II.. 3 Filsafat sebagai Aktivitas Evaluasi Argumentas
III.1. Apa itu Logika
5 Klasifikasi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai
Klasifikasi hendaknya disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Misalnya, pengklasifikasian tumbuhan dalam bidang biologi. Hal itu sangat bergantung pada tujuan teknis bidang tersebut. Jika hendak memperjelas lingkungan pada tumbuhan hidup, tujuannya lebih tepat diklasifikasikan menjadi ‘lingkungan kering (xerofit)’, ‘lingkungan air (hidrofit)’, dan hidup di ‘lingkungan lembap (higrofit)’. Akan tetapi, jika hendak memperjelas tumbuhan terkait dengan manfaatnya, fungsinya lebih tepat diklasifikasikan menjadi ‘tanaman obat‐obatan, ‘tanaman hias’, ‘tanaman pangan’ dan sebagainya.
Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait dengan prinsip‐prinsip pengklasifikasian, terutama terkait dengan kesulitan yang muncul. Pertama, prinsip‐prinsip pengklasifikasian secara murni dalam praktek sangat sukar dikarenakan adanya sejumlah konsep yang sulit ditentukan batas‐batasnya secara tegas. Misalnya, ‘barang’ diklasifikasikan menjadi subkelas ‘barang mahal’ dan ‘barang murah’ atau ‘orang’ diklasifikasikan menjadi subkelas ‘orang tradisional’ dan ‘orang modern’. Dalam contoh tersebut, subkelas tidak memiliki batas yang jelas dan kriteria yang digunakan untuk pengklasifikasian tersebut lebih mencerminkan penilaian yang subjektif. Kedua, ada bentuk pengklasifikasian ke dalam dua subkelas semata. Bentuk pengklasifikasi ini dikenal sebagai klasifikasi dikotomis.
Istilah dikotomi, secara etimologis dari bahasa Latin dichtomia yang berarti pembagian secara dua‐dua atau berpasangan. Hal ini dilakukan dengan dua alasan yang berbeda; yaitu dikarenakan terbatasnya pengetahuan kita akan subkelas‐subkelas dari kelas induk atau dikarenakan tujuan‐tujuan tertentu dari pengklasifikasian. Jika didasarkan pada alasan yang pertama, maka dikotomi tersebut bisa nyatakan sah.
Akan tetapi, jika didasarkan pada asalan yang kedua, maka dikotomi tersebut terkait erat dengan ‘teknik hitam‐putih’ dan lebih dikenal dengan klasifikasi dikotomi keliru. Hal ini banyak ditemukan dalam propaganda, di mana klasifikasi dikotomi itu dilakukan dengan sengaja terkait tujuan
politis untuk menyederhanakan persoalan menjadi dua pilihan saja. Bentuk pengklasifikasi ini dikenal sebagai klasifikasi dikotomis. Misalnya, ‘orang Indonesia’ pada masa perjuangan kemerdekaan diklasifikasikan menjadi ‘orang Indonesia prorevolusi’ dan ‘orang Indonesia kontrarevolusi’.
III. . . Definisi
Secara etimologis, kata definisi berasal kerja definere yang dalam bahasa Latin mempunyai arti ‘membatasi atau mengurung dalam batas‐batas tertentu’ (Hayon, 2000). Dalam kegiatan akademis, definisi selalu berhubungan dengan istilah yang hendak dijelaskan. Artinya, definisi bisa dimengerti sebagai penentuan batas konseptual bagi suatu istilah. Oleh karena itu, definisi mempunyai dua tujuan, yaitu; memberikan rumusan yang lengkap terkait dengan istilah yang didefinisikan dan mampu memperlihatkan perbedaan antara satu istilah dengan istilah yang lainnya.
Pendefinisian suatu konsep dalam kegiatan akademis sangat penting dikarenakan dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman terkait dengan konsep tersebut. Kerancuan pemahaman akan sulit dihindari bila dari awal percakapan akademis tidak terlebih dahulu menerangkan secara definitif apa yang dimaksud dengan sebuah konsep tertentu. Sebuah definisi mengandung dua unsur, yaitu hal yang didefinisikan disebut definiendum dan hal yang mendefinisikan atau menjelaskan arti difiniendum tersebut disebut definiens. Di sini perlu ditegaskan bahwa definiens bukan arti dari definiendum, melainkan suatu istilah atau kelompok istilah yang terkait dengan konteks definisi mempunyai arti yang sama dengan definiendum. Lebih jelasnya perhatian tabel berikut:
Tabel Dua Unsur Definisi
Definiendum Definiens
Istilah yang hendak dijelaskan artinya Perumusan atau penjelasan yang diberikan
Pemahaman terkait dengan klasifikasi yang telah dijelaskan di atas sangat membantu kita untuk menyusun suatu definisi yang tepat terkait dengan konsep ataupun istilah tertentu. Misalnya kita ingin melakukan suatu definisi mengenai sebuah konsep bukanlah hal yang sulit bila kita mengetahui dengan baik apa yang merupakan kelas induk (genus proximum) dan ciri spesifik yang dimiliki oleh konsep tersebut sebagai suatu subkelas yang membedakannya dari subkelas‐subkelas lainnya (differentia spesifica). Misalnya, kita ingin mendefinsikan apa itu manusia.
Kita tahu bahwa kelas induk dari manusia adalah makhluk hidup (genus proximum) dan ciri spesifik yang dimiliki oleh konsep manusia sebagai subkelas yang membedakannya dari subkelas‐ subkelas lainnya (dalam konteks ini, hewan dan tumbuhan) adalah berakal budi (differentia spesifica). Oleh karena itu, manusia dapat didefinisikan secara tepat sebagai makhluk hidup (genus proximum)
yang berakal budi (diffrentia spesifica). Penyusunan suatu definisi yang tepat haruslah mengikuti ketentuan tertentu. Berikut prinsip‐prinsip yang bisa diaplikasikan untuk menghasilkan sebuah definisi yang tepat:
Tabel Prinsip‐Prinsip Definisi
No Prinsip Definisi Penjelasan dan Contoh
1 Definiens harus bisa dibolak‐
balikkan definiendum.
Prinsip ini menjelaskan bahwa definies tidak boleh lebih luas atau lebih sempit dari definiendum. Apabila ada perbedaan dalam luas cakupan konseptual mengakibatkan kedua unsur definisi tersebut tidak dapat dipertukarkan.
Contoh 1: ‘Elang adalah burung yang dapat terbang’. Definisi ini tidak tepat dikarenakan ‘burung yang dapat terbang’ lebih luas cakupan konseptualnya daripada ‘elang’ sehingga kalau dibalikkan ‘Burung yang dapat terbang adalah elang’ terjadilah kekeliruan.
Contoh 2: ‘Kursi adalah tempat duduk yang terbuat dari kayu’. Definisi ini tidak tepat dikarenkaan ‘tempat duduk yang terbuat dari kayu’ lebih sempit cakupan konseptulnya daripada ‘kursi’ (kursi bisa saja tidak terbuat dari kayu, tetapi besi misalnya).
Oleh karena itu, jika tidaknya pembalikan posisi difiniens dan definiendum adalah cara pengujian yang efektif terkait dengan tepat atau tidaknya sebuah definisi.
2 Definiendum tidak boleh masuk
ke dalam definiens
Prinsip ini menjelaskan bahwa kata atau kelompok kata yang mendefinisikan tidak boleh menggunakan kata yang didefinisikan. Jika terjadi, hal itu hanya akan membentuk definisi yang sirkular atau tautologis disebut dengan circulus in defienindo.
Contohnya, ‘Logika adalah ilmu yang mempelajari aturan‐aturan logika’. Dalam konteks ini, definisi ini tidak tepat dikarenaka istilah logika tetap tidak terjelaskan karena istilah itu justru diulang atau masuk di dalam penjelasan atasnya.
3 Definiens harus dirumuskan
secara jelas.
Prinsip ini menegaskan bahwa definiens tidak boleh dinyatakan dalam bahasa yang kabur atau kiasan. Pelanggaran atas prinsip ini menghasilkan apa yang disebut dengan obscurum per obscurius yang berarti menjelaskan sesuatu dengan keterangan yang lebih tidak jelas atau ignotum per ignotius yang berarti mendefinisikan sesuatu yang tidak diketahui dengan sesuatu yang lebih tidak diketahui lagi.
Contohnya, ‘Kegalauan adalah situasi tidak adanya konspirasi dan harmonisasi hati dalam kelabilan ekonomi’. Definisi ini bukanlah definisi yang tepat dikarenakan menggunakan bahasa yang kabur dan tidak memberikan penjelasan apa pun terkait dengan definiendum.
4 Definiens tidak boleh