TAHUN 2012
Oleh:
DENNY SUWANTO 090100132
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TAHUN 2012
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh:
DENNY SUWANTO 090100132
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Hubungan Jenis Otitis Media Supuratif Kronis dengan Gangguan Pendengaran di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012 Nama : Denny Suwanto
NIM : 090100132
Pembimbing Penguji I
(dr. Andrina Y. M. Rambe, Sp. THT ) (dr. Riri Andri Muzasti, M. Ked Sp.PD) NIP. 19710622 199703 2 001 NIP. 19791224 200812 2 001
Penguji II
(dr. Sarma N. Lumbanraja, Sp.OG(K))
NIP. 19600116 1986111 001
Medan, 15 Januari 2013
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah yang merupakan penyebab gangguan pendengaran yang paling banyak. Komplikasi gangguan pendengaran ini dapat terjadi akibat berbagai faktor termasuk jenis OMSK, lama sakit, dan tipe perforasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara jenis OMSK, lama sakit, dan tipe perforasi terhadap gangguan pendengaran.
Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, secara
consecutive sampling mulai bulan Juli 2012 sampai dengan September 2012. Dilakukan pemeriksaan THT rutin dan audiometri nada murni terhadap penderita OMSK untuk menentukan jenis dan derajat ketuliannya. Data dianalisa dengan uji
Chi Square, dengan tingkat kemaknaan 5%.
Dari 33 sampel penderita OMSK didapat 51 telinga yang terinfeksi, jenis OMSK yang terbanyak diderita adalah jenis benigna sebanyak 31 telinga (46,3%). Ketulian yang terbanyak diderita adalah tuli konduktif sebanyak 27 telinga
(40,3%) diikuti oleh tuli campur sebanyak 15 telinga (22,4%) dan tuli saraf sebanyak sembilan telinga (13,4%). Dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi membran timpani dengan gangguan pendengaran (p < 0,05).
Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi membran timpani dengan gangguan pendengaran.
Abstract
Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) is a chronic inflammation in the middle ear which is one of the most prevalent causes of hearing impairment. Hearing impairment as the complication may be vary by the tipe of CSOM, duration of illness, dan tipe of tympanic membrane perforation. The aim of this study is to learn the correlation of the type of CSOM, duration of illness and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.
This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of Sumatera Utara / H. Adam Malik Hospital. Sample was collected through Consecutive Sampling, starting from July 2012 to September 2012. CSOM patients underwent routine ENT
examination and Pure Tone Audiometry to determine type and degree of hearing impairment. Data was analysed through Chi Square Test.
From 33 samples of CSOM patients we found 51 infected ears, the most prevalent type of CSOM was benign type about 31 ears (46,3%). The most
prevalent type of hearing impairment was conductive hearing loss 40 ears (62,5%) followed by 23 ears (35,9%) of mixed hearing loss and nine (13,4%) sensorineural hearing loss. Significance correlation was found between CSOM type, duration of illness, and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment (p <
0,05).
Significance correlation was found between CSOM type, length of the disease, and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mencari hubungan antara jenis otitis media supuratif kronis dengan jenis dan derajat gangguan. Namun demikian, mudah-mudahan karya tulis ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Hubungan Jenis Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dengan Gangguan Pendengaran. Dalam penyelesaian proposal penelitian ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp.A(K), selaku rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu dr. Andrina Y. M. Rambe, Sp. THT-KL selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Ibu dr. Riri Andri Muzasti, M. Ked, Sp.PD selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.
6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi dan juga penulisan karya tulis ilmiah ini.
7. Seluruh peserta penelitian yang telah banyak berjasa secara sukarela bersedia menjadi sampel dalam penelitian sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
8. Orang tua penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis dan pendidikan.
9. Rekan-rekan mahasiswa FK USU stambuk 2009 yang telah memberi saran, kritik, dukungan materi, dan moril dalam baik dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan proposal penelitian ini.
Medan, 4 Desember 2012
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.3.1. Tujuan Umum ... 4
1.3.2. Tujuan Khusus ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Anatomi Telinga Tengah... 6
2.1.1. Membran Timpani ... 6
2.1.2. Kavum Timpani ... 7
2.1.3. Area Mastoid ... 8
2.1.4. Tuba Eustachius ... 8
2.1.5. Pembuluh Darah ... 9
2.1.6. Persarafan ... 9
2.1.7. Fisiologi Pendengaran ... 10
2.2. Otitis Media Supuratif Kronik ... 11
2.2.2. Etiologi ... 11
2.2.3. Patofisiologi ... 11
2.2.4. Faktor Resiko ... 12
2.2.5. Epidemiologi ... 14
2.2.6. Klasifikasi ... 14
2.2.7. Gejala Klinis ... 17
2.2.8. Diagnosis ... 17
2.2.9. Komplikasi ... 19
2.2.10. Penatalaksanaan ... 19
2.3. Gangguan Pendengaran ... 20
2.3.1. Definisi ... 20
2.3.2. Epidemiologi ... 20
2.3.3. Klasifikasi ... 20
2.3.4. Derajat Gangguan Pendengaran ... 22
2.3.5. Etiologi ... 22
2.3.6. Gejala Klinis ... 24
2.3.7. Diagnosis ... 24
2.4. Pemeriksaan Pendengaran ... 25
2.4.1.Audiometri ... 25
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 30
3.1. Kerangka Konsep ... 30
3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 30
3.3.1. Variabel Penelitian ... 30
3.3.2. Defenisi Operasional ... 30
3.3. Hipotesis ... 33
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 34
4.1. Desain Penelitian ... 34
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
4.2.2. Waktu Penelitian ... 34
4.3. Populasi dan Sampel ... 34
4.3.1. Populasi ... 34
4.3.2. Sampel Penelitian ... 34
4.3.3. Besar Sampel ... 35
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 36
4.5. Bahan/Alat Penelitian ... 36
4.6. Pelaksanaan Penelitian ... 37
4.7. Kerangka Kerja ... 37
4.8. Cara Analisis Data ... 38
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
5.1. Hasil Penelitian ... 39
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 39
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 39
5.1.3. Hasil Analisis Data ... 42
5.2. Pembahasan ... 47
5.2.1. Distribusi Penderita berdasarkan Jenis Kelamin ... 47
5.2.2Distribusi Penderita OMSK berdasarkan Umur ... 48
5.2.3 Distribusi OMSK berdasarkan Jumlah Telinga yang Terlibat 49 5.2.4. Distribusi OMSK berdasarkan Jenis OMSK... . 49
5.2.5. Distribusi OMSK berdasarkan Lama Sakit ... 50
5.2.6. Distribusi Penderita OMSK Berdasarkan Tipe Perforasi.... 50
5.2.7. Distribusi Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Ketulian ... 51
5.2.8. Hubungan Jenis OMSK dengan Jenis Ketulian ... .. 52
5.2.9. Hubungan Jenis OMSK dengan Derajat Ketulian ... 52
5.2.10. Hubungan Lama Sakit dengan Jenis Ketulian ... 53
5.2.11. Hubungan Lama Sakit dengan Derajat Ketulian ... 53
5.2.12. Hubungan Tipe Perforasi dengan Jenis Ketulian ... 53
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
6.1. Kesimpulan ... 56
6.2. Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Derajat Gangguan Pendengaran ... 21
Tabel 5.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39
Tabel 5.2. Distribusi Penderita Berdasarkan Umur ... 40
Tabel 5.3. Distribusi Penderita Berdasarkan Jumlah Telinga yang Terlibat .. 40
Tabel 5.4. Distribusi Telinga Penderita OMSK Berdasarkan Jenis OMSK .... 41
Tabel 5.5. Distribusi Telinga Penderita OMSK Berdasarkan Lama Sakit ... 41
Tabel 5.6. Distribusi Telinga Penderita OMSK Berdasarkan Tipe Perforasi .. 41
Tabel 5.7. Distribusi Telinga Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Ketulian .. 42
Tabel 5.8. Hubungan Jenis OMSK dengan Jenis Ketulian ... 42
Tabel 5.9. Hubungan Jenis OMSK dengan Derajat Ketulian ... .43
Tabel 5.10. Hubungan Lama Sakit dengan Jenis Ketulian ... 44
Tabel 5.11. Hubungan Lama Sakit dengan Derajat Ketulian ... 44
Tabel 5.12. Hubungan Tipe Perforasi dengan Jenis Ketulian ... 45
Tabel 5.13. Modifikasi Tabel Hubungan Tipe Perforasi dengan Jenis Ketulian 46 Tabel 5.14. Hubungan Tipe Perforasi dengan Derajat Ketulian ... 46
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1. Membran Timpani... 6
Gambar 2.2. Kavum Timpani... 8
Gambar 2.3. Tuba Eustachius... 9
Gambar 2.4. OMSK Tipe Tubotimpani... 14
Gambar 2.5. OMSK Tipe Atikoantral... 15
Gambar 2.6. Perforasi Sentral... 16
Gambar 2.7. Perforasi Marginal... 16
Gambar 2.8. Perforasi Atik... 16
Gambar 2.9. Audiogram Tuli Konduktif... 28
Gambar 2.10. Audiogram Tuli Sensorineural... 28
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup
LAMPIRAN 2 Lembar Penjelasan
LAMPIRAN 3 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
LAMPIRAN 4 Data Identitas Diri Peserta Penelitian
LAMPIRAN 5 Data Induk
LAMPIRAN 6 Hasil Analisis Data SPSS
LAMPIRAN 7 Persetujuan Komisi Etik
LAMPIRAN 8 Surat Izin Penelitian
Abstrak
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah yang merupakan penyebab gangguan pendengaran yang paling banyak. Komplikasi gangguan pendengaran ini dapat terjadi akibat berbagai faktor termasuk jenis OMSK, lama sakit, dan tipe perforasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara jenis OMSK, lama sakit, dan tipe perforasi terhadap gangguan pendengaran.
Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, secara
consecutive sampling mulai bulan Juli 2012 sampai dengan September 2012. Dilakukan pemeriksaan THT rutin dan audiometri nada murni terhadap penderita OMSK untuk menentukan jenis dan derajat ketuliannya. Data dianalisa dengan uji
Chi Square, dengan tingkat kemaknaan 5%.
Dari 33 sampel penderita OMSK didapat 51 telinga yang terinfeksi, jenis OMSK yang terbanyak diderita adalah jenis benigna sebanyak 31 telinga (46,3%). Ketulian yang terbanyak diderita adalah tuli konduktif sebanyak 27 telinga
(40,3%) diikuti oleh tuli campur sebanyak 15 telinga (22,4%) dan tuli saraf sebanyak sembilan telinga (13,4%). Dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi membran timpani dengan gangguan pendengaran (p < 0,05).
Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis OMSK, lamanya sakit dan jenis perforasi membran timpani dengan gangguan pendengaran.
Abstract
Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) is a chronic inflammation in the middle ear which is one of the most prevalent causes of hearing impairment. Hearing impairment as the complication may be vary by the tipe of CSOM, duration of illness, dan tipe of tympanic membrane perforation. The aim of this study is to learn the correlation of the type of CSOM, duration of illness and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.
This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of Sumatera Utara / H. Adam Malik Hospital. Sample was collected through Consecutive Sampling, starting from July 2012 to September 2012. CSOM patients underwent routine ENT
examination and Pure Tone Audiometry to determine type and degree of hearing impairment. Data was analysed through Chi Square Test.
From 33 samples of CSOM patients we found 51 infected ears, the most prevalent type of CSOM was benign type about 31 ears (46,3%). The most
prevalent type of hearing impairment was conductive hearing loss 40 ears (62,5%) followed by 23 ears (35,9%) of mixed hearing loss and nine (13,4%) sensorineural hearing loss. Significance correlation was found between CSOM type, duration of illness, and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment (p <
0,05).
Significance correlation was found between CSOM type, length of the disease, and type of tympanic membrane perforation with hearing impairment.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret, yang konsistensinya encer atau kental, bening atau berupa nanah, dari telinga (ottorhea), baik terus menerus atau hilang timbul (Djaafar, 2007).
OMSK adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memberikan dampak tidak hanya terhadap kesehatan, tetapi menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial. Survei prevalensi diseluruh dunia menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65–330 juta orang. Enam puluh persen diantaranya mengalami gangguan pendengaran (WHO, 2004) . Biaya yang diperkirakan perlu dikeluarkan seorang individu dimulai dari diagnosis hingga tatalaksana diperkirakan sekitar 462,7 dollar Amerika per tahunnya (Adoga et al., 2010).
Sekitar 90% penderita OMSK berada di negara miskin dan negara berkembang, yakni di Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Afrika (WHO, 2004). Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh ,dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan faktor yang menjadi dasar terjadinya peningkatan prevalensi OMSK pada negara miskin dan berkembang (Aboet, 2007).
Studi WHO (2004) menunjukkan bahwa sebanyak 35,3% beban OMSK dunia terdapat di Asia Tenggara. Menurut survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996, ditemukan angka kejadian OMSK sebesar 3,8% dari penduduk Indonesia. Dengan kata lain dari 220 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 8,3 juta orang adalah penderita OMSK (Aboet, 2007).
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007).
Tanpa penanganan yang baik, OMSK akan berlanjut menyebabkan berbagai komplikasi antara lain petrositis, paralisis fasial, labirinitis, tromboflebitis, meningitis, dan abses intrakranial. Di antara semua komplikasi ini gangguan pendengaran hampir selalu dilaporkan pada lima puluh persen kasus OMSK (Adoga et al., 2010). Bahkan sebanyak dua pertiga individu dengan gangguan pendengaran berada di negara berkembang dan tuli konduktif akibat OMSK terjadi pada 13.8-36.2% diantaranya (Islam et al., 2010).
Jenis dan derajat gangguan pendengaran yang terjadi pada OMSK dapat bervariasi antara tuli konduktif, tuli sensorineural, dan tuli campuran, dengan derajat ringan hingga berat. Tuli konduktif adalah bentuk yang paling umum ditemukan, namun tidak menutup kemungkinan tuli sensorineural dan tuli campuran dapat terjadi . Hal ini bergantung pada berbagai hal antara lain: jenis OMSK, lama sakit dan lokasi perforasi. (Allabasi, Alsaimary, dan Najim, 2010; Islam et al., 2010; Kasliwal, Joshi, dan Parekeet, 2004).
Secara umum, OMSK dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu OMSK tipe benigna dan OMSK tipe maligna. OMSK tipe maligna berhubungan dengan tingkat morbiditas yang lebih tinggi. Pada OMSK tipe ini sering sekali ditemukan jaringan granulasi, kolesteatoma, dan putusnya rantai tulang pendengaran, hal ini tentunya berhubungan dengan gangguan transmisi gelombang suara yang bermanifestasi sebagai penurunan derajat gangguan dengar. Proses peradangan pada tipe maligna ini juga sering melibatkan tulang mastoid dan tentunya telinga dalam, sehingga akan menyebabkan munculnya jenis ketulian sensorineural di samping tuli konduktif (Islam et al., 2010).
terhadap jenis gangguan pendengaran. Perforasi yang terletak di sentral dan di atik akan menyebabkan terpaparnya fenestra rotunda dan fenestra vestibuli berkontak langsung dengan udara luar sehingga sehingga akan mempermudah proses infeksi ke telinga dalam.
Terdapat korelasi positif antara durasi penyakit OMSK dengan jenis dan derajat gangguan pendengaran yang muncul. Pada OMSK yang telah berlangsung selama 26 tahun, insidensi tuli sensorineuralnya sebesar 33,33% (Kaur, Sonkhya, dan Bapna, 2003) dan sebanyak 50% pasien dengan derajat gangguan dengar sedang dan sedang berat adalah penderita OMSK diatas 10 tahun (Maharjan, 2009). Hal ini disebabkan karena proses peradangan telinga tengah yang berlangsung lama cenderung akan berlanjut semakin parah dan melibatkan struktur disekitarnya termasuk telinga dalam dan tulang pendengaran.
Tala (2010) dalam penelitiannya di RSUP H. Adam Malik Medan antara bulan Mei 2009 hingga Agustus 2010 mendapatkan hubungan antara jenis OMSK, lama sakit, dan derajat jenis perforasi membran timpani terhadap jenis gangguan pendengaran. Secara umum 64 pasien yang ikut serta dalam penelitiannya ditemukan 62,5% adalah tuli konduktif, 1,6% adalah tuli saraf, dan 35,9% adalah tuli campuran.
Penelitian yang dilakukan antara Januari 2007 sampai Desember 2008 di Dhaka terhadap 150 penderita OMSK, didapatkan 80,8% mengalami tuli konduktif, 17,7 mengalami tuli campuran, dan 4% adalah tuli sensorineural (Islam et al., 2010).
Rambe pada penelitiannya yang dilakukan antara April 2002 – Juli 2002 di RSUP H. Adam Malik Medan terhadap 94 sampel telinga penderita OMSK, mendapatkan jenis gangguan pendengaran yang terbanyak dijumpai adalah tuli konduktif sebanyak 75 telinga (79,8%), tuli campur sebanyak 16 telinga (17%) dan tuli saraf sebanyak 3 telinga (3,2%) (Rambe, 2002).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas peneliti merasa perlu dilakukannya penelitian terhadap hubungan antara jenis OMSK dengan gangguan pendengaran.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan jenis OMSK dengan gangguan pendengaran?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan jenis OMSK dengan gangguan pendengaran.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi penderita OMSK berdasarkan jenis kelamin b. Mengetahui distribusi penderita OMSK berdasarkan umur
c. Mengetahui distribusi penderita OMSK berdasarkan jumlah telinga yang terlibat
d. Mengetahui distribusi penderita OMSK berdasarkan jenis OMSK e. Mengetahui distribusi penderita OMSK berdasarkan lama sakit f. Mengetahui distribusi penderita OMSK berdasarkan tipe perforasi g. Mengetahui distribusi penderita OMSK berdasarkan jenis ketulian
h. Mengetahui hubungan jenis OMSK dengan jenis dan derajat gangguan pendengaran.
i. Mengetahui hubungan lamanya sakit dengan jenis dan derajat gangguan pendengaran.
i. Mengetahui hubungan jenis perforasi membran timpani dengan jenis dan derajat gangguan pendengaran
1.4. Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan pertimbangan dalam mengevaluasi pasien OMSK
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruang kecil yang berisi udara yang berada pada os petrosus tulang temporal. Telinga tengah dipisahkan dengan telinga luar oleh membran timpani, dan dengan telinga dalam oleh fenestra vestibuli dan fenestra rotunda (Tortora dan Derrickson, 2009).
Secara umum, telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, dan recessus epitympani.
2.1.1. Membran Timpani
Membran timpani adalah selaput tipis dan halus yang merupakan bagian awal dari sistem konduksi pada telinga tengah. Bentuk membrannya oval dengan bagian superior lebih lebar. Membran ini memiliki panjang vertikal rata-rata 9-10 mm dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm dengan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Pada bagian tepi membran ini terdapat bagian yang mengalami penebalan, suatu bagian yang disebut dengan annulus fibrocartilago. Membran timpani dapat dibagi menjadi dua bagian, bagian superior, tempat dimana annulus fibrocartilago terbuka terdapat area dengan ketebalan membran yang lebih tipis dan lebih longgar disebut dengan pars flaksida. Bagian lain yang menyusun mayoritas dari membran timpani terdiri dari pars tensa, yang ukurannya lebih tebal dan kaku (Bruns et al., 2011).
2.1.2. Kavum Timpani
Secara umum kavum timpani adalah suatu ruang yang berbatasan dengan : a. Paries tegmentalis
Merupakan bagian atap dari telinga tengah yang terdiri dari selapis tulang tipis yang memisahkan telinga tengah dengan fossa cranii media.
b. Paries jugularis
Adalah bagian telinga tengah yang terdiri dari selapis tulang untuk memisahkan telinga tengah dengan vena jugularis interna.
c. Paries membranacea
Dibentuk oleh membran timpani, terutama oleh annulus fibrocartilago
tempat membran ini melakukan insersi. Annulus fibriocartilago yang merupakan lingkaran yang terbuka pada bagian atasnya membentuk
notch of rivinus. d. Paries mastoideum
Membentuk dinding posterior telinga tengah, bagian superior recessus epitympani berlanjut ke pembukaan (aditus) antrum mastoideum. e. Dinding anterior
Terdiri dari tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan arteri carotis interna, bagian superiornya terdapat dua ostium tuba eustachius dan ostium tempat insersi musculus tensor timpani (Drake et al., 2009).
Gambar 2.2. Kavum Timpani (Drake, et al., 2009)
2.1.3. Area Mastoid
Di bagian posterior recessus epitympani terdapat auditus ke antrum mastoideum. Antrum mastoideum merupakan suatu kavitas yang terdiri dari ruangan-ruangan kecil berisi udara yang disebut sel mastoid. Antrum mastoideum dipisahkan dengan fossa cranii media oleh tegmentum timpani (Drake et al., 2009).
2.1.4. Tuba Eustachius
Tuba eustachii disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani, berbentuk seperti huruf “S”. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani dengan nasofaring.
Tuba eustachii terdiri dari 2 bagian yaitu : bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang (1/3 bagian) dan bagian tulang rawan yang terdapat pada bagian depan (2/3 bagian).
drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani.
Gambar 2.3. Tuba Eustachius (Netter, 2003)
2.1.5. Pembuluh Darah
Suplai arteri berasal dari cabang-cabang kecil arteri faringeal asenden, yang merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Perdarahan juga berasal dari dua buah cabang arteri maksilaris, yakni arteri meningea media dan arteri vidianus. Drainase vena bermuara pada pleksus pterigoid di fossa infratemporal (Moore, Dalley, dan Agur, 2008).
2.1.6. Persarafan
2.1.7. Fisiologi Pendengaran
Telinga manusia adalah sistem indera khusus yang berespon terhadap gelombang suara. Gelombang suara sendiri akan dihasilkan dari setiap objek yang bervibrasi. Suara yang dapat didengar didengar oleh manusia adalah suara yang dihasilkan oleh benda yang bervibrasi dengan frekuensi 20-20000 hertz. Selain frekuensinya suara juga ditentukan oleh intensitas atau amplitudonya, semakin besar amplitudo suara, semakin kuat pula suara tersebut terdengar oleh manusia. Intensitas suara ditentukan dengan satuan desibel (Tortora dan Derrickson, 2009).
Proses pendengaran dimulai ketika gelombang suara yang datang mencapai telinga manusia, kemudian suara tersebut difokuskan oleh daun telinga menuju kanalis auditori eksterna. Ketika gelombang suara mengenai membran timpani, membran ini akan bergetar sesuai dengan frekuensi dan intensitas gelombang suara yang datang. Selanjutnya getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran, hingga akhirnya tulang stapes akan menggetarkan
fenestra vestibuli dengan frekuensi dua puluh kali lebih tinggi, hal ini disebabkan karena tulang pendengaran secara efisien mentransmisikan getaran kecil dari daerah dengan permukaan yang lebih luas menuju daerah dengan permukaan lebih sempit (Tortora dan Derrickson, 2009).
berasal dari transmisi getaran melalui tulang tengkorak langung menuju ke telinga tengah, proses ini disebut dengan bone conduction (Ganong, 2003).
2.2. Otitis Media Supuratif Kronik 2.2.1. Definisi
Otitis media supuratif kronik adalah infeksi kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah secara terus menerus. Sekret mungkin encer, kental, bening, atau berupa nanah (Djaafar, 2007).
2.2.2. Etiologi
Infeksi merupakan penyebab terjadinya otitis media supuratif kronik. Agen infeksi yang paling sering menyebabkan OMSK adalah bakteri, bakteri aerob yang terbanyak adalah Staphylococcus aureus 36,1%, diikuti Eschericia coli 27,7 % dan Proteus 19,4%, Pseudomonas aeruginosa 2,8 % (Nursiah, 2000). Diantara bakteri ini Pseudomonas aeruginosa dipercaya sebagai bakteri yang sering menyebabkan kerusakan telinga tengah dan area mastoid yang parah (WHO, 2004).
2.2.3. Patofisiologi
Otitis media supuratif kronik dimulai dengan episode infeksi akut. Iritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah akan menyebabkan edema mukosa. Proses inflamasi yang berkelanjutan pada akhirnya akan menyebabkan ulserasi mukosa dan kerusakan permukaan epitel membran timpani. Sistem pertahanan pejamu yang bertujuan untuk mengeliminasi proses infeksi akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi dan polip pada telinga tengah. Siklus inflamasi, ulserasi, dan pembentukan jaringan granulasi yang terus berulang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada struktur tulang pendengaran.
fenestra rotunda, yang merupakan membran semipermeabel, menyebabkan lewatnya material toksin sehingga mengakibatkan perubahan biokimia pada perilimfe dan endolimfe dan menyebabkan gangguan pada organ of Corti (Allabasi, Alsaimary dan Najim, 2010; Kasliwal, Joshi, dan Pareeket, 2004). Durasi penyakit pada OMSK juga berhubungan dengan jenis dan derajat gangguan pendengaran yang muncul. Pada OMSK yang telah berlangsung selama 26 tahun, insidensi tuli sensorineuralnya sebesar 33,33% (Kaur, Sonkhya, dan Bapna, 2003). Tala (2010) mendapatkan kemunculan tuli sensorineural setelah OMSK yang berlangsung diatas 15 tahun. Sebanyak 50% pasien dengan derajat gangguan dengar sedang dan sedang berat adalah penderita OMSK diatas 10 tahun (Maharjan, 2009). Hal ini disebabkan karena proses peradangan telinga tengah yang berlangsung lama cenderung akan berlanjut semakin parah dan melibatkan struktur disekitarnya termasuk telinga dalam dan tulang pendengaran.
2.2.4. Faktor Resiko
• Otitis media rekuren • Disfungsi tuba eustachius
Tuba eustachius biasanya tertutup dan baru akan terbuka melalui kontraksi
muskulus tensor veli palatini saat mengunyah, menguap, dan menelan. Disfungsi tuba estachius bisa bermanifestasi sebagai kondisi obstruksi yang menyebabkan gangguan drainase sekret telinga tengah ke nasofaring. Gangguan patensi, berupa tidak menutupnya tuba secara sempurna, menyebabkan perpindahan bakteri ke telinga tengah (Paparella dan Levine, 1997).
• Usia muda
Tuba eustachius merupakan salah satu struktur yang masih belum berkembang sempurna. Pada balita, panjang tuba lebih pendek, lebar, dan horizontal, sehingga translokasi bakteri dari daerah tenggorokan ke telinga tengah lebih mudah terjadi. Balita juga kerap dihubungkan dengan penggunaan botol susu, yang dapat menjadi sumber infeksi (Paparella dan Levine, 1997).
Pasien HIV akan mengalami penurunan jumlah CD4+, yang akan menyebabkan penurunan sekresi IL-4, IL-5, dan IFN-γ dan pembentukan imunoglobulin sehingga respon imun spesifik dan non spesifik akan terganggu (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009; Lasisi, 2005).
Agen kemoterapi bekerja dengan cara menggangu mitosis dan menyebabkan apoptosis sel, sel- sel normal dengan kemampuan membelah yang cepat seperti sel retikuloendotelial akan turut mengalami efek ini (Rasmussen dan Arvin, 1982).
• Alergi dengan manifestasi di sistem pernafasan
Alergi dapat menimbulkan otitis media adalah melalui reaksi inflamasi alergi pada mukosa hidung yang meluas ke tuba eustachius. Reaksi inflamasi ini akan menyebabkan edema mukosa yang lebih lanjut akan mempengaruhi fungsi tuba, yaitu ventilasi, proteksi dan drainase telinga tengah. Edema mukosa tuba eustachius dapat disebabkan langsung oleh alergen inhalan yang menimbulkan respon alergi lokal ataupun karena adanya respon imun di tuba eustachii (Susilo, 2010).
• Riwayat pemberian ASI
Pemberian ASI telah diketahui akan memberikan kekebalan humoral berupa IgA, pemberiannya yang tidak adekwuat akan meningkatkan resiko infeksi terutama pada balita (Antonelli, 2004)
• Merokok atau perokok sekunder
Pajanan nikotin diketahui dapat menurunkan ekspresi sitokin pro-inflamasi(TNF-α, IL-1β, dan IL-6) dan kemokin ( RANTES dan IL-8) (Chen et al., 2007; Kum-Nji, Melloy, dan Herrold, 2006).
• Tempat tinggal di lingkungan kumuh
2.2.5. Epidemiologi
Insidensi OMSK diperkirakan sebesar 39 kasus per 100,000 ribu orang (Parry et al., 2009). Prevalensi OMSK di Asia tenggara diperkirakan sebanyak 5,2% (Uddin et al., 2009). Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, Departemen Kesehatan tahun 1993-1996 prevalensi OMSK adalah 3,8% populasi (Aboet, 2007).
2.2.6. Klasifikasi
OMSK dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Pada bentuk ini peradangan umumnya hanya terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Umumnya perforasi terletak di sentral atau pars tensa. Otore umumnya mukopurulen dan tidak berbau, dan biasanya tidak disertai dengan kolesteatoma. Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dari kavum timpani, bentuk ini dibagi lagi menjadi :
a. Penyakit aktif : OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif.
b. Penyakit tidak aktif (tenang) : Keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering (Djaafar, 2007).
2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Bentuk ini umumnya disertai dengan perforasi di marginal ataupun di atik atau pars flaksid. Bentuk ini selalu disertai dengan terbentuknya kantong retraksi yang dapat menyebabkan penumpukan keratin sehingga menghasilkan kolesteatom (Djaafar, 2007).
Gambar2.5. OMSK Tipe Atikoantral (Ludman, 2007)
Bentuk perforasi pada membran timpani :
1. Perforasi sentral
Gambar2.6. Perforasi Sentral (Ludman, 2007)
2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari annulus fibrosus yang sering disertai jaringan granulasi. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom (Helmi, 2005).
Gambar 2.7. Perforasi Marginal (Ludman, 2007)
3. Perforasi atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma (Helmi, 2005).
2.2.7. Gejala Klinis
a.Telinga berair (Otore)
Sekret yang dihasilkan dapat bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( encer) tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar berupa mukus yang tidak berbau dan yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya intermiten. Jika berbau busuk kemungkinan telah terjadi abses atau fistel retroaurikuler, polip atau jaringan granulasi di liang telinga, terlihat kolestetoma pada telinga tengah tanda ini biasanya merupakan tanda dini dari OMSK tipe maligna (Nursiah, 2000).
b.Gangguan pendengaran
Terjadi gangguan pendengaran disebabkan oleh karena putusnya rantai pendengaran dan kerusakan pada membran timpani. Derajat gangguan pendengaran ini ditentukan oleh ukuran dan posisi defek pada membran timpani, rantai osikular, dan derajat edema dan jaringan granulasi (Islam et al., 2010). c.Nyeri telinga (otalgia)
Nyeri adalah keluhan yang tidak lazim, Kemunculan keluhan ini menunjukkan adanya komplikasi intrakranial atau intratemporal ataupun otitis eksterna sekunder (Bruns, 2011).
d.Vertigo
Keluhan vertigo merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat
erosi dinding labirin oleh kolesteatom, kondisi ini dapat juga disebabkan
akibat komplikasi intrakranial ke serebelum (Paparella dan Levine, 1997;
Helmi, 2005).
2.2.8. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan THT terutama dengan menggunakan otoskop. Adapun pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan antara lain :
a. Tes garpu penala
sederhana, efisien, dan relatif murah, namun kekurangannya, tes ini hanya dapat menentukan tipe gangguan pendengaran, tanpa mengetahui derajatnya, dan pemeriksaan ini sangat subjektif.
b. Tes audiometri
Tes audiometri dapat digunakan untuk membedakan jenis gangguan pendengaran beserta dengan derajatnya. Derajat gangguan pendengaran dan nilai ambang pendengaran menurut WHO:
- 0 – 25 dB : normal
- 26 – 40 dB : ringan
- 41 – 60 dB : tuli sedang
- 61 – 80 dB : tuli sedang berat
- > 81 dB : tuli berat c. Pemeriksaan radiologi
Bertujuan untuk melihat ada tidaknya komplikasi intrakranial maupun intratemporal. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :
• Foto polos :
Pada foto polos, proyeksi yang sering digunakan adalah : • Posisi Schuller.
• Proyeksi Mayer dan Owen. • Proyeksi Stenver.
• Proyeksi Chausse III. • CT scan dan MRI (Lee, 2008).
c. Kultur bakteri dan uji sensitifitas
Pseudomonas sebagai salah satu bakteri penyebab utama (Mansoor, 2009) ternyata telah resisten terhadap beberapa golongan antibiotik yang sering digunakan seperti β-laktam, Penisilin, Sefalosporin, Aminoglikosida, Imipinem, Aztreonam, dan Meropenem (Mesaros et al., 2007; Poole, Krebes, dan Neshat, 1993).
2.2.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada OMSK, antara lain : gangguan pendengaran, petrositis, paralisis fasial, labirinitis, tromboflebitis sinus lateral, meningitis, dan abses intrakranial (Bales et al., 2009; Parry et al., 2011).
2.2.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada OMSK perlu memperhatikan jenis OMSK serta komplikasi yang telah menyertainya. Dengan demikian pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga. Terdapat dua prinsip utama dalam terapi OMSK. Pertama adalah eradikasi infeksi, karena keberadaan agen infeksius di telinga tengah dan di kavum mastoideum menentukan tingkat mortalitas dan morbiditas OMSK. Kedua, tertutupnya perforasi membran timpani yang menentukan perbaikan kehilangan pendengaran (WHO, 2004). Secara umum pengobatan OMSK dapat dibagi menjadi dua, konservatif dan operatif.
Tatalaksana konservatif berupa toilet telinga dan pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik diberikan sesuai dengan hasil kultur bakteri dan uji sensitivitas, namun hal ini tidak bisa selalu dilakukan, oleh karena itu pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan pertimbangan bahwa antibiotik yang dipilih haruslah mencakup spektrum bakteri gram positif terutama
Tatalaksana operatif umumnya ditujukan untuk OMSK tipe maligna. Operasi yang dapat dilakukan antara lain: mastoidektomi sederhana, mastoidektomi radikal, mastoidektomi radikal dengan modifikasi, miringoplasti, timpanoplasti, dan timpanoplasti pendekatan ganda (Combined approach tympanoplasty) (Djaafar, 2007; Aboet, 2007).
2.3. Gangguan pendengaran 2.3.1. Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk mendengar suara di salah satu atau kedua telinga (Vorvick, 2011).
2.3.2. Epidemiologi
Diperkirakan terdapat 250 juta individu di dunia yang mengalami gangguan pendengaran. Lima puluh persen gangguan pendengaran yang mereka alami termasuk gangguan pendengaran yang dapat dicegah. Penelitian yang lebih mendalam dilakukan WHO yang melibatkan beberapa negara didapatkan data sebagai berikut :
1. Gangguan pendengaran sedang, sedang-berat, dan berat melibatkan sekitar 5-8 % populasi atau diperkirakan sekitar 110 juta.
2. Presbiakusis sebanyak 5-10 % menjadi penyebab nomor satunya, disusul oleh tuli akibat kebisingan sebanyak 2-6% ( Mathers, Smith, dan Marisol, 2000).
2.3.3. Klasifikasi
Secara umum, gangguan pendengaran dapat dibagi atas tiga jenis : a. Tuli konduktif
Tuli konduktif terjadi oleh karena berkurangnya transmisi gelombang suara ke koklea. Gangguan ini disebabkan karena terganggunya kerja sistem konduksi penghantaran suara.
Tuli sensorineural disebabkan oleh karena terganggunya proses transmisi gelombang suara di telinga bagian dalam maupun pada nervus koklearis.
c. Tuli campuran
Tuli campuran adalah tuli yang memiliki komponen tuli konduktif dan tuli sensorineural (Shah, 2011).
2.3.4. Derajat Gangguan Pendengaran
Derajat gangguan pendengaran dapat ditentukan setelah dilakukan
pemeriksaan audiometer, pasien kemudian diklasifikasikan menurut tabel berikut:
Tabel 2.1. Derajat Gangguan Pendengaran (WHO, 2012) Derajat
Gangguan
Ambang Pendengaran
Interpretasi
0: Normal 0 – 25 dB Tidak ada / sedikit gangguan, dapat mendengar bisikan
1: Ringan 26 – 40 dB Dapat mendengar dan
mengulangi kata yang diucapkan dengan suara normal pada jarak 1 meter
2: Sedang 41 – 60 dB Dapat mendengar dan
mengulangi kata yang diucapkan dengan suara keras pada jarak 1 meter
3: Sedang- Berat
61 – 80 dB Dapat mendengar beberapa kata yang diteriakkan pada telinga yang lebih sehat
memahami kata walaupun dengan suara teriak
Beratnya gangguan pendengaran bergantung kepada besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah. Perforasi pada membran timpani akan menyebabkan gangguan transmisi suara ke tulang-tulang pendengaran sehingga penghantaran suara dari telinga luar ke telinga tengah akan berkurang (Djaafar, 2007).
Lokasi perforasi juga menentukan derajat gangguan pendengaran pada individu dengan gangguan pendengaran. Perforasi pada kuadran posterior diketahui akan menyebabkan gangguan pendengraan yang lebih parah daripada perforasi pada bagian anterior, oleh karena terpaparnya fenestra rotunda terhadap gelombang suara secara langsung. Perforasi pada lokasi insersi manubrium
mempunyai efek terburuk, karena secara langsung berefek pada mobilitas sistem tulang pendengaran (Bhusal, Ghuragain, dan Shirastav, 2007; Ibekwe, Nwaorgu, dan Ijaduola, 2009; Maharjan et al., 2009).
Beratnya gangguan pendengaran juga dipengaruhi oleh ukuran perforasi. Perforasi sebesar 1.51%–89.05% berkorelasi positif dengan derajat gangguan pendengaran, hal ini disebabkan karena perforasi yang lebih besar dapat menyebabkan lebih banyak kehilangan suara yang ditransmisikan ke telinga dalam (Ibekwe, Nwaorgu, dan Ijaduola, 2009).
2.3.5. Etiologi
a. Tuli konduktif
• Kelainan telinga: anotia/mikrotia, atresia, abnormalitas daun telinga,
miringosklerosis, timpanosklerosis • Impaksi serumen atau benda asing • Perforasi membran timpani
menyebabkan gangguan pendengaran hingga 60 dB (Bhusal, Ghuragain, dan Shirastav, 2007).
Membran timpani mempunyai peran penting dalam pendengaran, yakni sebagai suatu pelindung agar gelombang suara tidak langsung mencapai fenestra rotunda dan fenestra vestibuli. Perforasi pada membran timpani akan mengurangi luas permukaan membran timpani yang tersedia untuk transmisi gelombang suara, sehingga gelombang suara akan langsung mencapai telinga tengah. Tanpa mengenai membran timpani proses amplifikasi gelombang suara tidak akan maksimal. Luas perforasi akan berbanding lurus dengan derajat gangguan pendengaran (Mehta et al., 2006).
Secara umum, perforasi pada membran timpani dapat dibagi atas :
- Perforasi sentral, perforasi yang tidak melibatkan bagian annulus.
- Perforasi subtotal, perforasi yang melibatkan pars tensa dengan lebar lebih dari 50% dan hanya menyisakan bagian annulus yang utuh.
- Perforasi total, perforasi yang melibatkan seluruh pars tensa termasuk bagian annulus.
- Perforasi atik, perforasi yang melibatkan pars flaksid (Islam et al., 2010; Nepal et al., 2001).
• Inflamasi/infeksi : otitis eksterna, otitis media akut, otitis media serosa, otitis
media kronik, otomikosis, furunkulosis, herpes zoster otikus, perikondritis, selulitis.
• Trauma : komplikasi operasi, trauma kepala, dan barotrauma.
• Kelainan tulang : otosklerosis, osteogenesis imperfecta, dan osteopetrosis (Shah, 2011).
b. Tuli sensorineural
Penyebab tuli sensorineural secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni : (i) Tuli sensorineural yang didapat:
• Proses infeksi.
• Obat Sitotoksik.
• Penyakit yang menyerang sistem saraf. • Penyakit kelainan tulang.
• Trauma kepala, dan barotrauma (Arts, 2005;Frymark, 2010; Kirchner, 2012; Loh, 2005).
(ii) Tuli sensorineural kongenital c. Tuli campuran.
• Pasien tuli sensorineural yang mengalami tuli konduktif. • Infeksi telinga tengah.
• Otosklerosis.
• Large Vestibular Aqueduct Syndrome (Berkiten, 2011; Young, 2001).
2.3.6. Gejala Klinis
Pasien yang mengalami gangguan pendengaran tidak akan merasakan gejala apapun pada awalnya, hanya saja ia akan merasakan suara-suara yang didengarnya menjadi lebih halus, sehingga meminta lawan berbicara untuk berbicara lebih keras, menaikkan volume televisi dan radio, dan pada akhirnya ia akan mengalami kesulitan untuk memahami kata-kata dalam kalimat lawan bicaranya.
Penderita gangguan pendengaran dengan onset sejak masa kanak-kanak akan mengalami gejala yang lebih serius berupa keterlambatan bicara, gangguan intelektual, dan bahkan gangguan psikologis berupa penarikan diri dari lingkungan karena ketidakmampuan untuk melakukan interaksi sosial (Ashitani et al., 2011).
2.3.7. Diagnosis
a. Anamnesis
riwayat pembedahan telinga, riwayat pemakaian obat-obatan, dan penyakit penyerta lainnya (Arts, 2005).
b. Pemeriksaan fisik
Pasien dengan gangguan pendengaran harus mendapat evaluasi berupa inspeksi ada tidaknya kelainan telinga luar yang dapat mengganggu konduksi gelombang suara, obstruksi liang teling oleh benda asing maupun serumen, perforasi membran timpani, kolesteatoma, maupun cairan di telinga tengah (Shah, 2011).
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dengan menggunakan CT scan dan MRI untuk menemukan penyebab retrokoklea, pemeriksaan genetik juga dapat dilakukan untuk mentukan defek genetik terutama pada tuli sensorineural. Salah satunya dalah Connexin-26 yang merupakan marker untuk tuli genetik. BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry), OAE (Otoacoustic Emission), dan Audiometri dapat digunakan untuk menentukan derajat ketulian (Kemperman et al., 2002; Shah, 2011).
2.4. Pemeriksaan Pendengaran 2.4.1. Audiometri
Sistem pendengaran dapat terstimulasi oleh gelombang suara melalui dua cara. Pertama, gelombang suara yang berasal dari udara kemudian ditransmisikan ke telinga luar, telinga tengah hingga akhirnya mencapai telinga dalam, proses ini disebut hantaran udara. Kedua, melalui gelombang suara yang menyebabkan vibrasi tulang tengkorak, vibrasi kemudian ditransmisikan secara langsung menuju telinga dalam, proses ini disebut dengan hantaran tulang. Audiometer adalah alat pemeriksaan pendengaran yang bekerja berdasarkan prinsip ini.
nada dengan interval setengah oktaf : 750, 1500, 3000, dan 6000 hertz. Rentang intensitas yang dapat dihasilkan alat ini adalah -10 dB hingga 110 dB (Martin dan Greer, 2009).
Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing telinga secara terpisah. Pemeriksaan hantaran udara menggunakan earphone, sementara pemeriksaan hantaran tulang menggunakan vibrator yang ditempelkan pada mastoid atau dahi melalui suatu head band, vibrator ini akan menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan cairan dalam koklea.
Hasil pemeriksaan audiometri dipresentasikan ke dalam audiogram. Audiogram berbentuk suatu grafik yang menunjukkan ambang pendengaran sebagai suatu fungsi frekuensi. Simbol hantaran udara dihubungkan dengan menggunakan garis penuh, sementara simbol hantara tulang dihubungkan dengan menggunakan garis putus-putus. Terdapat 3 variabel yang perlu diketahui dalam audiogram. Frekuensi suara yang dipajankan (Hz), intensitas suara yang dipajankan (dB HL), dan metode presentasi suara ( udara atau tulang). Skala dB HL (Decibels Hearing Loss) digunakan dalam klinis. Skala 0 menunjukkan frekuensi suara pada intensitas terendah yang masih dapat didengar oleh individu normal yang berusia 18 tahun. Ambang 30 dB HL menunjukkan suara baru dapat didengar setelah intensitasnya ditingkatkan 30 dB diatas ambang batas normal. Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam desibel dari tiap frekuensi yang masih dapat didengar (ambang dengar) ( Bess dan Humes, 2008).
Prosedur untuk menentukan ambang pendengaran dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Persiapan pasien :
1. Diawali dengan melakukan pemeriksaan otoskop untuk melihat kondisi liang telinga agar tidak terjadi kesalahan interpretasi beda hantaran tulang-udara (Air-Bone Gap).
3. Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan earphone, seperti anting-anting, kacamata, wig, topi, permen karet harus disingkirkan.
4. Instruksi harus jelas dan tepat. Pasien perlu mengetahui apa yang didengar dan apa yang diharapkan sebagai jawabannya. Pasien harus didorong untuk memberi jawaban terhadap bunyi terlemah yang masih dapat didengarnya.
5. Lubang earphone harus tepat menempel pada lubang telinga. b. Penentuan ambang pendengaran
Periksalah telinga yang lebih baik terlebih dahulu menggunakan rangkaian frekuensi berikut : 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz, 1000 Hz (diulang), 500 Hz, 250 Hz.
1. Mulailah dengan intensitas 0 dB, kemudian intensitas dinaikkan selama 1-2 detik supaya jelas didengar oleh pasien.
2. Sesudah itu kembali ke 0 dB atau paling sedikit sampai pasien tidak dapat mendengar lagi.
3. Intensitas dinaikkan lagi sampai penderita dapat mendengar lagi.
4. Dengan perlahan-lahan intensitas diturunkan 5 dB kembali sampai penderita tidak dapat mendengar lagi.
5. Kemudian dinaikkan 10 dB kembali hingga penderita mendengar.
6. Setelah menentukan ambang pendengaran untuk frekuensi pengujian awal, cantumkan simbol yang sesuai pada audiogram.
7. Lanjutkan dengan frekuensi berikutnya dalam rangkaian. Mulailah nada tersebut pada tingkatan yang lebih rendah 15-20 dB dari ambang frekuensi sebelumnya (Humes dan Bess, 2003).
Peranan terpenting dalam interpretasi audiogram terdapat pada hubungan antara ambang hantaran udara dan hantaran tulang, yaitu ada tidaknya beda udara-tulang (Air-Bone Gap). Secara garis besar hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Bila ambang hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara sebesar 10 dB
atau lebih dan normal, maka tuli bersifat konduktif.
• Bila ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan keduanya tidak normal, maka tuli bersifat sensorineural.
• Bila ambang hantaran tulang berkurang, namun masih lebih baik dari
hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih, maka tuli bersifat campuran.( Lassman, 1997).
Gambar 2.9. Audiogram Tuli Konduktif (Onerci, 2009)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel independen Variabel dependen
3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Penelitian
a. Variabel tergantung (dependen) : jenis dan derajat gangguan pendengaran.
b. Variabel bebas (independen) : jenis OMSK, lama sakit, jenis perforasi membran timpani.
3.2.2. Definisi Operasional Variabel a. Jenis OMSK
Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otore) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul. Pasien OMSK ditegakkan oleh dokter di poliklinik THT RSUP H. Adam Malik dan diklasifikasikan sebagai OMSK benigna atau OMSK maligna.
a. Cara ukur : observasi
c. Alat ukur : otoskop
d. Skala pengukuran : nominal e. Hasil pengukuran :
- Otitis media supuratif kronis tipe benigna: Jenis OMSK
Lama Sakit
Jenis Perforasi
• Perforasi letaknya sentral pada pars tensa, perforasi dapat subtotal
atau total. Bila perforasi total, masih tampak pinggir membran timpani (annulus timpanikus).
• Jarang terdapat granulasi atau polip.
• Sekret mukoid atau mukopurulen dan tidak berbau busuk. - Otitis media supuratif kronis tipe maligna:
• Perforasi letaknya di marginal atau atik. Bila perforasi total, maka
annulus timpanikus tidak ada lagi. • Sering terdapat granulasi dan polip.
• Sekret purulen dan berbau busuk (Tala, 2010).
b. Jenis Perforasi Membran Timpani
Perforasi membran timpani adalah kondisi rupturnya atau terbentuk celah pada membran timpani.
a. Cara ukur : observasi b. Alat ukur : otoskop c. Skala ukur : nominal
d. Hasil pengukuran : untuk menentukan jenis perforasi membran timpani digunakan kriteria:
- Perforasi sentral, perforasi yang tidak melibatkan bagian annulus.
- Perforasi subtotal, perforasi yang melibatkan pars tensa dengan lebar lebih dari 50% dan hanya menyisakan bagian annulus yang utuh.
- Perforasi total, perforasi yang melibatkan seluruh pars tensa termasuk bagian annulus.
- Perforasi atik, perforasi yang melibatkan pars flaksid (Islam et al., 2010; Nepal et al., 2001).
c. Lama Sakit
a. Cara ukur : wawancara b. Alat ukur : kuesioner c. Skala ukur : ordinal
d. Hasil pengukuran : hasil pengukuran dikategorikan sebagai berikut :
- < 10 tahun
- > 10 tahun (Kaur, Sonkhya, dan Bapna, 2003; Maharjan et al., 2009; Tala, 2010).
d. Jenis Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah gangguan proses mendengar yang berdasarkan letak lokasi kelainannya terbagi atas tiga jenis yaitu:
- Tuli konduktif, dimana kelainannya terletak mulai dari telinga luar sampai ke telinga tengah.
- Tuli sensorineural, dimana kelainannya terletak pada telinga dalam dan pusat pendengaran.
- Tuli campur, dimana kelainannya merupakan gabungan dari tulikonduktif dan sensorineural.
a. Cara ukur : observasi
b. Alat ukur : audiometri nada murni c. Skala ukur : nominal
d. Hasil pengukuran : jenis gangguan pendengaran dikategorikan berdasarkan hasil pembacaan audiogram, yaitu :
- Tuli konduktif, dimana bila ambang hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih.
- Tuli sensorineural, bila ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan keduanya tidak normal.
e. Derajat Gangguan Pendengaran
Derajat gangguan pendengaran menunjukkan tingkat keparahan gangguan pendengaran yang dikategorikan berdasarkan derajat gangguan pendengaran WHO.
a. Cara ukur : observasi
b. Alat ukur : audiometri nada murni c. Skala ukur : ordinal
d. Hasil pengukuran : derajat gangguan pendengaran dikategorikan berdasarkan derajat gangguan pendengaran WHO :
- 0 – 25 dB : normal
- 26 – 40 dB : tuli ringan
- 41 – 60 dB : tuli sedang
- 61 – 80 dB : tuli sedang berat
- >81 dB : tuli berat
3.3. Hipotesis
Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
• Ada hubungan antara jenis OMSK dengan jenis dan derajat gangguan
pendengaran
• Ada hubungan antara tipe perforasi dengan jenis dan derajat gangguan
pendengaran
• Ada hubungan antara lama sakit dengan jenis dan derajat gangguan
BAB 4
METODE PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (Cross Sectional), yaitu suatu penelitian yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoadmodjo, 2010).
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan. Rumah sakit ini dipilih karena merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.
4.2.2. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan mulai Juli 2012 sampai dengan September 2012.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
a. Populasi Target : Semua penderita OMSK
b. Populasi Terjangkau : Semua penderita OMSK yang datang berobat ke poliklinik THT RSUP. H. Adam Malik Medan mulai Juli 2012 sampai dengan September 2012.
4.3.2. Sampel Penelitian
dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Adapun kriteria inklusi dan eksklusi yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
Kriteria inklusi:
a. Penderita OMSK yang ditegakkan oleh dokter. b. Usia antara 12 sampai 60 tahun.
c. Bersedia menjadi sampel penelitian telah menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent).
Kriteria eksklusi:
a. Menderita tuli kongenital.
b. Menderita penyakit yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran (penyakit sistemik, penyakit yang menyerang sistem saraf, kelainan tulang).
c. Riwayat/sedang menggunakan obat-obatan yang bersifat ototoksik. d. Riwayat terpapar bising yang lama atau terpapar bunyi yang sangat keras. e. Riwayat trauma kepala dan barotrauma.
f. Penderita yang pernah dilakukan operasi timpanomastoidektomi.
4.3.3. Besar Sampel
Besar sampel minimal ditentukan dengan menggunakan rumus dibawah ini (Notoadmodjo, 2010):
n : besar sampel. Z1-α/2 : tingkat kemaknaan.
P : proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari.
Pada penelitian ini, ditetapkan nilai α sebesar 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) sehingga untuk uji hipotesis satu arah diperoleh nilai sebesar 1,645, Proporsi pasien OMSK yang mengalami gangguan dengar adalah sebesar 86% (Sheahan, Donnelly, dan Kane, 2001 dalam Tala, 2010), dan derajat penyimpangan terhadap populasi yang dikehendaki sebesar 10%. Berdasarkan rumus di atas, besarnya sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
4.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masing-masing sampel penelitian, meliputi jenis OMSK, lama sakit, jenis perforasi membran timpani serta jenis dan derajat gangguan pendengaran. Pengumpulan data dilakukan langsung dengan oleh peneliti terhadap sampel penelitian.
4.5. Bahan/Alat Penelitian
a. Catatan medis penderita dan kuesioner penelitian. b. Formulir persetujuan penelitian.
c. Lampu kepala merek Riester. d. Spekulum telinga tipe Hartmann. e. Otoskop merek Heine Mini 2000.
f. Spekulum hidung, spatel lidah, kaca laring. g. Alat penghisap/suction merk Thomas Medipump. h. Kanul penghisap nomor 6 dan nomor 8 tipe Fergusson. i. Kapas lidi (cotton applicator).
4.6. Pelaksanaan Penelitian
Semua sampel penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pemeriksaan telinga untuk menentukan jenis OMSK dan tipe perforasi, kemudian dilakukan pembersihan telinga dengan menggunakan kapas lidi atau
suction. Selanjutnya pendengaran sampel diperiksa dengan audiometri nada murni dengan menggunakan frekuensi 125 Hz – 8000 Hz untuk hantaran udara dan frekuensi 250Hz – 4000Hz untuk hantaran tulang. Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas di ruang audiometri. Interpretasi hasil pembacaan audiogram untuk menentukan jenis dan derajat gangguan pendengaran dilakukan oleh peneliti atas panduan dokter di poliklinik THT RSUP H. Adam Malik.
4.7. Kerangka Kerja
Pasien OMSK
Anamnesis
Pemeriksaan THT
Memenuhi Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Audiometri Nada Murni
4.8. Cara Analisis Data
1. Analisis univariat
Analisis data univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari seluruh variabel penelitian. Penyajian akan didistribusikan dalam bentuk tabel.
2. Analisis bivariat
Analisis data bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Hubungan jenis OMSK, tipe perforasi,dan lama sakit terhadap jenis dan derajat gangguan dianalisis secara statistik dengan bantuan program komputer Statistic Package for Social Science
(SPSS) dan untuk menilai hubungan kebermaknaan dilakukan uji Chi square jika memenuhi syarat, yaitu, bila tidak lebih dari 20% expected count bernilai kurang dari 5 dan masing-masing sel bernilai 1 atau lebih. Jika tidak memenuhi syarat maka untuk tabel berukuran lebih besar dari 2x2 dilakukan penggabungan sel agar dapat memenuhi syarat uji Chi Square, namun jika belum juga memenuhi syarat, maka tabel diubah ke bentuk 2xn dan diuji hipotesisnya dengan menggunakan uji
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala dan Leher Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. RSUP Haji Adam Malik merupakan rumah sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VIII/1990. RSUP Haji Adam Malik Medan menjadi sentra rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.
RSUP Haji Adam Malik Medan terletak di Jalan Bunga Lau Nomor 17 Medan, Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan, Sumatera Utara.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Sampel yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 33 orang dengan jumlah telinga yang terinfeksi sebanyak 51 telinga. Distribusi frekuensi responden meliputi umur, jenis kelamin, jumlah telinga yang terlibat OMSK, lama sakit, distribusi penderita berdasarkan jenis OMSK, distribusi penderita berdasarkan jenis perforasi membran timpani, dan distribusi penderita berdasarkan jenis ketulian.
Tabel 5.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah %
Laki-laki Perempuan
13 20
39,3 60,6
Total 33 100
Tabel 5.2. Distribusi Penderita Berdasarkan Umur
Data diatas menunjukkan kelompok umur yang paling banyak menderita OMSK adalah umur 12-20 tahun sebanyak 13 orang (39,4%), kemudian disusul kelompok umur 21-30 sebanyak 9 orang (27,3%), kelompok umur 31-40 sebanyak 5 orang (15,1%), kelompok umur 41-50 sebanyak 4 orang (12,1%), dan kelompok umur yang paling sedikit menderita OMSK adalah kelompok 51-60 tahun sebanyak 2 orang (6,1%). Usia penderita yang menjadi sampel adalah 13 tahun dan yang tertua berusia 56 tahun.
Tabel 5.3. Distribusi OMSK Berdasarkan Jumlah Telinga yang Terlibat
Telinga Jumlah %
Tabel 5.4. Distribusi Telinga Penderita OMSK Berdasarkan Jenis OMSK
Hasil penelitian menunjukkan jenis OMSK yang paling banyak diderita adalah OMSK benigna sebanyak 31 telinga (60,8%), sedangkan OMSK tipe maligna sebanyak 20 telinga (39,2%).
Tabel 5.5. Distribusi Telinga Penderita OMSK Berdasarkan Lama Sakit
Lama Sakit Jumlah %
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa penderita OMSK yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun sebanyak 29 telinga (56,9%) dan penderita OMSK yang telah berlangsung kurang dari 10 tahun sebanyak 22 orang (43,1%).
Tabel 5.6. Distribusi Telinga Penderita OMSK Berdasarkan Tipe Perforasi
Dari hasil penelitian didapatkan tipe perforasi yang paling banyak dijumpai adalah perforasi subtotal sebanyak 17 telinga (33,3%), kemudian perforasi sentral sebanyak 13 telinga ( 25,5%), perforasi atik sebanyak 11 telinga (21,6%), dan perforasi total sebanyak 10 telinga (19,6%).
Tabel 5.7. Distribusi Telinga Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Ketulian
Jenis Ketulian Jumlah %
Dari hasil penelitian didapatkan jenis ketulian konduktif sebanyak 27 telinga (53%), tuli sensorineural sebanyak 9 telinga (17,4%), dan tuli campuran sebanyak 15 telinga (29,4%).
5.1.3. Hasil Analisis Data
Tabel 5.8. Hubungan Jenis OMSK dengan Jenis Ketulian
Jenis
sebanyak 3 telinga dan yang menderita tuli campuran sebanyak 13 telinga. Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square didapatkan nilai p < 0,001. Nilai p
yang lebih kecil dari derajat kepercayaan yang ditentukan yaitu p < 0,05 menyebabkan ditolaknya hipotesis nol, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jenis OMSK dengan jenis ketulian.
Tabel 5.9. Hubungan Jenis OMSK dengan Derajat Ketulian
Jenis OMSK
Derajat Tuli
Ringan % Sedang % Sedang Berat
% Berat % Total %
Benigna 12 23.5 12 23.5 2 3.9 5 9.8 31 60.8
Maligna 3 5.9 2 3.9 11 21.6 4 7.8 20 39.2
Total 15 15 14 27.5 13 25.5 9 17.6 51 100
X2 = 17,318, df = 3, p = 0,001
Dari hasil penelitian didapatkan penderita OMSK tipe benigna menderita tuli derajat ringan yaitu 12 telinga, yang menderita tuli derajat sedang sebanyak 12 telinga, tuli derajat sedang berat sebanyak 2 telinga dan tuli derajat berat sebanyak 5 telinga. Ketulian derajat sedang berat paling banyak dijumpai pada OMSK tipe maligna, yaitu sebanyak 11 telinga, kemudian tuli derajat berat sebanyak 4 telinga, tuli derajat ringan sebanyak 3 telinga dan tuli derajat sedang sebanyak 2 telinga. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan Chi-Square
Tabel 5.10. Hubungan Lama Sakit dengan Jenis Ketulian
X2 = 17,359, df = 2, p < 0,001
Dari hasil penelitian didapatkan penderita OMSK yang telah berlangsung selama kurang dari 10 tahun menderita tuli konduktif sebanyak 19 telinga, sementara tuli sensorineural dan tuli campuran masing-masing sebanyak 1 telinga dan 2 telinga. Pasien OMSK yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun paling banyak menderita tuli campuran yaitu sebanyak 13 telinga, kemudian tuli konduktif sebanyak 8 telinga, dan tuli sensorineural sebanyak 8 telinga. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan Chi-Square didapatkan nilai p < 0,001 (p < 0,05) , sehingga dapat dinyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya sakit yang diderita oleh pasien OMSK dengan jenis ketulian.
Tabel 5.11. Hubungan Lama Sakit dengan Derajat Ketulian
Lama Sakit
Derajat Tuli Ringan % Sedang % Sedang
Berat
% Berat % Total %
<10 tahun 19 37.3 1 2 2 3.9 2 3.9 22 43.1
> 10 tahun 8 15.7 8 15.7 13 25.5 7 13.7 29 56.9
Total 27 52.9 9 17.6 15 29.4 9 17.6 51 100
X2 = 10,891, df = 3, p = 0,012
Dari hasil penelitian didapatkan penderita OMSK yang berlangsung kurang dari 10 tahun paling banyak menderita tuli sedang sebanyak 10 telinga,
Lama Sakit Jenis Tuli
Konduktif % Sensorineural % Campuran % Total %
<10 tahun 19 37.3 1 2 2 3.9 22 43.1
> 10 tahun 8 15.7 8 15.7 13 25.5 29 56.9
tuli derajat ringan sebanyak 8 telinga, tuli derajat sedang berat 2 telinga dan tuli derajat berat sebanyak 2 telinga. Sementara pasien OMSK yang telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun paling banyak menderita tuli derajat sedang berat sebanyak 11 telinga, tuli derajat ringan dan berat berjumlah sama sebanyak 7 telinga, dan tuli derajat sedang sebanyak 4 telinga.
Hasil uji hipotesis dengan menggunakan Chi Square didapatkan nilai p = 0,012 (p < 0,05), sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna antara lama sakit dengan derajat ketulian.
Tabel 5.12. Hubungan Tipe Perforasi dengan Jenis Ketulian
Tipe Perforasi
Jenis Tuli
Konduktif % Sensorineural % Campuran % Total %
Sentral 8 15.7 4 7.8 1 2 13 25.5
Subtotal 15 29.4 2 3.9 0 0 17 33.3
Total 3 5.9 0 0 7 13.7 10 19.6
Atik 1 2 3 5.9 7 13.7 11 21.6
Total 27 52.9 9 17.6 15 29.4 51 100
Dari hasil penelitian didapatkan pasien OMSK dengan tipe perforasi sentral menderita tuli konduktif sebanyak 8 telinga, tuli sensorineural sebanyak 4 telinga, tuli campuran sebanyak 1 telinga. Pada perforasi subtotal ketulian konduktif dan sensorineural ditemukan dengan jumlah masing-masing 15 dan 2 telinga dan tidak ditemukan tuli campuran. Pasien dengan perforasi total menderita tuli konduktif dan tuli campuran dengan jumlah masing-masing 3 telinga dan 7 telinga, namun tidak ditemukan tuli sensorineural. Ditemukan tuli campuran sebanyak 7 telinga dan tuli sensorineural sebanyak 3 telinga pada perforasi atik, sementara tuli konduktif ditemukan hanya 1 telinga.
Tabel 5.13. Modifikasi Tabel Hubungan Tipe Perforasi dengan Jenis
Setelah dilakukan penggabungan sel, tabel ini telah memenuhi syarat untuk diuji dengan menggunakan Chi Square dan didapatkan nilai p < 0,001 (p <
0,05), sehingga dapat dinyatakan adanya hubungan yang bermakna antara tipe perforasi timpani dengan jenis ketulian.
Tabel 5.14. Hubungan Tipe Perforasi dengan Derajat Ketulian
Tipe