• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Etnis Tionghoa

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihakan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet, atau media lain untuk kepantingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya, maupun memberikan royalti kepada saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 22 Februari 2008

Yang menyatakan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus kristus karena berkat dan kasih karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Motif Berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok”. Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam kesempatan ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya pada :

1. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. Terimakasih atas waktu yang diluangkan untuk saya.

2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. Terimakasih atas perjuangannya. 3. Bapak Dr. A. Supratikya. Terimakasih telah meluangkan waktu

membimbing dan mengkoreksi skripsi saya dengan penuh kesabaran. 4. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si. Terimakasih telah membimbing saya dan

menjadi motivator dikala saya mulai merasa putus asa.

5. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si. Terimakasih telah memberikan masukan-masukan dalam penyusunan skripsi saya.

6. Papa (Alm) dan Mama yang membuatku ada di dunia ini. Yang tak habis-habisnya memanjatkan doa, memberikan kasih sayang dan semua yang terbaik buatku. Papa, Sorry I’m late……….

7. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi. Terimakasih telah membagikan ilmunya pada ku sehingga aku jadi seperti ini.

8. Mba’ Nanik dan Mas Gandung. Terimakasih telah membantu saya selama berada di Sanata Dharma.

9. Dua sejoli Mas Muji “Beckham”dan Mas donny”sssstttt….”Matur nuwun sanget.

10.Pa’ Gi. Makasih buat senyummu, like a sunshine di Sanata Dharma.

11.My Bro and Sist. Thanks udah dukung dan melindungi aku selama ini. Kalian malah terkadang jadi kakak buat aku. Aku tahu ini semua tak mudah juga buat kalian. Ayo kita wujudkan semua yang kita cita-citakan selama ini.

12.Buat teman - teman seperjuanganku para penggemar tempe bosok, Della Pus…makasih buat pinjaman komputer dan printernya sampe jadi nge hang, jadi temen diskusi bikin skripsi dan nonton “heroes” Thanks juga udah jadi a shoulder 2 cry on buat aku. Asti, makasih udah sabar dengerin keluh kesah ku yang rada-rada ajaib.

13.Ooh Tony yang kecil, item, kriting, idup lage. Makasih buat dukungannya. Ayo semangat…….aza aza fighting….

14.Teman angkatan 99: Vincent, Andi, Milli, Rany, Vero”Schumi”, Uni. Akhirnya kita lulus yooooo…….

15.Buat Enny. We still friend kan ??? Enjoy Ur life.

16.Martha “My angel” Akhirnya aku menepati janji mu menyusul kamu. Ayo berburu poster lagi. Nice memories with you.

17.Rino”Pinky”Wijaya, teman ngalong dalam suka dan duka. You like a brother for me. Thanks for everything. Hidup M_ _ _ M lol

18.Evi”Panda”, Irma, Iin. Makasih buat support dan perhatiannya selama ini. 19.Gank kost Ebenhaizer : Jendhol, Shinta, Yuli, Omar, Yorita, Yusan, Choco

Chip, Moelly, Lincex terimakasih telah menyemarakkan hidupku. Buat mba Rofi yang selalu bukain pintu buat aku, makasih ya mba….

20.Mba nya WTC. Makasih uda mau aku repotin dan dengerin kisah ala sinetron dariku.

21. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak…..

Yogyakarta, 30 November 2007

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..………...…. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...……...……. ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTACT... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI...xiii

DAFTAR TABEL...xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

BAB II. LANDASAN TEORI... 10

A. Etnis Tionghoa... 10

B. Motif Berprestasi... 18

2. Pengertian Motif Breprestasi... 21

3. Ciri –ciri Individu dengan Motif Berprestasi yang Tinggi... 22

4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Motif Berprestasi... 26

C. Perbedaan Motif Berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok... 31

D. Hipotesis... 33

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis Penelitian... 35

B. Indentifikasi Variabel Penelitian... 35

C. Definisi Operasional Penelitian……...………... 35

D. Subjek Penelitian………...……….. 38

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data………...… 38

F. Validitas dan Reliabilitas………..………..…………. 41

1. Validitas………..………..……….………… 41

2. Reliabilitas………...………...…… 42

G. Metode Analisis Data………...………..…….. 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 44

A. Pelaksanaan Penelitian………...……….. 44

B. Hasil Penelitian... 44

1. Uji Asumsi... 44

2. Deskripsi Data Penelitian... 46

3. Uji Hipotesis... 48

BAB V. PENUTUP... 55

A. Kesimpulan... 55

B. Saran – Saran... 56

DAFTAR PUSTAKA... 59

LAMPIRAN – LAMPIRAN... xvii 1. Skala Uji Coba Motif Berprestasi.

2. Data Uji Coba , Reliabilitas dan Validitas Data Uji Coba.

3. Data Sesudah Uji Coba, Reliabilitas dan Validitas Data Susudah Uji Coba. 4. Skala Penelitian Motif Berprestasi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor Skala Motif Berprestasi... 39

Tabel 2. Blue Print dan Distribusi Item Skala Motif Berprestasi berdasarkan Sikap Favorable dan Unfavorable Sebelum Uji Coba…... 40

Tabel 3. Susunan Nomor Item Skala Motif Berprestasi Setelah Uji Coba... 42

Tabel 4. Ringkasan One Sample Kolmogorov Smirnov Test... 45

Tabel 5. Ringkasan Levene test... 46

Tabel 6. Ringkasan Deskripsi Data Penelitian Tabel 6.1. Ringkasan Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Seluruh Subjek... 46

Tabel 6.2. Ringkasan Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Etnis Tionghoa Peranakan... 46

Tabel 6.3. Ringkasan Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Etnis Tionghoa Totok... 46

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia didiami oleh berbagai macam suku bangsa asli maupun keturunan, misalnya Sunda, Jawa, Batak Minang, China, Arab dan sebagainya. Yang dimaksud suku bangsa asli yang mendiami suatu daerah adalah suku bangsa, penduduk asli yang mendiami suatu daerah, misalnya Sunda, Jawa, Batak, dan Minang. Sedang yang dimaksud suku bangsa keturunan adalah penduduk, suku bangsa dari luar Indonesia yang berdiam di Indonesia dalam jangka waktu yang lama, menikah kemudian menghasilkan keturunan di Indonesia seperti layaknya penduduk Indonesia ( Gondomono, 2002 )

Seperti kata sebuah iklan rokok bahwa catur tidak akan ada apabila tidak ada warna hitam dan putih, demikian juga dengan suku bangsa yang heterogen. Berbagai macam suku bangsa yang tinggal di Indonesia berinteraksi satu sama lain tanpa meninggalkan ciri khas masing-masing. Ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing suku selain segi fisik juga menyangkut segi budaya. Keberagaman suku bangsa ini menciptakan keanekaragaman dalam berbagai hal baik dalam segi fisik yang benar-benar kentara ataupun cara pandang dan pikir yang hanya dapat dikenali apabila berinteraksi lebih lanjut. Dapat dikatakan, perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang sangat ditentukan oleh kebudayaan tempat individu itu tinggal dan berinteraksi.

Salah satu yang mendorong munculnya perilaku pada individu adalah ketika individu memiliki dorongan yang bertujuan memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang membutuhkan sesuatu maka dia akan berusaha memenuhinya dan cara memenuhi kebutuhan itu akan mendorong terjadinya perilaku yang khas. Dorongan yang muncul dari individu untuk memenuhi kebutuhannya disebut motivasi.

Parwitasari 2002:17 menyatakan bahwa motif adalah suatu keadaan yang mengakibatkan individu bertingkah laku untuk memenuhi atau mencapai tujuan. Motif yang menjadi tingkah laku konkrit disebut motivasi. Lebih diperjelas lagi oleh Herdianingrum (2004) bahwa motif adalah suatu kondisi internal atau dorongan, yang bisa saja berasal dari dalam individu atau dari luar individu yang mendorong dan mengarahkan individu untuk melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu serta memuaskan kebutuhan atau keinginan individu. Sedangkan motivasi adalah proses dari dalam individu yang memberi dorongan kepada motif untuk melakukan usaha (tingkah laku) dalam mencapai tujuannya serta untuk memuaskan kebutuhannya.

Anoraga (1995:44) mengatakan motivasi adalah dorongan, keinginan sehingga individu melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan dengan memberikan yang terbaik darinya, baik waktu maupun tenaga, demi tercapainya tujuan yang diinginkan.

Manusia merupakan makluk sosial, sehingga hidup bermasyarakat. Di dalam masyarakat terjadi proses interaksi antar manusia dan hampir semua perilaku kita dinilai dan dievaluasi oleh masyarakat umum dengan kriteria tertentu

yang ada dalam masyarakat dimana individu itu tinggal walaupun manusia memiliki kriteria sendiri terhadap kualitas perilaku yang dihasilkannya. Kriteria itu dapat berupa prestasi orang lain ataupun prestasi diri sendiri yang pernah dicapai sebelumnya.

Adanya need of achievement menyebabkan manusia memiliki dorongan untuk berbuat lebih baik daripada orang lain guna mencapai sukses, sesuai dengan standar yang ditetapkan sendiri. Walaupun demikian faktor masyarakat atau lingkungan sekitar turut andil dalam terbentuknya need of achievement. Dengan demikian manusia selalu ingin menjadi lebih baik daripada lingkungan dan memenuhi tuntutan yang ada di masyarakat.

McClelland (1985), berpendapat bahwa individu yang mempunyai motif berprestasi yang cukup tinggi juga mempunyai sikap positif terhadap situasi berprestasi dan akan lebih berprestasi dalam situasi dimana dia dapat berpacu dengan ukuran keunggulan yang diinternalisasi, serta prestasinya akan lebih baik jika tujuannya dapat ditentukan sendiri. Motif ini terefleksikan dalam perilaku-perilaku seperti pencapaian tujuan yang sulit, penentuan rekor baru, ingin sukses dalam penyelesaian tugas-tugas sulit, dan mengerjakan sesuatu selesai sebelum batas waktunya.

Ditambahkan Jung (1978), Individu dengan need of achievement yang tinggi menunjukkan aktivitas dengan orientasi berprestasi karena individu ini memiliki tingkat kecemasan yang rendah terhadap kegagalan sehingga lebih berani dalam mencoba. Hal ini berbalikan dengan individu dengan need of achievement rendah yang tidak menunjukkan aktivitas dengan orientasi prestasi

karena memiliki tingkat kecemasan yang tinggi.

Tinggi rendahnya motif berprestasi pada individu dipengaruhi oleh banyak hal antara lain lingkungan seperti keluarga, dan masyarakat sekitar berupa nilai-nilai, falsafah hidup yang diajarkan oleh orang tua secara turun temurun pada seseorang. Selain itu motif berprestasi juga dipengaruhi oleh individu itu sendiri seperti perkembangan kognitif dan atribusi diri.

Winterbottom (dalam Jung, 1978) melakukan penelitian dengan mewawancarai wanita-wanita berumur duapuluh sembilan tahun dengan taraf motif berprestasi yang bervariasi. Dia menemukan bahwa ibu yang memiliki anak dengan motif berprestasi yang tinggi melatih kemandirian anak mereka pada usia yang lebih dini dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan motif berprestasi yang rendah. Lebih lanjut Winterbottom mengatakan bahwa ibu dari anak dengan motif beprestasi yang tinggi memberikan dorongan lebih banyak dan semangat untuk mencapai kemandirian daripada ibu dari anak dengan motif berprestasi yang rendah. Mereka lebih membatasi anak mereka.

Hal ini dikuatkan oleh Rosen dan D'Andrade (dalam McClelland, 1985) yang mengobservasi perilaku orang tua ketika anak mereka berusaha menyusun menara dari balok. Orang tua diijinkan berbicara dengan anaknya tetapi tidak secara fisik membantu mereka. Orang tua dengan motif berprestasi yang tinggi memiliki harapan dan dukungan yang lebih tinggi pada anaknya . Sedangkan anak dengan motif berprestasi yang tinggi meminta lebih sedikit pertolongan pada orang tuanya.

Nilai-nilai dan falsafah hidup yang diajarkan sejak individu kecil, dalam hal ini need of achievement, biasanya akan tertanam hingga dewasa. Nilai-nilai dan falsafah itu sendiri merupakan hasil dari kebudayaan yang berbeda-beda. Ada kebudayaan yang menekankan pada need of achievement yang tinggi, ada juga yang tidak begitu menekankan perlunya need of achievement.

McClelland menyatakan hipotesis (dalam Herdianingrum, 2004:20) bahwa ada hubungan antara motif berprestasi dengan keberhasilan berwirausaha dan akibatnya bagi petumbuhan ekonomi bangsa. Menurut McClelland guna mempercepat kemajuan di negara berkembang perlu ditingkatkan motif berprestasi rata-rata dalam masyarakat. Hal ini berdasarkan atas hasil-hasil penelitiannya di berbagai negara, bahwa di negara-negara maju ternyata motif berprestasi rata-rata dalam masyarakat lebih tinggi dibandingkan dengan motif berprestasi rata-rata dalam masyarakat yang negaranya sedang berkembang.

Apabila kita telusuri, masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah keturunan dari wilayah Tiongkok Tenggara yang sebagian besar tiba di salah satu wilayah di Indonesia (atau Hindia Belanda, Nusantara) sebelum abad ke-17. Sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, para pendatang itu hanya terdiri dari Etnis pria. Mereka menikahi perempuan pribumi setempat dan membangun keluarga sehingga sekarang menjadi beberapa generasi. Etnis ini disebut juga “Etnis Tionghoa Peranakan” terutama di Pulau Jawa (Gondomono, 2002). Setelah beberapa generasi, kelompok Etnis Tionghoa Peranakan ini bisa dikatakan mapan, sehingga perkawinan bisa dilakukan diantara pria Etnis Tionghoa Peranakan dengan perempuan Etnis Tionghoa Peranakan juga sehingga perkawinan dengan

penduduk setempat makin berkurang.

Keturunan dari para pendatang ini masih menyebut dirinya juga Etnis Tionghoa karena tradisi sistem kekerabatan mereka yang menganut patrilineal, yaitu mengikuti garis keturunan pria. Walaupun demikian keturunan pendatang ini lebih dekat dengan ibu mereka sehingga biasanya tidak dapat berbahasa China dan sehari-harinya menggunakan bahasa ibunya atau bahasa daerah, kecuali beberapa istilah yang sehari-hari sering digunakan ayah mereka, seperti istilah kekerabatan, keagamaan, perdagangan, termasuk untuk hitung-menghitung.

Setelah pertengahan abad ke-19 keadaan ekonomi para imigran China umumnya lebih baik daripada imigran abad-abad sebelumnya. Mereka datang membawa istri dan anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan. Akibatnya kemudian terbentuklah kelompok orang Etnis Tionghoa yang ayah dan ibunya orang China. Etnis ini dikenal sebagai “Etnis Tionghoa Totok”. Kebudayaan mereka, termasuk bahasanya berbeda dengan “Etnis Tionghoa Peranakan” (Gondomono, 2002).

Mereka yang di sebut singkeh oleh Etnis Tionghoa Peranakan yang berarti tamu baru ini memiliki budaya yang berbeda dengan Etnis Tionghoa Peranakan. Tradisi dan adat kehidupan China mereka masih terlihat, seperti agama, gaya hidup, kebudayaan dan orientasi hidup. Mereka juga tidak mau terpengaruh budaya dan adat setempat sehingga cederung bergaul dengan sesamanya saja.

Hal yang menjadi pertanyaan bagi peneliti adalah apakah perbedaan dari kedua golongan Etnis di atas mempengaruhi motif berprestasi dari kedua Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa Peranakan dimana mereka sejak lahir lebih dekat

dengan budaya ibunya yaitu budaya setempat sehingga walaupun tidak sepenuhnya berciri pribumi seperti budaya ibunya (Jawa, Bali, Sunda, dan lain-lain.) tapi tidak juga sepenuhnya China (Hokkian, Tiociu, dan sebagainya) ini menyebabkan mereka sedikit banyak mempertahankan falsafah dan mengikuti budaya dan norma lingkungan setempat.

Penelitian yang dilakukan oleh Effendi (2003) menyatakan ada perbedaan motif berprestasi antara Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa. Etnis Tionghoa memiliki

need of achievement yang lebih tinggi dibandingkan dengan Etnis Jawa. Effendi juga menyatakan, hal ini dipengaruhi budaya yang dianut oleh kedua etnis khususnya pola asuh bagi anak-anak mereka.

Dikarenakan peneliti melakukan pengambilan data di Solo, maka Etnis Tionghoa Peranakan di Solo menjadi lebih dekat dengan kebudayaan ibunya yang merupakan Etnis Jawa. Selain itu dikarenakan mereka tinggal ditengah lingkungan Etnis Jawa maka mereka mengikuti kebudayaan, orientasi hidup dan

norma dari lingkungan setempat. Sebaliknya dengan Etnis Tionghoa Totok yang memiliki orang tua yang

masih “orang China”. Etnis ini menganut budaya dan bahasa menurut tuturan masing-masing seperti Hokkian, Hakka, Kanton, dan lain-lain. Etnis Tionghoa Totok sangat memperhatikan keaslian budaya leluhur sehingga tidak mau terpengaruh dengan budaya setempat. Hal itu dianggap akan mempengaruhi sifat keaslian mereka.

Sebagian besar masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia menekuni dunia perdagangan dan sektor swasta. Kondisi ini tak lepas dari sejarah di masa

penjajahan Belanda yang memanfaatkan orang Etnis Tionghoa sebagai pedagang perantara, kolektor hasil bumi dan hasil hutan di desa-desa untuk kemudian diserahkan pada pedagang besar atau perusahaan Belanda. Bila mereka telah mapan dan dirasa cukup memiliki modal maka mereka akan membuka usaha sendiri (berwiraswasta) dan merambah pada mata pencaharian lain bukan hanya pedagang hasil bumi.

Penelitian dari Effendi (2003) juga membedakan pola asuh. Pada Etnis Tionghoa dasarnya adalah ajaran Buddhisme, Taoisme, dan Konfusionisme yang menekankan pentingnya kesuksesan dengan ulet, rajin, dan keras dalam berusaha serta memiliki etos kerja selain itu juga mengenalkan anak sejak kecil dengan pekerjaan seperti wiraswasta. Berbeda dengan kebudayaan Etnis Jawa yang mempengaruhi Etnis Tionghoa Peranakan.

Kebudayaan Etnis Jawa diwarnai mistik seperti tiga sikap hidup yang dimiliki oleh masyarakat jawa seperti rila, narima, dan sabar sehingga terlihat pasif dalam mengusahakan suatu hal. Lebih menekankan kepastian dalam mengusahakan sesuatu dan kecenderungan mencari kepastian, dengan mencari penghasilan yang tetap dan mengurangi resiko kegagalan dengan menjadi karyawan.

Gejala-gejala dan fenomena yang muncul diatas menarik perhatian peneliti untuk mengamati dan menyelidiki lebih lanjut apakah ada perbedaan taraf motif berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok. Oleh karena itu peneliti mengangkat topik pembahasan dengan judul ”Perbedaan Motif Berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok”

B. Rumusan Masalah

Berawal dari latar belakang diatas, maka masalah pokok yang ingin diketahui adalah “apakah secara empirik ada perbedaan motif berprestasi antara Etnis Tionghoa Totok dengan Etnis Tionghoa Peranakan ”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan motif berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok.

D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi kajian ilmiah ilmu psikologi terutama mengenai motif berprestasi terutama pada Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok dan juga memperkaya bidang penelitian psikologi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi yang cukup akurat bagi masyarakat pada umumnya dan Etnis Tionghoa pada khususnya mengenai perbedaan motif berprestasi antara “Etnis Tionghoa Peranakan” dengan “Etnis Tionghoa Totok” sehingga dapat di jadikan acuan untuk perbaikan kualitas hidup.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Etnis Tionghoa

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk karena terdiri dari berbagai unsur yang berasal dari berbagai macam latar belakang dan budaya. Menurut Gondomono (2002), kemajemukan masyarakat ini terbentuk dari dua macam golongan, yaitu:

1. Suku bangsa asli

Yang digolongkan sebagai suku bangsa asli adalah suku bangsa, penduduk asli, yang mendiami suatu daerah, misal Sunda, Jawa, Batak, dan Minang.

2. Suku bangsa keturunan

Sedang yang dimaksud suku bangsa keturunan adalah penduduk, suku bangsa dari luar Indonesia yang berdiam di Indonesia dalam jangka waktu yang lama, menikah, kemudian menghasilkan keturunan di Indonesia seperti layaknya penduduk Indonesia.

Pulau Jawa yang terkenal dengan kesuburannya menjadi sentral daerah perdagangan di Indonesia. Hal itu menyebabkan Pulau Jawa menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam masyarakat untuk melakukan kegiatan jual beli. Masyarakat pendatang tersebut pada awalnya membawa ciri khas dan kebudayaannya masing-masing, yang selanjutnya terkena akulturasi dengan budaya setempat, misalnya bahasa, perilaku, atau kebiasaan. Para pendatang yang menjadi pedagang di Indonesia berasal dari berbagai negara antara lain Arab,

China, dan Gujarat.

Saat ini diperkirakan menurut sensus pada tahun 2000 jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA) kira-kira 3 juta orang, yaitu sekitar 1,5% dari penduduk Indonesia (Suryadinata, Arifin, dan Ananta 2003). Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia menyepakati istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang keturunan China di Indonesia secara khas disebut sebagai Orang Tionghoa.. Istilah ini sesuai dengan pasal 26 UUD 1945 (Tedy Jusuf, 2000).

Apabila kita telusuri sebagian besar masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah keturunan dari wilayah Tiongkok Tenggara yang tiba di salah satu wilayah di Indonesia (Hindia Belanda, atau Nusantara) sebelum abad ke-17 untuk bekerja. (Gondomono, 2002). Mereka tidak hanya bekerja sendiri melainkan ada juga bekerja pada pihak lain sebagai buruh perkebunan dan pertambangan Sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, para pendatang itu hanya terdiri dari pria. Mereka menikahi perempuan pribumi setempat dan membangun keluarga sehingga sekarang menjadi beberapa generasi. Etnis ini disebut juga “Etnis Tionghoa Peranakan” terutama di pulau Jawa. Keturunan dari para pendatang ini masih menyebut dirinya juga orang Tionghoa karena tradisi sistem kekerabatan mereka yang menganut patrilineal, yaitu mengikuti garis keturunan pria. Walaupun demikian keturunan pendatang ini lebih dekat dengan ibu mereka sehingga biasanya tidak dapat berbahasa Tionghoa dan sehari-harinya menggunakan bahasa ibunya atau bahasa daerah, kecuali beberapa istilah yang sehari-hari sering digunakan ayah mereka, seperti istilah kekerabatan, keagamaan, perdagangan, termasuk untuk hitung-menghitung (Gondomono, 2002).

Lebih diperjelas oleh Noordjanah (2004) bahwa pada masa pemerintahan VOC yang di maksud Golongan Tionghoa Peranakan adalah pertama, mereka yang dilahirkan dari seorang ibu dan ayah dari China dan lahir di Hindia Belanda. Dalam ketentuan hukum Kolonial Belanda, mereka termasuk Onderdaan Belanda. Kedua, mereka yang lahir dari perkawinan campuran, yaitu laki-laki keturunan China dan wanita pribumi. Sebagai anak yang diakui secara sah oleh ayahnya dan didaftarkan sebagai anak sahnya dengan diberi nama keluarga (She). Ketiga, mereka yang dilahirkan dari perkawinan campuran antara ayah pribumi dan ibu keturunan China, dan karena pengaruh keadaan sosial dan ekonomi, diberi nama

Dokumen terkait