• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fibrosis Hepar

2.1.2. Etiologi Fibrosis Hepar

Etiologi utama fibrosis hepar adalah infeksi virus hepatitis, Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH), kolestasis, dan autoimun (Weiskirchen, 2016).

a. Infeksi Virus Hepatitis

Dua faktor yang berperan dalam fibrosis hepar yang disebabkan oleh Hepatitis B Virus (HBV) adalah faktor virulensi virus Hepatitis B dan peradangan hepar yang disebabkan oleh HBV (Kao, et al., 2000). Selain itu, protein virus HBV berperan dalam perkembangan fibrosis. Martin Vilchez, et al., menemukan bahwa ekspresi hepatitis B X protein (HBx) dalam

hepatosit menyebabkan aktivasi dari HSC. Pada manusia dan tikus HSC yang diaktivasi oleh HBx akan meningkatkan ekspresi kolagen tipe 1, α-Smooth Muscle Actin (α-SMA), TGF-β, dan peningkatan laju proliferasi sel (Martin, et al., 2008).

Jin, et al., mengembangkan model fibrosis hepar yang diinduksi CCl4 pada tikus HBV-transgenik (HBV-Tg). Fibrosis hepar berkembang secara spontan pada tikus HBV-Tg dengan peningkatan kolagen tipe 1, Matrix Metalloproteinase-2 (MMP-2), dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase-1 (TIMP-1). Selain itu, jumlah sel Natural Killer T (NKT) hepar meningkat setelah pengobatan CCl4. Sitokin inflamasi IL-4 dan IL-13 yang diproduksi oleh sel NKT berperan dalam aktivasi HSC dalam percobaan kultur in vitro. Data ini menunjukkan bahwa sel NKT dari tikus HBV-Tg menginduksi aktivasi HSC dalam fibrogenesis hepar (Jin, et al., 2011).

b. Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH)

Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH) adalah bentuk yang lebih parah dari Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) yang dapat menyebabkan fibrosis yang progresif dan sirosis. NAFLD menjadi penyakit hepar kronis yang paling umum pada orang barat. NASH terjadi karena akumulasi lemak dalam sel hepar (steatosis) yang dapat memicu serangkaian kerusakan jaringan sehingga mengakibatkan fibrosis (Clark, 2006).

Resistensi Insulin, diet tinggi lemak jenuh, dan diet tinggi karbohidrat menyebabkan tertimbunnya Free Fatty Acid (FFA) dan akan menginduksi cedera hepar melalui lipotoksisitas sehingga terjadi NASH (Neuschwander, 2010). Resistensi insulin menjadi penyebab utama dalam NASH dan

menyebabkan terjadinya stres oksidatif (Malaguarnera, et al., 2009).

Akumulasi lipid dalam hepatosit dapat menginduksi TGF-β dan produksi ECM (Svegliati, et al., 1998). Apoptosis hepatosit berhubungan dengan kelebihan FFA di hepar sehingga bersifat profibrogenik pada penyakit hepar. Penelanan Apoptotic Bodies (AB) oleh sel kupffer telah terbukti meningkatkan aktivasi HSC dan meningkatkan produksi TGF-β (Canbay, et al., 2003).

Gambar 2.1. Skema Patogenesis NASH Menyebabkan Fibrosis. Keterangan: Hepatosit

(H) dipengaruhi oleh faktor gaya hidup (diet lemak jenuh (Saturated Fatty Acid / SFA), obesitas) dan genetik berperan dalam menyebabkan resistensi insulin (IR) dan hepatic

steatosis (S). Pada beberapa pasien, beberapa keadaan metabolik ini menyebabkan kerusakan

sel, melaluli proses “lipotoksisitas”, yang melibatkan stres oksidatif dan terutama dipengaruhi oleh SFA. Cedera pada hepatosit akan mengeluarkan Damage Associated

Molecular Patterns (DAMPs) yang akan menimbulkan respon inflamasi. Rekrutmen

langsung sel Kupffer (KC) dan komponen imun innate terjadi karena aktivasi inflamasi dan pelepasan sitokin pro-inflamasi dan profibrogenik. Kemudian HSC akan diaktifkan untuk menghasilkan ECM sehingga memicu terjadinya fibrosis. Pengikatan apoptotic bodies dan faktor-faktor yang dihasilkan oleh sel-sel tua (senescence) dapat mempengaruhi aktivasi HSC secara langsung (Peverill, et al., 2014).

c. Alcohol Liver Disease (ALD)

Penyalahgunaan alkohol yang berlebihan menyebabkan steatohepatitis yang dapat berkembang menjadi Alcohol Liver Disease (ALD). Protein sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) adalah anggota dari sistem pengoksidasi etanol yang berperan dalam metabolisme etanol, dan berperan dalam fibrogenesis yang diinduksi alkohol (Lu Y, 2008). Produk dari metabolisme alkohol adalah asetaldehid (Zhong, 2018). Asetaldehid dianggap sebagai penyebab utama dalam fibriogenesis yang diinduksi alkohol (Casini, et al., 1991). Asetaldehid mempunyai peran dalam aktivasi dari Hepatic Stellate Cells (HSC) (Puche, et al., 2013).

Ketika terjadi metabolisme alkohol dan membentuk asetaldehid, akan terjadi peningkatan kebutuhan oksigen, hipoksia, kerusakan mitokondria, stres oksidatif, dimana ditandai dengan hepatocellular ballooning dan kematian sel (Lackner, 2011). Balloning (sel menggelembung) dan kematian hepatosit akan memproduksi hedgehog ligand dan akan memicu HSC sehingga terjadi penumpukan Extracellular Matrix (ECM) disekitar ballooned hepatosit (Witek, et al., 2009). Aktivasi dari HSC akan memproduksi Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMPs) yang akan menurunkan aktivitas penghancuran ECM oleh matrix metalloproteinase (MMPs) (Zoubek, et al., 2017).

Gambar 2.2. Patogenesis Dari Fibrosis Karena Alcohol Liver Disease (ALD). Alkohol

(asetaldehid) akan menyebabkan cedera pada hepar yang ditandai dengan ballooning dan akan memicu pelepasan hedgehoc ligands. Hedgehoc ligands dan aktivasi dari HSC akan menyebabkan penumpukan dari ECM di sekitar ballooning hepatosit. Pelepasan hedgehoc ligands juga bisa berasal dari kematian hepatosit. Aktivasi dari HSC dan aktivasi sel kupffer akan memicu pelepasan

Damage Associated Molecular Patterns (DAMPs) dari kematian sel dan Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMPs) dan lipopolisakarida (LPS) dari penurunan fungsi usus akibat alkohol. Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMPs) diproduksi oleh aktivasi HSC dan akan menghambat Matrix Metalloproteinase (MMPs) dan menyebabkan pematangan fibrosis. Akumulasi dari serat

elastis akan memicu pembentukan jaringan fibrosa padat di septa yang menyerupai septa pada hepatitis virus kronis. Fibrogenesis yang terus berlangsung dan hilangnya jaringan parenkim akan memicu terjadinya kerusakan dan mengakbatkan sirosis (Lackner, et al., 2018).

d. Kolestasis

Kolestasis terjadi akibat kegagalan produksi hepatobilier dan ekskresi empedu, dimana empedu tidak bisa mengalir dari hepar ke duodenum sehingga menyebabkan empedu masuk ke sirkulasi (Guicciardi dan Gores, 2002). Asam empedu adalah molekul amfipatik (mengandung daerah

hidrofobik dan hidrofilik sekaligus) yang disintesis oleh hepatosit dan mempunyai aksi deterjen (emulsifikasi lemak) yang berguna untuk penyerapan lemak. Kenaikan konsentrasi asam empedu akan menyebabkan kematian sel hepatosit (Jang, et al., 2012).

Cedera pada hepatosit yang disebabkan karena kolestasis akan memicu mediator hipotoksisitas, yaitu Tumor Necrosis Faktor-α (TNF-α) (Schwabe, 2006). TNF-α akan memicu aktivasi Hepatic Stellate Cell (HSC), selanjutnya HSC akan memicu pengeluaran Tissue Inhibitor Metalloproteinase-1 (TIMP-1) yang dapat menghambat Matrix Metalloproteinase (MMPs) (Tarrats, et al., 2011).

e. Autoimune liver disease (AILD)

Autoimune Liver Disease (AILD) meliputi 3 penyakit klinis utama yang berbeda, yaitu Autoimune Induced Hepatitis (AIH), Primary Biliary Cholangitis (PBC), Primary Schlerosing Cholangitis (PSC) (Arndtz dan Hirschfield, 2016). Patofisiologi AILD terjadi karena hilangnya toleransi kekebalan yang mengarah pada penghancuran sel yang dimediasi oleh limfosit T (Liaskou, et al., 2014).

Ada sesuatu yang kompleks yang melibatkan predisposisi genetik menjadi autoimun dan dikombinasikan dengan paparan dari lingkungan yang akan menyebabkan reaksi antigen dengan sel imun yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan cedera pada hepar atau cedera bilier. Respon imun terhadap cedera dan respon terhadap cedera hepatosit akan menyebabkan perkembangan dari fibrosis (Chalasani, et al., 2000).

Dokumen terkait