• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Masyarakat OKU

5. Kehidupan Masyarakat OKU

Wilayah OKU secara umum letaknya sangat strategis karena dilewati oleh jaringan jalan trans-Sumatra yang merupakan akses penghubung Jawa–Sumatra serta kota-kota di Pulau Sumatra. Masyarakat, investor, dan pemerintah sangat bergantung pada akses jalan tersebut. Aneka bisnis berskala mikro hingga makro di sepanjang jalan tersebut amat bergantung pada kelancaran sektor transportasi dan perhubungan. Selain keberadaan akses darat tersebut, tersedianya sumber daya air yang berlimpah dari Sungai Ogan dan Komering juga mendukung perekonomian daerah, terutama peranannya dalam irigasi dan perikanan. Sementara itu, dari sektor pertambangan, mineral dan batuan yang menjadi komoditas utama wilayah OKU, yaitu batu bara, marmer, minyak bumi, batu kapur, emas, nikel, intan, pasir-batu, dan lain sebagainya.

Sungai Ogan dan Komering sesuai dengan perkembangan zaman telah mengalami perubahan fungsi. Sampai dengan era 1980-an, kedua sungai besar tersebut berperan sebagai penunjang sarana transportasi utama masyarakat. Moda transportasi yang digunakan, yaitu memanfaatkan perahu ataupun rakit (lanting), baik untuk jarak dekat maupun jarak jauh. Saat ini pemakaian perahu dan lanting hanya terbatas untuk menyeberang dari perkampungan ke ladang yang belum dilengkapi jembatan gantung. Lanting dibuat dari rangkaian batang bambu yang disusun sejajar, kemudian diikat dengan tali. Lanting kadang dikayuh dengan galah bambu atau hanya mengandalkan tali yang diberi kerekan dari ujung sungai satu ke ujung yang lain. Lanting biasanya dimiliki perorangan, tetapi tidak jarang masyarakat bergotong royong membuat lanting bersama untuk kemudian dimanfaatkan bersama. Selain untuk menyeberang manusia, lanting juga digunakan untuk mengangkut hasil ladang seperti kopi, karet, padi, dan buah-buahan.

Sebagian besar masyarakat Ogan Komering Ulu bekerja sebagai petani, baik di lahan sendiri maupun milik orang lain. Di daerah Kabupaten OKU, hasil perkebunan rakyat yang paling utama, yaitu kopi dan karet. Biji kopi (robusta dan arabica) merupakan komoditas utama daerah OKU pada era sebelum tahun 1980, tetapi setelah tahun 1980 produktivitas kopi di daerah ini semakin berkurang karena ladang kopi berganti menjadi ladang karet. Pada tahun 1980 harga satu kilogram kopi mencapai Rp15.000, sementara karet baru mencapai harga Rp250/kg. Saat ini harga kopi dan karet berkisar di rentang harga yang sama antara Rp15.000–Rp17.000/kg sehingga masyarakat OKU lebih suka menanam karet.

Saat ini perekonomian masyarakat cenderung meningkat seiring dengan maraknya kemunculan perkebunan karet di wilayah Ogan Komering Ulu. Tingginya permintaan karet mentah di pasar dunia yang diikuti oleh kenaikan harga diklaim turut meningkatkan kesejahteraan para petani dan buruh karet di OKU. Lahan karet di OKU dapat dibedakan menjadi dua, yakni karet alam dan karet stek. Keduanya memiliki nilai keunggulan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan karet alam adalah sifat pohonnya yang kuat, tidak perlu membeli bibit, tidak perlu dirawat secara khusus, serta usia produksi yang bisa mencapai 50 tahun lebih. Kelemahannya, karet alam baru bisa disadap atau dinikmati hasilnya setelah berumur sedikitnya 10 tahun. Sebaliknya, karet stek bisa disadap pada usia 4–5 tahun, tetapi harga bibitnya cukup mahal, yaitu sekitar Rp7.000 per pohon. Selain itu, biaya perawatan karet stek cenderung lebih tinggi dengan usia produksi tidak lebih dari 30 tahun.

Penanaman karet biasa dilakukan pada ladang yang memang khusus untuk tanaman karet, tetapi untuk sebagian besar petani yang memiliki modal terbatas maka penanaman yang dipilih adalah sistem tumpang sari. Sistem tumpang sari memungkinkan para petani menanam karet sekaligus menanam padi, kopi, atau tanaman lain yang bisa dipanen sebelum karet siap disadap. Pada awal prosesnya, karet ditanam bersamaan dengan padi dan kopi. Setelah enam bulan padi bisa dipanen untuk dinikmati hasilnya. Padi bisa ditanam setidaknya 6 kali sebelum pohon kopi berbuah dan bisa dipanen. Setelah pohon karet berumur lebih dari 5 tahun, tanaman kopi turun produktivitasnya karena pohon karet mulai tinggi, tetapi hal ini tidak menjadi masalah untuk petani karena yang diandalkan adalah getah karet.

Satu hektare ladang berisi 436 pohon karet dapat menghasilkan getah sekitar 15 kg/hari. Harga karet di tangan petani saat ini berkisar Rp15.000–Rp17.000/kg. Umumnya seorang karyawan atau buruh di lahan karet dapat bekerja untuk luas lahan satu hektare sehingga jika pemilik lahan memiliki ladang karet seluas 30 hektare maka minimal dia harus memiliki 30 buruh. Ladang karet yang telah berumur 30 tahun harus diremajakan dengan cara menebang semua tanaman karet, kemudian dibiarkan selama beberapa bulan agar kesuburan tanahnya kembali. Petani karet bermodal besar umumnya telah menyiapkan ladang lain selama proses peremajaan tersebut sehingga produktivitasnya tetap berjalan lancar.

Dalam hal pembagian hasil karet, jika pemilik tanah tidak memiliki modal besar maka dia akan bekerja sama dengan pegawainya. Selama 2 tahun penanaman karet, penggarap diizinkan menanam pohon lain seperti padi atau kopi dengan hasil yang diambil sepenuhnya oleh pekerja sambil tetap merawat tanaman utama karet.

58 |

Setelah tanaman karet semakin besar, pekerja tersebut tidak mendapatkan hasil dari tanaman lain karena terganggu dengan pertumbuhan karet. Karyawan tersebut secara langsung akan bekerja sebagai penyadap karet dengan hasil dibagi tiga, dua per tiga untuk pemilik lahan dan sepertiga untuk penggarap. Jika petani memiliki modal usaha yang cukup besar, biasanya menggunakan sistem penggajian di mana seluruh karyawan akan digaji pemilik, tetapi hasil ladang seluruhnya menjadi hak pemilik lahan.

Sarang walet, walaupun bukan komoditas yang umum di OKU, tetap diakui peranannya dalam menyumbang perekonomian daerah. Sejumlah gua di wilayah OKU dihuni oleh burung walet dan menghasilkan sarang walet yang bernilai ekonomi sangat tinggi. Sejauh ini kepemilikan gua walet bukanlah milik perorangan, melainkan dikelola oleh pemerintah daerah dan hasilnya dikembalikan untuk pembangunan desa tempat sarang walet tersebut. Beberapa gua yang dikenal sebagai penghasil sarang walet, antara lain Gua Luguran, Mayo-mayo, dan Batu Belah di Desa Padang Bindu. Setiap tahun panen sarang walet di ketiga gua tersebut dilelang kepada para pengelola yang mampu memberikan hasil tertinggi pada pemerintah OKU.

Awal tahun 2000-an harga sarang burung walet dapat mencapai Rp20 juta/kg sehingga pendapatan yang dikembalikan ke kas desa bisa mencapai Rp100 juta lebih per tahun. Sungguh hasil yang besar untuk ukuran desa kecil. Hasil walet dikembalikan ke desa sebagai kas untuk pembangunan, kesejahteraan, dan dana sosial. Namun, sekitar dua tahun belakangan, dengan adanya isu flu burung, harga sarang walet merosot hingga hanya Rp1 juta/ kg. Akibatnya, bisnis ini kurang menarik minat para pengelola karena tidak sesuai dengan ongkos pemeliharaan dan panen. Tanpa adanya pengelola tersebut, panen dilakukan oleh desa melalui perangkatnya. Sistem pembagian yang biasa dilakukan, yaitu 45% untuk desa dan 55% diserahkan ke Pemda OKU.

Di tengah kesibukan berladang, terkadang orang OKU masih menyempatkan diri melakukan perburuan sebagai selingan. Binatang yang paling banyak diburu adalah rusa (husa), kijang (napu), landak, dan burung. Biasanya mereka berburu menggunakan tombak dibantu dengan anjing. Binatang favorit adalah rusa dan trenggiling karena memiliki harga jual cukup tinggi di pasaran. Di daerah Ogan Ulu, terdapat cara unik berburu burung, yakni dengan sistem nateng di mana lidi diberi pulut dan diletakkan di atas air. Burung yang terbang mencari ikan di sungai atau mandi akan terperangkap, tidak bisa terbang lagi sehingga mudah ditangkap.

Pekerjaan mencari ikan juga dilakukan sebagai selingan selain bertani. Ikan yang hidup di Sungai Ogan-Komering dan Danau Ranau, antara lain ikan baung (Hemibagrus), semah (Labeobarbus), lele (Clarias), lampom (Pentius), selimang (Epalzoarchynchus kallopterus), nila (Oreochromis), mas (Cyprinus), palau (Osteochilus

kappenii), dan betuk (Anabas). Masyarakat OKU umumnya menangkap ikan dengan cara tradisional dan tidak

merusak lingkungan. Cara tradisional yang masih dipakai, yaitu menggunakan jala, joran, bubu, tombak, dan panah. Menombak dan memanah ikan umum dilakukan di perairan Danau Ranau. Nelayan yang sedang mengayuh perahu di perairan Danau Ranau biasanya akan langsung menombak ikan besar yang terlihat. Pekerjaan memanah ikan di Danau Ranau merupakan tradisi yang sangat eksotik. Para penyelam dengan peralatan sangat sederhana, seperti kacamata dan panah buatan sendiri, memburu ikan di danau sampai kedalaman 10 meter. Alat panah dilontarkan dengan tali ban yang dihubungkan dengan pelatuk bergagang kayu. Pemanah menyelam hingga dasar danau sedalam 7–10 meter selama 2–3 menit untuk menunggu dan memanah ikan besar yang melintas. Setelah mendapat ikan, pemanah kembali muncul ke permukaan. Pekerjaan menombak maupun memanah ikan hanya bisa dilakukan seorang ahli pada saat air danau jernih dan hanya dilakukan pada ikan yang berukuran besar. Tradisi menombak dan memanah ikan membuktikan bahwa lingkungan Danau Ranau relatif jernih dan terjaga sehingga keberadaan ikan pun bisa terlihat jelas.

Sistem lain yang digunakan di perairan Danau Ranau untuk menangkap ikan adalah teknik kekap. Teknik ini menggunakan jaring yang dipasang di atas permukaan air, khusus untuk menangkap ikan yang sesekali muncul di permukaan. Teknik lainnya, jaring kerut, yakni jaring ikan yang ditarik oleh beberapa orang dari kanan dan kiri sampai ikan terkurung, setelah itu ikan dipanah atau ditombak. Selain itu, terdapat juga sistem kucukan, yakni umpan berupa daun-daunan, rumput laut, dan kayu manis yang disusun menjadi galong atau tempat ikan biasa bertelur. Setelah 4–6 jam, ikan akan berkumpul di galong tersebut dan siap dijaring. Biasanya yang menyukai galong adalah ikan palau. Di Danau Ranau, setahun sekali ada peristiwa bentilehen yang menurut pengertian orang Ranau adalah “orang gunung sedekah”. Saat bentilehen di tempat-tempat tertentu yang terkena aliran belerang dari sumber mata air panas, ikan-ikan menggelepar mati dan mengapung di permukaan. Selanjutnya, masyarakat dapat dengan mudah mengumpulkan ikan yang mabuk dan mati tersebut menggunakan peralatan seadanya. Masyarakat sudah menandai peristiwa langka tersebut melalui aroma sulfur atau belerang yang sangat tajam dari air Danau Ranau.