• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat yang tinggal di wilayah Ogan Komering Ulu terdiri atas penduduk asli dan para pendatang. Masyarakat pendatang tersebut sebagian besar berasal dari Suku Jawa, Sunda, Minang, Pasemah, Tionghoa, Palembang, Lampung, dan Batak. Sementara penduduk asli di wilayah ini sekurang-kurangnya terdiri atas enam suku. Keenam suku tersebut berasal dari dua kelompok besar, yaitu pendukung kebudayaan Seminung dan Dempo (Ismail dan Ismail, 2002). Menurut sejarahnya mereka juga berasal dari wilayah lain yang bermigrasi ke wilayah ini sejak ratusan tahun lalu. Sebagian besar penduduk asli Ogan Komering Ulu bekerja sebagai petani dengan tanaman utama padi (Oryza sativa), karet (Hevea brasiliensis), dan kopi (Coffea arabica dan Coffea robusta). Hasil kebun lain seperti duku (Lansium domesticum), durian (Durio zibethinus), manggis (Garcinia mangostana), dan petai (Parkia speciosa) juga merupakan komoditas unggulan daerah ini.

Statistik kependudukan tahun 2010–2011 menunjukkan terdapat 1.401.874 penduduk yang mendiami wilayah Kabupaten OKU Induk, OKU Selatan, dan OKU Timur. Adapun penyebaran penduduk di setiap kecamatan pada tiga kabupaten tersebut tidak merata. Hal ini disebabkan oleh kondisi dan daya dukung serta potensi masing-masing daerah, khususnya di bidang perekonomian, pertanian, dan perkebunan. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata, yaitu di bawah 2% per tahun dengan rasio perbandingan penduduk laki-laki sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk perempuan. Sebagai contoh, perbandingan antara penduduk perempuan dengan laki-laki di wilayah OKU Induk, yaitu 100 : 104 jiwa (BPS Kabupaten OKU, 2012).

Masyarakat OKU, ditinjau dari kelompok bahasa yang ada, dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yakni pendukung budaya Seminung dan Dempo. Kelompok Seminung terdiri dari suku Komering, suku Ranau, dan suku Daya. Sementara kelompok Dempo terdiri dari suku Ogan, Semendo, dan Kisam (Ismail dan Ismail, 2002). Bagi orang luar/asing, sangat sulit untuk mengidentifikasi suku atau kelompok budaya tersebut. Namun demikian, lain halnya dengan kalangan masyarakat OKU. Mereka dapat dengan mudah mengetahui etnisitas orang yang ditemuinya melalui bahasa/dialek yang digunakan. Sesama kelompok Seminung atau sesama kelompok Dempo bisa saling memahami bahasa suku lain dalam kelompok yang sama, tetapi tidak mengerti bahasa suku lain dari kelompok yang berbeda.

Suku Komering, Ranau, Daya, Semendo, dan Ogan memiliki aksara tersendiri yang disebut “Ka-ga-nga” yang terdiri dari 20 huruf konsonan dan 8 huruf vokal. Bentuk aksara hampir sama antara satu suku dengan suku

48 |

lain, hanya berbeda cara membacanya karena ada perbedaan dialek. Aksara Kaganga merupakan sebuah nama kumpulan beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra Selatan, antara lain aksara Rejang, Lampung, Rencong, dan lain-lain. Penduduk asli menyebut aksara ini dengan aksara Ulu. Nama Kaganga merujuk pada tiga aksara pertama dan dipopulerkan oleh Mervyn A. Jaspan (1964), seorang antropolog berkebangsaan Inggris.

Suku Komering merupakan mayoritas suku yang ada di daerah Ogan Komering Ulu. Nama suku Komering sendiri diambil dari nama Sungai Komering. Namun demikian, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Komering berasal dari istilah bahasa India “komering sing” yang berarti “juragan pinang” karena wilayah ini konon dahulu kaya akan tanaman pinang. Suku ini terdiri atas beberapa marga, antara lain: Paku Sengkunyit, Sosoh Buay Rayap, Buay Pemuka Peliyung, Buay Madang, Semendawai, dan Bengkulah (OKI). Menurut penuturan beberapa pemangku adat, asal usul masyarakat suku Komering berasal dari Lampung. Dituturkan bahwa dahulu kala Kepaksian Sekala Brak yang terletak di Lampung pindah ke daerah Komering dan akhirnya menjadi beberapa kebudayaan/marga. Bahasa Komering sendiri memiliki ciri-ciri yang sedikit berbeda dengan rumpun bahasa Melayu. Dahulu masyarakat suku Komering tinggal di rumah tradisional yang disebut rumah limas, tetapi saat ini hanya bisa ditemukan di daerah Minanga.

Sistem kemasyarakatan orang Komering dipengaruhi oleh adat “Simbur Cahaya”. Simbur Cahaya merupakan kitab undang-undang hukum adat, yang merupakan perpaduan antara hukum adat lokal dengan ajaran Islam. Kitab ini kemungkinan merupakan undang-undang tertulis pertama yang berlandaskan pada syariat Islam di Nusantara. Kitab tersebut konon ditulis oleh Ratu Sinuhun yang merupakan istri penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing Kenayan (1630–1642 M) (Boedenani, 1983). Kitab ini terdiri atas 5 bab yang membentuk pranata hukum dan kelembagaan adat di Sumatra Selatan, khususnya hubungan antarmanusia serta persamaan gender antara perempuan dan laki-laki (Yusdani, 2005).

Dalam tradisi perkawinan, suku Komering mengenal praktik pemberian gelar adat (adok) yang diberikan saat seseorang menikah. Pemberian gelar ini disesuaikan dengan garis keturunan dan fungsinya, agar pengantin baru yang menerima gelar adok dianggap memiliki status yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Perubahan status tersebut telah menegaskan identitas dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terintegrasi secara utuh. Dengan demikian, orang tersebut diakui memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap lingkungan sosialnya. Adapun sistem kekerabatan yang umum berlaku di tengah suku Komering, yaitu patrilineal dengan adat menetap sesudah menikah patrilokal, di mana seorang istri menetap di kediaman kerabat suami (ngalaki). Namun demikian, ada juga tradisi keluarga matrilokal, di mana sang suami tinggal di kediaman kerabat istri (ngakuk-anak) dengan syarat jika keluarga istri tidak memiliki anak laki-laki.

Gambar 3.6 Menganyam merupakan salah satu keahlian masyarakat OKU yang tinggal di pedesaan. Namun, tradisi dan keterampilan tersebut kini hanya dikuasai oleh segelintir orang-orang tua seiring dengan lebih tenar dan murahnya wadah plastik yang semakin mudah

diperoleh (Foto: R. Handini)

Suku Ranau konon berasal dari marga Ranau di Lampung Barat yang merupakan Kepaksian Sekala Brak. Saat ini suku tersebut lebih dominan menetap di tepian Danau Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warku. Nenek moyang suku Ranau konon dituturkan bermigrasi dari Lampung Barat ke wilayah OKU Selatan dan terkonsentrasi tinggal di sekitar Danau Ranau, Kecamatan Banding Agung. Mereka memilih lokasi tersebut karena dekat dengan sumber air. Karena berdomisili di sekitar Danau Ranau, tidak mengherankan jika mata pencaharian penduduk, yaitu sebagai nelayan di samping sebagai petani. Suku Ranau memiliki sistem pemerintahan marga yang telah berjalan

selama ratusan tahun. Adat marga suku Ranau mengatur rinci penyelesaian konflik atau pertengkaran antarwarga. Untuk menjaga konflik akibat rebutan warisan, adat memperkenalkan sistem pembagian warisan yang cukup lengkap. Meski pengaturan warisan berada di tangan anak laki-laki tertua, pembagian tetap dilaksanakan melalui musyawarah keluarga besar. Pembagian hak waris juga turut mempertimbangkan rasa keadilan dan kondisi ekonomi masing-masing anggota keluarga. Pertanian di sawah dan ladang oleh suku Ranau memunculkan adat khas, di mana mereka terbiasa bergotong royong menanam dan memanen padi secara bergiliran, yang biasa disebut ketulungan. Saat tanaman padi mulai berbunga, pemiliknya menggelar sedekahan yang disebut dengan tradisi ngumbai.

Gambar 3.7 Para wanita di wilayah pedesaan di Kabupaten OKU pulang berkebun. Para wanita juga memiliki peranan yang penting dalam kehidupan keluarga. Selain mengurus rumah tangga, para wanita juga biasa berkebun untuk membantu suami mereka

(Foto: R. Handini)

Terkait dengan tradisi perkawinan, Suku Ranau setidaknya mengenal tiga sistem adat sesudah menikah, yakni:

a. Ejujo: jika pengantin perempuan tinggal di kerabat suaminya dengan syarat pihak laki-laki selain memberikan mas kawin juga menyerahkan uang jujur.

b. Semanda: jika pengantin laki-laki yang masuk atau ikut kerabat istri dengan syarat jika pengantin perempuan merupakan anak tunggal.

c. Semanda raja-raja (mangedok kicikan): jika setelah menikah mereka bebas tinggal di mana pun yang mereka mau.

Suku Daya adalah kelompok masyarakat asli OKU yang pada umumnya menempati wilayah-wilayah di sepanjang aliran Sungai Ogan dari Baturaja sampai Selapan. Wilayah persebaran mereka cukup besar, meliputi Baturaja Timur dan Barat, Simpang, serta Muaradua. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Daya yang masuk dalam rumpun bahasa Melayu (Melalatoa, 1995). Sistem kekerabatan suku Daya adalah patrilineal, dalam satu rumah yang berkuasa adalah anak laki-laki tertua. Sebagaimana suku Komering dan Ranau, suku Daya juga mengenal pemberian adat (adok) pada seseorang yang baru menikah.

Suku Ogan tersebar di Ogan Ilir, Ogan Komaring Ilir, dan Ogan Komering Ulu. Dilihat dari persentasenya, suku Ogan merupakan suku asli terbesar kedua di wilayah OKU setelah suku Komering. Suku Ogan memiliki bahasa Ogan yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu Pinggir (Melayu Muda). Dalam perkembangannya,

50 |

bahasa tersebut kemudian memiliki dua dialek, yakni dialek Ogan Ilir dan dialek Ogan Ulu (Melalatoa, 1995). Semakin ke hulu Sungai Ogan, logat bahasa ini akan terdengar keras. Sebaliknya, semakin ke hilir, semakin halus pula logatnya serta terdengar agak berlagu/bernada. Hal ini senada dengan filosofi “daerah hulu Ogan, tepian Sungai Ogan agak kecil arus airnya deras berbatu dan berbukit, sedangkan daerah hilir Ogan tepian sungai lebar dan arus air tenang tidak berbatu”. Mereka juga memiliki aksara tersendiri yang masih termasuk dalam rumpun aksara Kaganga.

Suku Semendo konon berasal dari kata “same” yang artinya sama dan “nde” yang artinya keluarga. Berdasarkan pengelompokan wilayah persebarannya, suku Semendo terbagi atas dua kelompok, yakni kelompok Semendo Darat dan kelompok Semendo Lembak. Orang Semendo Darat bermukim di Muara Enim, sementara orang Semendo Lembak bermukim di OKU, terutama di wilayah Baturaja. Mereka menggunakan bahasa Semendo yang masih termasuk dalam rumpun Melayu (Melalatoa, 1995). Suku Semendo konon berasal dari daerah Bengkulu yang mulai mendiami wilayah OKU sekitar abad ke-16 Masehi.

Terakhir, yaitu suku Kisam, kelompok masyarakat yang saat ini lebih banyak terpusat di Muaradua dan Pulau Beringin. Menurut cerita pemuka adat, suku Kisam merupakan percampuran antara suku Pasemah dan Semendo. Bahasa yang digunakan suku Kisam tidak berbeda jauh dengan bahasa yang dipergunakan oleh orang Pasemah (Melalatoa, 1995). Tidak banyak informasi yang diperoleh mengenai sejarah dan latar belakang terkait suku Kisam.