• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk mendengar suara di salah satu atau kedua telinga (Vorvick, 2011).

2.3.2. Epidemiologi

Diperkirakan terdapat 250 juta individu di dunia yang mengalami gangguan pendengaran. Lima puluh persen gangguan pendengaran yang mereka alami termasuk gangguan pendengaran yang dapat dicegah. Penelitian yang lebih mendalam dilakukan WHO yang melibatkan beberapa negara didapatkan data sebagai berikut :

1. Gangguan pendengaran sedang, sedang-berat, dan berat melibatkan sekitar 5-8 % populasi atau diperkirakan sekitar 110 juta.

2. Presbiakusis sebanyak 5-10 % menjadi penyebab nomor satunya, disusul oleh tuli akibat kebisingan sebanyak 2-6% ( Mathers, Smith, dan Marisol, 2000).

2.3.3. Klasifikasi

Secara umum, gangguan pendengaran dapat dibagi atas tiga jenis : a. Tuli konduktif

Tuli konduktif terjadi oleh karena berkurangnya transmisi gelombang suara ke koklea. Gangguan ini disebabkan karena terganggunya kerja sistem konduksi penghantaran suara.

Tuli sensorineural disebabkan oleh karena terganggunya proses transmisi gelombang suara di telinga bagian dalam maupun pada nervus koklearis.

c. Tuli campuran

Tuli campuran adalah tuli yang memiliki komponen tuli konduktif dan tuli sensorineural (Shah, 2011).

2.3.4. Derajat Gangguan Pendengaran

Derajat gangguan pendengaran dapat ditentukan setelah dilakukan

pemeriksaan audiometer, pasien kemudian diklasifikasikan menurut tabel berikut:

Tabel 2.1. Derajat Gangguan Pendengaran (WHO, 2012) Derajat

Gangguan

Ambang Pendengaran

Interpretasi

0: Normal 0 – 25 dB Tidak ada / sedikit gangguan, dapat mendengar bisikan

1: Ringan 26 – 40 dB Dapat mendengar dan

mengulangi kata yang diucapkan dengan suara normal pada jarak 1 meter

2: Sedang 41 – 60 dB Dapat mendengar dan

mengulangi kata yang diucapkan dengan suara keras pada jarak 1 meter

3: Sedang- Berat

61 – 80 dB Dapat mendengar beberapa kata yang diteriakkan pada telinga yang lebih sehat

memahami kata walaupun dengan suara teriak

Beratnya gangguan pendengaran bergantung kepada besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah. Perforasi pada membran timpani akan menyebabkan gangguan transmisi suara ke tulang-tulang pendengaran sehingga penghantaran suara dari telinga luar ke telinga tengah akan berkurang (Djaafar, 2007).

Lokasi perforasi juga menentukan derajat gangguan pendengaran pada individu dengan gangguan pendengaran. Perforasi pada kuadran posterior diketahui akan menyebabkan gangguan pendengraan yang lebih parah daripada perforasi pada bagian anterior, oleh karena terpaparnya fenestra rotunda terhadap gelombang suara secara langsung. Perforasi pada lokasi insersi manubrium

mempunyai efek terburuk, karena secara langsung berefek pada mobilitas sistem tulang pendengaran (Bhusal, Ghuragain, dan Shirastav, 2007; Ibekwe, Nwaorgu, dan Ijaduola, 2009; Maharjan et al., 2009).

Beratnya gangguan pendengaran juga dipengaruhi oleh ukuran perforasi. Perforasi sebesar 1.51%–89.05% berkorelasi positif dengan derajat gangguan pendengaran, hal ini disebabkan karena perforasi yang lebih besar dapat menyebabkan lebih banyak kehilangan suara yang ditransmisikan ke telinga dalam (Ibekwe, Nwaorgu, dan Ijaduola, 2009).

2.3.5. Etiologi

a. Tuli konduktif

• Kelainan telinga: anotia/mikrotia, atresia, abnormalitas daun telinga, miringosklerosis, timpanosklerosis

• Impaksi serumen atau benda asing • Perforasi membran timpani

Perforasi membran timpani dapat terjadi karena trauma dan penyakit telinga tengah. Sebanyak 85% pasien yang mengalami perforasi membran timpani disebabkan oleh OMSK (Nepal et al., 2001). Perforasi membran timpani akan

menyebabkan gangguan pendengaran hingga 60 dB (Bhusal, Ghuragain, dan Shirastav, 2007).

Membran timpani mempunyai peran penting dalam pendengaran, yakni sebagai suatu pelindung agar gelombang suara tidak langsung mencapai fenestra rotunda dan fenestra vestibuli. Perforasi pada membran timpani akan mengurangi luas permukaan membran timpani yang tersedia untuk transmisi gelombang suara, sehingga gelombang suara akan langsung mencapai telinga tengah. Tanpa mengenai membran timpani proses amplifikasi gelombang suara tidak akan maksimal. Luas perforasi akan berbanding lurus dengan derajat gangguan pendengaran (Mehta et al., 2006).

Secara umum, perforasi pada membran timpani dapat dibagi atas :

- Perforasi sentral, perforasi yang tidak melibatkan bagian annulus.

- Perforasi subtotal, perforasi yang melibatkan pars tensa dengan lebar lebih dari 50% dan hanya menyisakan bagian annulus yang utuh.

- Perforasi total, perforasi yang melibatkan seluruh pars tensa termasuk bagian annulus.

- Perforasi atik, perforasi yang melibatkan pars flaksid (Islam et al., 2010; Nepal et al., 2001).

• Inflamasi/infeksi : otitis eksterna, otitis media akut, otitis media serosa, otitis media kronik, otomikosis, furunkulosis, herpes zoster otikus, perikondritis, selulitis.

• Trauma : komplikasi operasi, trauma kepala, dan barotrauma.

• Kelainan tulang : otosklerosis, osteogenesis imperfecta, dan osteopetrosis (Shah, 2011).

b. Tuli sensorineural

Penyebab tuli sensorineural secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni : (i) Tuli sensorineural yang didapat:

• Proses infeksi.

• Proses penuaan (presbiaskusis). • Kebisingan dan trauma akustik.

• Obat Sitotoksik.

• Penyakit yang menyerang sistem saraf. • Penyakit kelainan tulang.

• Trauma kepala, dan barotrauma (Arts, 2005;Frymark, 2010; Kirchner, 2012; Loh, 2005).

(ii) Tuli sensorineural kongenital c. Tuli campuran.

• Pasien tuli sensorineural yang mengalami tuli konduktif. • Infeksi telinga tengah.

• Otosklerosis.

Large Vestibular Aqueduct Syndrome (Berkiten, 2011; Young, 2001).

2.3.6. Gejala Klinis

Pasien yang mengalami gangguan pendengaran tidak akan merasakan gejala apapun pada awalnya, hanya saja ia akan merasakan suara-suara yang didengarnya menjadi lebih halus, sehingga meminta lawan berbicara untuk berbicara lebih keras, menaikkan volume televisi dan radio, dan pada akhirnya ia akan mengalami kesulitan untuk memahami kata-kata dalam kalimat lawan bicaranya.

Penderita gangguan pendengaran dengan onset sejak masa kanak-kanak akan mengalami gejala yang lebih serius berupa keterlambatan bicara, gangguan intelektual, dan bahkan gangguan psikologis berupa penarikan diri dari lingkungan karena ketidakmampuan untuk melakukan interaksi sosial (Ashitani et al., 2011).

2.3.7. Diagnosis

a. Anamnesis

Pada anamnesis perlu digali hal-hal berupa usia saat onset penyakit, onset penyakit (tiba –tiba/ bertahap), sifat ketulian progresif atau intermiten, lama penyakit, gejala tambahan seperti tinitus, vertigo, rasa penuh di telinga, nyeri, riwayat keluarga yang mengalami ketulian, riwayat pajanan suara keras, trauma,

riwayat pembedahan telinga, riwayat pemakaian obat-obatan, dan penyakit penyerta lainnya (Arts, 2005).

b. Pemeriksaan fisik

Pasien dengan gangguan pendengaran harus mendapat evaluasi berupa inspeksi ada tidaknya kelainan telinga luar yang dapat mengganggu konduksi gelombang suara, obstruksi liang teling oleh benda asing maupun serumen, perforasi membran timpani, kolesteatoma, maupun cairan di telinga tengah (Shah, 2011).

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan dengan menggunakan CT scan dan MRI untuk menemukan penyebab retrokoklea, pemeriksaan genetik juga dapat dilakukan untuk mentukan defek genetik terutama pada tuli sensorineural. Salah satunya dalah Connexin-26 yang merupakan marker untuk tuli genetik. BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry), OAE (Otoacoustic Emission), dan Audiometri dapat digunakan untuk menentukan derajat ketulian (Kemperman et al., 2002; Shah, 2011).

2.4. Pemeriksaan Pendengaran

Dokumen terkait