BAB IV PEMAHAMAN ETIKA
IV.3 Sejarah Pemikiran Etika
Sebagai bagian dari filsafat, pembahasan mengenai pemikiran etika dapat pula dirujuk dari sejarahnya. Pembahasan mengenai etika telah dimulai dari masa Yunani Kuno dan berkembang hingga era kontemporer atau saat ini. Bagian ini akan membahas kajian etika pada triadik Sokratik‐Plato‐Aristoteles dan pemikir masa Helenistik lainnya, yaitu Epikurus, Kaum Stoa, dan Diogenes dari kaum Sinis (Cynics). Pembahasan awal mengenai etika dimulai dari sejumlah konsep kunci, yaitu virtue atau arête, dan happiness atau eudaimonia. Kedua konsep itu berusaha menunjukkan alasan seseorang mesti berbuat baik. Pengertian virtue secara literal adalah keutamaan. Maksud dari keutamaan adalah tindakan yang harus dilakukan seseorang
dalam kehidupannya. Tujuan dari tindakan itu adalah kebahagiaan. Bagi para pemikir triadik Sokrates‐Plato‐Aristoteles, kebahagiaan merupakan tujuan dari perbuatan baik.
Sokrates merupakan seorang filosof yang ada dalam tulisan Plato. Ia menunjukkan suatu putusan moral harus dipertanyakan lagi keabsahannya. Baginya, tindakan yang harus
dilakukan manusia merupakan bentuk
pengetahuan rasional. Dalam pandangannya, rasionalitas merupakan instrumen atau alat mencapai kebahagiaan. Murid Sokrates, Plato, seorang filosof dan pendiri universitas pertama, Akademia, punya pandangan tidak jauh berbeda. Baginya, keutamaan (virtue) hanya mungkin tampak saat ada tindakan riilnya. Dalam pandangannya, kebijaksanaan (wisdom) merupakan bagian dari keutamaan. Kebijaksanaan itu merupakan pengetahuan hasil kapasitas rasional manusia. Terakhir, Aristoteles murid dari Plato. Ia memperkenalkan Nichomacean
Ethics (NE) sebagai teori
etika yang berbeda dari
para pendahulunya.
Gambar 6: Karikatur Sokrates
Sumber: Donald Palmer, Looking at Philosophy, 2006
Gambar 7: Aristoteles Nichomacean Ethics
Aristoteles menerangkan tujuan dari perbuatan baik tidak sebatas kebahagiaan. Ia menjelaskan, bahwa suatu tindakan yang termasuk dalam virtue, dapat dianggap sebagai tujuan itu sendiri. Misalnya, seorang hakim yang berlaku adil hendak mencapai keadilan itu sendiri. Begitupun halnya dengan seseorang yang berlaku baik untuk kebaikan itu sendiri. Aristoteles lebih menyetujui suatu keutamaan merupakan disposisi dari tindakan. Artinya, seseorang memiliki kecendrungan untuk
memahami dan menentukan tindakan mana yang baik dan
tepat bagi dirinya. Namun, kecenderungan itu harus memenuhi syarat rasional atau keutamaan intelektual
(intellectual virtues), yaitu pengetahuan ilmiah atau saintifik, intuisi, dan kebijaksanaan, yaitu hasil dari pemikiran kontemplatif dan reflektif, dan kemampuan penalaran secara kalkulatif (calculative reasoning). Bagi Aristoteles, kebaikan tertinggi (highest good) merupakan suatu tindakan yang dihasilkan dari kontemplasi rasional (Aristotle, 2004).
Dua tradisi pemikiran lain juga disumbang pada masa helenistik. Ada dua pemikiran etika yang cukup dominan pada masa itu, yaitu Epikureanisme dan Stoisime. Pertama, Epikurus (341‐ 270 SM) pendiri Epikureanisme. Berbeda dengan para pendahulunya yang mengedepankan rasio sebagai instrumen menentukan putusan moral, Epikurus menekankan pada faktor yang lebih sederhana, yaitu kesenangan (pleasure). Jawaban Epikurus mengenai bagaimana seseorang menjalani kehidupan adalah mencapai kebahagiaan. Epikurus menyederhanakan kebahagiaan menjadi kesenangan. Seluruh tindakan dianggap baik jika ditujukan untuk mencapai kesenangan, sementara tindakan yang harus dihindari saat hanya menimbulkan rasa sakit (pain) (Donald, 2006).
Gambar 8: Karikatur Aristoteles
Sumber: Donald Palmer, Looking
Epikurus membuat dua jenis dari kesenangan, yaitu kesenangan alamiah (natural pleasure), kesenangan yang sia‐sia (vain pleasure). Kesenangan alamiah pun memiliki dua pemilahan, yaitu kesenangan yang diperlukan (necessary), dan tidak diperlukan (unnecessary). Kesenangan yang mesti dipenuhi, diantaranya kehendak (desire) untuk memenuhi kebutuhan alamia manusia, yaitu makan dan tidur. Sementara itu, kesenangan yang tidak diperlukan, misalnya berhubungan badan atau koitus. Bagi Epikurus, kesenangan alamiah yang diperlukan harus dipenuhi. Alasannya, kebutuhan macam itu yang mendatangkan kesenangan dengan sedikit risiko yang menyakitkan. Sementara itu, kesenangan alamiah yang tidak diperlukan dapat dipenuhi, tetapi tidak wajib. Pasalnya, kebutuhan itu, misalnya seks berpotensi
mendatangkan
Gambar 9: Ilustrasi Epikurus terhadap Patah Hati
kesenangan yang terlalu intens.
Epikurus menjelaskan seluruh kondisi emosi yang intens berbahaya (Donald, 2006). Risiko lain, seseorang yang berhubungan badan cenderung menjalani relasi intim (in a romatic relationship). Relasi semacam itu justru perlu dihidari karena dianggap lebih banyak mendatangkan rasa sakit dibanding kesenangan (Lihat Gambar 6).
Pemikir helenistik lainnya adalah stoisisme. Figur sentral dalam aliran itu adalah Zeno dari Siprus (334‐262 SM). Stoisisme banyak mendalami kajian etika pada perbuatan manusia. Para pemikir Stoa sepakat dengan triadik Sokrates‐Plato‐Aristoteles bahwa putusan moral manusia merupakan bentuk pengetahuan. Tiga pemikir Stoa, yaitu Seneca (4‐65 M), Epictetus, dan Marcus Aaurelius (121‐180 M) meyakini manusia dapat menjalani hidup yang baik (an excellence life) saat dirinya telah mendapat pencerahan pengetahuan (Donald, 2006).
Berbeda dengan para Epikurean, pemikir Stoa meyakini bahwa pencerahan hanya mungkin didapat jika manusia melepaskan keterikatan duniawi, misalnya saja segala yang berhubungan dengan emosi dan kesenangan. Para pemikir Stoa berkeyakinan kehidupan yang baik dimulai dari menghentikan keinginan untuk bahagia, sedih, harapan, dan ketakutan.
Gambar 10: Ilustrasi Zeno dari Stoa
Artinya, seorang individu cukup menjalani hidup sesuai kondisi alamiahnya. Maksudnya, kehendak (desire) hanya akan menuntun manusia pada kesengsaraan. Suatu tindakan yang disebut baik itu bukan sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan. Alasannya, keinginan dan kehendak merupakan tanda seorang individu yang tidak bebas dan bahagia. Bagi para pemikir stoisisme, individu semacam itu telah terkungkung pada keinginan yang egostik. Nantinya, pemikiran etika pada Masa Yunani Kuno akan mempengaruhi dua figur cukup dominan pada masa modern‐pencerahan. Para pemikir Triadik‐Sokrates‐Plato dan Stoisisme akan mempengaruhi kajian yang disebut Deontologi, sementara Epikureanisme akan berpengaruh pada terbentuknya aliran Utilitarianisme.
Pasca helenistik, pemikiran filsafat termasuk etika memasuki era yang dinamakan Abad Pertengahan (The Middle Age), atau ada pula yang menamakannya sebagai The Dark Age. Pada periode itu, seluruh pemikiran filsafat menjadi alat membenarkan ajaran dalam teks suci, khususnya pada agama Kristiani. Putusan moral, yaitu mengenai pengetahuan atas tindakan baik dan buruk bersandar pada penafsiran terhadap perintah dan larangan teks suci agama. Dalam masa itu, kajian etika kurang begitu berkembang mengingat kondisinya otoritas agama menentukan seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk daya kritis individu untuk mempertanyakan keabsahan dan pembenaran tindakan yang baik dan buruk.
Kajian terhadap etika mulai berkembang lagi saat peradaban memasuki masa Renaissance, secara literal artinya “Kebangkitan Kembali.” Periode itu terjadi sekitar 1450‐1600. Masa itu mencapai puncaknya pada Era Pencerahan (The Enlightment), yaitu saat rasionalitas manusia menjadi ukuran dalam seluruh aspek kehidupan. Segala bentuk pemikiran, termasuk kajian filsafat dan begitupun etika tidak lagi tunduk pada otoritas teks suci agama. Pemikiran dalam teks suci itu dianggap dogmatis dan ditempatkan pada urusan personal tiap individu. Dalam masa modern‐pencerahan itu, sejumlah pemikir Etika yang cukup terkenal adalah David Hume (1711‐1776), Immanuel Kant (1724‐1804), Jeremy Bentham (1748‐1832), dan John Stuart Mill (1806‐1873).
David Hume merupakan seorang filosof berkebangsaan Skotlandia, Inggris. Ia termasuk perintis empirisisme, yaitu aliran pemikiran yang menjelaskan seluruh pengetahuan manusia didapat dari pengalaman. Hume memulai kajian etikanya dengan mempertanyakan,
“bagaimana manusia memiliki pengetahuan atas yang secara moral baik, buruk?” Hume menolak pengetahuan atas yang baik itu didapat dari kerja rasio, melainkan didapat dari kondisi emosi atau psikologis dari individu tersebut. Ia memperkenalkan istilah sentimen, yaitu kondisi saat manusia merasa terapresiasi saat tindakannya disepakati oleh pihak lain (the pleasure of approval), dan merasa kecewa saat tindakanya tidak disenangi yang lain (the uneasiness of disapproval).
Hume mengajukan gagasan bahwa analisis mengenai moral tidak terhubung dengan proposisi yang dibentuk oleh kognisi atau kapasitas rasional manusia. Ia menyampaikan analisis terhadap putusan moral merupakan pandangan non‐kognitif. Alasannya, analisis itu tidak memberikan argumen yang sifatnya definitif (atau dalam kata kerja bahasa Inggris ditandai dengan is). Sebaliknya, proposisi yang dibuat bersifat normatif, yaitu memberikan penjelasan bagaimana yang seharusnya (Rachel, 2016). Contohnya saja, perbuatan baik, bagi Hume, tidak dijelaskan dengan kopula (kata penghubung) “adalah”, tetapi “seharusnya” atau “semestinya”. Pada masa selanjutnya, Hume dianggap menempati pemikiran etika emotivisme. Pandangan itu, sederhananya, menyandarkan penjelasan mengenai putusan moral pada kapasitas emosi atau kondisi psikologi manusia.
Gamba11: Karikatur David Hume
Pandangan Hume yang meminggirkan akal budi manusia pada kajian etika mendapat reaksi penolakan dari Immanuel Kant. Karya Kant mengenai etika tertulis dalam bukunya berjudul “A Critique of Practical Reason.” Pemikiran etika Kant banyak dikenal dengan sebutan Deontologi Kantian. Deontologi merupakan istilah yang terdiri dari kata deon, berarti kewajiban atau keharusan. Sederhananya, suatu tindakan yang baik atau buruk ditentukan dari kesesuaiannya dengan kewajiban seorang individu dalam menjalani hidup. Berbeda dengan Hume, Kant justru menerangkan suatu putusan moral merupakan pengetahuan yang didapat secara a priori7 dalam akal budi manusia.
Kant berpendapat manusia memiliki akal
praktis yang memungkinkan dirinya memiliki pengetahuan atas moral. Pengetahuan yang
didapat dari akal praktis itu disebut maksim, yaitu
tuntutan melakukan tindakan untuk menunaikan
kewajiban. Maksim juga dapat dipahami sebagai
dorongan melakukan suatu tindakan secara moral baik karena tindakan itu sendiri. Artinya, perbuatan yang secara moral baik tidak dinilai dari konsekuensi atau hasil tindakan (ends), melainkan dari proses melakukan tindakan tersebut (means). Deontologi Kantian menekankan bahwa suatu tindakan secara moral baik jika dilakkan demi kewajiban itu sendiri, bukan didasari atas dorongan emosional manusia. Kewajiban (deon) itu merupakan pengetahuan atas tindakan tanpa pamrih dan tanpa syarat (Hardiman, 2012).
Kewajiban itu diketahui melalui sejumlah kategori imperatif, yaitu kondisi yang secara inheren atau terberi ada pada kognisi manusia. Kategori imperatif itu sifatnya universal, atau bernilai sama pada seluruh akal budi manusia. Salah satu bentuk pengetahuan semacam itu
7 Pengetahuan a priori maksudnya pemahaman yang didapat sebelum ada pengalaman, maksudnya manusia diandaikan telah mengetahui terlebih dahulu. Artinya, pengetahuan a priori itu diandaikan terberi (given) pada kapasitas rasional manusia.
Gamba12: Karikatur Kant
Sumber:Donald Palmer, Looking at Philosophy, 2006
adalah prinsip Golden Rule, yaitu “perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan olehnya.”
Contoh dari Deontologi Kantian dapat dilihat dari narasi Kadiroen dalam “Hikayat Kadiroen” karya Semaun. Dalam cerita itu, Kadiroen merupakan seorang pegawai admininstratif pemerintah Kolonial Belanda. Suatu hari, ia mendapati seorang ibu yang mencuri makanan di pasar. Saat hendak membawanya ke petugas kepolisian, Kadiroen bertanya, “mengapa Ibu harus mencuri?” Ibu itu menjawab dengan jujur bahwa dirinya sangat miskin, kedua anaknya membutuhkan makanan. Jika tidak makan, dirinya dan kedua anaknya akan mati kelaparan. Kadiroen tentu miris mendengar kisah pilu ibu itu. Namun, Kadiroen tetap membawa ibu itu ke penjara, karena mencuri tetap perbuatan buruk. Singkat cerita, Kadiroen merupakan contoh seorang penganut Deontologi Kantian saat dihadapkan pada dilema moral semacam itu. Mencuri tidak sesuai dengan kewajiban manusia melakukan tindakan yang baik, sehingga seorang pencuri harus dihukum apapun kondisinya. Dalam cerita itu memang Kadiroen memenjarakan ibu itu, tetapi ia pun memberi makan dia dan kedua anaknya.
Deontologi Kantian pun mendapat pertentangan dari Utilitarianisme. Aliran itu juga dianggap bagian dari Konsekuensionalisme. Alasannya, pemikiran itu meyakini suatu tindakan secara moral baik atau buruk bergantung pada konsekuensi atas perbuatannya terlepas bagaimanapun prosesnya. Pandangan itu tentunya berbeda dengan Deontologi Kantian yang abai terhadap konsekuensi suatu tindakan. Figur sentral dalam Utilitarian Klasik, yaitu Jeremy Bentham (1748‐1832) dan John Stuart Mill (1808‐1873). Pemikiran utilitarian ini nantinya mendapat pengembangan dari para pemikir kontemporer, salah satunya Peter Singer.
Bentham menegaskan analisis mengenai moral mesti bersandar pada fenomena empiris, yaitu kondisi bahwa tindakan manusia merupakan kehendak mencapai kesenangan, dan menghindari rasa sakit (Donald, 2006). Bentham melanjutkan pandangan hedonistik, bahwa kesenangan merupakan nilai yang utama dalam hidup. Ia memiliki rumusan tersendiri mengenai kesenangan itu, yaitu nilai hedonistik yang sosial. Rumusan itu dapat dilihat dari maksim atau prinsip terkenalnya, “perbuatan benar atau salah diukur dari kebahagianan terbesar untuk banyak orang,” (the greatest happiness for greatest number). Dalam konteks pikiran Bentham, kebahagiaan disamakan dengan kesenangan. Prinsip itu yang menjadi
landasan dari Utilitarianisme. Bentham melanjutkan studinya terhadap kesenangan sebagai ukuran tindakan yang baik. Ia membuat tujuh indikator yang dinamakan “the calculus of felicity” atau kalkulus kebahagiaan. Indikator itu terdiri atas, intensitas, durasi, kepastian, perkiraan atas waktu kejadian (proximity), pengaruh terhadap kesenangan lain (fecundity), kemurnian, dan dampaknya.
Rumusan Bentham dapat disimak dari contoh saat seseorang bertemu penjahat bersenjata api. Orang itu ditanya oleh penjahat mengenai keberadaan salah seorang temannya. Jika ia menjawab tidak tahu, maka orang itu akan ditembak mati. Kondisinya saat itu, orang tersebut memang tidak mengetahui keberadaan temannya. Jika mengikuti Deontologi Kantian, tentu dia tidak akan berbohong karena menyalahi kewajiban berkata jujur. Namun, orang itu mengikuti pandangan Utilitarian, bahwa berbohong diperbolehkan karena sejumlah alasan: 1. Menyelamatkan diri sendiri; 2. Kesempatan untuk memberi tahu teman orang itu atas bahaya yang akan menimpanya; 3. Memanggil pihak polisi atau yang berwajib untuk menangkap penjahat tersebut. Akhirnya, orang itu pun
memilih berbohong dengan menyebut
sembarang posisi mengenai keberadaan temannya.
Pemikiran Utilitarian berlanjut ke John Stuart Mill. Dalam pandangannya mengenai kesenangan, Mill merevisi pandangan Bentham bahwa kondisi itu mesti diukur dari kualitasnya. Dalam pandangan Mill ada
hirearki dalam subjek moral. Strata itu ditentukan oleh kapasitas rasional dan
pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian, kesenangan seorang manusia dianggap lebih bernilai dibanding kesenangan seekor kambing dan babi. Bahkan kesenangan seorang pelajar pun dianggap lebih dikedepankan daripada kebahagiaan seorang pengemis. Artinya, suatu
Gambar13:Ilustrasi Pemikiran Mill
Sumber:Donald Palmer, Looking at Philosophy, 2006
putusan moral hanya dapat ditentukan oleh pihak yang memiliki pengetahuan atas hal tersebut. Ia menyebut bahwa, beberapa jenis kesenangan lebih dikehendaki dan bernilai daripada yang lain (Donald, 2006). Dengan demikian, Mill membawa penilaian kualitatif terhadap konsekuensi atas tindakan pada Utilitarianisme.
Utilitarianisme terus berkembang hingga era kontemporer ini. Figur yang cukup berpengaruh adalah Peter Singer. Ia merupakan filosof yang kini mengajar Bioethics di Princeton University, dan mengampu mata kuliah Filsafat Terapan dan Etika Publik di University of Melbourne. Peter Singer merupakan filosof etika yang cukup aktif dan produktif. Ia pun dapat ditemui di twitter via akunnya @PeterSinger. Sejumlah karyanya yang cukup fenomenal, antara lain Practical Ethics (1980), Animal Liberations (1975), The Expanding Circle: Ethics and Sociobiology (1981), How Are We To Live? Ethics in An Age of Self Interest (1993), Ethics into Action (1998), One World: The Ethics of Globalisation (2002), Should the Baby Live? (1985), dan The Point of View of the Universe: Sidgwick and Contemporary Ethics (2014).
Peter Singer banyak fokus pada ranah etika terapan, yaitu penggunaan perangkat Utilitarian ke persoalan dilema moral yang kompleks dan ditemui dalam keseharian, misalnya kasus aborsi dan euthanasia. Singer mengajukan teori yang dinamakan Utilitarian Preferensional (Preference Utilitarianism). Dalam teorinya itu, preferensi tidak hanya diukur dari kapasitas rasional seorang individu, melainkan tertuju pada seluruh mahluk hidup sebagai pihak yang berkesadaran (sentient being). Misalnya saja, ia mencontohkan, Utilitarian Preferensional menegaskan segala tindakan yang bertentangan dengan preferensi dari mahluk hidup tertentu merupakan perbuatan yang buruk. Misalnya saja, membunuh seseorang yang masih ingin melanjutkan hidupnya dianggap salah atau buruk (Singer, 2011). Namun putusannya menjadi berbeda saat seorang pembunuh menembak mati orang yang meminta untuk dibunuh.
Dalam pemikirannya, Singer berpendapat membunuh seorang manusia akan berdampak buruk dari mencabut nyawa mahluk hidup lainnya. Alasannya, manusia bernilai dari kapasitanya mengarah pada masa depan. Tiap mahluk hidup yang memiliki kemampuan memproyeksikan dirinya di masa depan, memikirkan apa yang baik bagi dirinya, dan memiliki
harapan juga keinginan, memiliki derajat lebih tinggi dibanding pihak yang tidak. Pemikiran Singer ini akan tampak lebih jelas saat dihadapkan pada dilema moral lebih riil.
Dalam satu sesi kuliahnya, Peter Singer pernah melempar dilema kolam dangkal (shallow pond). Dilema itu terjadi saat seseorang, sebut saja mahasiswa yang hendak kuliah melewati kolam dangkal, dan melihat seorang anak kecil tampak akan tenggelam. Jika mahasiswa itu menolong anak kecil itu, ia harus masuk ke dalam kolam, dan bajunya basah. Dengan begitu, ia mesti kembali ke rumah dan ketinggalan satu sesi perkuliahan. Namun, anak kecil itu selamat. Sebagian besar mahasiswanya saat ditanya akan memilih menolong anak kecil itu. Bahkan banyak mahasiswanya mengakui ada kewajiban menyelamatkan anak tersebut. Singer menerangkan tiap harinya, seseorang dihadapkan pada kondisi kolam dangkal tersebut. Namun, banyak orang memilih abai atau tidak merasa memiliki kewajiban membantu menyelamatkan anak yang akan mati kelaparan, misalnya. Contoh sederhananya, seseorang banyak lebih memilih membeli baju baru, makan di restauran mahal, atau membeli gadget baru tiap tiga bulan daripada berdonasi atau membantu langsung anak‐anak yang busung lapar, sebut saja di Bantar Gebang. Persoalannya sebenarnya tidak begitu berbeda, ada kemampuan dan kewajiban untuk menolong pihak yang sengsara, tetapi banyak yang justru tidak memilih berbuat demikian.