• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnografi dalam Penelitian Sastra Lisan

Dalam dokumen BEBERAPA ALTERNATIF MODEL PENELITIAN SAS (Halaman 56-65)

DALAM PENELITIAN SASTRA LISAN A. Prinsip-Prinsip Dasar Etnografi

B. Etnografi dalam Penelitian Sastra Lisan

a. Dasar Pemikiran

Sebagai produk budaya, sastra lisan dapat menjadi obyek bagi kajian etnografi. Dalam kerangka teori Spradley, penelitian etnografi terhadap sastra lisan mengarah pada alam pikiran masyarakat pemilik dan pendukung sastra lisan tersebut. Bagaimana alam pikir mereka melihat dan mendefinisikan sastra lisannya sebagai landasan untuk bertindak dalam kaitannya dengan sastra lisan yang dimiliki dan didukungnya itu? Sistem makna apakah yang melandasi tindakan dan peristiwa kultural yang dilakukan masyarakat setiap hari dalam kaitannya dengan sastra lisan yang dimilikinya itu? Pertanyaan itulah yang menjadi fokus penelitiannya, bukan terfokus pada sastra lisan itu. Sastra lisan hanyalah simbol, ritual-ritual yang ada hanyalah fakta permukaan, tetapi yang terpenting adalah organisasi pikiran masyaraktnya yang melandasi tindakan dan peristiwa kultural itu.

Sastra lisan dalam konteks ini digolongkan dalam folklore lisan sebagaimana dikemukakan Dananjaya (1994:21). Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk folklore yang termasuk ke dalam kelompok lisan ini antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan, (2) ungkapan tradisional seperti peribaqhasa, pepatah, dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teks-teks; (d) puisis rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda,

dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat. Sastra lisan merupakan puisi rakyat dan cerita prosa rakyat dalam jenis-jenis folklore lisan tersebut.

Definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Dananjaya,1994:2). Lebih lanjut dikatakan Dananjaya, mengutip pendapat Jan Harold, folklore digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklore lisan (verbal folklore); (2) folklore sebagian lisan (partly verbal folklore); dan (3) folklore bukan lisan (non verbal folklore) (1994:21).

Penelitian etnografi terhadap sastra lisan dapat berobjekkan puisi rakyat atau cerita prosa rakyat. Namun demikian, penelitiannya diarahkan kepada bagaimana masyarakat mendefinisikan sastra lisan itu dalam alam pikir mereka untuk melandasi tindakan sehari-harinya. Tindakan yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa atau aktivitas-aktivitas kultural, baik dalam bentuk ritual tradisional, keagamaan, maupun adat dan tradisi lainnya. Sukatman menggolongan sastra lisan itu ke dalam tradisi lisan (2009:3). Sedangkan ciri-ciri tradisi lisan menurut Dananjaya meliputi: (1) penyebaran dan pewarisannya biasa dilakukan dengan lisan, yakni dari mulut ke mulut; (2) bersifat tradisional, yakni berbentuk relatif atau standard; (3) bersifat anonim; (4) mempunyai varian atay versi yang berbeda; (5) mempunyai pola bentuk; (6) mempunyai kegunaan bagi kolektif tertentu; (7) menjadi miliki bersama suatu kolektif; dan (8) bersifat polos dan lugu sehingga sering terasa kasar atau terlalu sopan (dalam Sukatman,2009:5).

Menurut William R. Bascom, bahwa secara umum tradisi lisan mempunyai empat fungsi penting. Pertama, tradisi lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan) angan-angan suatu kolektif. Kedua, tradisi lisan berfungsi sebagai alat legitimasi pranata-pranata kebudayaan. Ketiga, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pendidikan. Dan, keempat, tradisi lisan berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya (dalam Sukatman,2009:7-8). Sastra lisan sebagai bagian dari tradisi lisan juga memiliki fungsi-fungsi tersebut. Sastra lisan dengan demikian bukan semata sebagai karya seni, tetapi juga sebagai nilai-nilai yang mengatur kehidupan sosial masyarakatnya.

Dalam keempat fungsinya itulah, sastra lisan dapat menjadi obyek bagi penelitian etnografi. Bagaimanakah sastra lisan yang dimiliki oleh suatu masyarakat memiliki makna dalam alam pikir setiap anggota masyarakat itu. Bagaimanakah sastra lisan mampu menjadi sistem makna yang melandasi, mengontrol, melegitimasi, dan mengatur tindakan-tindakan setiap anggota masyarakatnya. Bagaimanakah organisasi pikiran setiap anggota masyarakat yang terkonstruksi oleh substansi sastra lisan yang dimilikinya. Masyarakat Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya dan penting dalam mengatur kehidupan masyarakat. Sastra lisan tersebut membentuk pola pikir, tindakan, dan kesadaran masyarakat dalam berinteraksi dengan Tuhan, alam sekitar, dan sesamanya. Sastra lisan semenjak dulu telah melandasi hidup masyarakat dalam hubungan sarwa tersebut.

Fenomena dan noumena masyarakat dalam kaitannya dengan sastra lisan itulah yang menandai wilayah bagi penelitian etnografi. Fenomena adalah dunia yang terlihat, konkrit, fisikal, empiris, dan rasional, sedangkan noumena adalah dunia abstrak, tak terlihat, gaib, dan tak rasional. Keduanya melingkari keberadaan sastra lisan sebagai warisan budaya masa lalu yang diwariskan secara turun-temurun. Keduanya menjadi wilayah kajian ilmu-ilmu sosial seperti: antropologi budaya, bahasa, filsafat, sastra, dan ekologi budaya. Di dalamnya etnografi menjadi bagiannya sebagai metode analisisnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana implementasi metode etnografi dalam penelitian sastra lisan?

Strategi dan model analisis etnografi beragam bentuknya. Dalam tulisan ini, sekali lagi, menggunakan strategi dan model yang dikemukakan oleh James P. Spradley (2007). Spradley menyebutnya sebagai strategi Wawancara Etnografi. Strategi ini bertumpu pada apa yang dikatakan orang, atau dalam istilah penelitian lapangan disebut informan. Melalui informan yang baik dan sudut pandang penduduk asli, diharapkan penelitian etnografi mengasilkan diskripsi etnografis tentang kebudayaan suatu masyarakat. Sastra lisan sebagai bagian kebudayaan yang memiliki fungsi melampaui fungsi dalam konteks kebahasaan dan kesastraan, dapat menjadi fokus penelitian. Namun, yang diteliti bukan sastra lisan itu sendiri, tetapi suasana budaya yang melingkupinya. Suasana budaya merupakan tindakan yang berlandaskan pada pola pemikiran dalam kaitannya dengan sastra lisan tersebut.

Penelitian etnografi terhadap sastra lisan sesungguhnya memiliki tujuan ganda. Pertama, menginventarisasi dan mendikripsikan sastra lisan dalam rangka pendokumentasian dan pelestarian sastra dan kearifan lokal.Kedua, mendikripsikan kebudayaan lokal dalam rangka pembangunan nasional.

b. Model Analisis Etnografi terhadap Sastra Lisan

Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan prinsip-prinsip dasar bagi analisis etnografi dengan mengambil strategi Wawancara Etnografi dan Alur Penelitian Maju Bertahap. Strategi dan prosedur penelitian etnografi Spradley itulah yang akan diacu untuk merumuskan sebuah model penelitian etnografi terhadap sastra lisan. Beberapa prinsip yang bisa dan relevan diambil dari pemikiran Spradley untuk penelitian sastra lisan adalah sebagai berikut.

a. Hasil akhir dari penelitian etnografi adalah suatu deskripsi verbal mengenai situasi budaya yang dipelari.

b. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang penduduk asli.

c. Sumber data utama adalah informan dan didukung oleh data yang berupa apa yang dilihat dan artefak.

d. Metode wawancara merupakan metode utama untuk menggali data dari informan tentang suasana budaya yang hendak dipelajari.

e. Prosedur penelitiannya menggunakan Alur Penelitian Maju Bertahap, yang terdiri atas: menetapkan informan, mewawancarai informan, membuat catatan etnografis, melakukan analisis wawancara, membuat analisis domain, membuat

analisis komponen, menemukan tema-tema budaya, dan diakhiri dengan menulis suatu etnografi.

Kelima prinsip tersebut dapat digunakan sebagai ancangan bagi penelitian etnografi terhadap sastra lisan. Namun demikian, perlu diadakan modivikasi sesuai dengan kebutuhan analisis dan hakikat obyek penelitian. Model analisisnya akan berupa rangkaian analisis termodivikasi sebagaimana skema berikut ini.

Bagan 6

Model Analisis Etnografi Spradley Termodivikasi terhadap Sastra Lisan

c. Menentukan Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek penelitian adalah masyarakat di mana suatu sastra lisan berada. Dalam kasus-kasus tertentu, wilayah subyek penelitian hanya terbatas pada suatu lingkungan tertentu sebagai bagian dari suatu masyarakat. Cerita prosa rakyat berbentuk mite atau legenda tentang suatu tempat keramat atau makam misalnya, penyebarannya hanya terbatas di lingkungan sekitar tempat itu, tidak sampai menyebar ke wilayah yang lebih luas. Radius penyebarannya hanya terbatas tidak sampai satu komunitas desa. Banyak contoh dalam masyarakat di Indonesia, satu desa memiliki banyak tempat semacam itu dengan cerita rakyat yang berbeda-beda. Dalam kasus seperti ini penentuan subyek penelitiannya hanya terbatas pada masyarakat di lingkungan sekitarnya.

Me e tuka su yek da o yek pe eli a

Me uat ra a ga pe eli a

Deskripsi sastra lisa

Melakuka a alisis hasil a a ara Me etapka i for a

Melakuka a a ara

Sedangkan obyek penelitiannya adalah sastra lisan dan suasana budaya yang berkaitan dengan sastra lisan tersebut. Suasana budaya yang dimaksud adalah, alam pikiran masyarakat yang digunakan untuk memahami, mengkonstruksi, dan mendefinisikan tindakan-tindakan mereka dalam kaitannya dengan sastra lisan tersebut. Sastra lisan sebagai obyek penelitian diarahkan untuk menginventarisasi dan mendiskripsikan sastra lisan tersebut dalam rangka menemukan satu versi cerita yang relatif sama. Namun demikian, penelitiannya bukan berorientasi sebagaimana proses penelitian dalam filologi, meskipun hal itu terbuka untuk dilakukan. Sedangkan suasana budaya sebagai obyek penelitian merupakan obyek utama dalam penelitian etnografi, yaitu sebuah deskripsi etnografi mengenai kebudayaan lokal suatu masyarakat.

d. Membuat Rancangan Penelitian

Setiap penelitian pada umumnya diawali dengan menyusun rancangan penelitian atau disebut dengan desain penelitian. Tujuannya, memberikan pedoman dan arah yang jelas bagi peneliti dalam melaksanakan proses penelitiannya. Rancangan penelitian meliputi bangunan teori, metode, dan teknik pemerolehan data dan analis data, dan prosedur penelitian. Sebagaimana dikemukakan Spradley, bangunan teori dalam penelitian etnografi adalah grounded theory, yaitu teori berdasarkan sekumpulan data. Dalam istilah lain disebut sebagai teori substantif, yaitu teori sebagai hasil abstraksi data dalam proses penelitian (baca: Ratna,2011). Oleh karena itu, seorang peneliti dituntut menganlisis secermat mungkin terhadap data-data yang telah dikumpulkannya dan membangun konsep-konsep dan proposisi-proposisi sebagai sebuah teori berdasarkan data (substantif). Meskipun hal itu sulit dan memakan waktu, kemungkinan untuk itu tetap ada, baik sebagai proses pembelajaran maupun pembentukan pengalaman penelitian.

Metode dalam penelitian etnografi dengan strategi Wawancara Etnografi, sebagaimana dikemukakan Spradley, jelas menggunakan metode wawancara. Pertanyaan dalam metode wawancara etnografi terdiri atas: pertanyaan dekriptif, struktural, dan kontras. Hasil-hasil wawancara tersebut dicatat dan direkan dalam catatan atau dokumentasi lapangan yang berupa: laporan, jurnal, catatan analisis dan interpretasi, rekan audio, video, dan sebagainya. Dokumen inilah tidak boleh diabaikan oleh peneliti, karena melalui dokumen itulah data-data akan dihimpun dan diolah. Hal-hal yang menyangkut pencatatan dan perekaman itulah perlu direncanakan secara cermat agar semua data dapat dihimpun secara lengkap dan tepat. Cara pencatatan dan perekaman itu disebut dengan teknik pengumpulan data yang relevan dengan metode wawancara yang digunakan. Sedangkan teknik analisis data berupa interpretasi dan dekripsi setiap aspek atau domain. Dengan demikian, sistematika analisis data akan tercapai berdasarkan tema-tema, aspek-aspek, atau domain-domain tentang fokus penelitian.

Yang tak kalah penting adalah merencanakan prosedur penelitian. Prosedur penelitian berupa langkah-langkah yang harus dilalui dalam proses penelitian. Bagan tentang model penelitian etnografi di atas sebenarnya telah mencerminkan langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam proses penelitian tersebut.

e. Menetapkan Informan

Penetapan seorang informan juga sangat penting dalam proses penelitian. Dari informan itulah data penelitian diperoleh. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan utama dan informan-informan lain sebagai pendukung atau pelengkap. Bahkan dalam konteks pendeskripsian dan penginventarisasian satu versi sastra lisan dibutuhkan beberapa informan untuk dibandingkan satu sama lain sehingga dapat ditentukan satu versi yang sama. Dalam penelitian filologi dikenal dengan metode stema. Namun demikian, dalam penelitian ini bukan bertujuan menemukan hyperchetyp dan archetyp sebagaimana dalam kerja filologi. Oleh karena itu, proses pendeskripsian dan inventariasi tidak semendalam kerja filologi tersebut.

Penetapan seorang informan menurut Spradley berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan terdahulu. Peneliti dapat mengunakannya untuk menetapkan mana calon informan yang baik dan mana yang tidak.

f. Melakukan Wawancara

Banyak teknik wawancara yang dapat dilakukan dalam penelitian. Namun demikian, dalam wawancara etnografi teknik wawancara dapat menggunakan sistem

snow ball (bola salju). Artinya, wawancara dimulai dari satu pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan lainnya hingga semua aspek yang dibutuhkan terpenuhi. Wawancara etnografi memiliki waktu yang panjang dan berulang-ulang. Setiap satu kali wawancara akan dianalisis dan diinterpretasikan, yang selanjutnya akan dilengkapi dan direncanakan wawancara selanjutnya. Pembagian waktu wawancara dapat menggunakan tipe-tipe wawancara etnografi yang telah dikemukakan di muka. Wawancara pertama diawali dengan bentuk-bentuk pertanyaan diskripsi, dilanjutkan wawancara selanjutnya dengan tipe pertanyaan struktural dan kontras. Masing-masing tipe pertanyaan tersebut dilakukan lebih dari sekali. Itulah kenapa wawancara dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan berulang-ulang sehingga terkumpul data yang lengkap.

g. Melakukan Analisis Wawancara

Sebagaimana dikemukakan di atas, setiap kali wawancara selesai dilakukan, peneliti melakukan analisis hasil wawancara. Analisis tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah data-data yang terkumpul dalam wawancara tadi telah memenuhi tujuan dan konsep wawancara. Oleh karena itu, sebelum dilakukan wawancara, peneliti merumuskan hal-hal apakah yang hendak dicapai dalam wawancara tersebut. Apabila dirasa data-data masih ada kekurangan, dicatat sebagai bahan wawancara selanjutnya. Di samping itu, analisis tersebut diarahkan untuk menemukan konsep-konsep dan proposisi-proposisi sebagai temuan penelitian. Secara akumulatif dalam setiap hasil wawancara, temuan tersebut akan melahirkan teori berdasarkan data. Dan setiap wawancara, sistemsnow ball menjadi model wawancara.

Analisis hasil wawancara bertujuan untuk menemukan makna budaya dalam kaitannya dengan sastra lisan. Analisis tersebut dinamakan analisis etnografis. Yang hendak dicapai dalam analisis etnografi adalah struktur pengetahuan budaya informan sebagai bagian dari pengetahuan budaya keseluruhan; masyarakat. Analisis etnografi memiliki urutan atau sistematika berikut ini.

1) Memilih masalah; masalah penelitian etnografi adalah apa makna budaya yang digunakan oleh masyarakat untuk mengatur tingkah laku dan menginterpretasikan pengalamannya. Dapat disempitkan berdasarkan aspek-aspek pengalaman budaya masyarakat.

2) Mengumpulkan data kebudayaan; data kebudayaan diperoleh dari hasil wawancara maupun data-data yang lain yang terkumpul dari sumber data yang lain.

3) Menganalisis data kebudayaan; yang dilakukan dalam tahap ini adalah menemukan simbol-simbol budaya; biasanya digunakan istilah asli penduduk setempat; serta mencari hubungan antara simbol-simbol tersebut.

4) Menuliskan etnografi; tahapan ini, dalam konteks penelitian etnografi terhadap sastra lisan, dilakukan dalam tahap membuat kesimpulan berikut ini.

h. Membuat Kesimpulan

Jika dirasa telah menemukan simbol-simbol budaya dan diketemukan pula hubungan-hubungannya, selanjutnya dilakukan interpretasi makna-makna simbol tersebut. Makna-makna simbol-simbol budaya itulah yang kemudian disebut dengan makna (pengalaman) budaya suatu masyarakat. Makna-makna simbol tersebut kemudian dituangkan ke dalam tulisan etnografis. Tulisan etnografi adalah deskripsi tentang makna-makna budaya masyarakat yang digunakan untuk menginterpretasikan dan mendefinisikan sastra lisan sebagai landasan tindakan dan aktivitas budaya masyarakat itu.Tulisan etnografis tersebut di dasarkan atas aspek-aspek pengalaman atau aktivitas budaya masyarakat dalam kaitannya dengan sastra lisan. Selanjutnya dirumuskan sebuah kesimpulan dan temuan yang berupa konsep-konsep dan proposisi-proposisi sebagai teori berdasarkan data (teori grounded atau sustantif).

DAFTAR PUSTAKA

Damonoi, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Dananjaya, James. 1994. Foklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

---. 1997. Folklore Jepang Dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

--- 2011. Metode, Teori, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Escarpit Robert.2008. Sosiologi Sastra. Diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.

Harras, Kholid dan Yetty Mulyati (ed). 2003. Tegak Lurus Dengan langit, Potret Keterasingan Manusia Modern, 25 Naskah Terbaik Lomba Mengulas Karya

Sastra Tahun 2002. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Hudayat, Asep. 1999. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Unpad.

Pradopo, Rachmat Djoko.2007.Beberapa Teori Sastra, Metode Krtitik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelangi.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salim, Agus (peny.). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

---. 2006. Bangunan Teori untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Spradley, James P., 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sukatman, 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia, Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang PRESSindo.

Suroso dkk. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publising.

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. 2005. Teoti-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Teew, Andreas. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Yunus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sh.

MODEL ANALISIS FRAMING

Dalam dokumen BEBERAPA ALTERNATIF MODEL PENELITIAN SAS (Halaman 56-65)

Dokumen terkait