajarkan dengan sang Budha, dewa Shinto yang lebih

rendah kedudukannya identik dengan dewa Budha yang lebih rendah juga.

Dalam perkembangan agama Budha sendiri yaitu pada abad ke-12 dan abad

ke-13, menandai suatu titik balik dimana timbul kecenderungan kuat untuk

melepaskan agama ini dari unsur-unsur magisnya. Sekte terpenting dan yang paling

besar pengaruhnya adalah sekte Zen. Ajaran ini menekankan bahwa pengetahuan

manusia mengenai pemikiran-pemikiran sang Budha dapat diperoleh melalui

meditasi, ajaran ini memiliki peranan yang besar pada periode pemerintahan shogun

Tokugawa.

Shinto

Shinto adalah agama asli banga Jepang, yang menjadi kultur bagi mereka jauh

sebelum agama atau kepercayaan lain memasuki kehidupan mereka. Shinto secara

harfiah berart jalan para dewa, tidak memiliki naskah atau kitab resmi serta ajaran

yang terorganisir seperti lazimnya sebuah agama atau kepercayaan, bahkan penemu

agama ini tidak diketahui. Tetapi agama ini mampu menjadi landasan religius bagi

hampir seluruh masyarakat Jepang.

Satu-satunya pengaruh Shinto terletak pada mitos yang dikandungnya,

mengenai asal usul kaisar dan sifat kaisar yang diaggap sebagai keturunan langsung

dari dewa. Bangsa Jepang digambarkan berasal dari satu uji, suatu bentuk unit

kekeluargaan semacam marga (Smith, 1974:7). Setiap pemimpin uji bertanggung

jawab dalam menjaga wilayah sendiri, melindungi anggota uji, serta memimpin

upacara pemujaan terhadap dewa pelindung uji atau ujikami. Tidak ada kepastian

yang dipuja tersebut adalah leluhur uji yang didewakan atau dewa yang dianggap

(27)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Untuk meningkatkan kekuasaan dan memperluas wilayah, beberapa uji

melakukan ekspansi ke wilayah tetangga mereka. Akibatnya lambat laun keanggotaan

uji bukan hanya sebatas anggota keluarga saja, tetapi mereka yang ingin bergabung

dengan uji yang lebih kuat karena mereka telah kalah dan menguasai uji yang lebih

kecil atau lemah. Selanjutnya muncul dinasti kekaisaran Yamato yang menjadi

penguasa atas seluruh uji.

Sebelum muncul catatan sejarah yang pertama kali yaitu kojiki pada tahun 712

dan nihonshoki pada tahun 720, telah berkembang suatu konsepsi mengenai leluhur

kekaisaran. Diyakini bahwa leluhur kaisar adalah dewi matahari amaterasu o mikami

yang menurut legenda memberikan tiga buah lambing kekuasaan, yaitu pedang,

permata dan cermin, kepada cucu laki-lakinya yang diturunkan ke bumi bersama

dewa lainnya. Cicit laki-laki adalah Jimmu Tenno tang menjadi kaisar pertama

Jepang. Dalam tradisi masyarakat Jepang dewi Matahari dipuja dengan mendirikan

sebuah kuil pemujaan yaitu tse. Sementara para kaisar selanjutnya adalah keturunan

langsung dari kaisar Jimmu Tenno, disembah secara khusus di pusara-pusara mereka,

meskipun tidak semua pusara mereka belum bisa dipastikan sebagai pusara yang

sebenarnya (Smith, 1974:8).

Mitos Shinto telah menanamkan dalam pemikiran masyarakat Jepang bahwa

kaisar adalah keturunan langsung dari dewi Matahari, oleh sebab itu harus

diberlakukan dan dihormati sebagai makhluk suci. Sampai sekarang, walaupun kaisar

Hirohito pada tahun 1946 mengeluarkan pernyataan bahwa kaisar bukan keturunan

dewa, tetapi kaisar Jepang tetap menjadi pemuka agama bagi agama Shinto dan

merupakan lambang persatuan rakyat Jepang. Kedudukan kaisar di puncak hirarki

sosial bagi dalam struktur masyarakat melahirkan loyalitas dan pengabdian setiap

(28)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Dewa Shinto dipercaya mendiami kuil-kuil, benda-benda alam seperti batu,

gunung, sungai, tanah serta gejala-gejala alam seperti angin, badai dan gempa. Maka

agama Shinto menjadi suatu kombinasi animisme dan pemujaan terhadap alam. Kami

atau dewa disembah malalui sarana upacara-upacara dan pesta-pesta. Syarat penting

untuk berpartisipasi dalam peribadahan kesucian diri dari semua yang dianggap kotor,

seperti paenyakit dan kematian.

Bentuk-bentuk tirual yang kurang lebih sama primitifnya terus ada sampai

awal abad ke-13, diamana bekembang gejala-gejala rasionalisme filosofis dan etis.

Dokumen yng disusun oleh para pendeta menyatakan bahwa sesungguhnya kami lebih

menginginkan kajujuran dan ketulusan hati, serta menyukai kebaikan dari pada

penyembahan yang bersifat meterialistis (Bellah, 1965:64). Dengan demikian

pengertian awal tentang dewa-dewa telah digantikan oleh konsep ketuhanan yang

kedua.

Gaya ritual baru Shinto mensyaratkan setiap pemuja dewa di kuil-kuil Shinto

untuk terlebih dahulu melakukan dua macam penyucian diri, yaitu pengendalian diri

dari pikiran-pikiran yang ambisius akan keinginan duniawi dan yang kedua adalah

memlihara fisik dari kekotoran, yang merupakan sarana untuk mencapai penyatuan

dengan kami.

Konfusius

Kode moral dari ajaran konfusius bersifat universal, mencakup hampir semua

nilai-nilai dalam masyarakat yang agraris pada umumnya. Dan perilaku sosial politik

masyrakat Jepang yang bersumber pada kultur rakyatnya, sesungguhnya hanya dasar

pemikiran rasional oleh pembendarahan konfusius (Bellah, 1965:171).

Masyarakat pada jaman Tokugawa berpijak pada ajaran konfusius. Dalam

(29)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

atasan dan bawahan, hubungan antara suami dengan istri, hubungan antara anak

dengan orang tua, hubungan antara kakak dengan adiknya dan hubungan antar

sesama. Hubungan ini disebut dengan prinsip gorin. Kelima macam hubuingan ini

didasari pada hubungan antara atasan dengan bawahan, dimana yang diatas menjadi

panutan dan pedoman serta menjadi pelindung, dan bawahan tunduk dan taat kepada

atasan.

Pada zaman keshogunan Tokugawa juga dikenal adanya struktur masyarakat,

yaitu: Shi (Bushi) yaitu golongan militer, No (Nomin) yaitu golongan petani, Ko

(Shokunin) yaitu golongan pekerja, Sho (Shonin) yaitu golongan pedagang. Tetapi

walaupun demikian mereka tidak nerhasil membuat suatu konsep shido baru yang

didasarkan pada konsep gorin diatas. Atas desakan tersebut, maka tampil seorang

pemikir Minkan Gakusha (pemikir yang berasal dari kalangan swasta) yang bernama

Yamaga Soko. Namanya sangat dikenal dikalangan shogun, karena dia sempat

diizinkan untuk belajar di istana keshogunan.

Konsep ajaran shido baru dari Soko ini menitikberatkan pada penjelasan akan

gorin terhadap tuan dan bawahan secara mendetail. Menurut Soko ada 10 sikap yang

harus dimiliki oleh bushi dalam mewujudkan moral shido:

1. menjaga perasaan

2. mempunyai kebebasan hati

3. mempunyai harapan

4. kemurahan

5. kecerahan

6. membicarakan giri

7. menerima takdir jiwa dengan pasrah

(30)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

9. kejujuran

10.teguh hati (gusho)

Kesepuluh sikap tersebut, menurut Soko (Watsuji dalam Situmorang, 1995:54)

harus ditetapkan dalam tingkah laku sehari-hari dengan melakukan pekerjaan sebagai

berikut:

1. mengupayakan chuko (kesetiaan pengabdian terhadap tuan dan terhadap ayah)

2. mengutamakan jinggi (kamusiaan)

3. melakukan berbagai penelitian terhadap alam

4. mempelajari tulisan

Kemudian Soko mengatakan bushi harus mempertahankan igi

(kesan/penampilan) dalam kehidupan sehari-hari. Igi tersebut diterapkan dalam cara

berpakaian, cara makan dan tempat tinggal, karena menurutnya luar adalah gambaran

dari isi, jikalau dalam benar maka luarnya akan benar pula.

Penegertian Igi adalah:

1. cara pandang tentang yang dilihat dan didengar

2. etiket dalam berbicara

3. memperhatikan yobo (tampang)

2.3. Etika Moral Bushido

Memasuki jaman Meiji, dimana pemerintahan pusat dikembalikan kepada

kaisar, maka pemerintahan pun dapat mengendalikan rasa kebangsaan penduduknya.

Pada zaman ini hingga berakhirnya perang dunia kedua, segenap masyarakat Jepang

mempunyai hak yang sama dalam urusan bela negara. Namun, karena kebanyakan

pemegang kendali pemerintahan Meiji, Taisho, dan Showa berasal dari keturunan

(31)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

diterapkan dalam semua lini kehidupan masyarakat Jepang, terutama di bidang

pendidikan dan militer. Diantara nilai-nilai bushido yang diterapkan tersebut adalah

sikap rela mati untuk keagungan Kaisar yang berlaku sebagai kepala pemerintahan

yang sekaligus keturunan dewa tersebut. Pengendalian sikap politik penduduk Jepang

oleh golongan militer pada masa perang Cina-Jepang dan Perang Asia Raya

menimbulkan dampak negative bagi sebagian besar penduduk Jepang sendiri, yakni

terampasnya hak-hak individual untuk menenentukan nasibnya sendiri.

Karena bushido merupakan system moral maka sesungguhnya etika yang

terkandung adalah etika moral. Kandungan etika moral bersifat altruistik, yaitu etika

moral yang berpusat pada rasa kemanusiaan. Potensi moral yang diwarisi oleh bangsa

Jepang telah menemukan bentuknya sebagai tatanan moral setelah konfusionisme

datang. Etika konfusionisme yang bersifat kemanusiaan sangat cepat diterima bangsa

Jepang, hal ini terjadi karena bangsa Jepang memiliki karakteristik yang hampir sama

dengan bangsa Cina yang membawa ajaran konfusionis.

Etika moral bushido menurut Nitobe (1969: 23-93) adalah: keberanian,

kejujuran, keteguhan hati, kehormatan, kesopanan, ketulusan hati, kebajikan serta

kesetiaan.

Keberanian

Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan

kelompoknya (pengaruh "sistem ie"). Orang Jepang bahkan sampai berani dan rela

mati demi membela kelompoknya tersebut. Sikap ini sangat terkait dengan nilai-nilai

bushido lainnya. Apabila pada suatu ketika dimana orang Jepang merasa tugas yang

dijalankannya gagal, ia merasa bertanggung jawab dan sangat malu. Sebagai

konsekuensinya, ia rela menjalani hukuman mati dengan melakukan seppuku atau

(32)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

memilih mati, karena masyarakat Jepang menganggap mati lebih terhormat daripada

hidup menanggung malu.

Kejujuran

Kejujuran merupakan keyakinan dalam ajaran code of the samurai. Di dalam

diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan

perbuatan yang tidak jujur. Ajaran bushido mendefenisikan kejujuran sebagai suatu

kekuatan resolusi, kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa

keragu-raguan. Samurai siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti

sebagai samurai jika dianggap sebagai suatu kebenaran.

Konsep kejujuran dalam bushido adalah pembuatan keputusan dengan alasan

yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah giri. Giri adalah alasan oleh seseorang untuk

memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap terhadap orang tua, senior atau superioritas

dan kepada masyarakat luas. Kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai.

Jika seseorang bersikap jujur dan berjalan diatas jalan lurus, dapat dipastikan bahwa

dia adalah orang yang berani. Pengertian berani bukan hanya mengacu pada

keberanian, tetapi juga pada berani menghadapi cobaan hidup.

Kejujuran dikalangan samurai merupakan suatu etika yang tidak dapat

diragukan lagi. Samurai harus tegas kapan harus membunuh dan kapan harus mati,

asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus sesuai

dan didasari oleh kejujuran dan akal sehat, tanpa kecerobohan dan kecurangan.

Keteguhan hati

Keteguhan hati merupakan sikap yang pantang menyerah, yaitu seseorang

yang dapat bangkit dari keterpurukan atau kekalahan karena berlandaskan

(33)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Etika keteguhan hati ini sejalan dengan tiga prinsip dasar samurai, yaitu chi, jin dan

yuu. Chi menekankan pada ajaran kebijaksanaan, jin menekankan pada kasih sayang

dan keserasian dengan alam dan yuu menekankan pada keberanian dan keteguhan

hati.

Kebajikan

Cinta, kemurahan hati, kasih sayang untuk orang lain. Simpati dan rasa belas

kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan

semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat

sewenang-wenang. Menurut Nitobe bahwa rasa kasih sayang yang dimiliki kaum

samurai tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa. Tetapi pada seorang

samurai harus didukung oleh sebuah kekuatan untuk membela dan melindungi.

Kesopanan

Menurut Nitobe bahwa etika kesopanan masyarakat Jepang sudah terkenal ke

seluruh dunia. Dan sifat itu merupakan unsur kemanusiaan tertinggi dan hasil terbaik

dari hubungan masyarakat. Kesopanan dalam masyrakat Jepang bermula dari tata cara

yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain,

bagaiman sikap dalam berjalan, duduk, diajar dan mengajar dalam bentuk kepedulian.

Kehormatan

Kehormatan merupakan implikasi dari suatu kesadaran hidupakan martabat

individu yang berharga. Menurut Nitobe seroang samurai dibesarkan dengan

nilai-nilai kewajiban dan keistimewaan profesi atau kedudukan mereka, bahwa kehormatan

adalah kemuliaan pribadi yang mewarnai jiwa mereka.

Di dalam bahasa Jepang ada istilah na (nama), memoku (wajah), guaibun

(pendengaran), yang merupakan sebagai reputasi atau nama baik seseorang. Nama

(34)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Kalau tidak dijaga reputasi itu bisa jatuh dan memberikan kesan yang tidak baik pada

orang lain, dan kehormatan itu telah ada sejak manusia itu ada dalam kandungan

ibunya. Hilangnya kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah hal yang sangat buruk

dan merupakan hukuman yang sangat dihindari. Kesadaran akan mempertahankan

kehormatan bagi masyarakat Jepang adalah menolak segala bentuk penghinaan.

Seppuku atau bunuh diri dengan cara memotong perut sendiri adalah merupakan suatu

upacara ritual untuk mempertahankan kehoramtan dan keberanian.

Landasan filosofi yang diperlihatkan dalam etikan kehormatan ini adalah

adanya kebutuhan bagi suatu undividu untuk menerima suatu penghargaan berupa

hasil kerja. Dalam etika bushido adalah kehormatan bisa dicapai sejalan dengan

bertambahnya usia dan pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga

dengan baik, karena reputasi yang dibangun selama hidup seorang samurai dapat

hilang dengan seketika bila berbuat suatu kesalahan.

Kesetiaan

Kesetiaan adalah Kesetiaan yang diterapkan dalam ajaran bushid adalah

kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya.

Dalam menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap

aturan-aturan yang ditetapkan oleh tuannya. Ajaran konfusius menempatkan kesetiaan

kepada orang tua adalah hal yang paling utama. Di Jepang kesetiaan terhadap atasan

adalah hal yang menempati urutan teratas. Makna kesetiaan pertamakali terlihat dari

adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial

kolektif untuk mempertahankan wilayah mereka dari ancaman dari luar.

Pemerintahan yang berkuasa pertamakali adalah kaisar Jimmu (abad 6 SM).

Makna kesetiaan yang muncul pada pemerintahan kaisar ini adalah disamping makna

(35)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

memiliki derajat kesucian yang tinggi sebagi anak cucu dewa matahari.Kesetiaan

terhadap kaisar ini tidak hanya dalam hal keduniawian tetapi juga dalam hal

keabadian. Pemenuhan kewajiban yang dapat diartikan dari sifat religius dilakukan

dengan bertindak setaat mungkin terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dengan cara

mengabdi sepenuhnya terhadap atasan. Hal ini dianggap sebagai cara terbaik sebagai

cara terbaik untuk mendapatkan berkah lindungan dari para leluhur dan para dewa

untuk mencapai kondisi yang harmonis.

Setelah masuknya ajaran konfusionisme dan budhisme dari china (abad 6),

telah memunculkan makna-makna baru dari kesetiaan. Dengan berlandaskan pada

kita-kitab konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral. Nilai moral yang

terkandung didalamnya adalah nilai moral sosial, karena berdasarkan adanya

hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesame, terhadap

pejabat pemerintahan dan terhadap kaisar. Pengaruh konfusionisme terhadap

perkembangan makna kesetiaan semakin tampak nyata dengan perintah kaisar

terhadap rakyat Jepang, yang menghendaki rakyat memiliki kesetiaan yang besar

terhadap kaisar.

Pada masa pemerintahan bakufu, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh

shogun dan kaisar hanya sebagai symbol memunculkan suatu makna baru dari

kesetiaan. Makna kesetiaan yang lebih bersifat politik, yaitu kesetiaan terhadap

pejabat pemerintah, terutama daimyo dan shogun, dimana system pemerintahan

bersifat feodalisme.Kebudayaan feodal Jepang berbeda dengan feodalisme Cina,

walaupun mendapat pengaruh dari Cina. Hal ini tampak pada pengaruh samurai

meletakkan tekanan-tekanan utama pada kebikan militer tentang keberanian,

(36)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

pada pemerintahan bakufu adalah kesetiaan, karena seluruh sistemnya tergantung

pada ikatan kesetiaan pribadi (Reischauer, 1982:76).

Kesetiaan pada pengusasa amat penting dalam ajaran konfusionisme, tetapi

lebih di batasi oleh kesetiaan terhadap keluarga. Sesungguhnya tiga dari lima etika

dasar konfusionisme ada kaitannya dengan kapatuhan anak dan kesetiaan keluarga

lain. Di Jepang pada masa pemerintahan bakufu, kesetiaan kepada tuan lebih berpusat

terhadap seluruh system, sehingga kepada keluarga yang bersifat kelompok lebih

besar menjadi lebih penting dari pada keluarga sendiri. Makna kesetiaan menjadi

lebih penting pada pangabdian terhadap kepentingan kelompok dari pada perorangan

dalam dimensi politik. Perkembangan yang demikian terjadi hingga abad-19 atau

sampai pada jaman restorasi meiji, yaitu dengan berakhirnya kekuasaan shogun

Tokugawa, kesetiaan dikembalikan pada makna semula yang selalu melekat pada

kehormatan dan eksistensi para samurai. Sehingga nilai kesetiaan memiliki makna

yang naturalistik, humanistik, religius dan politik serta kesetiaan terhadap kaisar dan

bangsa.

2.4. Novel Shiosai 2.4.1. Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pangarang yang melatarbelakangi

ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka

tema yang terkandung dalam suatu karya sastra bisa sangat beragam. Tema bisa

berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait

dengan erat dengan masalah kehidupan. Namun tema bisa berupa pandangan

pengarang, ide, atau keinginan pengarang yang menyiasati persoalan yang muncul.

Dalam novel Shiosai karya Yukio Mishima ini, tema yang diusung adalah

(37)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

keagungan cinta, dalam novel ini terselubung ajaran “berani berbuat dan berani

bertanggungjawab”, bahwa seseorang harus berani menentukan sikap dalam setiap

permasalahan dan tidak lari dari masalah.

2.4.2. Alur/Plot

Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sbuah karya fiksi adalah plot

cerita. Dalam analisis cerpen, plot sering pula disebut dengan istilah alur. Dalam

pengertiannya yang paling umum plot atau alur dapat diartikan sebagai keseluruhan

rangkaian peristiwa yang ada dalam satu cerita. Alur atau plot diartikan juga sebagai

suatu konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara

logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan dan dialami oleh para pelaku.

2.4.3. Penokohan

Sebagian besar tokoh karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan. Kendati hanya

rekaan atau imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan salah satu sarana

penting dalam membangun suatu cerita. Tokoh-tokoh tersebut bukan hanya berfungsi

dalam memainkan cerita, tetapi juga berperan dalam memainkan ide, motif, plot dan

tema. Semakin berkembangnya ilmu jiwa, terutama psiko-analisa, merupakan salah

satu alasan pentingnya peranan tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan oleh

pengarang.

Tahap ini menguraikan latar cerita atau penokohan.

• Tahap pengenalan

Yaitu dengan memperkenalkan tokoh utama yaitu Shinji yang pekerjaan

(38)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Lalu Hatsue anak dari pemilik kapal dan orang terkaya di desa itu, yaitu

Terukichi Miyata, yang menaruh hati pada Shinji.

• Tahap penampilan masalah/konflik

Ditahap ini, Shinji dan Hatsue mendapat larangan untuk berhubungan oleh

ayah Hatsue, yaitu Terujichi Miyata. Dan ditandai munculnya tokoh antagonis,

yaitu Chiyoko dan Yasuo. Chiyoko adalah wanita yang menaruh simpati

terhadap Shinji, dan seorang yang terpelajar, dan Yasuo adalah seorang

pemimpin sebuah perkumpulan pemuda di desa itu, yang sangat

mengidam-idamkan menjadi pendamping Hatsue.

• Tahap konflik memuncak

Dalam tahap ini Shinji dan Hatsue mulai tidak mendapat simpati dari keluarga

mereka, dimana mereka sudah menjadi bahan pembicaraan orang-orang di

desa itu. Shinji menjadi bahan pembicaraan oleh teman-temannya di

perkumpulan pemuda dan Hatsue dimarahi oleh ayahnya dan melarang dia

untuk bertemu dengan Shinji.

• Puncak ketegangan/klimaks

Tahap ini dimana ibu Shinji mendapat perlakuan yang arogan dari ayah

Hatsue, dengan diusir dari rumahnya, dan dia merasa terhina. Shinji dimarahi

ibunya karena bergaul dengan Hatsue.

• Tahap ketegangan menurun

Di sini, Shinji mendapat kesempatan untuk membuktikan bahwa dialah yang

cocok menjadi pendamping Hatsue dengan keberanian dan tanggung jawab

yang diberikan kepadanya.

(39)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

Dalam tahap ini, Terukichi Miyata telah memilih calon menantunya, yaitu

Shinjii, yang dengan pemberitahuan kapten kapal, bahwa dia lebih baik dari

pada Yasuo, seorang penakut. Dan Terukichi memberi Shinji kesempatan

untuk mempersunting anak perempuannya. Karena Shinji telah membuktikan

keberanian dala menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

2.4.4. Sudut Pandang

Sudut pandang atau cara bercerita adalah kedudukan pencerita atau penulis

dalam membawakan cerita atau kisah. Ada beberapa macam sudut pandang atau cara

bercerita.

• Sudut pandang orang pertama

Pengarang memakai istilah aku untuk menghidupkan tokoh, seolah-olah dia

menceritakan pengalamannya sendiri.

• Sudut pandang orang ketiga

Pengarang memilih salah seorang tokohnya untuk menceritakan orang lain,

tokoh yang diceritakan itu disebut dengan dia.

• Sudut pandang pengarang sebagai pencerita (objective point of view)

Pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seolah-olah pembaca

menonton pementasan sandiwara. Pembaca hanya dapat menafsirkan cerita

berdasarkan kejadian, dialog, dan perbuatan para pelakunya karena pengarang

tidak memberikan petunjuk atau tuntunan terhadap pembaca.

• Sudut pandang serba tahu (omniscient point of view)

Pengarang seolah serba tahu akan segalanya. Ia dapat menciptakan apa saja

(40)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

diinginkannya. Pengarang dapat mengomentari kelakuan para pelakunya dan

ia dapat berbicara langsung dengan pembaca

Dalam novel Shiosai ini, sudut pandang yang digunakan oleh Yukio Mishima

adalah sudut pandang serba tahu (omniscient point of view). Dimana Mishima

menceritakan semua apa saja yang ia perlukan untuk mencapai tujuannya, yaitu

dengan menjelaskan setiap karakter dari pada tokoh-tokohnya. Shinji yang merupakan

seorang pekerja keras dan bertanggung jawab dalam setiap tindakannya. Hatsue yang

pendiam dan taat kepada perintah ayahnya, dan ayah Hatsue, yaitu Terukichi Miyata

adalah orang terkaya di pulau itu, digambarkan sebagai orang yang keras dan disiplin,

dia adalah orang yang sangat disegani.

2.4.5. Latar/Setting

Dalam karya sastra, setting merupakan elemen pembentuk cerita yang sangat

penting, karena elemen tersebut dapat menggambarkan situasi umum sebuah karya.

Walaupun setting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam

cerita, keberadaan setting hakikatnya tidaklah hanya untuk menyatakan di mana,

kapan dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan

gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu

cerita ditulis. Dari kajian setting dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi

antara perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan

pandangan masyarakatnya.

Dalam novel Shiosai ini, menggambarkan sebuah kehidupan para nelayan

yang hidup di sebuah pulau, yaitu utajima, dan watak dan perilaku para tokohnya

(41)

Anto Gultom : Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku), 2009.

USU Repository © 2009

cerita ini lebih menonjolkan kultur dan kebiasaan masyarakat desa di Jepang pada

umumnya.

2.4.6. Amanat

Amanat adalah hal yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca,

yang berkaitan dengan tema. Amanat disebut juga hikmah cerita. Amanat dapat

berupa paham-paham tertentu, nasihat-nasihat, ajakan, atau larangan. Anda dapat

mengetahui amanat yang disampaikan pengarang setelah membaca seluruh karangan.

Dalam novel Shiosai ini, Mishima mengajak penikmat atau pembaca untuk

tidak mencoba lari dari kenyataan, tetapi harus berusaha untuk menlesaikan masalah

yang datang. Dan dalam setiap pekerjaan atau tindakan pasti ada ganjaran yang di

terima

.

2.5. Riwayat Pengarang

Penulis yang produktif, dan oleh para kritikus sastra merupakan salah satu

novelis yang sangat penting pada abad 20 di Jepang. Karya-karya Yukio Mishima

termasuk 40 novel, puisi, essay, dan naskah Kabuki serta naskah drama Noh modern.

Dia tiga kali dicalonkan sebagai nominasi penerima hadiah Nobel untuk

kesusasteraan. Karyanya yang paling diakui adalah Candi novel yang berjudul The

Temple of the Golden Pavilion (1956). The tetralogy The Sea of Fertility (1965-70)

dianggap sebagai prestasi Mishima dalam dunia sastra yang paling banyak mendapat

penghargaan. Sebagai penulis Mishima mengambil ilham dari kesusasteraan

pramodern, baik novel, puisi, essay dan naskah Kabuki dan Noh modern.

Yukio Mishima terlahir dengan nama Kimitake Haraoka di Tokyo, anak lelaki

Referensi

Dokumen terkait

Gambang : Alat musik pukul tradisional yang dibuat dari bilah-bilah kayu atau bambu yang panjang dan besarnya tidak sama, dimainkan dengan cara dipukul. Rumpun :

penting dari itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut keluar dari kelas, yaitu pada saat itu di tuntut untuk menanggapi dan memecahkan

yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi: (1) per siapan media tanam, tanah sebagai media tanam diper oleh dar i lokasi 1 kebun, diber sihkan dan dimasukkan ke

Kyriacou, “The Asymptomatic, Carotid, Stenosis and Risk of Stroke (ACSRS) study, ” Int. Barsotti, “Ultrasound morphology classification of the arterial wall and cardiovascular

Instruksi Kerja Layanan Pembaca diberikan kepada para pemustaka yang ingin membaca atau mencari koleksi perpustakaan yang dimiliki perpustakaan FMIPA

Pada bab ini membahas mengenai pentingnya mempelajari bahasa Inggris, tujuan dari pembuatan data mart , cakupan dari data warehouse , dan manfaat yang diterima dari hasil

[r]

Dari analisa yang dilakukan pada model rantai di atas didapatkan hasil tegangan Von Mises yang terbesar pada daerah antara sambungan rantai sebesar 6,81 x 10 8 Pa