• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai

Dalam dokumen BAB I KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER (Halaman 43-46)

II.. 3 Filsafat sebagai Aktivitas Evaluasi Argumentas

III.1. Apa itu Logika

5   Klasifikasi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai

Klasifikasi hendaknya disesuaikan dengan tujuan yang  hendak dicapai.  

 

Misalnya,  pengklasifikasian  tumbuhan  dalam  bidang  biologi. Hal itu sangat bergantung pada tujuan teknis  bidang tersebut. Jika   hendak memperjelas lingkungan  pada  tumbuhan  hidup,  tujuannya    lebih  tepat  diklasifikasikan  menjadi  ‘lingkungan  kering  (xerofit)’,  ‘lingkungan  air  (hidrofit)’,  dan  hidup  di  ‘lingkungan  lembap (higrofit)’. Akan tetapi, jika hendak memperjelas  tumbuhan terkait dengan manfaatnya, fungsinya lebih  tepat  diklasifikasikan  menjadi  ‘tanaman  obat‐obatan,  ‘tanaman hias’, ‘tanaman pangan’ dan sebagainya. 

Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait dengan prinsip‐prinsip pengklasifikasian,  terutama terkait dengan kesulitan yang muncul. Pertama, prinsip‐prinsip pengklasifikasian secara murni  dalam praktek sangat sukar dikarenakan adanya sejumlah konsep yang sulit ditentukan batas‐batasnya  secara tegas. Misalnya, ‘barang’ diklasifikasikan menjadi subkelas ‘barang mahal’ dan ‘barang murah’  atau ‘orang’ diklasifikasikan menjadi subkelas ‘orang tradisional’ dan ‘orang modern’. Dalam contoh  tersebut, subkelas tidak memiliki batas yang jelas dan kriteria yang digunakan untuk pengklasifikasian  tersebut lebih mencerminkan penilaian yang subjektif. Kedua, ada bentuk pengklasifikasian ke dalam  dua subkelas semata. Bentuk pengklasifikasi ini dikenal sebagai klasifikasi dikotomis.  

Istilah dikotomi, secara etimologis dari bahasa Latin dichtomia yang berarti pembagian secara  dua‐dua atau berpasangan. Hal ini dilakukan dengan dua alasan yang berbeda; yaitu dikarenakan  terbatasnya pengetahuan kita akan subkelas‐subkelas dari kelas induk atau dikarenakan tujuan‐tujuan  tertentu dari pengklasifikasian. Jika didasarkan pada alasan yang pertama, maka dikotomi tersebut bisa  nyatakan sah.  

Akan tetapi, jika didasarkan pada asalan yang kedua, maka dikotomi tersebut terkait erat  dengan ‘teknik hitam‐putih’ dan  lebih dikenal  dengan klasifikasi  dikotomi keliru. Hal ini banyak  ditemukan dalam propaganda, di mana klasifikasi dikotomi itu dilakukan dengan sengaja terkait tujuan 

politis untuk menyederhanakan persoalan menjadi dua pilihan saja. Bentuk pengklasifikasi ini dikenal  sebagai  klasifikasi  dikotomis.  Misalnya,  ‘orang  Indonesia’  pada  masa  perjuangan  kemerdekaan  diklasifikasikan menjadi ‘orang Indonesia prorevolusi’ dan ‘orang Indonesia kontrarevolusi’.   

 

III. . . Definisi

Secara etimologis, kata definisi berasal kerja definere yang dalam bahasa Latin mempunyai arti  ‘membatasi atau mengurung dalam batas‐batas tertentu’ (Hayon, 2000). Dalam kegiatan akademis,  definisi selalu berhubungan dengan istilah yang hendak dijelaskan. Artinya, definisi bisa dimengerti  sebagai penentuan batas konseptual bagi suatu istilah. Oleh karena itu, definisi mempunyai dua tujuan,  yaitu; memberikan  rumusan  yang lengkap  terkait dengan  istilah  yang didefinisikan  dan  mampu  memperlihatkan perbedaan antara satu istilah dengan istilah yang lainnya.  

Pendefinisian  suatu  konsep  dalam  kegiatan  akademis  sangat  penting  dikarenakan  dapat  meminimalkan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman terkait dengan konsep tersebut. Kerancuan  pemahaman akan sulit dihindari bila dari awal percakapan akademis tidak terlebih dahulu menerangkan  secara definitif apa yang dimaksud dengan sebuah konsep tertentu. Sebuah definisi mengandung dua  unsur, yaitu hal yang didefinisikan disebut definiendum dan hal yang mendefinisikan atau menjelaskan  arti difiniendum tersebut disebut definiens. Di sini perlu ditegaskan bahwa definiens bukan arti dari  definiendum, melainkan  suatu istilah atau kelompok istilah yang terkait dengan konteks  definisi  mempunyai arti yang sama dengan definiendum. Lebih jelasnya perhatian tabel berikut: 

Tabel Dua Unsur Definisi 

Definiendum  Definiens 

Istilah yang hendak dijelaskan artinya  Perumusan atau penjelasan yang diberikan 

Pemahaman terkait dengan klasifikasi yang telah dijelaskan di atas sangat membantu kita untuk  menyusun suatu definisi yang tepat terkait dengan konsep ataupun istilah tertentu. Misalnya kita ingin  melakukan suatu definisi mengenai sebuah konsep bukanlah hal yang sulit bila kita mengetahui dengan  baik apa yang merupakan kelas induk (genus proximum) dan ciri spesifik yang dimiliki oleh konsep  tersebut sebagai suatu subkelas yang membedakannya dari subkelas‐subkelas lainnya (differentia  spesifica). Misalnya, kita ingin mendefinsikan apa itu manusia.  

Kita tahu bahwa kelas induk dari manusia adalah makhluk hidup (genus proximum) dan ciri  spesifik yang dimiliki oleh konsep manusia sebagai subkelas yang membedakannya dari subkelas‐ subkelas lainnya (dalam konteks ini, hewan dan tumbuhan) adalah berakal budi (differentia spesifica).  Oleh karena itu, manusia dapat didefinisikan secara tepat sebagai makhluk hidup (genus proximum

yang berakal budi (diffrentia spesifica). Penyusunan suatu definisi yang tepat haruslah mengikuti  ketentuan tertentu. Berikut prinsip‐prinsip yang bisa diaplikasikan untuk menghasilkan sebuah definisi  yang tepat: 

Tabel Prinsip‐Prinsip Definisi 

No  Prinsip Definisi  Penjelasan dan Contoh 

Definiens harus bisa dibolak‐

balikkan definiendum.  

Prinsip  ini menjelaskan  bahwa  definies  tidak  boleh  lebih luas atau lebih sempit dari definiendum. Apabila  ada  perbedaan  dalam  luas  cakupan  konseptual  mengakibatkan  kedua  unsur  definisi  tersebut  tidak  dapat dipertukarkan.  

 

Contoh 1: ‘Elang adalah burung yang dapat terbang’.  Definisi ini tidak tepat dikarenakan ‘burung yang dapat  terbang’ lebih luas cakupan konseptualnya daripada  ‘elang’ sehingga kalau dibalikkan ‘Burung yang dapat  terbang adalah elang’ terjadilah kekeliruan.  

 

Contoh 2: ‘Kursi adalah tempat duduk yang terbuat dari  kayu’.  Definisi  ini  tidak  tepat  dikarenkaan  ‘tempat  duduk yang terbuat dari kayu’ lebih sempit cakupan  konseptulnya daripada  ‘kursi’  (kursi bisa saja tidak  terbuat dari kayu, tetapi besi misalnya). 

 

Oleh  karena  itu,  jika  tidaknya  pembalikan  posisi  difiniens dan definiendum adalah cara pengujian yang  efektif  terkait  dengan  tepat  atau  tidaknya  sebuah  definisi.  

Definiendum tidak boleh masuk  

ke dalam definiens 

Prinsip ini menjelaskan bahwa kata atau kelompok kata  yang mendefinisikan tidak boleh menggunakan kata  yang didefinisikan. Jika   terjadi, hal itu hanya akan  membentuk  definisi  yang  sirkular  atau  tautologis  disebut dengan circulus in defienindo.  

 

Contohnya,  ‘Logika  adalah  ilmu  yang  mempelajari  aturan‐aturan logika’. Dalam konteks ini, definisi ini  tidak  tepat  dikarenaka  istilah  logika  tetap  tidak  terjelaskan karena istilah itu justru diulang atau masuk  di dalam penjelasan atasnya.  

Definiens  harus  dirumuskan 

secara jelas. 

Prinsip ini menegaskan bahwa definiens tidak boleh  dinyatakan  dalam  bahasa  yang  kabur  atau  kiasan.  Pelanggaran atas prinsip ini menghasilkan apa yang  disebut dengan obscurum per obscurius yang berarti  menjelaskan sesuatu dengan keterangan yang lebih  tidak  jelas atau ignotum  per  ignotius  yang  berarti  mendefinisikan sesuatu yang tidak diketahui dengan  sesuatu yang lebih tidak diketahui lagi.    

 

Contohnya,  ‘Kegalauan  adalah  situasi  tidak  adanya  konspirasi  dan  harmonisasi  hati  dalam  kelabilan  ekonomi’.  Definisi  ini  bukanlah  definisi  yang  tepat  dikarenakan  menggunakan  bahasa  yang  kabur  dan  tidak memberikan penjelasan apa pun terkait dengan  definiendum.  

Definiens  tidak  boleh 

Dalam dokumen BAB I KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER (Halaman 43-46)