DAMPAK KEBIJAKAN BHMN TERHADAP POLA PIKIR MAHASISWA
(Studi Kasus Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
040901056
ASHARI AMANDA P. LUBIS
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis akhirnya dapat
merampungkan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga tidak lupa penulis
ucapkan kepada Nabi Muhammad S.a.w. Di dalam pengerjaan skripsi ini sendiri
banyak pihak yang membantu penulis sehingga pada akhirnya penulis dapat
merampungkan skripsi ini dan dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
2. Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
3. Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku Dosen Wali sekaligus Dosen
Pembimbing yang berkat arahan dan bimbingannyalah penulis dapat
menghasilkan suatu karya akhir penelitian ini.
4. Keluarga besarku tercinta, kakakku, adikku, dan terutama Ibundaku
tercinta yang selalu sabar dan memberikan motivasi terbesar untuk
menyelesaikan jenjang pendidikan ini.
5. Seluruh dosen departemen Sosiologi yang telah banyak memberikan ilmu
kepada penulis yang mudah-mudahan dapat dipergunakan penulis untuk
membantu khalayak.
6. Seluruh teman-teman Stambuk 2004 Departemen Sosiologi yang selama
ini menemani penulis di dalam mengenyam jenjang pendidikan ini.
7. Seluruh keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
8. Seluruh keluarga besar Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
Dalam kesempatan ini penulis juga berharap bahwa penelitian skripsi ini
semoga dapat berguna dan menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi kita
semua.
Medan, 26 Maret 2011
Penulis,
ABSTRAKSI
Perguruan Tinggi Negeri( (PTN) pada tahun 1999 memasuki satu babak
baru dalam bentuk pendidikan. Pada tahun ini sebuah rumusan baru ditawarkan
dan diuji coba kepada 4 Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Adapun
rumusan baru itu sendiri adalah sebuah konsep yang membebaskan keempat
perguruan tinggi tersebut untuk mengelola keuangan dan kebijakannya
masing-masing tanpa harus menunggu koordinasi dan instruksi dari pemerintah pusat.
Konsep inilah nantinya akan menjadi cikal bakal sebagai konsep Badan Hukum
Milik Negara (BHMN).
Di tahun 2003 Universitas Sumatera Utara secara resmi mengumumkan
pengalihan status menjadi BHMN. Meskipun menuai banyak kontroversi status
baru ini tetap dijalankan dan bahkan hingga hari ini. Kajian mengenai konsep
BHMN ini sendiri memang telah banyak dilakukan dan pro kontra mengenai
konsep baru ini juga terus terjadi hingga saat ini.
Setelah 7 tahun berjalannya perubahan status USU menjadi BHMN
dampak-dampak yang telah ditimbulkannya juga semakin dapat kita amati dan
cermati. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebutlah penulis merasa
tertarik untuk meneliti apa-apa saja dampak-dampak yang ditimbulkannya dan
adakah pengaruh perubahan status USU menjadi BHMN dengan perubahan pola
pikir mahasiswa.
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ... 6
1.2. Rumusan Masalah ... 16
1.3. Tujuan Penelitian ... 17
1.4. Manfaat Penelitian ... 17
1.5. Defenisi Konsep ... 18
1.5.1. Dampak ... 18
1.5.2. Kebijakan ... 18
1.5.3. BHMN ... 19
1.5.4. Pola Pikir ... 19
1.5.5. Mahasiswa ... 19
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan ... 21
2.2. Teori Hegemoni ... 23
2.3. Teori Dahdendrof tentang Kekuasaan ... 25
2.4. Teori Alienasi Manusia ... 27
2.5. Teori Human Investment ... 30
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 33
3.2. Lokasi Penelitian ... 34
3.3. Unit Analisis dan Informan ... 34
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 35
3.5. Interpretasi Data ... 37
BAB 4 DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Profil Universitas Sumatera Utara ... 38
4.2. Profil Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ... 40
4.4. Dampak yang Ditimbulkan dari Penerapan USU sebagai BHMN ... 48
4.4.1. Dampak Pola Pikir ... 48
4.4.2. Dampak-Dampak Positif ... 53
4.4.3. Dampak-Dampak Negatif ... 57
BAB 5 KESIMPULAN ... 64
ABSTRAKSI
Perguruan Tinggi Negeri( (PTN) pada tahun 1999 memasuki satu babak
baru dalam bentuk pendidikan. Pada tahun ini sebuah rumusan baru ditawarkan
dan diuji coba kepada 4 Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Adapun
rumusan baru itu sendiri adalah sebuah konsep yang membebaskan keempat
perguruan tinggi tersebut untuk mengelola keuangan dan kebijakannya
masing-masing tanpa harus menunggu koordinasi dan instruksi dari pemerintah pusat.
Konsep inilah nantinya akan menjadi cikal bakal sebagai konsep Badan Hukum
Milik Negara (BHMN).
Di tahun 2003 Universitas Sumatera Utara secara resmi mengumumkan
pengalihan status menjadi BHMN. Meskipun menuai banyak kontroversi status
baru ini tetap dijalankan dan bahkan hingga hari ini. Kajian mengenai konsep
BHMN ini sendiri memang telah banyak dilakukan dan pro kontra mengenai
konsep baru ini juga terus terjadi hingga saat ini.
Setelah 7 tahun berjalannya perubahan status USU menjadi BHMN
dampak-dampak yang telah ditimbulkannya juga semakin dapat kita amati dan
cermati. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebutlah penulis merasa
tertarik untuk meneliti apa-apa saja dampak-dampak yang ditimbulkannya dan
adakah pengaruh perubahan status USU menjadi BHMN dengan perubahan pola
pikir mahasiswa.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Krisis yang melanda pada tahun 1998 secara tidak langsung berdampak
banyak ke dalam setiap sektor yang ada. Tidak terkecuali dengan sektor
pendidikan. Krisis yang terjadi ternyata juga mau tidak mau mengalami dampak
terhadap anggaran pemerintah terhadap pendidikan yang terpaksa mengalami
pengurangan. Sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi pengurangan
anggaran pendidikan yang terjadi adalah dengan merumuskan suatu bentuk baru
terhadap perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia.
Rumusan bentuk baru perguruan tinggi tersebut pada akhirnya dituangkan
dalam PP 60 dan 61 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi kampus agar
perguruan tinggi bisa mengatur rumah tangganya sendiri tanpa intervensi dari
pemerintah. Sesuai dengan PP yang telah dikeluarkan, paradigma Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) mengalami pergeseran. Paradigma PTN yang pada awalnya
memiliki konsep sentralisasi secara perlahan bergeser menjadi desentralisasi, yang
mengisyaratkan perlunya dilakukan otonomi bagi setiap perguruan tinggi negeri
yang ada.
Geliat otonomi kampus di berbagai PTN semakin hari juga semakin
terlihat, di antaranya dengan adanya penetapan perubahan paradigma Perguruan
4 Perguruan Tinggi di Indonesia sebagai pilot project dengan status baru
perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Keempat
universitas tersebut adalah Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia
(UI), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Tekhnologi Bandung (ITB).
Sejak berstatus BHMN, keempat PTN ini secara perlahan-lahan diarahkan
untuk dapat menjadi mandiri dalam mencari dana. Sebab pemberian status BHMN
itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain,
PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana
operasional pendidikannya masing-masing.1
Setelah Pemerintahan beralih ke tangan Megawati. Ternyata PP No. 60
Tahun 1999 dan PP No. 61 Tahun 1999 tak membuat Pemerintah Indonesia yang
baru memikirkan kondisi pendidikan agar lebih baik. Pemerintahan Megawati
malah mengeluarkan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
Baru yakni UU No. 20 Tahun 2003. Dimana dalam UU No. 20 Tahun 2003
tersebut secara terang-terangan telah melegalkan pengalihan tanggung jawab
negara atas pendidikan kepada masyarakat, yang notabene adalah masyarakat
yang memiliki uang. Hal ini jelas tercantum dalam Pasal 9 “Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan”.2
Kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Megawati tersebut
ternyata tak berhenti sampai disitu saja, pada tahun 2003 sebagai tindak lanjut dari
1 Dikutip dari tulisa
dalam Harian Suara Merdeka
dua kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut, pemerintah kembali melakukan
privatisasi kepada PTN Universitas Sumatera Utara (USU) dengan mengeluarkan
PP No. 56 Tahun 2003 tentang pengalihan status USU menjadi BHMN.
Sama halnya dengan universitas yang telah terlebih dahulu menerapkan
BHMN, nantinya setiap kebijakan yang akan dilakukan oleh USU tidak lagi
bersifat top down seperti sebelumnya, melainkan bottom up dengan rancangan
program berasal dari bawah (Universitas).
Artinya adalah USU memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh di
dalam mengelola keuangannya, baik pemasukan dan pengeluaran yang
dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sehingga sumber keuangan tidak
hanya didasarkan kepada anggaran pendidikan dari pemerintah. Dengan kata lain,
USU diperbolehkan berusaha secara mandiri untuk mencari biaya operasional
agar proses belajar mengajar di kampus tersebut dapat terus berlangsung.
Alasan pemerintah untuk memberikan status BHMN kepada USU dan
beberapa perguruan tinggi ternama lainnya yang ada di Pulau Jawa adalah terkait
dua hal yaitu, pertama mutu pendidikan dan yang kedua adalah pembiayaan
pendidikan tersebut. Dengan asumsi dasar bahwa untuk menciptakan pendidikan
yang berkualitas dibutuhkan biaya yang besar dan mahal. Sehingga pemerintah
menganggap bahwa merubah status USU menjadi BHMN merupakan sebuah
langkah awal bagi USU untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.3
3Dikutip dari tulisa
Disisi lain, pihak USU yang dalam hal ini diwakili oleh Rektor USU Prof.
dr. Chairuddin Panusunan Lubis, DTM&H, Sp.A(K) berpendapat tidak jauh
berbeda dengan pemerintah. Beliau berpendapat bahwa USU masih tertinggal
(dalam hal kualitas pendidikan) dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Salah satu kendalanya karena dukungan dana dari pemerintah yang jauh dari
memadai.4
Oleh sebab itu USU menyambut baik usulan dari Pemerintah Indonesia
untuk memberikan status BHMN kepada USU seperti yang sudah diberikan
sebelumnya kepada empat universitas ternama yang ada di Indonesia pada tahun
2000.
Sehingga jika USU tetap mempertahankan hanya menerima biaya
operasional pendidikan dari pemerintah maka untuk mencapai kualitas pendidikan
yang baik hanya menjadi mimpi belaka. Dengan kata lain, maka USU akan terus
tertinggal dan terus tertinggal dari negara-negara tetangga dalam hal kualitas
pendidikan.
Walaupun demikian, Rektor USU tidak serta-merta menerima usulan
Pemerintah Indonesia untuk merubah status USU menjadi BHMN. Rektor USU
terlebih dahulu mempelajari bagaimana BHMN tersebut dengan cara membentuk
Panitia Perumusan Perubahan Status USU Menjadi Badan Hukum pada tahun
2000.
Panitia Perumusan Perubahan Status USU menjadi Badan Hukum yang
dibentuk oleh Rektor USU tersebut menyimpulkan bahwa perubahan status USU
4Dikutip dari Majalah Konstan Online berjudul USU Menuju Kelas Dunia, Terbitan Tanggal 6
menjadi BHMN diperlukan dan dimungkinkan. Sehingga Rektor USU
menindaklanjuti hal tersebut dan hasilnya adalah diterimanya draf usulan
perubahan USU sebagai BHMN diterima oleh Pemerintah Indonesia pada tahun
2003. Maka ditahun yang sama lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun
2003 tentang Perubahan Status USU menjadi BHMN. Lebih jelasnya dapat dilihat
Tabel 1: Kronologis Singkat Perubahan Status USU menjadi BHMN.
WAKTU PERISTIWA
24 Juni 1999
Lahir peraturan pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999
tentang pendidikan tinggi dan Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan
Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum
03 November 1999
Wacana Perubahan status USU menjadi Badan Hukum
dikemukakan pemerintah kepada Senat USU
26 Oktober 2000
Senat USU menyetujui perubahan status USU menjadi
Badan Hukum dan membentuk tim yang akan
merumuskan perubahan tersebut
9 November 2000
Rektor USU membentuk panitia perumusan perubahan
status USU menjadi Badan Hukum
20 Mei 2002
Draf usulan Penetapan USU sebagai BHMN telah
direvisi dan diajukan kepada TIM asisten BHMN Dikti
Mei 2002 Sosialisasi USU sebagai BHMN di Lingkungan USU
11 November 2003
USU ditetapkan sebagai BHMN dengan diterbitkannya
Sumber : Lampiran Pidato Rektor USU, Prof. dr. Chairuddin Panusunan
Lubis, DTM&H, Sp.A(K) pada Upacara Peringatan Dies Natalis USU ke 53
di Auditorium USU, Tanggal 20 Agustus 2005.
Lahirnya PP No. 56 tahun 2003 tersebut secara tidak langsung
menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sepertinya ingin lepas tangan dari
tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Hal ini jelas
tercantum dalam Pasal 10 Ayat 1 bahwa “Pembiayaan penyelenggaraan dan
pengembangan Universitas berasal dari Pemerintah, masyarakat, pihak luar negeri
yang tidak mengikat dan usaha dan tabungan Universitas”.5
Sehingga dari pasal tersebut memberikan kesempatan kepada
petinggi-petinggi USU untuk menghimpun dana sebesar-besarnya dari pihak swasta untuk
membiayai jalannya proses pendidikan di USU.
Padahal sesungguhnya pendanaan untuk pendidikan di negeri ini
merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Indonesia seperti yang telah
dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”6
Akibat dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam hal pendanaan
pendidikan maka terjadilah proses pendidikan dengan biaya yang mahal serta
5 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2003 Tentang Penetapan USU sebagai BHMN, Pasal 10
Ayat 1
komersialisasi pendidikan di negara ini. Namun perubahan status USU menjadi
BHMN tentunya tidak selalu membawa dampak yang negatif terhadap proses
pendidikan di USU, perubahanstatus ini tentunya juga memiliki dampak positif
yang dapat dirasakan secara langsung. Salah satunya adalah kebijakan yang
dihasilkan terkait dengan permasalahan kegiatan akademik tidak lagi hanya
menunggu instruksi yang dikeluarkan oleh pihak pusat. Semenjak diterapkannya
bentuk BHMN, USU memiliki wewenang untuk mengeluarkan kebijakan terkait
dengan kegiatan akademik seperti penyediaan fasilitas, penambahan gaji pengajar
dan lain sebagainya.
Selang 7 tahun berjalannya USU sebagai BHMN, maka tentu saja sudah
banyak dampak yang terjadi sebagai akibat dirubahnya status USU menjadi
BHMN. Baik dampak secara struktural maupun non struktural, pola fikir
mahasiswa sendiri juga memiliki perubahan sedikit banyaknya. Hal ini
dikarenakan berubahnya orientasi dalam mengenyam pendidikan, sebab didalam
BHMN mahasiswa diharuskan memiliki pola fikir study oriented, tidak
berorganisasi, cepat tamat dan lain sebagainya.
Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa
dipisahkan. pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses
pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi
(“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural.
Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”.
Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang
dikemukakan Paulo Freire yang memiliki gagasan “penyadaran
(conscientizacao)”nya.
Beliau merefleksikan kembali gagasan Antonio Gramsci yang pernah
menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis
dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan
kritis terhadap “realitas akal sehat” Gagasan Freire sangat menarik karena beliau
ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di
sekitarnya.
Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi
pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis
dan cerdas. “Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak
dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua
pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari
secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan
dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana
lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya).
Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang
melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena
yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya
kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri,
tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial
yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi
semacam itu
Artinya pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan
dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala
mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada
kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran
kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari
pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari
rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem
kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama
ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi
kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi
yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah
dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru
dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah
tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan
penuh atas masyarakat keseluruhan.
Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas
penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan
pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum
konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong
oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap
pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam
buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini
akan terpisah dengan realitas kontekstual.
Berangkat dari latar belakang inilah penulis merasa tertarik untuk
melakukan suatu penelitian mengenai dampak-dampak apa saja yang telah
ditimbulkan semenjak diberlakukannya USU menjadi BHMN, baik dampak
secara positif dan negatifnya maupun dampaknya terhadap pola prilaku
mahasiswanya.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang singkat diatas maka rumusan masalah yang menarik
bagi penulis untuk dibahas secara lebih jauh adalah :
1. Dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan dari penerapan bentuk USU
sebagai BHMN, khususnya bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Bagaimana dampak kebijakan BHMN terhadap pola pikir mahasiswa di
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Formal Akademis
Menambah wawasan mahasiswa dibidang sosiologi, khususnya menambah
pemahaman mengenai BHMN dan efek yang ditimbulkan dari penerapan
BHMN tersebut.
2. Tujuan Ilmiah
a. Untuk mencari tahu dampak yang ditimbulkan dari penerapan PP
No. 56 tahun 2003 Tentang Penerapan USU sebagai BHMN.
b. Untuk mengetahui dampak BHMN terhadap pola pikir mahasiswa
1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Penulis
Bagi penulis manfaat penelitian ini yakni dapat menambah wawasan dan
pengalaman berharga dalam meningkatkan kapasitas kemampuan untuk
menganalisis bagaimana sebenarnya dampak positif dan dampak negatif yang
ditimbulkan dari perubahan bentuk PTN menjadi BHMN, khususnya di
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini menjadi
sebuah sumbangan pemikiran bagi kalangan mahasiswa, masyarakat, dan kaum
intelektual
3. Manfaat Akademis
Manfaat akademis dari penelitian ini adalah sebagai sesuatu hal yang baru
dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan. Bagaimana dampak positif dan
negatif yang ditimbulkan BHMN terhadap perguruan tinggi yang ada, khususnya
Universitas Sumatera Utara.
1.5. Definisi Konsep
1.5.1 Dampak
Dampak merupakan akibat yang terjadi karena disebabkan oleh suatu hal
dan dapat menyebabkan terjadinya akibat akibat di kemudiannya, baik itu positif
maupun negatif. Sehingga harus ada parameter-parameter yang jelas untuk dapat
mengukur dampak yang ditimbulkan dari suatu hal tersebut.
1.5.2 Kebijakan
Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,
Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani
masalah-salah publik atau pemerintahan. Secara umum, saat ini kebijakan lebih
untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan yang terjadi dimasyarakat dalam
sebuah negara.
1.5.3. BHMN
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) merupakan salah satu konsep yang
menawarkan otonomi bagi setiap perguruan tinggi negeri yang ada. Berbeda
dengan konsep perguruan tinggi negeri sebelumnya yang selalu bergantung dan
menunggu instruksi dari pemerintah pusat, BHMN menawarkan suatu konsep di
mana setiap universitas negeri yang ada di Indonesia dapat bebas mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan terhadap keberhasilan kegiatan
akademik di universitas. Baik dari segi pengelolaan keuangan maupun otoritas
untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan.
1.5.4. Pola Pikir
Secara garis besar defenisi pola merupakan tindakan yang dilakukan
berulang-ulang dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sehingga pola pikir dapat
diartikan sebagai kerangka berfikir dalam memandang suatu hal. Pola pikir dapat
berupa ideologisasi yang tersturktur yang dapat terjadi secara sadar maupun tidak
sadar (laten dan manifest). Pola pikir juga menjadi acuan utama seseorang untuk
bertindak, hal ini disebabkan karena pola pikir merupakan pola yang menetap
dalam pikiran bawah sadar seseorang.
1.5.5. Mahasiswa
Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1989) Mahasiswa adalah sekumpulan manusia intelektual yang
negara, dengan itelegensinya diharapkan bisa mendobrak pilar-pilar kehampaan
suatu negara dalam mencari kesempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara,
serta secara moril akan dituntut tanggung jawab akdemisnya dalam menghasilkan
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan
Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,
Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani
masalah-masalah publik atau pemerintahan.7
Secara umum, saat ini kebijakan lebih dikenal sebagai keputusan yang
dibuat oleh lembaga pemerintah, yang bertujuan untuk menyelesaikan
permasalah-permasalahan yang terjadi dimasyarakat dalam sebuah negara.
8
Dalam defenisi diatas dapat dilihat dengan jelas adalah bahwa pelaku yang
melahirkan kebijakan adalah pemerintah. Dimana untuk melahirkan suatu
kebijakan tidaklah dapat dilakukan hanya dalam waktu yang seketika. Namun
untuk membuat suatu kebijakan dibutuhkan suatu proses yang sering disebut
dengan proses pembuatan kebijakan. Proses pembuatan kebijakan itu sendiri
memiliki makna sebagai serangkaian aktivitas intelektual yang divisualisasikan
sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan
waktu.
Adapun tahapan yang harus dilalui dalam proses pembuatan kebijakan
adalah penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, serta evaluasi kebijakan.
7William Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik (Edisi II), Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1999. Hal. 51.
Gambar 2 : Proses Pembuatan Kebijakan
Sumber : Dikutip dari Buku William Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan
Publik (Edisi II), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999. Hal. 25.
Dalam proses melahirkan kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan
permasalah yang dihadapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa kebijakan yang
akan dilahirkan nantinya akan dapat dipengaruhi oleh kepentingan pihak lain. Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
2.2. Teori Hegemoni
Hegemoni adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang
dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan
dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi)
mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan
politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna
intelektual dan moral.
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses
penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif
mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan
kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang
dikuasai.
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah
tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang
melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi ngetrend setelah
digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide
yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu.
Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan
kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring
yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya
usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa .
Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat
dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas
bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran
masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung
kekuasaan kelas dominan.
Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan
(pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah
dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi
melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni yaitu teori kritis dan teori
tradisional.
. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam
dialektika struktur penindasan dan emansipasi. Pemikiran kritis merasa bahwa
dirinya bertanggung-jawab atas keadaan sosial yang nyata. Sejarah itu merupakan
sejarah penindasan, bahwa penindasan itu justru ditutupi sehingga realitas
sekarang bagaikan objektifitas yang wajar. Teori kritis bertugas membuka
selubung ideologis tersebut, membuka struktur penindasan, dan kemudian
terciptanya terciptanya kebebasan.
Maka, teori kritis yang dimaksudkan Habermas merupakan teori praksis.
Ia juga meyakini pendekatan psikoanalisa Sigmund Freud, bahwa ingatan kembali
emansipatoris. Melihat itu semua, maka sesungguhnya pendidikan sangatlah
terpengaruh oleh faktor lingkungan. Lingkungan tersebut terdiri dari keadaan
objektif yang menyangkut kondisi negara, masyarakat, model konsumsi, dan
distribusi ekonomi politik
2.3. Teori Dahrendorf tentang Kekuasaan
Ralf Dahrendorf menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk
membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri
kontemporer. Baginya, kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi
(seperti yang dilakukan oleh Marx) tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan,
yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam
masyarakat modern, baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam
pemerintahan bebas dan totaliter, berada di seputar pengendalian kekuasaan.
Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang
menyangkut atasan dengan bawahan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran
kelas. Dahrendorf (1959: 173) mengakui terdapat perbedaan diantara mereka yang
memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dalam tingkat dominasi
kekuasaan itu dapat dan selalu sangat besar. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat
dua sistem kelas sosial( dalam perkumpulan khusus) yaitu, mereka yang berperan
serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak
berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas yang dibahas olehnya lebih
Dahrendorf berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh
pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur
kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu . Kepentingan yang dimaksudkan dia
mungkin bersifat manifes (disadari) atau laten (kepentingan potensial),
kepentingan laten adalah tingkah laku potensil yang telah ditentukan oleh
seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari.
Menurut perumusannya pertentangan kelas harus dilihat sebagai “
kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi
yang terkoordinir secara pasti”. Kelompok-kelompok itu ditetapkan sebagai
kelompok kepentingan yang akan terlibat dalam pertentangan dan akan
menimbulkan perubahan struktur sosial, pertentangan antara buruh dan
manajemen yang merupakan permasalahan utama bagi Marx, misalnya, akan
terlembaga lewat serikat-serikat buruh.
Dahrendorf berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status
sosial walau bukan determinan kelas, ia mengatakan seperti berikut :” semakin
rendah antara korelasi kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status sosial
ekonomi lainnya semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya.
Dahrendorf mempunyai gagasan bahwa berbagai posisi didalam
masyarakat mempunyai kualitas otoritas (kekuasaan) yang berbeda. Hanya saja
kekuatan otoritas itu tidak terletak didalam diri individu masyarakat melainkan
dalam posisi. Ia tak hanya tertarik pada struktur posisi, tapi juga pada konflik
tatanan peranan sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”.
Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi, mereka yang
menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan, artinya mereka
berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka bukan karena
ciri-ciri psikologis mereka sendiri.
Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat asosiasi karena hanya ada dua
kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi, kelompok yang
memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan
tertentu. Disini dihadapkan pada konsep teori konflik Dahrendorf yakni
kepentingan, kelompok yang berada di atas dan yang berada dibawah
didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama.
2.4. Teori Alienasi Manusia
Di dalam agama manusia mengalami alienasi (keterasingan). Karl Mark
tidak menolak kritik agama yang dilontarkan pendahulunya yaitu Feuerbach.
Namun, Karl Marx kini telah meninggalkan kritik agama dan menawarkan
gagasan yang baru dalam kaitan keterasingan manusia dalam koridor masyarakat.
Karl Marx melihat bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu dalam
uang, pekerjaaan dan dari orang lain.
Uang adalah tanda keterasingan manusia. Seseorang bisa membeli segala
barang dengan uang. Nilai yang terutama hanya nilai uang dan bukannya
nilai hakekatnya dan digantikan dengan nilai uang. Barang-barang alam
kehilangan nilainya dan dengannya telah terasing dari manusia. Manusia membeli
segala sesuatu demi uang. Relasi dengan sesama manusia pun banyak diukur
dengan nilai uang. Uang mengasingkan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Manusia tidak lagi saling menghargai tetapi hanya saling mempergunakan. Hal
demikian mengarahkan pada sikap egois, dimana orang lain dipandang sebagai
saingan atau hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kita.
Manusia juga terasing di dalam pekerjaannya. Meski manusia
merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan pekerjaan itu bisa menggembirakan
dan membuatnya bangga karena manusia dengannya menemukan kepuasan atas
hasilnya, tetapi pada kenyataanya pekerjaan buat manusia telah menjadi pekerjaan
paksa. Manusia bekerja karena itu satu-satunya jalan untuk menjamin nafkah
hidupnya.
Keterasingan manusia dalam pekerjaaan dapat dilihat pada keterasingan manusia
akan produknya. Hasil kerja manusia yang seharusnya menjadi kebanggaannya
tidak dimilikinya. Produk itu milik orang lain yaitu si pemilik pabrik. Baru saja
manusia membuatnya, produknya itu dirampas dari miliknya dan bahkan si
pemilik pabrik menjualnya.
Di samping itu, manusia juga terasing dari tindakan pekerjaannya itu
sendiri. Manusia (si buruh) tidak mempunyai kesempatan untuk memilih
pekerjaan yang akan mampu merealisasikan dirinya sendiri dalam pekerjaaan.
Kesempatan untuk itu tidak dimungkinkan karena ia hanya bisa bekerja dimana
dikuasai pemodal dan si buruh hanya menerima pekerjaan apa saja yang
ditawarkan oleh pemodal itu. Dengan demikian pekerjaan kehilangan artinya.
Kekhususan masing-masing pekerjaan sudah kehilangan arti baginya. Ia hanya
bekerja sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yaitu memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Manusia yang menurut Karl Marx pada dasarnya bebas dan universal itu
kini semakin terasing karena manusia terjebak dalam pekerjaan. Manusia bekerja
seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Manusia melihat
alam hanya dalam perspektif manfaatnya untuk mendapat uang. Dengan
demikian, manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal.
Pekerjaan yang menyebabkan keterasingan ini pada umumnya yaitu pekerjaan
upahan. Pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang dijalankan hanya demi upah
saja.
Pekerjaan upahan telah mengasingkan manusia darí orang lain karena di dalam
sistem yang demikian lantas muncul kelas-kelas yang saling berhadapan dan
bertentangan dan lalu saling membenci satu dengan lainnya. Di samping itu,
pekerjaan upahan mengasingkan buruh di antara mereka sendiri. Hal ini terjadi
karena mereka harus bersaing berebut tempat kerja. Karena keterbatasan
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, sesama lantas menjadi saingan. Hal
demikian menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin
terasing dari sesamanya.
2.5. Teori Human Investment
Masyarakat dunia saat ini sudah dihadapkan pada situasi yang
menggelobal, globalisasi demikian istilah yang sering didengar. Sehingga setiap
individu harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi
persaingan yang terjadi di tengah arus globalisasi ini.
Human Investment pada awalnya lahir karena adanya anggapan bahwa
investasi sumber daya manusia (human capital investment) dapat menunjang
pertumbuhan ekonomi (economic growth), yang sebenarnya telah mulai
dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan
para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya
investasi keterampilan manusia.
Human Investment sendiri memiliki defenisi tentang pandangannya yang
mengemukakan suatu bentuk investasi dalam bentuk modal manusia. Artinya di
sini ialah manusia dianggap sebagai modal investasi yang sangat menguntungkan.
Hal ini semakin didukung oleh perkembangan arus globalisasi yang semakin tidak
dapat dibendung, yang memiliki konsekuensi terjadinya perubahan dalam segala
tatanan kehidupan.
Semakin meningkatnya persaingan sumber daya manusia juga mau tidak
mau harus dihadapi oleh semua individu yang ada di seluruh belahan dunia ini.
Setiap individu dituntut untuk meningkatkan kualitas yang ada di dalam dirinya.
Tentu saja peningkatan kualitas tersebut hanya akan terjadi melalui proses
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement)
saat ini telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara
bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi
pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Sektor pendidikan dengan
manusia sebagai fokus intinya nantinya dipercaya akan dapat memberikan
kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui
peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan
dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti
mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga
diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan
menjadi leading sector atau salah satu sektor utama. Oleh karena itu pendidikan di
negara maju merupakan perhatian utama bagi pemerintahnya. seperti anggaran
sektor pendidikan yang ada tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga
keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan
makronya.
Investasi pendidikan dianggap memberikan nilai balik (rate of return) yang
lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah
perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan
dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan
memasuki dunia kerja.
Sebagai contoh di negara-negara sedang berkembang umumnya
pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di
negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi
modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa
dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang
relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat
upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga
tinggi (Suryadi: 1999, 247). Tingkat pendidikan seseorang yang semakin tinggi
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Pendakatan kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data,
tulisan,dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Hadari, 1994 : 2003
). Sedangkan metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode
deskriptif adalah metode yang meneliti suatu objek, kondisi, ataupun sistem
pemikiran yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan
komprehensif..
Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan
tentang apa yang diteliti dan berusaha mendapatkan data sebanyak mungkin
sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas dan tepat tentang apa yang
menjadi pokok permasalahan penelitian.
Menurut Whitney, Metode Deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi
yang tepat. Yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi
tertentu, termasuk hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh
dari suatu fenomena.9
9Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Hal. 64.
Karena pendekatan deskriptif bertujuan untuk
deskriptif ini juga kita mampu melihat kedudukan (status) dari permasalahan yang
diteliti serta melihat hubungan antar satu variabel dengan variabel yang lain.10
3.2. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian ini adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara (FISIP-USU). Alasan pemilihan lokasi ini adalah
karena penulis melihat FISIP USU merupakan salah satu fakutas yang masih
memiliki banyak organisasi-organisasi mahasiswa baik organisasi ekstra maupun
intranya. Organisasi-organisasi ini juga dianggap penulis masih memiliki basis
gerakan dan yang masih konsen membahas tentang BHMN diantara organisasi
organisasi mahasiswa lainnya yang ada di lingkungan fakultas yang terdapat di
universitas sumatera utara
3.3. Unit Analisis dan Informan
Yang menjadi unit analisis atau subjek kajian dalam penelitian ini adalah
mahasiswa yang mengalami dampak dari kebijakan badan hokum milik Negara
yang ada di universitas Sumatera utara pada umumnya dan fakultas ilmu sosial
dan ilmu politik pada umumnya. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian
ini adalah mahasiswa yang memahami dampak dari kebijakan bhmn tersebut.
Informan dalam penelitian ini meliputi beberapa macam informan seperti
informan kunci. Yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok
yang diperlukan dalam penelitian. Selain itu juga ada informan biasa, yaitu
mereka yang terlibat langsung dalam interaksi social yang diteliti. Untuk
menghindari kesulitan penulis di dalam menentukan informan, maka penulis
menetapkan beberapa kriteria untuk informan kunci dan informan biasa. Untuk
informan kunci penulis menetapkan kriteria sebagai berikut:
a. Pernah terdaftar sebagai mahasiswa FISIP USU
b. Pernah menjabat sebagai Gubernur Pemerintahan Mahasiswa Fisip Usu
(Masa jabatan periodisasi diuatamakan antara 2004-2010).
Sementara untuk informan biasa penulis menetapkan kriteria sebagai
berikut
a. Terdaftar sebagai mahasiswa FISIP USU
b. Masih melakukan kegiatan perkuliahan (belum terkena sanksi Drop
Out dari kampus).
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data atau informasi, keterangan-keterangan fakta
yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan :
1. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara
artikel, jurnal ilmiah, buletin, undang-undang, peraturan-peraturan dan
berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
2. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu pengumpulan data dengan
dialog langsung dengan terjun kelokasi penelitian, dengan cara wawancara
langsung baik wawancara biasa maupun wawancara mendalam dengan
orang-orang yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang
berkaitan dengan penelitian ini.
3. Wawancara, menurut Lexy J Moleong wawancara adalah percakapan
dengan maksud-maksud tertentu dimana peneliti dan responden
berhadapan langsung (face to face) untuk mendapatkan informasi secara
lisan dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan
permasalahan penelitian. Teknik wawancara yang dipakai dalam penelitian
ini adalah :
• Wawancara berstruktur adalah wawancara secara terencana yang
berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
• Wawancara mendalam adalah alat pengumpul data yang berbentuk
sejumlah pertanyaan lisan yang disajikan oleh mengumpul data
sebagai informasi yang dijawab secara lisan oleh responden.
3.5. Interpretasi data
Interpretasi data adalah cara untuk mengorganisasikan dan mengurutkan
data kedalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditentukan
tema yang dapat dirumuskan hipotesis atau pemahaman dasar kerja seperti yang
disarankan data.
Menganalisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif.
Teknik analisis ini dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif ini dapat berupa ucapan atau tulisan
dan perilaku yang diamati orang-orang.11 Kemudian menyusun data yang telah
ada untuk kemudian diinterpretasikan secara kualitatif. Dalam penelitian kulitatif,
peneliti tidak mencari kebenaran dan moralitas, tetapi lebih pada upaya mencari
pemahaman (understanding).12
BAB 4
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA
4.1. Profil Universitas Sumatera Utara
Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya
Yayasan Universitet Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan
ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan
masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Yayasan ini diurus oleh suatu Dewan Pimpinan yang diketuai langsung
oleh Gubernur Sumatera Utara, dengan susunan sebagai berikut: Abdul Hakim
(Ketua); Dr. T. Mansoer (Wakil Ketua); Dr. Soemarsono (Sekretaris/Bendahara);
Ir. R. S. Danunagoro, Drh. Sahar, Drg. Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong
Lubis, Dr. Maas, J. Pohan, Drg. Barlan, dan Soetan Pane Paruhum (Anggota).
Sebenarnya hasrat untuk mendirikan perguruan tinggi di Medan telah
mulai sejak sebelum Perang Dunia-II, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah
Belanda pada waktu itu. Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang
terkemuka di Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat
rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia,
pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua panitia.
Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun 1947, Gubernur Abdul
Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di seluruh Sumatera
Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian
perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari
Dr. Ahmad Sofian, Ir. Danunagoro, dan sekretaris Mr. Djaidin Purba. Selain
Dewan Pimpinan Yayasan, Organisasi USU pada awal berdirinya terdiri dari:
Dewan Kurator, Presiden Universitas, Majelis Presiden dan Asesor, Senat
Universitas, dan Dewan Fakultet.
Sebagai hasil kerja sama dan bantuan moril dan material dari seluruh
masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa
Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas Kedokteran di
Jalan Seram dengan dua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya dua orang
wanita. Tanggal 20 Agustus 1952 telah ditetapkan sebagai hari jadi atau Dies
Natalis USU yang diperingati setiap tahun. Kemudian 2 tahun berikutnya fakultas
yang ada kemudian bertambah dengan berdirinya Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat (1954), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1956),
dan Fakultas Pertanian (1956).
Pada tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik
Indonesia Dr. Ir. Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia.
Dan seiring dengan berjalannya Universitas Sumatera Utara terus melakukan
penambahan fakultas seperti Fakultas Kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra
(1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965), Fakultas
Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas
Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2007), Fakultas Psikologi
Pada tahun 2003, USU berubah status dari suatu perguruan tinggi negeri
(PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Perubahan status USU dari PTN menjadi BMHN merupakan yang kelima di
Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI, UGM, ITB dan IPB pada tahun
2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).
Dalam perkembangannya, beberapa fakultas di lingkungan USU telah
menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru, yaitu Universitas
Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan
Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan USU di Banda Aceh. Kemudian
disusul berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Medan
(1964), yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan (UNIMED)
yang embrionya adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah itu,
berdiri Politeknik Negeri Medan (1999), yang semula adalah Politeknik USU.
4.2. Profil Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
1. Sejarah
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara
merupakan fakultas kesembilan di lingkungan Universitas Sumatera Utara.
Kelahiran Fakultas ini tidak jauh berbeda dengan fakultas lainnya di lingkungan
Universitas Sumatera Utara. Pada awal pendiriannya (1980), Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara masih merupakan Jurusan
Setahun kemudian Jurusan Pengetahuan Masyarakat berubah menjadi Jurusan
Ilmu-Ilmu Sosial (IIS).
Pada tahun 1982, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial resmi menjadi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, dengan menggunakan gedung perkuliahan di Fakultas
Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Sumatera Utara.
2. Visi
Visi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
adalah:
“Menjadi Pusat Pendidikan dan Rujukan Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan
Politik di Wilayah Barat.”
3. Misi
1. Menghasilkan Alumni dengan skala kualitas global dan menjadi pusat
riset, kajian dalam studi ilmu sosial dan politik.
2. Menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan seluruh
stakeholders dan mitra pendidikan. Misi ini berhubungan dengan fungsi relasi
yang harus dibangun oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara sebagi suatu organisasi profesional pendidikan. Bentuk kolaborasi
dengan organisasi lain perlu dijajaki dengan sikap open minded dan profesional.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara harus mampu
melihat peluang kerjasama yang ditawarkan atau malah mampu menawarkan
kerjasama tersebut pada pihak lain.
3. Membentuk lingkungan kerja sehat, harmonis dan profesional bagi staf
menjalankan pekerjaan. Lingkungan dan suasana kerja yang dibangun harus
memperhatikan situasi fisik dan psikologis seluruh sivitas akademika. Harus ada
mekanisme yang mampu membangun suasana tersebut. Prinsip Profesionalitas
juga harus didukung dengan prinsip persaudaraan dan pertemanan (makna positif)
dengan kemampuan bisa menempatkan dan menjalankan fungsi masing-masing.
4. Menjadi Institusi bagi kepentingan publik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara sangat potensial sebagai institusi pendidikan
yang membawa misi di atas dengan melihat pengalaman-pengalaman yang telah
dilalui oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
sendiri.
4. Akreditasi
Akreditasi berbagai jurusan yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU).
Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Peringkat SK BAN PT Masa
Akreditasi Tahun Berlaku
Antropologi Sosial A 2004 2009
Ilmu Administrasi Negara B 2004 2009
Ilmu Kesejahteraan Sosial A 2005 2010
Ilmu Komunikasi A 2004 2009
4.3. Profil Informan
1. Veni Judo Agustian Fatahillah
Mahasiswa yang tercatat di jurusan ilmu politik 2003 ini pernah menjabat
sebagai gubernur Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU untuk periode 2007-2008.
Semasa perkuliahan pria yang lebih akrab dipanggil Veni ini boleh dikatakan
sebagai mahasiswa yang cukup aktif berorganisasi. Hal ini dapat dilihat dari
sejumlah organisasi yang pernah diikutinya seperti Forum Diskusi Ilmu Politik,
Ikatan Mahasiswa Ilmu Politik, Himpunan Mahasiswa Islam dan terakhir
Pemerintahan Mahasiswa. Sejumlah jabatan pun yang pernah didudukinya di
dalam sejumlah organisasi seperti Humas Forum Diskusi Ilmu Politik (FORDIP)
USU periode 2003-2005 dan Kabid Litbang HMI Koms FISIP USU 2005-2006.
“Organisasi sebenarnya sangat kita butuhkan untuk sebagai media
penerapan ilmu yang kita dapatkan di dalam perkuliahan” begitu ujar pria ini
ketika ditanya mengenai keaktifannya di dalam sejumlah organisasi. Sehingga
bukan hal yang aneh pengetahuan pria ini sangat banyak mengenai Badan Hukum
Milik Negara meskipun pria ini sendiri sudah menamatkan studinya di tahun
2008. Pengetahuan ini sendiri diakuinya banyak didapatnya dari diskusi-diskusi
yang dilakukannya selama menjadi mahasiswa dan semakin bertambah ketika ia
menduduki jabatan sebagai gubernur Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU.
“Sebagai mahasiswa kita dituntut untuk lebih kritis di dalam melihat segala
sesuatu yang ada, begitu pula dengan BHMN ini, kita harus melihat sebenarnya
sebenarnya apakah USU sendiri sudah siap atau belum untuk menerapkan bentuk
baru ini”ucapnya sembari mengakhiri wawancara yang ada.
2. Eko Rusadi
Tidak jauh berbeda dengan curriculum vitae informan yang pertama,
informan yang satu ini juga memiliki catatan karier organisasi yang cukup
banyak. Sejumlah organisasi pernah dia ikuti seperi Himpunan Mahasiswa Islam
dan Pemerintahan Mahasiswa. Diskusi pun bukan hal yang aneh baginya, karena
posisi yang didudukinya memang menuntutnya untuk selalu melakukan
diskusi-diskusi seperti posisi ketua bidang PTKP di HMI FISIP USU dan ketua bidang
kastrad FISIP USU. “Penambahan intelektualitas merupakan modal yang paling
penting yang harus dimiliki seorang mahasiswa, dan dengan bertukar pikiran
dengan yang lainnya merupakan salah satu cara yang paling maksimal untuk
menambah intelektualitas dan pengetahuan kita”.
Pria ini memiliki prinsip bahwa mahasiswa di samping menuntut ilmu
untuk bekal baginya kedepannya tetapi juga harus dapat menciptakan suatu solusi
yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang terjadi. Seperti yang
dikemukakannya dalam wawancara “Sebaiknya mahasiswa bukan hanya berkutat
dengan permasalahan mengkritisi suatu masalah, tetapi sudah harus dapat
bergerak untuk menciptakan suatu solusi setelah mengkritisi”. Lebih lanjutnya ia
mengungkapkan bahwa jika hal itu dapat dilakukan maka ke depannya pasti akan
3. Ferdiansyah Putra
Pria yang berumur 22 tahun ini tercatat sebagai mahasiwa departemen
kesejahteraan sosial 2006. Saat ini ia menjabat sebagai Gubernur Pemerintahan
Mahasiswa FISIP USU untuk masa periode 2010-2011.
Sebelum menjabat sebagai Gubernur Pemerintahan Mahasiswa, pria ini
juga mempunyai pengalaman organisasi yang cukup banyak diantaranya adalah
Ketua Umum Forum Anak Negeri (FAN), Sekretaris KAM RAYA FISIP USU
Periode 2009-2010 dan Wasekum PTKP HMI Kom’s FISIP USU Peride
2010-2011.
Sebagai seseorang yang menjabat posisi Gubernur Pemerintahan
Mahasiswa di FISIP USU, pengetahuan pria ini tentang BHMN tentu lah boleh
kita katakan cukup banyak. Hal ini dapa dilihat dari kemampuan pria dalam
menguasai diskusi diskusi yang berhubungan dengan BHMN.
Ia sendiri mempunyai pendapat pribadi ketika disinggung mengenai
konsep BHMN “Tanpa bersifat tendensius, menurut saya pribadi penerapan
konsep BHMN dapat kita katakan telah mengangkangi UUD 45 tentang
pendidikan adalah tanggung jawab negara” lebih lanjut ia menambahkan dengan
tegas bahwa mahasiswa sekarang hanya berorientasikan cepat tamat dan kerja
sehingga terasing dengan realitas social yang ada
4. M. Isman Hutabarat
Pria ini ketika masih berkuliah dulu mengenyam pendidikannya di
merupakan sosok yang amat akrab dengan organisasi-organisasi mahasiswa di
fisip usu. Selain pernah menjabat sebagai Gubernur di FISIP USU untuk
periodisasi 2006-2007, beliau juga pernah menjabat sebagai ketua imajinasi di
periode 2005-2006.
Pria ini mengatakan bahwa dengan adanya konsep BHMN mahasiswa
secara tidak langsung diarahkan hanya berorientasikan nilai perkuliahan saja dan
sering tidak memahami tri darma perguruan tinggi yang seharusnya menjadi
tanggung jawab mahasiswa.
5. M. Zaky Sahreza
Tidak jauh berbeda dengan informan lainnya, pria ini sendiri pun dapat
dikatakan aktif di dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan, bahkan hingga
sekarang pria ini sendiri masih aktif di dalam memberikan diskusi-diskusi bagi
organisasi tempatnya bernaung dulu.
Pria ini dulu semasa kuliahnya terdaftar sebagai mahasiswa departemen
sosiologi stambuk 1999 dan dikenal sangat menyukai filsafat. Dia juga sempat
menjabat sebagai Gubernur Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU periode
2004-2005.
Pengalaman organisasi yang cukup banyak pada masa kuliahnya juga
membuat pria 29 tahun ini sedikit banyak memahami persoalan persoalan yang
telah ditimbulkan oleh kebijakan BHMN tersebut.
Menurutnya dampak yang paling mengerikan dari BHMN bukan dari sisi
membuat mahasiswa menjadi terasing dan jauh dari realita pendidikan yang
sebenarnya.
6. Dika Yudistira
Pria ini sekarang menjabat sebagai pengurus pemerintahan mahasiswa
sebagai ketua bidang kajian strategis untuk periodesasi 2010-2011. Sebelum
bergabung dengan organisasi Pemerintahan Mahasiswa pria ini juga telah banyak
mengecap organisasi-organisasi mahasiswa lainnya. Pria kelahiran Pangkalan
Brandan ini merupakan mahasiswa departemen kesejahteraan social.
Dia mengakui bidang yang tengah dijabatinya di dalam Pemerintahan
Mahasiswa sangat erat kaitannya dengan gerakan mahasiswa. Oleh karea itu,
pembahasan tentang BHMN merupakan salah satu kajian yang penting bagi
diskusi-diskusi mahasiswa yang ada.
Ia menyatakan bahwa dengan adanya BHMN telah mengakibatkan
kenaikan spp sehingga semakin menyulitkan orang-orang memiliki keterbatasan
dana untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi.
7. Roland Ahmadi
Pria ini semasa kuliahnya terdaftar sebagai mahasiswa jurusan ilmu politik
stambuk 2003. Dia juga sempat menjabat sebagai salah satu pengurus inti
Pemerintahan Mahasiswa yaitu sebagai Sekretaris Jenderal Pemerintahan
Mahasiswa FISIP USU.
Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai ketua bidang pembinaan
membahas mengenai BHMN pasti kita harus membahas mengenai dampak positif
dan juga dampak negatif yang ditimbulkannya. Akan tetapi untuk saat ini ia masih
tetap meyakini bahwa dampak negatif yang ditimbulkan dari BHMN ini lebih
banyak daripada dampak positif yang ditimbulkannya.
4.4. Dampak-Dampak yang Ditimbulkan Dari Penerapan Bentuk USU
sebagai BHMN
4.4.1. Dampak Pola Pikir
Pendidikan hakekatnya memiliki fungsi sebagai sarana membentuk
karakter bangsa. Dengan adanya suatu proses pendidikan yang dilalui oleh
seorang individu maka diharapkan akan mampu melahirkan kaum-kaum
intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang
bersandar pada kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi keberadaan institusi pendidikan yang ada saat ini menjadi
perdebatan sengit di berbagai kalangan pasca dirubahnya bentuk pendidikan
menjadi badan hukum milik Negara. Pendidikan yang seharusnya menjadi
tanggung jawab negara sesuai dengan yang tertuang di dalam undang-undang
oleh beberapa kalangan malah menjadi institusi yang menghamba pada modal dan
kekuasaan. Keberadaan pendidikan tidak lebih sebagai ruang legitimasi akademik
yang dijadikan alat pembenar dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang ada.
penerapan-penerapan kebijakan yang ada, sebagai suatu upaya untuk menciptakan sebuah
kestabilan dalam mencapai tujuannya.
Gramsci menyatakan bahwa hegemoni merupakan penguasaan dengan
kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Titik pangkal dari
hegemoni adalah konsensus yang pada hakekatnya adalah upaya menggiring
sekelompok orang agar menilai dan memandang masalah dalam kerangka yang
sudah ditentukan.
Kekurangan basis konseptual yang membentuk kesadaran menyebabkan
sekelompok orang ini terkadang menjadi tidak efektif di dalam memahami realita
sosial menjadi kurang efektif. Bagi Garamsci, ada dua hal yang seringkali
menerapkan hegemoni di dalam pengeluaran kebijakannya dan mempengaruhi
penilaian seseorang di dalam memandang masalah dan realitas yang ada yaitu
pendidikan di satu pihak dan mekanisme kelembagaan di lain pihak.
Proses pendidikan yang dilakukan oleh seseorang pasti berpengaruh
terhadap cara dan sudut pandang seseorang nantinya. Sehingga di beberapa
teori-teori sosial yang ada tidak jarang kita temukan tingkat pendidikan seseorang
sangat mempengaruhi perilaku dan tindakan yang ditunjukkannya. Sementara
mekanisme kelembagaan di sisi lain merupakan suatu hal yang akan seringkali
kita temukan di dalam kehidupan sosial. Kelembagaan pendidikan misalnya yang
pasti akan kita temui ketika kita melakukan suatu proses pendidikan.
terhadap sistem pendidikan pula yang secara otomatis pasti akan mempengaruhi
pola pikir yang kita miliki.
Seperti yang telah dijelaskan di atas sebelumnya sistem pendidikan kita
saat ini sudah mengalami suatu babak baru yaitu babak badan hukum milik
negara. Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu universitas yang
memutuskan untuk merubah bentuk menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN). Merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh Gramsci yang
mengatakan bahwa kelembagaan dan pendidikan merupakan dua hal yang dapat
mempengaruhi cara pandang suatu individu maka perubahan bentuk BHMN ini
pun oleh sekelompok orang diyakini sedikit banyaknya pasti akan membawa
pengaruh.
Dengan mengusung slogan university for industry USU pun terlihat
semakin memantapkan langkahnya untuk menjadi Badan Hukum Milik Negara.
Banyak kalangan yang menganggap bahwa sebenarnya dari slogan ini saja kita
sudah dapat mengambil kesimpulan awal bahwa terjadi pergeseran konsep.
Seperti yang dikatakan oleh Eko Rusadi dari hasil wawancara yang dilakukan
”Universitas yang pada awalnya berkonsep untuk memberikan suatu pendidikan
bagi masyarakat telah mengalami perubahan konsep menjadi konsep pendidikan
yang digunakan sebagai sebuah investasi (education as investement)”. Lebih
lanjutnya ia mengemukakan “Dari slogan yang diusung USU ini sendiri kita
memfokuskan manusia sebagai fokus intinya. Artinya di sini manusia dianggap
sebagai modal investasi yang sangat menguntungkan.”.
Hal yang serupa juga ditambahkan oleh Veni Judo Agustian Fatahillah
”Bukan hal yang tidak mungkin sudah terjadi perubahan pola pikir mahasiswa
sebagai suatu dampak yang mengiringi dari perubahan bentuk ini”. Hal ini
disebabkan karena perubahan bentuk menjadi BHMN secara otomatis
memberikan suatu wewenang kepada universitas untuk membuat
kebijakan-kebijakan sendiri yang dianggap perlu. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan
adanya hegemoni kekuasaan yang terjadi seperti yang dikatakan oleh Veni Judo
Agustian Fatahillah ”Mekanisme kelembagaan (dalam hal ini universitas),
terkadang menjadikan kelompok yang berkuasa mampu menentukan serangkaian
kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan misal kenaikan uang kuliah, uang
dana kelengkapan akademik bahkan uang pkl dan uang sidang dan bukan hal yang
tidak mungkin pula mereka dapat melakukan suatu dominasi ideologi, contoh
nyatanya adalah standar kelulusan 6 tahun bagi mahasiswa”.
Hal tersebut secara tidak langsung telah menciptakan sebuah manipulasi
pemikiran yang telah merasuk kedalam pola fakir mahasiswa yang ada..senada
dengan yang disampaikan zaky sahreza bahwa BHMN juga memberikan sebuah
manipulasi pemikiran contoh nyatanya adalah perubahan pola pikir itu dapat kita
lihat dari sikap-sikap yang ditunjukkan mahasiswa yang lebih keapada study
oriented, fobia terhadap organisasi organisasi mahasiswa yang dalam hal ini
kemampuan bersosialisasi yang rendah serta hilangnya nuansa kritis, dan
apatisnya mahasiswa terhadap lingkungan sekitar. Zaky juga mengemukakan
pernyataannya ”Pendidikan itu bukan hanya permasalahan mampu atau tidaknya
kita beradaptasi dengan lingkungan setelah kita selesai dari bangku perkuliahan.
Tetapi juga bagaimana cara untuk melahirkan ilmu pengetahuan dan teori. Teori
tersebut bukanlah teori yang memanfaatkan keadaan, tetapi yang mengubah
keadaan. Maka jika pendidikan diupayakan hendak membebaskan, tugas teori
adalah membangun lebih kepada nilai. Sehingga bukan hanya berkutat terhadap
permasalahan hasil dan nilai tetapi juga sejauh apa kita memahami ilmu yang
telah kita dapat”.
Emile Durkheim menyatakan bahwa, pendidikan bermakna ganda, satu
sisi berfungsi sebagai pencerahan dan pembebasan, tetapi di sisi lain yang
berfungsi sebagai belenggu kesadaran.. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin
mahasiswa saat ini secara sadar maupun tidak telah masuk kedalam keterasingan
yang dalam. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa manusia itu pada
dasarnya bebas dan universal. Namun seiring dengan melihat alam maka terjadi
perubahan sudut pandang untuk mendapat uang (pragmatis). Dengan demikian,
manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal. Manusia
bekerja seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Yang
demikian lantas muncul kelas-kelas yang saling berhadapan dan bertentangan. Hal
ini terjadi sebagai upaya untuk memperebutkan suatu lahan demi kepentingan
mereka. Hal yang demikian ini lah yang diyakini dapat menimbulkan jarak antar