BAB IV PEMAHAMAN ETIKA
IV. 1 Etiket, Kode Etik, Nilai, Norma, dan Moral
“Etika” tampaknya bukan istilah yang asing dalam kehidupan keseharian. Namun, pemahaman atasnya seringkali terbilang kabur atau kurang jelas. Etika kadang dianggap serupa dengan etiket. Moral pun turut dinilai sebagai etika. Bahkan, istilah kode etik yang banyak digaungkan para anggota dewan, dan pekerja di instansi tertentu banyak menyamakannya dengan etika. Begitupun dengan nilai dan norma yang masih dianggap sama pengertiannya dengan etika.
Pertanyaan selanjutnya tentu, apa itu etika? Sebelum menerangkan definisi atau pengertian lengkapnya, mari sepakat etika bukan etiket, kode etik, moral, nilai, dan norma. Bahkan, etis dalam pengertian umum pun cenderung tertuju pada etiket, dibanding etika. Misalnya saja, suatu waktu seorang artis berlaku yang tidak sesuai tata krama, lalu ada komentar, “dia tidak etis!” Ungkapan etis itu lebih merujuk pada etiket, daripada etika yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Jika sudah sepakat, tampaknya perlu diperjelas pengertian dari etiket, kode etik, nilai, norma, dan moral. Pertama, etiket
merupakan serapan dari bahasa Perancis dan Inggris, etiquette, yaitu ketentuan yang
mengatur sikap sopan dan santun. Aturan itu disepakati sekelompok masyarakat, dibuat untuk mengatur tingkah laku individu dalam relasi dengan sesamanya dalam kehidupan keseharian. Dalam kalimat lain, etiket merupakan seperangkat aturan yang menunjukkan perilaku yang disepakati masyarakat.
Gambar 1. Contoh etiket table manner di Denmark
Sumber: http://mashable.com/wp‐ content/uploads/2016/01/Table‐Etiquette‐03.jpg
Ketentuan itu dilakukan dalam kehidupan keseharian, mulai dari menulis status di sosial media seperti twitter, atau saat melansir foto di instagram, tentu pada saat menulis surat elektronik/e‐mail. Etiket juga ditemukan pada table manner, yaitu tata cara makan dan minum saat perjamuan. Pengetahuan mengenai etiket dapat diturunkan melalui kebiasaan, tradisi, dan pendidikan. Artinya, etiket dalam satu komunitas tertentu dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Dengan demikian, etiket sebagai perangkat aturan ditentukan oleh kesepakatan masyarakatnya.
Sementara itu, bagaimana dengan kode etik? Ungkapan “pelanggaran kode etik” sering ditemui dalam pemberitaan media, misalnya saja saat ada pejabat negara yang menerima gratifikasi. Pengertian kode etik sebenarnya tidak jauh berbeda dengan etiket. Namun, cakupan kode etik lebih khusus ke komunitas profesional tertentu, misalnya saja lembaga, instansi pemerintah, perusahaan, universitas, sekolah, dan tempat lain yang memperkerjakan para tenaga ahli dan profesional. Kode etik atau code of conduct (CoC) merupakan pedoman menjaga prinsip profesionalitas dalam bekerja. Artinya, kode etik itu tidak hanya menjadi acuan dalam mengerjakan tugas sesuai standar yang ditetapkan, tetapi turut mengatur sikap saat berelasi dengan sesama pekerja juga pihak lain yang terkait.
Misalnya saja, kode etik jurnalistik mengharuskan para pewarta berita untuk independen, berimbang, dan memiliki itikad baik dalam menuliskan berita. Seorang jurnalis juga harus menerapkan sikap profesional dalam tugas jurnalistiknya. Sikap profesional itu diantaranya: 1. Menunjukkan identitas ke narasumber; 2. Menghormati hak privasi; 3. Tidak menyuap; 3. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; 4. Tidak merekayasa berita, tidak melakukan plagiat; 5. Menghormati pengalaman traumatik narasumber.
Perlu dipahami, kode etik tidak berlaku umum atau universal. Namun, pedoman itu bergantung pada jenis profesi dan bidang pekerjaannya. Tentunya, kode etik seorang jurnalis berbeda dengan pedoman yang mesti ditaati dosen dan mahasiswa di lingkungan universitas. Contohnya saja, kode etik dosen Universitas Indonesia disusun mencakup empat bidang, yaitu terkait profesionalisme, universitas, mahasiswa, dan masyarakat. Kode etik dosen terkait profesionalisme, diantaranya, jujur, disiplin, objektif dan adil saat menjaga hubungan profesional, apresiatif terhadap kolega, jujur, dan tidak melakukan plagiat. Sementara itu, kode
etik dosen terkait mahasiswa, yaitu menghargai mahasiswa secara personal dan mitra intelektual (Pedoman Mutu Akademik Universitas Indonesia, 2007). Pelanggaran kode etik, dengan begitu, tidak melibatkan hukum negara, atau sanksi sosial dari seluruh masyarakat. Sanksi pelanggaran kode etik diberikan pihak lembaga atau instansi tempat bekerja tersebut, biasanya melalui sidang dan putusan dari Dewan Kehormatan (DK) lembaga.
Konsep lain yang pemahamannya sering disamakan dengan etika adalah nilai dan norma. Kedua konsep itu sebenarnya juga sering dipergunakan dalam pengertian yang dianggap serupa. Namun, nilai dan norma merupakan konsep yang memiliki pengertian berbeda. Nilai atau value merupakan standar universal dalam bersikap dan bertindak. Maksudnya, nilai tidak dibatasi oleh batas geografis, atau komunitas tertentu. Nilai juga tidak dibatasi oleh waktu. Nilai dari masa Yunani Kuno, hingga Abad Kontemporer dipahami dalam pengertian yang sama. Contoh nilai diantaranya, keadilan, kejujuran, kebaikan, kebenaran, keindahan, kebebasan, dan kepedulian.
Sisi lain, norma atau norms merupakan arahan (guidelines) bertindak yang disepakati oleh komunitas tertentu. Dengan begitu, norma berbeda dengan nilai. Norma tidak bernilai universal, melainkan partikular. Norma bergantung pada konteks waktu, sejarah, tradisi, kebudayaan, wilayah geografis dari komunitas tertentu. Norma memberi panduan bagaimana
individu bertindak, yaitu apa yang harus dilakukan dan tidak. Norma memang terhubung dengan nilai, misalnya saja, larangan tidak boleh mencontek. Nilai yang terkandung dalam norma itu misalnya, kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Sekilas, norma tampak serupa dengan etiket. Namun, keduanya berbeda terutama dalam cakupan aturannya. Etiket mengarahkan agar individu bersikap sopan dan santun. Sementara itu, norma tidak sebatas mengatur cara bersikap, tetapi lebih jauh ke pedoman bertindak.
Konsep terakhir yang sering disamakan pengertiannya dengan etika adalah moral. Dalam konteks ini, moral memang terkait erat dengan etika. Walau, moral bukan etika. Moral merupakan panduan yang mengarahkan individu memutuskan mana tindakan baik dan buruk. Tentunya, putusan baik dan buruk itu dilandasi beragam faktor dan sumber. Ada yang mendasari moral pada teks suci agama, nilai, atau norma yang berkembang di masyarakat. Dalam moralitas, sering ditemui istilah immoral dan amoral. Keduanya punya pengertian berbeda. Individu yang bertindak tidak sesuai dengan aturan moral disebut immoral, tetapi perbuatan seseorang yang tidak memuat dimensi moralitas disebut amoral.
Contoh terkait moral, “membunuh itu salah, sementara memberi makan orang kelaparan itu baik.” Pembenaran atau justifikasi terhadap putusan baik dan buruk itu dapat melihat pada konsep nilai atau dari aturan agama. Maksudnya, pembunuhan itu buruk karena melanggar nilai kebebasan dan kehidupan dari individu lain. Begitupun halnya dengan memberi makan ke orang kelaparan dianggap baik karena sesuai dengan nilai kebaikan. Justifikasi moral juga dapat diberikan teks suci dari agama. Misalnya, membunuh itu buruk karena dalam aturan agama pembunuhan itu dilarang. Moralitas berhenti pada satu putusan baik dan buruk. Kebenarannya dianggap final dan tidak dapat diperdebatkan.
Persoalannya kemudian, seseorang banyak dihadapkan pada putusan yang tidak mudah ditentukan baik dan buruknya. Dunia keseharian yang dijalani tiap orang seringkali tidak bernilai hitam atau putih, benar atau salah. Ada semacam keraguan dalam menentukan apakah suatu tindakan itu baik atau buruk. Kondisi semacam itu yang dinamakan sebagai dilema moral (moral dilemma), yaitu kondisi dilematis dalam menentukan putusan moral.
Dalam kebuntuan itu, etika hadir sebagai alat atau perangkat memahami, mengkaji, atau menganalisa suatu putusan moral. Etika berupaya membantu seseorang memahami alasan, sumber, justifikasi, akar, dan status dari suatu putusan moral. Dengan demikian, etika sering disebut sebagai filsafat moral. Dalam konteks ini, sederhananya, filsafat adalah aktivitas atau perangkat untuk mengkaji secara analitis, radikal, dan komprehensif suatu fenomena. Etika disebut sebagai filsafat moral karena objek kajiannya adalah moralitas, misalnya saja mengapa suatu putusan dianggap baik atau buruk? Apa pembenaran atau justifikasinya? Bagaimana seseorang memahami nilai baik dan buruk tersebut?
Beranjak dari ulasan tersebut, tulisan selanjutnya akan membahas etika lebih mandalam. Ada tiga bagian utama dalam tulisan ini. Bagian pertama akan mengulas definisi etika, penempatannya dalam filsafat, dan ruang lingkupnya. Bagian kedua akan memetakan sejarah pemikiran dari etika. Bagian ketiga memuat dua aliran etika yang cukup dominan, yaitu Deontologi dan Utilitarian, serta bagaimana keduanya mengatasi dilema moral dalam menentukan suatu tindakan.