• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA ALTERNATIF MODEL PENELITIAN SAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BEBERAPA ALTERNATIF MODEL PENELITIAN SAS"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BEBERAPA ALTERNATIF

MODEL PENELITIAN SASTRA

SUHARIYADI

UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE TUBAN suhariyadi@gmaol.com

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(2)

1

MODEL ANALISIS FRAMING

DALAM PENELITIAN SASTRA

A. Metode Analisis Framing dalam Analisis Media

Di dalam ilmu komunikasi, analisis framing sebagai metode analisis isi media tergolong baru. Namun demikian, keberadaannya di jagad keilmuan komunikasi memiliki banyak tokoh dan cara kerja analisis yang beragam. Dalam metode ini terdapat analisis framing ala Erving Goffman, Murrai Edelman, Robert M. Entman, Wiliam A. Gamson dan Andre Modigliani, atau Elizabeth C. Hanson. Dedy Mulyana dalam kata pengantar buku Eriyanto (2011:xv) mengemukakan, analisis framing cocok digunakan untuk melihat konteks sosial-budaya suatu wacana, khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi.

Eriyanto dalam bukunya berjudul Analisis Framing (2011) mengemukakan pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling)

media atau peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan berita. “Cara melihat” itu berpengaruh pada akhir dari konstruksi realitas. Analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengkonstruksirealitas. Analisis framing juga dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami dan dibingai oleh media. Bagaiman peristiwa yang sama diberitakan secara berbeda oleh media. Perbedaan itu terjadi karena peristiwa tersebut dipahami dan dikonstruksi secara berbeda oleh media. Ada dua esensi utama dari framing tersebut. Pertama, bagaimana peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak diliput. Kedua,

bagaimana fakta itu ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar untuk mendukung gagasan.

Lebih lanjut dikatakan Eriyanto, sebagai sebuah metode analisis teks, analisis framing mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan analisis isi kuantitatif. Dalam analisis isi kuantitatif, yang ditekankan adalah isi (content) dari suatu pesan/teks komunikasi. Sementara dalam analisis framing, yang menjadi pusat perhatian adalah pembentukan pesan dari teks. Framing, terutama, melihat bagaimana pesan/peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dan menyajikannya kepada khalayak pembaca.

(3)

interpretatif, Peter L. Berger. Konstruksionisme ini melihat media, wartawan, dan berita berdasarkan penilaian sebagaimana berikut ini.

1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi konstruksionisme, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan.

2. Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.

3. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Dalam pandangan konstruksionis, berita itu ibaratnya seperti drama. Ia bukan menggambarkan realitas, melainkan potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media.

4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang bebeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan standar yang rigid. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai.

5. Wartawan bukan pelapoir. Ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan dipandang sebagai aktor/agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa, dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka.

6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian integral dalam produksi berita. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu oleh konstruksionis tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dilihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu—umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu—adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas. Wartawan di sinoi bukanlah hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subyektivitas dalam publik.

(4)

peneliti yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan temuan yang berbeda pula.

8. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Khalayak dalam pandangan konstruksionis bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Makna dari suatu teks oleh pembacanya sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama.

Analisis framing merupakan salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis menurut Eriyanto (2011:47-51). Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Dengan demikian, kegiatan penelitian konstruksionis ini harus memperhatikan konsep-konsep sebagai berikut.

1. Tujuan penelitiannya adalah merekonstruksi realitas. 2. Peneliti sebagai fasilitator keragaman subyektivitas.

3. Makna suatu teks adalah hasil dari negosiasi antara teks dan peneliti. 4. Temuan adalah interaksi antara peneliti dan objek yang diteliti.

5. Penafsiran bagian yang tak terpisahkan dalam analisis.

6. Menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dan teks. 7. Kualitas penelitian diukur dari otensitas dan refleksivitas temuan.

Pada bagian yang lain Eriyanto (2011:81-99) menjelaskan, ada dua aspek dalam framing, yaitu memilih fakta/realitas dan menuliskan fakta/realitas tersebut. Aspek pertama berhubungan dengan proses pemilihan fakta yang didasarkan atas asumsi atau perspektif. Fakta mana yang dipilih dan fakta mana yang harus disingkirkan. Sedangkan aspek kedua berhubungan dengan bagaimana dan dengan perangkat apa sebuah fakta/realitas ditulis. Fakta mana yang perlu ditonjolkan dengan penekanan sehingga mendapatkan perhatian yang lebih besar, dan mana yang tidak.

(5)

Salah satu fokus analisis framing adalah skema individu. Tentang penjelasan analisis framing ini dikutip dari Eriyanto (2011:101-108). Seseorang akan melihat peristiwa dan gagasan, dalam pandangan tertentu, perspektif tertentu. Pandangan dan perspektif inilah yang menentukan bagaimana pesan dikonstruksi dalam bingkai atau pandangan tertentu. Dengan demikian, semua konstruksi dan frame ini dalam perspektif individu. Artinya, dalam perspektif individu, frame dapat kita tempatkan dalam perspektif bagaimana seseorang mengkonstruksi pesan. Konsep yang dapat kita gunakan adalah skema (atau skemata) sebagaimana berikut ini

1. Simplifikasi; realitas yang komplek dan rumit akan disederhanakan melalui perspektif seseorang sehingga menjadi sederhana dan bermakna. Kerangka perspektif itu mirip sebuah skenario yang ditulis seseorang untuk meletkkan setiap kejadian atau fenomena dalam alur cerita yang runtut.

2. Klasifikasi; dunia ini digambarkan sebagai sesuatu yang beraturan atas dasar klasifikasi yang dibuat. Peristiwa dan fenomena yang kompleks akan nampak berbeda, beraturan, dan bermakna karena ditempatkan dalam skema klasifikasi berdasarkan jenis, ciri, dan karakteristiknya.

3. Generalisasi; skema ini berhubungan dengan skema klasifikasi. Sekumpulan peristiwa dan manusia tidak saja dibedakan dengan kumpulan peristiwa atau manusia lain berdasarkan klasifikasi, tetapi juga ciri-ciri yang sama yang melekat dalam entitas yang sama.

4. Asosiasi; skema ini menghubungkan antara satu peristiwa dan peristiwa lain, antara seseorang dengan orang lain. Dunia yang tampak komplek dan carut marut dibuat beraturan dan saling berhubungan.

Ada beberapa macam skema yang akan mengorganisir pengetahuan dan pengalaman seseorang dan mendikte bagaimana seharusnya realitas dilihat. Bagaimana seseorang menggunakan struktur kognitifnya untuk memandang dunia. Ada beberapa skema untuk itu, sebagaimana berikut ini.

1. Skema sosial; skema ini paling banyak dan sering digunakan. Sema ini sering disebut skrip atau skenario. Seperti halnya dalam skenario, dunia diandaikan seperti layaknya sebuah lakon atau drama. Berbagai peristiwa, perilaku, dan orang dimasukkan dalam skrip dan tata aturan tertentu sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan. Skema sosial ini ada beberapa bentuk, yaitu: skema peran dan skema personal.

2. Skema tekstual; skema ini berhubungan dengan skema teks. Ini umumnya dipakai untuk menafsirkan teks. Ada tiga bentuk skema tekstual, yaitu: genre, kode-kode, dan gambaran umum dari media.

3. Skema Ideologis; skema ini berhubungan dengan asumsi ideologis yang implisit terdapat dalam teks. Seseorang akan menggunakan skema dan kepercayaan dirinya sendiri untuk melihat dan menafsirkan relitas, di antaranya yang ada dalam teks.

2. Alternatif Metode Analisis Framing dalam Analisis Sastra

(6)

diujicobakan dalam analisis sastra. Seberapa jauh metode analsis framing ini dapat digunakan dalam menganalisis karya sastra? Bagaimanakah penerapannya dalam analisis karya sastra tersebut? Modivikasi yang bagaimanakah yang dapat dikonstruksikan sehingga relevan dalam analsis karya sastra? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menuntun penganalisis untuk merumuskan sebuah langkah kerja dalam analisis sastra dengan menggunakan metode ini.

Penerapan metode analisis framing dalam analisis sastra pada taraf awal adalah membangun landasan kerja secara keilmuan terlebih dahulu. Landasan operasional tersebut merupakan suatu hirarki sebagaimana dalam penelitian pada umumnya, terdiri atas: paradigma, teori, metode, dan teknik. Sebagai sebuah metode analisis teks, analisis framing dalam analisis sastra tentu ditempatkan dalam tataran metode. Sedangkan tataran paradigma, sebagaimana wilayah analisis framing, analisis tersebut berada dalam wilayah paradigma konstruktivis. Sementara teori tentu menggunakan teori-teori sastra sebagai teori utama, sedangkan teori-teori dalam disiplin ilmu lain sebagai komplemennya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa obyek analisis adalah karya sastra dan konteks analisis terletak dalam studi sastra. Di samping itu, penjelasan dan pemahaman tentang karya sastra hanya dapat dipahami melalui teori sastra. Landasan operasional analisis framing terhadap karya sastra tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu dalam konteks ilmu sastra. Dengan demikian, perlu dimodivikasi sesuai hakikat objeknya dan kebutuhan analisis.

Karya sastra pada hakikatnya mengungkapkan dunia fiktif sebagai hasil dari proses imajinasi pengarangnya tentang apa yang akan diceritakan dalam karya sastra. Sebagai dunia fiksi, fakta dalam karya sastra tidak perlu dicari kebenarannya dalam realitas. Dalam pandangan konstruktivis, hal itu dapat dijelaskan bahwa fakta dalam realitas karya sastra merupakan konstruksi subyektif individu yang dipandang dari perspektif tertentu. Dengan demikian, karya sastra mendefinisikan realitas yang diungkapkannya melalui sudut pandang pengarangnya. Dalam hubungannya dengan realitas, karya sastra bukan menggambarkan realitas, melainkan potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Mengadopsi pandangan kaum konstruksionis, karya sastra adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari pengarangnya.

(7)

karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, subyek yang dianggap sebagai asal-usul suatu aktivitas kultural. Di pihak yang lain, meskipun dengan hakikat imajinatif, karya sastra tidak bisa lepas dari kerangka struktur sosialnya. Karya sastra yang dihasilkan dengan sendirinya memiliki hubungan langsung dengan masyarakat yang melatarbelaknginya. Sesuai dengan dinamika masyarakat dan teks, maka bentuk dan sifat hubungan yang terjadi bermacam-macam. Melalui antarhubungan inilah terjadi medan-medan ideologi, baik dalam kaitannya dengan ciri-ciri estetis maupun propagandis ideologi (Ratna,2005:384). Dengan demikian, ada keberpihakan karya sastra terhadap pandangan-pandangan tertentu dalam masyarakat. Dalam pandangan konstruktivis disebut dengan aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu.

Secara ontologis, paradigma konstruktivis ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Berbeda dengan positivisme yang ditolak oleh konstruktivis, tujuan penelitian konstruktivis cenderung menciptakan ilmu yng diekspresikan dalam bentuk pola-pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, lokal, dan spesifik (Muslih,2004:81-82).

Dalam lapangan studi sastra, penelitian di bawah konstruktivis dengan demikian menganggap karya sastra beserta subtansi yang diungkapkannya sebagai realitas sosial. Realitas sosial tersebut bersifat majemuk sehingga penelitian terhadapnya tidak secara tuntas dan menyeluruh. Penelitiannya akan menghasilkan bangunan teori substantif yang mengabstraksi fakta-fakta sastra. Dalam kaitannya dengan hal itu, Muslih mengemukakan suatu teori muncul berdasarkan data-data yang ada, bukan dibuat sebelumnya, dalam bentuk hipotesis sebagaimana dalam penelitian kuantitatif (2004:82). Penelitian sastra secara konstruktivis cenderung tidak menggunakan teori formal sebagaimana penelitian pada umumnya. Muslih lebih lanjut mengemukakan, kesatuan dan interaksi antara peneliti dan objek akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut, etika, akumulasi pengetahuan, model pengetahuan, dan diskusi ilmiah.

Dapat dikemukakan bahwa penelitian sastra secara konstruktivis memiliki beberapa ciri, yaitu: 1) berdasarkan pada anggapan bahwa karya sastra beserta substansi di dalamnya merupakan realitas sosial yang majemuk; 2) analisisnya bersifat interpretatif, emasipasif, dialektik, dan interaktif antara peneliti dengan karya sastra sebagai objeknya; 3) interaksi antara peneliti dan karya sastra melahirkan temuan teori-teori, bukan sebaliknya didasarkan atas konstruksi teori formal yang dibangun sebelumnya; dan 4) tujuan penelitiannya adalah merekonstruksi realitas karya sastra.

(8)

pengertian lain, analisis framing melihat bagaimana pengarang dan karya sastra membingkai dan mengkonstruksi realitas yang pada gilirannya disodorkan kepada pembacanya. Konstruksi realitas itu dipahami oleh analisis framing melalui skema-skema yang digunakan pengarang, seperti: simplifikasi, klasifikasi, generalisasi, dan asosiasi. Apakah skema-skema tersebut merupakan skema sosial, teks, ataukah ideologis? Bagaimanakah pengarang mengembangkan bingkai-bingkai atau skema-skema tersebut ke dalam karya sastra? Prosedur atau langkah kerja dalam analisis sastra tercermin dalam pemahaman tentang skema-skema tersebut. Dengan pemahaman terhadap skema-skema yang dikembangkan pengarang dalam karya sastra, diharapkan dihasilkan temuan yang berupa proposisi-proposisi dan konsep-konsep teori berdasarkan data (substantif).

Dalam analisis framing sastra ini, karya sastra merupakan wujud konstruksi realitas yang dilihat dari bingkai atau frame seorang pengarang. Artinya, melalui cerita pengarang mengkonstruksi realitas tersebut yang dilihat berdasarkan frame tertentu. Dengan demikian, frame-frame yang digunakan pengarang dapat dipahami dengan menguak cerita sampai ke kedalaman maknanya. Di samping itu, konstruksi realitas itu dapat dipahami pembaca melalui cerita yang diungkapkan. Sejauh pembaca mampu menginterpretasikan makna cerita, hal tersebut dapat dipahami. Cerita yang terdiri atas unsur-unsur yang bersinambungan itu pada akhirnya memiliki dua dimensi. Pertama, cerita dalam karya sastra yang merupakan dunia yang diungkapkan pengarang tersebut menjadi realitas yang telah dikonstruksi berdasarkan frame tertentu. Kedua, cerita tersebut juga mewadahi gagasan dan pikiran pengarang sebagai wujud konstruksi terhadap realitas berdasarkan frame tertentu. Namun demikian, karena karya sastra maknanya terletak pada tingkat sekundernya, maka tataran kedua dianggap konstruksi realitas yang sebenarnya, karena gagasan dan pemikiran pengarang terletak dalam tataran kedua tersebut. Sedangkan pada tataran pertama atau primer, maka cerita dipandang sebagai sisi permukaan sebagai perangkat atau elemen dari skema-skema yang digunakan pengarang untuk melihat realitas.

Persoalan yang kemudian muncul adalah, perangkat apakah dalam cerita sastra untuk mendukung adanya skema-skema tersebut? Jika melihat dari hakikat karya sastra sebagai sebuah struktur, maka skema-skema tersebut diwujudkan ke dalam unsur-unsur yang membangun struktur internal karya sastra. Unsur-unsur struktur cerita bersifat permukaan atau primer sebagai ‘penanda’ yang bermakna. Makna dibalik struktur itulah terletak realitas yang dikonstruksi pengarang berdasarkan frame-frame. Namun demikian, unsur-unsur struktur tersebut bukan dalam pengertian yang pada umumnya digunakan dalan analisis karya sastra, sebagaimana strukturalisme, melainkan semua aspek, obyek-obyek, tokoh-tokoh, peristiwa-peristiwa, simbol-simbol, dan sebagainya, yang nampak di dalam karya sastra. Unsur-unsur tersebut dapat juga berupa kata, frase, kalimat, paragraf, gambar, dan sebagainya, yang menekankan pada strategi wacana yang dikembangkan pengarang, bukan semata-mata sebagai unsur wacana.

(9)

Model Analisis Framing Sastra dapat diringkas sebagaimana uraian berikut. Model Analisis Framing Sastra akan berawal dari pemahaman akan fakta-fakta yang dipilih dan diungkapkan oleh pengarang melalui struktur cerita. Dalam hal ini, fakta-fakta tersebut adalah unsur-unsur struktur cerita beserta bahasa yang membentuk jaringan dalam sistem struktur sebagai sebuah strategi wacana. Fakta-fakta inilah menjadi perangkat atau elemen bagi munculnya skema-skema (framing) yang dipakai pengarang dalam mengkonstruksikan realitas. Dengan demikian, realitas yang dilihat pengarang melalui unsur-unsur cerita sebagai fakta-fakta. Sekaligus fakta-fakta tersebut memaknakan konstruksi realitas yang dilihat pengarang. Analisis framing sastra selanjutnya adalah memahami skema-skema yang digunakan pengarang tersebut. Pada tahap selanjutnya, hasil dari pembahasan atas skema-skema yang digunakan pengarang untuk mengkonstruksikan realitas tersebut dilihat dalam dimensi sosiologis dan psikologis. Sebagaimana dalam teori framing, konsep framing dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu sosiologi dan psikologi.

Model Analisis Framing Sastra menganalisis beberapa aspek yang terkandung dalam karya sastra, yaitu: fakta realitas dalam sastra, skema-skema yang digunakan pengarang untuk menjelaskan fakta-fakta tersebut, dan aspek sosiologis dan psikologis yang mempengaruhi penggunaan skema-skema tersebut oleh pengarang. Ketiga aspek tersebut akan merumuskan suatu kesimpulan tentang bagaimana pengarang mengonstruksi realitas di dalam karya sastra. Berikut ini akan diuraikan ketiga aspek tersebut agar dapat memberikan landasan bagi prosedur analisisnya.

Pada tahap awal yang dianalisis adalah fakta realitas yang ada dalam karya sastra. Yang dimaksud fakta-fakta realitas dalam konteks ini adalah unsur-unsur yang membangun struktur karya sastra sebagai refleksi dari struktur masyarakat yang melatarbelakangi karya sastra tersebut. Ratna mengemukakan, menurut visi sosiologi sastra, makna karya seni terdiri atas hubungan-hubungan seimbang antara medium dengan pesan, bentuk dengan isi, sebagai keseimbangan totalitas artistik. Totalitas artistik tidak semata-mata terkandung dalam struktur instrinsik, dalam “dunia dalam kata” menurut pemahaman strukturalisme, melainkan juga memiliki ciri-ciri transformasinya dalam struktur yang lebih luas, yaitu struktur sosial. Di samping itu, konstruksi struktur alur, tokoh-tokoh dengan personalitasnya, berkaitan erat dengan asumsi-asumsi sosiohistoris. Karya seni, dengan ciri-ciri utama nilai estetisnya terjadi dalam totalitas kehidupan manusia (2003:75-77).

(10)

unsur-unsur karya sastra sebagai fakta realitas apabila menunjukkan gambaran realitas di luar karya sastra yang diacu. Kendala sifat fiktif-imajinatif yang melekat dalam karya sastra bukan dikesampingkan, tetapi justru lebih didekatkan jarak estetisnya dengan realitas masyarakatnya. Cakrawala sosiologi sastra dapat digunakan untuk membantu dalam analisisnya, sejauh tidak menjadi kerangka berpikir analisisnya. Analisis Framing Sastra tetap dalam rel konstruktivis yang bersifat substantif dalam kerangka berpikirnya.

Fokus analisis pada tahap awal ini adalah, (1) unsur-unsur karya sastra apa saja yang diungkapkan dalam karya sastra sebagai fakta-fakta realitas; (2) unsur yang mana yang lebih ditekankan dan ditonjolkan oleh pengarang sebagai sebuah strategi kewacanaan; dan (3) bagaimana jaringan yang menghubungkan unsur-unsur tersebut sehingga membentuk struktur karya sastra. Unsur-unsur tersebut terdiri atas dua jenis, yaitu: unsur cerita dan unsur bahasa. Unsur cerita seperti tokoh, setting, peristiwa, suasana, waktu, alur, dan sebagainya. Sedangkan unsur bahasa dapat berupa kata, frase, kalimat, kutipan teks, metafora, pendapat umum, jargon, istilah teknis, dan sebagainya. Kedua unsur tersebut diperlakukan sebagai fakta realitas karena mengacu pada gambaran realitas di luar karya sastra.

Temuan yang hendak diraih dalam tahap awal ini adalah, konsep sistem jaringan antar unsur-unsur dalam karya sastra dan antara unsur-unsur tersebut dengan realitas di luar karya sastra. Temuan ini akan menjelaskan bagaimana strategi wacana sastra dalam kaitannya dengan realitas yang digambarkan. Sekaligus sebagai titik berangkat analisis pada tahap selanjutnya. Jika dibagankan akan nampak sebagai berikut.

Bagan 1

Alur Model Analisis Framing

Pada tahap kedua analisis framing sastra, fokus analisisnya mengarah pada skema-skema yang digunakan pengarang dalam mengkonstruksikan gambaran realitas dalam karya sastra. Skema-skema tersebut dapat menggunakan skema dalan metode analisis framing media, namun demikian dapat membuka ruang bagi temuan skema-skema yang lain. Mengingat hakikat karya sastra sebagai obyek analisis framing berbeda dengan hakikat media, maka dimungkinkan terdapat skema-skema lain yang diketemukan dalam analisis. Hal itulah salah satu temuan dalam analisis framing sastra pada tahap kedua.

(11)

Titik berangkat analisis tahap kedua adalah hasil-hasil analisis tahap pertama. Tanpa tahap pertama tidak mungkin analisis terhadap skema dapat dilakukan. Fakta-fakta realitas yang dipilih dan diungkapkan dalam karya sastra, beserta sistem jaringan yang membangun strukturnya, merupakan suatu konstruksi realitas yang dilihat atau dipandang oleh pengarang. Hal itu merupakan hasil analisis tahap pertama. Di situlah akan diketemukan bagaimana pengarang mengambil posisinya sebagai pemandang terhadap realitas itu. Sekaligus hal ini mengarah pada skema-skema yang dikembangkan oleh pengarang dalam karya sastra yang diciptakannya. Dalam tahap ini teori skema dalam metode analisis framing media dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan skema yang dipakai oleh pengarang. Namun demikian, dapat terjadi bahwa teori skema media tidak cukup relevan atau kurang memadai untuk menjelaskan karya sastra sebagai obyek analisis. Modivikasi dilakukan dalam kerangka analisis teori substantif.

(12)

2

MODEL ANALISIS:

SASTRA SEBAGAI WACANA PENGETAHUAN

A. Dasar Berpijak bagi Penelitian Sastra

Mengapa sastra selalu mengada dalam kehidupan ini? Mengapa sastra selalu dibutuhkan sepanjang sejarah manusia? Pertanyaan tersebut mengarah pada pembicaraan tentang eksistensi sastra dalam kehidupan. Persoalan ‘mengada’ (eksistensi) sastra tersebut dapat dijelaskan dari dua cara pandang. Pertama, yaitu sastra ada karena selalu ada yang menciptakan dan membutuhkannya. Pada mulanya seseorang mengenal sastra. Pengenalan terhadap karya sastra itu pada akhirnya semakin serius, sehingga terjadi pergumulan dan kegairahan terhadap sastra. Ada keasyikan dan dorongan untuk itu. Pada tingkat selanjutnya akan bercabang-cabang bentuk pergumulan dan kegairahan bersastra itu. Seseorang bisa memilih dalam hidupnya sebagai seorang penulis sastra, akademisi sastra, peminat baca sastra, bahkan pedagang buku-buku sastra. Secara akumulatif, realitas bersastra tersebut menjadikan sastra semakin mengada dalam kehidupan.

Kedua, dapat juga dijelaskan dengan cara pandang berdasarkan sejarah sastra dari zaman ke zaman. Ketika masyarakat belum mengenal disiplin berpengetahuan dan masih berpola pikir sederhana, sastra --baik lisan maupun tulis—adalah pengetahuan itu sendiri. Belum ada pembagian yang tegas antara karya seni, pengetahuan, dan hukum tentang realitas. Sastra pada zaman ini merupakan satu-satunya ragam pelisanan dan penulisan formal yang diakui masyarakat. Menciptakan karya sastra dengan begitu tidak semata-mata ekspresi berkesenian, tetapi juga bertujuan untuk mengajarkan pengetahuan dan nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, seorang yang menciptakan sastra digologkan sebagai cendekia, ahli, dan suci. Bahkan dalam keyakinan mereka, karya sastra merupakan bentuk penyatuan antara yang gaib dengan manusia. Kalau kemudian karya-karya sastra pada zaman itu bersifat anonim, karena bersumber dari keykinan seperti itu. Karya sastra bukan semata-mata ciptaan manusia.

(13)

wacana sastra yang berbeda dengan wacana pengetahuan. Dan di dalam masyarakat sekarang bahkan muncul jenis-jenis wacana yang beragam, seperti wacana hukum, wacana ilmiah, wacana pembelajaran, wacana jurnalistik atau berita, dan sebagainya.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, mengapa seseorang mengkonstruksikan gagasan dan pikirannya ke dalam wacana sastra, bukan dengan wacana yang lain? Dalam perspektif kesastraan, gagasan dan pikiran seorang pengarang dapat terwadahi oleh obyek-obyek sebagai hasil imajinasinya. Obyek-obyek tersebut adalah peristiwa, tokoh, dan tempat sebagai unsur karya sastra. Gagasan dan pikiran seorang pengarang juga diekspresikan melalui bahasa yang indah dan kreatif. Unsur obyek dan bahasa tersebut bersifat khas, unik, fiktif, imajinatif, kreatif, dan ekspresif. Dengan demikian, sastra dapat mengemas gagasan dan pikiran tersebut dengan cara seperti itu, sehingga tidak saja memenuhi kebutuhan komunikatif, tetapi juga kebutuhan ekspresivitas kreatif dan estetik.

Dalam perspektif ekspresivitas kreatif estetik tersebut, gagasan dan pikiran menjadi samar dan tersembunyi dibalik unsur-unsur karya sastra. Dengan demikian, faktor komunikasi menjadi semu dalam sastra, meskipun bukan hilang sama sekali. Komunikasi terjadi secara interpretatif, reflektif, dan relatif. Pesan yang terkandung dalam tindak komunikasi sastra terletak pada sejauh mana komunikan menginterpretasikan dan merefleksikan karya sastra, dan hal itu berkecenderungan berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain. Dalam perspektif ini, gagasan dan pikiran dalam sastra menjadi multi interpretable. Di samping itu, gagasan dan pikiran tersebut memperoleh makna yang semakin kaya dari sisi pembacanya.

Dalam perspektif penciptaan, gagasan dan pemikiran pengarang merupakan hasil dari refleksinya terhadap peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Pada tataran ini, gagasan dan pikiran tersebut tidak dalam pengertiannya yang empiris, fisikal, dan informatif. Peristiwa yang diamati dan dialami pengarang mungkin bersifat biasa saja, tetapi dengan kepekaan pengarang peristiwa tersebut dikuak makna terdalamnya. Bisa terjadi peristiwa yang logis dan lumrah dalam realitas menjadi tidak logis dan lumrah dalam karya sastra. Demikian sebaliknya. Hal itu terjadi lantarasan terdapat gagasan dan pikiran sebagai hasil refleksi terhadap peristiwa yang setiap hari terjadi tanpa pernah dipikirkan dan disadari orang yang melakukannya. Dalam karya sastra gagasan dan pikiran bukan semata-mata apa yang dirasionalkan pengarang, tetapi lebih dari itu, sebagai sebuah refleksi. Sebagai sebuah refleksi, gagasan dan pikiran tersebut terkandung penghayatan, perenungan, pemikiran, sikap, keyakinan, bahkan ideologi yang sengaja disamarkan.

(14)

sebagai model atau skema alternatif terhadap realitas. Model atau skema kehidupan tersebut merupakan dunia kemungkinan bagi realitas. Gagasan dan pemikiran pengarang dalam sastra dimodelkan dan diskemakan melalui unsur-unsur sastra sebagai alternatif bagi model dan skema kehidupan dalam realitas.

Kembali kepada pertanyaan di muka, mengapa seseorang mengkonstruksikan gagasan dan pikirannya ke dalam wacana sastra, bukan dengan wacana yang lain? Penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.

a. Sastra mampu mengemas gagasan dan pikiran tersebut dengan cara khas, unik, fiktif, imajinatif, kreatif, dan ekspresif, sehingga tidak saja memenuhi kebutuhan komunikatif, tetapi juga kebutuhan ekspresivitas kreatif dan estetik.

b. Dalam sastra gagasan dan pikiran memperoleh makna yang semakin kaya dari sisi pembacanya. Hal itu disebabkan karena gagasan dan pikiran seseorang tersebut bersigatmulti interpretabel; banyak penafsiran.

c. Dalam karya sastra gagasan dan pikiran bukan semata-mata apa yang dirasionalkan seseorang, tetapi lebih dari itu, sebagai sebuah refleksi terhadap peristiwa yang terjadi dalam realitas.

d. Gagasan dan pemikiran seseorang dalam sastra dimodelkan dan diskemakan melalui unsur-unsur sastra sebagai alternatif bagi model dan skema kehidupan dalam realitas.

Keempat hal tersebut sekaligus menjadi titik awal bagi pembicaraan tentang karya sastra sebagai sebuah wacana pemikiran. Dalam pengertian lain, karya sastra merupakan wacana pengetahuan tentang gagasan dan pemikiran tentang hakikat kebenaran dan kehidupan. Cara pandang terhadap karya sastra sebagai wacana pengetahuan didasarkan atas asumsi bahwa karya sastra mengangkat persoalan manusia dan kemanusiaan, baik secara lokal maupun universal. Secara lokal, bahwa karya sastra mengungkapkan problema yang berkaitan dengan konteks dunia sekitar yang melatarbelakanginya. Sedangkan secara universal, bahwa karya sastra mengungkapkan problema manusia pada umumnya. Pengungkapan problema manusia dan kemanusiaan tersebut disikapi, dikritisi, dinilai dengan sudut pandang seorang intelektual. Penuangannya melalui siasat sastra, yaitu imajinasi, fiksi, dan ekspresi estetis.

Pengungkapan problema manusia dan kemanusiaan, baik secara lokal maupun universal, merupakan gagasan dan pemikiran pengarang. Jika kembali pada pembicaraan di muka, maka gagasan dan pemikiran tersebut diungkapkan melalui model dan skema sebagai strategi kewacanaan. Model dan skema tersebut merupakan bangunan struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berelasi. Dan dibalik bangunan struktur itulah terdapat gagasan dan pemikiran yang melandasinya. Dengan demikian, memperlakukan karya sastra sebagai wacana pengetahuan akan menguak landasan bangunan strukturnya. Pemahaman itulah yang terlebih dahulu harus dilakukan sebelum memahami mengenai pengetahuan yang tertuang di dalam karya sastra.

(15)

fiksi dan imajinasi itulah karya sastra mampu membangun dirinya sebagai wacana pengetahuan yang khas yang berbeda dengan wacana pengetahuan yang lain. Fiksi dan imajinasi menciptakan dunia kemungkinan bagi dunia realitas. Dunia kemungkinan merupakan hasil dari penerapan cara pandang yang bertolak belakang dengan realitas demi realitas sebagai tandingannya itu. Dunia kemungkinan merupakan bentuk dari penyikapan, penilaian, kekritisan, perenungan, penghayatan, dan pembayangan sesuai dengan gagasan dan pemikiran pengarangnya. Karya sastra dalam tataran itu diperlakukan salah satu referensi kehidupan. Karya sastra tidak semata-mata sebagai karya seni, tetapi juga sebagai wacana yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakatnya.

Karya sastra dalam kedudukannya yang demikian itu, merupakan konsekuensi dari peran dan fungsinya sebagai institusi sosial. Fungsi dan peran sebagai intitusi sosial melekat sepanjang sejarah sastra dan masyarakatnya. Peran dan fungsi sosial karya sastra adalah media sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, dan kehidupan. Untuk mencapai hal itu karya sastra harus menempatkan dirinya sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan masyarakatnya. Di sisi yang lain, karya sastra juga mesti mengembannya dengan mengungkapkan gagasan dan pemikiran yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Dunia kemungkinan yang tertuang di dalam karya sastra dengan begitu merupakan gagasan dan pemikiran pengarang yang diamanatkan kepada masyarakat

Di samping itu, eksistensi pengarang sepanjang sejarahnya adalah seorang intelektual. Sebelum ilmu pengetahuan muncul dan mengklaim atas kebenaran terhadap realitas, karya sastra sudah terlebih dahulu menempatkan dirinya sebagai klaim kebenaran dan pengetahuan masyarakatnya. Karya sastra pada waktu itu sebagai sumber pengetahuan yang mempedomani dan mengarahkan masyarakat mengkonsepsikan hakikat kehidupan dan kebenaran. Pengarangnya merupakan kelas cendekiawan yang dihormati dan dihargai sebagai manusia yang memiliki pengetahuan yang lebih. Ketika regimitas kekuasaan kerajaan muncul, pengarang merupakan bagian dari regimitas itu. Ia diperlakukan sebagai orang suci, berpengetahuan, dan mampu mendidik masyarakat tentang etika, moral, dan spiritual masyarakat. Dalam perkembangan kemudian, ketika ilmu pengetahuan muncul dan regimitas kerajaan digantikan oleh konsep negara modern, karya sastra tidak serta merta kehilangan eksistensinya sebagai wacana pengetahuan. Meskipun karya sastra dan pengarangnya mengalami perubahan juga, seiring dengan perkembangan masyarakatnya, tetapi eksistensi karya sastra dan pengarangnya tetap menduduki posisi sebagai kelas intelektual dan terpelajar.

(16)

jargonnya,dulce et utile; menghibur dan mendidik. Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, juga mengemukakan bahwa karya sastra sebagai chatarsis; penyucian batin atas nafsu-nafsu.

Eksistensi karya sastra dengan demikian sebagai sumber referensi tentang kebenaran dan kehidupan, manusia dan kemanusiaannya, bagi masyarakat. Kedudukan tersebut tidak mungkin muncul tanpa memandang kualitas karya sastra, latar belakang pengarangnya, dan dinamika sejarah dan masyarakatnya yang melatarbelakanginya. Sekaligus kedudukan tersebut menempatkan karya sastra sebagai salah satu wacana pengetahuan. Jika demikian, persoalan yang muncul kemudian adalah, bagaimana analisis karya sastra menempatkan dirinya terhadap karya sastra sebagai wacana pengetahuan sebagai obyek analisisnya. Persoalan ini mengarahkan analisis karya sastra kepada cara pandang yang relevan. Cara pandang apakah yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra sebagai wacana pengetahuan? Teori-teori formal yang ada selama ini sesungguhnya telah mengarah ke sana, meskipun secara implisit. Justru yang dibutuhkan adalah teori-teori substantif yang secara eksplisit dan tegas mengabstraksikan fakta-fakta pengetahuan yang terkandung dalam karya sastra.

Salah satu fokus analisis yang dapat dipilih berdasarkan realitas sastra sebagai wacana pengetahuan di atas adalah, gagasan dan pemikiran pengarang sebagai penyikapan terhadap suara zaman. Fokus tersebut diletakkan dalam konteks dinamika perubahan masyarakat. Di dalam konteks dinamika perubahan masyarakat itulah, karya sastra sebagai wacana pengetahuan menempatkan dirinya ke dalam arus perubahan tersebut. Bagaimanakah substansi dan abstraksi fakta-fakta sosiokultural diekspresikan ke dalam karya sastra melalui sikap dan pandangan pengarangnya. Pemikiran tentang sastra dan eksistensinya di atas dapat menjadi dasar pemikirannya.

A. Konsep Dasar

Signifikansi sastra Indonesia modern dapat dipetakan melalui reaksi karya sastra dalam menyuarakan semangat zaman yang melatarbelakanginya. Pemetaan semacam itu sekaligus dapat menjelaskan peranan sastra Indonesia memotret, mendokumentasi, dan menyikapi apa yang terjadi di masyarakatnya. Suatu topik yang jarang dibicarakan sehingga seolah kesusastraan Indonesia modern kurang memiliki peran dan fungsi sosial. Pembicaraan cenderung terfragmentasi dan dilatarbelakangi kebutuhan analisis dan penganalisis semata; bukan bertujuan untuk kesusastraan Indonesia.

(17)

kebudayaan masyarakat, dan wilayah obyek formal yang meliputi berbagai aspek sesuai dengan realitas yang ada.

Kajian semacam itu juga bukan semata menghilangkan hakikat karya sastra sebagai karya seni dan meletakkannya dalam kerangka sejarah umum. Pemenuhan kebutuhan kajian yang komprehensif justru harus menyentuh pada persoalan karakteristik dan konvensi kesastraan sebagai suatu perkembangan sikap budaya dan kreativitas dari karya sastra dan sastrawannya. Sikap budaya dan kreativitas bersastra sepanjang sejarahnya selalu mencerminkan reaksi terhadap realitas yang ada. Justru kajian semacam itu harus memusatkan perhatian pada aspek intrinsik ke arah ekstrinsik.

Yang hendak menjadi fokus kajian tersebut adalah merumuskan sebuah peta perkembangan karya sastra dalam kaitannya dengan sikap budaya dan kreativitas dalam kesusastraan Indonesia modern untuk mereaksi keadaan zamannya. Sebagai peta perkembangan mesti harus memahami benang merah yang menghubungkan fragmen-fragmen dalam bersastra. Bukan sebaliknya, justru memotong-motong sebagaimana yang pernah dilakukan dalam kajian-kajian sebelumnya. Kesinambungan tersebut mutlak dilakukan agar dapat dipahami dinamika kesusastraan itu sendiri dan sosiokultural masyarakat yang direaksi.

Landasan kerja yang dipakai dalam prosedur kajiannya berpijak pada asumsi dasar sebagai berikut.

a. Sebagai karya seni, karya sastra merupakan wujud ekspresi pengarang sebagai individu dan anggota masyarakat. Dalam dua ujung posisi pengarang tersebut, di satu ujung terletak suatu sikap yang kreatif dan imajinatif, dan di ujung yang lain terletak sikap hidup dan budaya sebagai perwujudan status pengarang sebagai kelompok intelektual masyarakat. Di antara dua ujung tersebut, karya sastra muncul dalam khazanah budaya masyarakatnya sebagai suatu produk budaya. b. Karya sastra merupakan media komunikasi yang berisi pemikiran, penghayatan,

perenungan, pergulatan, penilaian, dan kritik sosial. Tataran ini menempatkan karya sastra, sebagaimana wacana pengetahuan yang lain, sebagai substansi dan abstraksi fakta-fakta sosiokultural yang diekspresikan melalui sikap dan pandangan hidup pengarangnya. Pada gilirannya disodorkan pengarang kepada masyarakat untuk difahami, diapresiasi, ditanggapi, dan dikritisi. Betapapun imajinatif dan fiktifnya, karya sastra tetap akan terjalin dalam konteks komunikasi dan interaksi sosialnya. Dalam teori resepsi terdapat horizon penerimaan sebagai pijakan bagi pembaca untuk merespon karya sastra.

(18)

d. Ekspresivitas karya sastra merupakan wujud penyikapan terhadap dampak dari dinamika masyarakat dan kebudayaannya. Karya sastra dalam hal ini mengambil peran sebagai pengetahuan tentang kehidupan. Sebagai pengetahuan, karya sastra berisi nilai-nilai hidup yang dapat digunakan sebagai referensi masyarakat. Melalui obyek-obyek yang diceritakan, sebagai unsur sistem struktur, penyikapan terhadap dinamika masyarakat dan kebudayaannya disuarakan. Di samping sebagai substansi pengetahuan yang dikandung, penyikapan tersebut merupakan landasan pemikiran dari bangunan struktur karya sastra. Dengan demikian, terdapat pola segitiga dalam kaitannya dengan hal tersebut: sikap budaya - struktur karya - landasan pemikiran bangunan struktur.

Keempat asumsi dasar di atas kiranya dapat melandasi penyusunan landasan operasional penelitian sastra yang mengambil obyek formal sikap sastrawan dalam karya sastra dalam menyuarakan semangat zaman. Terdapat lima konsep dasar yang dapat digunakan sebagai pedomannya, yaitu: subyek intelektual, fakta struktural sastra, proyeksi sosiokultural dan semangat zaman, fakta relasional, dan sinkronik-diakronik.

1. Pengarang sebagai Subyek Intelektual

Pengarang sebagai subyek intelektual merupakan obyek formal penelitian sastra yang hendak memahami reaksi sastrawan terhadap semangat zaman yang melatarbelakanginya, yang tercermin dalam karya sastra yang diciptakannya. Sedangkan pengertian subyek intelektual adalah pemikiran sastrawan yang terkandung dalam karya sastra sebagai wujud penyikapan dan reaksi terhadap semangat zaman yang melatarbelakanginya. Dalam konteks ini disebut dengan istilah sikap budaya. Melalui obyek yang diceritakan, baik tokoh, peristiwa, maupun unsur-unsur lain yang terkandung dalam struktur karya sastra, sastrawan menyembunyikan pemikiran-pemikirannya di balik unsur-unsur tersebut. Dengan demikian, sistem struktur karya sastra tidak sekedar pola hubungan antra unsur-unsurnya, tetapi juga ada landasan pemikiran yang membingkainya. Inilah yang disebut di muka sebagaipola segitiga.

Pengarang sebagai subyek intelektual memiliki dua dimensi, yaitu: dimensi realitas dan dimensi fiksional. Dimensi realitas menunjuk pada posisi pengarang sebagai anggota masyarakat yang berstatus sosial kelompok intelektual. Banyak istilah yang dapat digunakan untuk menyebut kelompok sosial tersebut, yaitu: kelompok terpelajar, cendekiawan, budayawan, penulis, dan seniman. Status ini diperoleh seseorang atas usahanya memproduksi budaya dan pengetahuan, yang secara konsisten dan professional dilakukannya; termasuk di dalamnya komitmen hidup. Sedangkan subyek intelektual dimensi fiksional menunjuk pada intelektualitas yang terkandung dalam karya sastra. Pemikiran, sikap, pandangan, dan indeologi, yang disembunyikan melalui unsur-unsur struktur karya sastra merupakan wujud adanya subyek yang berbicara; dalam hal ini pengarangnya.

(19)

pengaruh, baik dari individu lain dan kolektivnya, institusi sosial, perkembangan dan kondisi zaman, kebutuhan dan kepentingan, konflik sosial, dan sebagainya. Secara psikologis, proses pengalaman tersebut membentuk kepribadian dan orientasi hidup pengarang.

Di samping itu, proses pengalaman tersebut juga membentuk pola pikir dan pandangan pengarang terhadap lingkungannya. Adanya cakrawala berpikir yang dibentuk oleh pengalaman hidup itu. Penyikapan, tanggapan, dan dan reaksi pengarang terhadap kehidupan dan dunia sekitarnya, pada akhirnya akan dibingkai ke dalam cakrawala berpikirnya itu. Cakrawala berpikir pengarang dilatarbelakangi oleh ideologi, ras dan suku, agama, status sosial, dan psikolgisnya.

Pada gilirannya, subyek intelektual dimensi realitas tersebut mengalami strukturasi, baik disadari maupun tidak, ke dalam diri subyek intelektual dimensi fiksional. Strukturasi adalah pembayangan dari sikap dan pemikiran subyek intelektual realitas (pengarang) yang terkandung dalam karya sastra dan sebagai landasan pemikiran bangunan struktur karya sastra itu. Dengan demikian, strukturasi itu dapat diidentifikasi melalui unsur-unsur yang membentuk sistem struktur karya sastra. Pola segi tiga yang dikemukakan di atas pada akhirnya terdiri atas relasi subyek intelektual realitas, subyek intelektual fiksional, dan struktur sastra. Jika digambarkan dalam bagan berbentuk sebagaimana berikut ini.

Bagan 2:

Pola Segitiga Relasi Subyek Intelektual dengan Karya Sastra

Persoalannya adalah, unsur-unsur yang mana dalam struktur karya sastra yang menggambarkan strukturasi subyek intelektual dimensi realitas? Unsur-unsur itulah yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum memahami semua hal tentang subyek intelektual tersebut. Sekaligus, akan mengarahkan pada penjeleasan terhadap fokus penelitian ini.

(20)

Dalam kerangka penelitian ini, struktur karya sastra tidak sebagaimana umumnya dalam penelitian struktural sastra yang pernah ada sebelumnya. Yang dimaksud dengan struktur di sini merujuk pada strategi kewacanaan, yaitu model dan skema, yang diciptakan dan dipakai pengarang dalam karya sastra. Dengan demikian, strategi kewacanaan adalah model dan skema yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan ceritanya melalui simbol-simbol, gambar-gambar, obyek-obyek, dan tanda-tanda yang berhubungan membentuk sistem struktur karya sastra.

Pada dasarnya memahami karya sastra dihadapkan pada model dan skema tertentu. Model atau skema tersebut menunjukkan garis-garis hubungan antara unsur-unsur dalam sistem struktur wacana sastra. Model merupakan kerangka di mana unsur-unsur yang ada ditempatkan di dalamnya. Kerangka tersebut berupa domain pemikiran yang memandang dan memperlakukan obyek-obyek yang diceritakan sebagai sebuah unsur struktur. Domain pemikiran tersebut dapat berupa konsep-konsep, seperti keperempuanan, sosial budaya, aliran-aliran, gerakan pemikiran, dan sebagainya, yang dipakai untuk menggambarkan dimensi unsur-unsur tersebut. Sedangkan skema adalah pola atau patron hubungan antara unsur yang yang satu dengan unsur yang lain; antara model yang satu dengan model yang lain. Dengan demikian, dalam struktur karya sastra terdapat berbagai model dan skema yang digunakan pengarang untuk membangun struktur karya sastra yang diciptakannya.

Unsur-unsur karya sastra sesungguhnya dihubungkan oleh model kewacanaan tersebut. Unsur-unsur yang menempati kerangka atau model yang sama, jelas memiliki hubungan kemaknaan yang sama. Unsur-unsur tersebut berhubungan dalam domain pemikiran yang sama. Ia dipahami, diperlakukan, digambarkan, dan dijelaskan oleh domain pemikiran tersebut. Dengan demikian, pemaham terhadap unsur-unsur tersebut tidak dapat dilepaskan dari domain pemikiran yang ada. Cara pandang yang dipakai untuk menganalisis unsur-unsur tersebut menggunakan konsep-konsep dari domain pemikiran tertentu. Dengan penjelasan seperti itu, dapat dirumuskan pemikiran yang digunakan pengarang untuk melandasi bangunan struktur karya sastranya.

Hubungan unsur-unsur yang membentuk struktur karya sastra juga terjadi karena adanya skema yang mempolakan. Pola-pola hubungan tersebut dapat berupa komparasi, korelasi, degradasi, dan ilustrasi. Keempat istilah tersebut sangat penting untuk menjelaskan hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain, sekaligus dipahami skema dan sistem yang mengatur struktur karya sastra tersebut. Sebagai sebuah sistem, struktur karya sastra memiliki aturan-aturan yang mengatur dan mengikat relasional unsur-unsur tersebut membentuk suatu sistem struktur tertentu.

(21)

menganggapnya sebagai sesuatu. Hal tersebut akan mengarahkan pada metafor, ironi, antitese, tamsil, dan sebagainya, yang bernilai rasa tertentu. Perbandingan atau komparasi selalu muncul untuk mewadahi nilai emotif dan sugestif tertentu yang tidak mampu diwadahi oleh cara penggambaran langsung. Dengan demikian, tercipta kategori nilai yang dilekatkan pengarang terhadap suatu unsur tertentu.

Pola korelasi atau pengaruh terjadi apabila suatu unsur dijelaskan berdasarkan adanya pengaruh dari atau terhadap unsur yang lain. Hubungan ini menunjukkan suatu gambaran adanya ketidakmandirian suatu unsur tanpa adanya unsur yang lain. Tak ada unsur tertentu tanpa kehadiran unsur yang lain yang berhubungan secara korelatif. Dengan begitu dapat dipahami dasar pemikiran yang melandasi munculnya unsur-unsur tersebut dalam sistem struktur yang dibangun pengarangnya. Landasan pemikiran tersebut mencerminkan pemikiran pengarangnya.

Pola degradasi terjadi karena adanya hubungan yang dilandasi oleh perbedaan dan keterpecahan suatu unsur terhadap unsur yang lain. Hubungan tersebut dapat disebut sebagai hubungan semu. Keterpecahan dan keberbedaan antarunsur tersebut dilatarbelakangi oleh penguasaan suatu unsur terhadap unsur yang lain. Ada hubungan unsur yang dominan terhadap unsur yang tersubordinasi; atas-bawah, lelaki-perempuan, putih-hitam, majikan-buruh, atau kategori oposisi biner yang lain. Pola hubungan degradasi memang berkategorial oposisi biner. Dengan memahami adanya pola hubungan degradasi itu dapat terlihat cara pandang yang dipakai pengarang dalam menggambarkan hubungan unsur-unsur yang diceritakannya. Pada gilirannya, akan dipahami pemikiran yang melandasi bangunan struktur yang diciptakan pengarangnya.

Sedangkan pola hubungan ilustrasi adalah hubungan penggambaran. Unsur yang satu merupakan penggambaran terhadap unsur yang lain, atau sebaliknya. Pola hubungan ilustrasi ini umumnya digunakan pengarang untuk menggambarkan suatu unsur karya sastra. Bisa disebut sebagai pola konvensional. Pengarang cenderung menggunakan pola ini karena secara langsung dapat menjelaskan suatu unsur tertentu melalui pelukisan unsur yang lain. Dengan demikian, hubungan suatu unsur didasarkan atas penggambaran keadaan atau suasana unsur yang lain. Dalam konteks penelitian ini unsur ilustrasi kurang memberikan pemahaman terhadap landasan pemikiran yang dipakai pengarang untuk membangun struktur karyanya. Oleh karena itulah, pola ini diletakkan di bawah pola-pola yang lain.

Dengan memahami skema struktur cerita di atas, akan dipahami pula kerangka berpikir yang dipakai pengarang sebagai landasan berpikir dalam membangun ceritanya. Jika disederhanakan, hubungan unsur-unsur tersebut dipandang sebagai hubungan subyek-obyek. Hubungan subyek-obyek tersebut berdasarkan perbandingan (komparasi), pengaruh (korelasi), keterpecahan atau keberbedaan (degradasi), atau penggambaran (ilustrasi). Unsur yang satu sebagai subyek terhadap unsur yang lain sebagai obyeknya.

(22)

dijelaskan skemanya. Berdasarkan petunjuk, baik tersirat maupun tersurat, yang ada dalam teks, hubungan tersebut dapat diidentivikasi. Diperlukan kecermatan dan ketelitian penganalisis untuk menemukan hal itu. Di samping itu, ada yang perlu diingat juga, bahwa di samping terdapat skema hubungan antarunsur-unsur yang berbeda, juga terdapat skema hubungan obyek-obyek yang diceritakan dalam kategori unsur yang sama. Dengan demikian, ada skema kecil di dalam skema besar; skema bawahan di dalam skema atasan. Begitu pula dengan model, terdapat model bawahan (bagian) di dalam model atasan (besar).

Kerumitan dan kekayaan struktur karya sastra dengan demikian terletak pada kualitas dan kuantitas model dan skema. Kalau digambarkan terdapat banyak garis-garis yang menghubungan unsur yang satu dengan unsur yang lain; obyek yang satu dengan obyek yang lain dalam unsur yang sama; model yang satu dengan model yang lain; dan sub-model yang satu dengan sub-model yang lain dalam kategori model yang sama. Demikian sebaliknya, kesederhanaan sebuah karya terletak pada kesederhanaan model dan skemanya. Hal ini juga dapat menjadikan kriteria sebuah karya sastra yang representatif untuk penelitian dalam konteks tulisan ini.

Model dan skema di atas pada gilirannya akan mengarah pada sebuah gambaran proyeksi tentang sosiokultural yang disikapi pengarang dengan sikap dan pemikiran tertentu. Pada tataran ini, analisis struktural (instrinsik) bergerak ke arah analisis ekstrinsik. Domain-domain pemikiran (model) dan landasan hubungan unsur dalam struktur (skema) akan merujuk pada suatu tematik tertentu. Jika kembali pada asumsi dasar yang melandasi operasional penelitian ini, maka secara tematis karya sastra mengungkapkan ekspresi, komunikasi, dan pengetahuan tentang dinamika masyarakat dan kebudayaannya. Namun demikian, hal itu hanyalah suatu gambaran proyeksi dari masyarakat dan semangat zaman yang melatarbelakangi karya sastra itu.

3. Proyeksi Sosiokultural Dan Semangat Zaman

Yang dimaksud dengan proyeksi adalah gambaran secara tematis mengenai apa yang diungkapkan dalam karya sastra di balik bangunan strukturnya. Dalam konteks penelitian ini gambaran secara tematis tersebut adalah dinamika sosiokultural dan semangat zaman yang disikapi dan disuarakan pengarang sebagai bentuk strukturasi subyek intelektual realitas. Kalau dalam tataran struktur, karya sastra ditempatkan dalam suatu strategi kewacanaan yang terdiri atas model dan skema, maka dalam tataran ini karya sastra ditempatkan dalam pola segitiga yang telah dikemukakan di muka. Pada tahap ini analisis telah bergerak ke arah ekstrinsik berdasarkan analisis struktur (instrinsik).

(23)

nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra sebagai wacana pengetahuan masyarakat. Hal itulah dalam penelitian ini disebut sebagai proyeksi sosiokultural dan semangat zaman yang disuarakan dan disikapi pengarang.

Pengarang sebagai subyek intelektual realitas memiliki sikap dan pandangan (cakrawala berpikir) terhadap dinamika masyarakat dan kebudayaannya. Pada gilirannya, hal tersebut distrukturasi ke dalam karya sastra. Kehadiran pengarang dalam teks pada akhirnya bersifat fiksional, karena cakrawala berpikir mengenai lingkungan sekitarnya tersebut telah mengalami pengimajinasian. Oleh karena itu, pengarang diposisikan sebagai subyek intelektual fiksional. Pola segitiga dalam tahap analisis ini pada akhirnya menjadi sebagaimana berikut ini.

Bagan 3

Pola Segitiga Subyek intelektual dan proyeksi sosiokultural dan Semangat Zaman

(24)

Ada fakta relasional antara sosiokultural dan semangat zaman yang melatarbelakangi pengarang dan karya sastranya dengan sosiokultural dan semangat zaman yang diproyeksikan ke dalam karya sastra. Penelitian ini tidak mempersoalkan apakah fakta relasional tersebut bersifat langsung atau tidak langsung. Hal utama yang dipersoalkan adalah analisisnya harus mampu mengidentivikasi fakta relasional tersebut.

4. Fakta Relasional

Fakta relasional menunjuk pada relasi teks–subyek intelektual-konteks dalam kerangka pola segitiga. Teks memiliki sistem struktur yang dibangun berdasarkan domain dan landasan pemikiran sebagai strukturasi dan sekaligus proyeksi sosiokultural dan semangat zaman. Subyek intelektual merupakan pengarang yang memiliki cakrawala berpikir sebagai bentukan dari masyarakatnya. Sedangkan konteks memiliki dimensi ganda, yaitu: latar belakang yang membentuk pengarang sebagai subyek intelektual dan sekaligus sebagai obyek yang disikapi dan disuarakan ke dalam karya sastra. Hubungan karya sastra sebagai teks dengan pengarang sebagai subyek intelektual merupakan hubungan proyeksi. Sedangkan hubungan pengarang sebagai subyek intelektual dengan konteks masyarakat berwajah ganda. Di satu wajah hubungannya bersifat realis sehingga pengarang berposisi sebagai subyek intelektual realitas, dan di wajah yang lain hubungannya bersifat fiksional sehingga pengarang berposisi sebagai subyek intelektual fiksional.

Jika disederhanakan ke dalam bagan teks–subyek intelektual-konteks akan nampak sebagai berikut.

Fakta Relasional Fakta relasional Kedua Pertama

Strukturasi Proyeksi

Bagan 3:

Teks–Subyek Intelektual-Konteks

Hubungan karya sastra dengan subyek intelektual (pengarang) terjadi karena adanya strukturasi dan proyeksi sosiokultural dan semangat zaman yang hendak

LATAR BELAKANG MA“YARAKAT

PENGARANG “EBAGAI “UBYEK

INTELEKTUAL “TRUKTUR

KARYA “A“TRA

DOMAIN PEMIKIRAN DAN LANDA“AN

BANGUNAN “TRUKTUR

“O“IOKULTURAL DAN “EMANGAT

(25)

disuarakan dalam karya sastra. Hubungan tersebut bersifat fiksional, oleh karena itu pengarang sebagai subyek intelektual fiksional. Namun demikian, proyeksi dan strukturasi tersebut tidak akan pernah terjadi tanpa adanya sikap dan pandangan pengarang terhadap lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar tersebut adalah kondisi sosiokultural dan semangat zaman sebagai akibat dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengarang berposisi sebagai subyek intelektual realitas.

Bagaimanakah seorang pengarang mengkonstruksikan pemikirannya tentang konteks sosiokultural dan semangat zaman dalam karya sastranya? Pertanyaan inilah yang hendak dijelaskan dalam rangka memahami fakta relasional dalam karya sastra. Pada taraf awal telah terjadi pengkonstruksian fakta sosial tersebut ke dalam diri pengarang sebagai perwujudan dari penyikapan terhadap fakta sosial itu. Pada taraf ini telah terjadi relasi dalam konteks realitas. Karenanya pengarang bertindak sebagai subyek intelektual realitas. Pengarang mencoba membingkai apa yang diamati, dialami, ataupun dirasakan dalam dunia sekitar dengan cakrawala berpikirnya. Cakrawala berpikir ini bukan murni milik pengarang, melainkan hasil bentukan dunia sekitarnya itu. Meskipun fakta relasional ini lebih dulu terjadi dalam hubungannya dengan penciptaan karya sastra, tetapi dalam konteks penelitian ini menduduki tahap akhir.

Konstruksi fakta sosial di atas bukan dengan sendirinya langsung diwadahi dalam karya sastra. Melalui proses pengimajinasian terjadi pengkonstruksian atas hasil pengkonstruksian dalam relasi awal tersebut. Pengkonstruksian tahap kedua ini disebut dengan strukturasi atau pembayangan. Melalui obyek-obyek atau unsur-unsur cerita, strukturasi tersebut diwujudkan ke dalam sistem struktur sastra. Tepatnya, melandasibangunan struktur karya sastra. Pada taraf ini terjadi fakta relasional kedua antara pengarang dengan dunia fiksional tersebut. Karenanya, pengarang berposisi sebagai subyek intelektual fiksional. Kalau dalam fakta relasional awal dilandasi oleh cakrawala berpikir yang dimiliki pengarang, maka dalam fakta relasional kedua ini dilandasi oleh pengimajinasian. Oleh karena itu, fakta relasional kedua ini juga dapat dipahami sebagai relasi antara hasil konstruksi pertama dengan unsur-unsur yang hadir dalam karya sastra dengan mediasi imajinasi.

Fakta relasional ketiga terjadi dalam sistem struktur karya sastra. Unsur-unsur cerita saling berhubungan dalam kerangka (model) dan skema membentuk sistem struktur. Namun demikian, yang utama dalam penelitian ini bukanlah semata-mata fakta relasional itu. Fakta relasional tersebut hanyalah bersifat permukaan. Yang utama adalah domain pemikiran yang mewadahi unsur-unsur tersebut (model) dan landasan pemikiran yang menjadi dasar hubungan antara unsur-unsur tersebut (skema). Dapat dikatakan, fakta relasional ketiga ini hanya jembatan untuk memahami pemikiran-pemikiran atau strukturasi sebagai hasil adanya fakta relasional kedua.

(26)

fakta relasional terjadi kebalikannya, yaitu: fakta relasional dalam sistem struktur (fakta relasional ketiga), fakta relasional strukturasi atau pembayangan (fakta relasional kedua), dan fakta relasional dalam realitas (fakta relasional pertama).

5. Sinkronik Diakronik

Penelitian ini sesungguhnya diletakkan ke dalam konteks peta perkembangan karya sastra dalam menyuarakan semangat zamannya. Sekaligus, juga diletakkan pada dinamika perkembangan sosiokultural masyarakat yang melatarbelakangi karya sastra itu. Dengan begitu memperlakukan karya sastra dalam peran dan fungsinya sebagai bentuk ekspresi pengarang sebagai subyek intelektual, sebagai media komunikasi dengan masyarakatnya, dan sebagai pengetahuan yang berisi nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan. Hanya dengan cara itulah karya sastra akan menempati posisi yang sejajar dengan Wacana pengetahuan lainnya. Memperlakukan karya sastra hanya semata-mata sebagai karya seni, justru akan menjauhkan karya sastra dari pembaca dan masyarakatnya.

Dengan demikian, penelitian ini bersifat diakronis. Pengertian diakronis bukan hendak memperbandingkan antara periode yang satu dengan periode yang lain, tetapi memahami garis perkembangan dari waktu ke waktu. Garis perkembangan tersebut akan nampak dalam dua wilayah. Pertama, garis perkembangan tersebut dalam kaitannya dengan reaksi dan penyikapan pengarang dan karya sastranya terhadap suara zaman yang melatarbelakanginya. Bentuk-bentuk pemikiran yang bagaimanakah yang melandasi pemikiran pengarang dalam menyikapi dan mereaksi apa yang terjadi dalam masyarakatnya dari zaman ke zaman. Kedua, garis perkembangan tersebut dalam kaitannya dengan perkembangan suara zaman dari waktu ke waktu dalam konteks dinamika perkembangan sosiokultural masyarakat. Pada wilayah yang pertama akan dirumuskan sebuah pemetaan peran dan fungsi pengarang dan karya sastra terhadap masyarakatnya. Sedangkan pada wilayah kedua akan dirumuskan fakta-fakta suara zaman yang terekam dalam Wacana karya sastra. Pada wilayah inilah sesungguhnya hakikat karya sastra sebagai pengetahuan memperoleh tempatnya.

(27)

Kedua, penelitian sinkronik hendaknya mengambil periode yang memiliki isu pergerakan pemikiran yang penting pada zaman itu. Pengertian ini bukan berarti menganggap bahwa dalam periode yang lain tidak terjadi isu pergerakan pemikiran yang penting, melainkan dalam beberapa periode, tentu terdapat satu periode yang memiliki arus pergerakan pemikiran yang lebih dari periode yang lain. Meskipun hal itu bersifat relatif, tetapi peneliti memiliki argumentasi untuk menjelaskannya. Menempatkan penelitian ini dalam satu periode yang memiliki isu pergerakan pemikiran yang penting, akan lebih memberikan jawaban atas persoalan seberapa jauh karya sastra dan pengarangnya terlibat dalam arus pergerakan pemikiran dalam masyarakatnya.

Kedua pertimbangan itulah hendaknya menjadi perhatian peneliti jika memilih penelitian ini secara sinkronik. Tetapi sebagai rekomendasi hendaknya penelitian diakronik lebih diutamakan dari pada sinkronik. Dalam penelitian diakronik itulah akan memperoleh manfaat ganda dalam hasil penelitiannya, yaitu menyusun sebuah pemetaan peran dan fungsi karya sastra terhadap masyarakatnya, seiring dengan dinamika perkembangan sosiokultural masyarakat, dan kedua, memahami suara zaman yang terekam dalam karya sastra.

2. Metode Analisis

Meskipun secara implisit telah terkandung dalam penjelasan di atas, tetapi agar memperoleh kejelasan berikut ini akan dikemukakan metode yang bagaimanakah yang dipakai dalam penelitian ini. Jika menyarikan apa yang dikemukakan di atas, metode dalam penelitian ini cenderung lebih dekat dengan metode analisis isi. Menurut Vredenbreght (dalam Ratna,2011:48), analisis isi terutama berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal, dalam bentuk bahasa, maupun nonverbal, seperti arsitektur, pakaian, alat rumah tangga, dan media elektronik. Dalam ilmu sosial, isi yang dimaksudkan berupa masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik, termasuk propaganda. Jadi, keseluruhan isi dan pesan komunikasi dalam kehidupan manusia. Tetapi dalam karya sastra, isi yang dimaksudkan adalah pesan-pesan, yang dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.

Lebih lanjut dikatakan Vredenbreght dalam Ratna, metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkendung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen. Obyek formal metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan makna. Oleh karena itulah, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Peneliti menekankan bagaimana memaknakan isi komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam peristiwa komunikasi.

(28)

yang dikemukakan terdahulu bahwa karya sastra merupakan media ekspresi pengarang, media komunikasi, dan media pengetahuan, telah menunjukkan metode analisis isi sebagai cara yang dipakai untuk memahami obyek penelitian ini. Namun demikian, apa yang dikemukakan Vredenbreght di atas perlu diterjemahkan dengan meletakkannya pada prosedur penelitian yang disarankan dalam kerangka berpikir penelitian ini.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam kerangka berpikir penelitian ini, yang terdiri atas lima konsep dasar di atas, prosedur analisis akan bergerak dari analisis instrinsik ke arah ekstrinsik. Berikut ini prosedur yang disarankan dalam penelitian ini.

a. Analisis ini berangkat dari titik awal pada analisis model dan skema yang membangun sistem struktur karya sastra. Namun demikian, yang terpenting bukanlah pada sistem struktur itu tetapi domain pemikiran dan landasan pemikiran subyek intelektual fiksional yang membangun hubungan unsur-unsur dalam membentuk sistem struktur. Inilah yang disebut isi laten sebagaimana disebut oleh Vredenbreght di atas.

b. Isi laten di atas merupakan pemikiran sebagai sebuah pesan yang bermakna dalam relasinya dengan gambaran sosiokultural dan suara zaman yang diproyeksikan dalam karya sastra. Dengan demikian, dalam tahap kedua ini, isi laten dijelaskan dalam kaitannya dengan proyeksi sosiokultural dan suara zaman yang hendak disampaikan subyek intelektual fiksional kepada pembaca (masyarakat). Tahap ini merupakan jembatan ke arah analisis isi komunikasi sebagaimana dimaksud oleh Vredenbreght.

c. Hasil analisis pada tahap kedua di atas akan mengarahkan dalam kaitannya dengan pengarang sebagai subyek intelektual realitas. Tujuannya untuk memahami cakrawala pemikiran yang bagaimanakah yang dipakai pengarang dan keadaan sosiokultural dan suara zaman yang bagaimanakah yang disikapi dan direaksi pengarang dengan cakrawala tersebut. Keduanya akan merumuskan sebuah pemahaman tentang isi pesan komunikasi yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Dalam tataran inilah wilayah analisis isi akan mengarah pada aspek ekstrinsik karya sastra; khususnya berkaitan dengan pembaca dan masyarakat yang melatarbelakangi karya sastra itu. Di sini peneliti membutuhkan bantuan wacana pengetahuan lain dan teori-teori sosial budaya untuk mendukung analisis. Dengan demikian, analisis pada tahap ini menyatakan sifat multidimensional dalam kerangka berpikir penelitian ini.

d. Berdasarkan alur pergerakan analisis di atas, analisis penelitian ini diakhiri pada titik di mana karya sastra memiliki peran dan fungsinya sebagai media ekpresi, komunikasi, dan pengetahuan. Peran dan fungsi karya sastra terhadap masyarakatnya mewujud pada pemikiran dan penyikapan terhadap suara zaman dalam konteks dinamika perkembangan masyarakat. Dengan demikian, ada pesan yang hendak disampaikan dalam karya sastra tentang apa yang terjadi dalam dinamika terseut.

(29)

Di manakah penelitian ini diletakkan dalam konteks teori-teori yang telah ada sebelumnya? Dengan kata lain, teori-teori apakah yang kiranya berkaitan dengan kerangka berpikir dalam penelitian ini? Hal itu berhubungan dengan sifat koheren yang harus dipenuhi dalam setiap penelitian ilmiah.

Kaitan penelitian ini dengan teori-teori yang telah ada sebelumnya, sesungguhnya secara implisit telah teridentivikasi dalam asumsi dan konsep dasar yang melandasi penelitian ini. Teori-teori dalam wilayah sosiologi, psikologi, studi budaya, komunikasi, dan yang terutama teori sastra, memiliki peranan yang penting sebagai pendukung penelitian ini. Persoalannya adalah, teori apakah dalam wilayah disiplin ilmu tersebut yang dapat digunakan dalam penelitian ini? Jawaban tersebut dapat diketemukan dalam asumsi dan konsep dasar penelitian ini.

Teori-teori yang menjelaskan tentang hubungan saling menentukan antara karya sastra dengan masyarakat, memliki peran yang tidak mungkin diabaikan dalam penelitian ini. Teori Louis de Bonald, Alan Swingewood, A.F. Foukes, dan Andreas Teuw, dapat menjadi alternatif sebagai teori pendukung analisis dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut dalam wilayah disiplin sosiologi. Teori-teori sosiologi memiliki peranan yang sangat penting mengingat obyek formal penelitian ini adalah kaitan karya sastra dengan kondisi sosiokultural dan suara zaman. Oleh karena itu, teori-teori tersebut dapat diperpanjang ke arah teori-teori dalam tradisi Marxis, seperti teori Hegemoni Antonio Gramsci, Strukturalisme Genetik Lucien Goldman, atau teori yang dikemukakan oleh George Lukacs (baca: Ratna,2003; Faruk,2010; dan Damono,1984).

Di samping itu, teori-teori dalam wilayah disiplin psikologi memiliki peranan dalam kaitannya dengan aspek genesis karya sastra dan proses kejiwaan dari pengarang sebagai penghasil karya sastra. Penelitian ini juga menyarankan adanya proses berpikir dan pembentukan cakrawala berpikir pengarang yang dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Teori-teori psikologi menempatkan peranannya dalam kaitannya dengan hal tersebut. Dapat dikemukakan sebagai alternatifnya adalah teori psikoanalitis Sigmund Freud tentang kepribadian manusia.

Sedangkan teori-teori dalam studi budaya juga tak kalah pentingnya dalam mendukung analisis penelitian ini. Pada umumnya studi budaya menggunakan teori-teori dalam wilayah postrukturalisme, seperti: intertekstual, feminism, poskolonial, dekonstruksi, teori dialogis, interaksionisme simbolik, dan sebagainya. Arus pergerakan pemikiran zaman yang disuarakan dalam karya sastra jelas bersentuhan dengan dinamika kebudayaan dalam masyarakat. Di samping itu, penelitian ini diletakkan pada konteks dinamika perkembangan sosikultural masyarakat. Oleh karena itu, studi budaya dengan teori-teori postrukturalisme tak mungkin diabaikan. Bahkan dalam sejarah pemikiran dunia, munculnya sebuah teori didorong oleh pergerakan pemikiran dan dinamika kebudayaan masyarakat.

(30)

memberikan sumbangannya dalam hubungannya dengan strategi kewacanaan. Dengan demikian, penelitian ini ditempatkan dalam wilayah kajian multidisipliner.

(31)

3

MODEL ANALISIS WACANA KRITIS

DALAM PENELITIAN SASTRA

A. Pendahuluan

Dalam rangka pengembangan penelitian sastra, berikut ini penulis kemukakan suatu alternatif pendekatan yang kiranya dapat dipakai menganalisis karya sastra. Meskipun Analisis Wacana Kritis relatif lama masuk ke Indonesia, tetapi cenderung dipakai dalam analisis media. Sedangkan dalam analisis sastra, Analisis Wacana Kritis belum banyak digunakan. Pengalaman peneliti menggunakan teori dan metode Analisis Wacana Kritis ini, memperoleh temuan yang sangat berharga bahwa pendekatan tersebut nampaknya dapat dipakai sebagai alternatif analisis dalam studi sastra.

Munculnya analisis wacana sebenarnya berangkat dari reaksi studi bahasa dan sastra, juga disiplin ilmu lain, terhadap stagnasi strukturalisme sepanjang abad ke-19. Paradigma dalam kurun waktu itu cenderung mereduksi subyek dan konteks sosiokultural dalam menelaah bahasa dan sastra. Teks bahasa dan sastra dikaji dalam kaitannya dengan struktur formal yang secara otonom dan stabil membangun kualitas teks tersebut. Kecenderungan ini jelas melepaskan hakikat bahasa dan sastra sebagai institusi sosial yang memiliki peran dan fungsi bagi masyarakatnya. Relasi teks dan konteks menjadi nisbi dan mewarnai setiap kajian bahasa dan sastra pada saat itu.

Analisis wacana sebagai bagian dari studi linguistik dan kebudayaan, semakin memperoleh tempatnya ketika muncul gerakan yang kemudian disebut postrukturalisme. Dalam kecenderungan studi sosial, bahasa, dan media, semenjak munculnya gerakan pemikiran yang berlabel postrukturalisme tersebut, berangkat dari asumsi bahwa bahasa dan sastra merupakan wacana praktik sosial. Wacana sebagai tataran tertinggi dari fenomena penggunaan bahasa oleh subyek, dipandang melampaui batas-batas sistem linguistik. Hal itu tidak terjadi pada era sebelumnya. Teeuw mengemukakan, penelitian terhadap aspek-aspek kemasyarakat dipicu oleh stagnasi analisis strukturalisme, analisis yang semata-mata didasarkan atas hakikat otonomi karya. Sebaliknya, karya sastra dapat dipahami secara lengkap hanya dengan mengembalikannya pada latar belakang sosial yang menghasilkannya, melalui analisis dalam kerangka penulis, pembaca, dan kenyataan.1

Postrukturalisme memang telah membuka cakrawala yang lebih luas dalam memandang wacana bahasa sebagai fenomena pemakaian bahasa. Katub-katub yang selama ini tertutup, dibuka kemungkinannya untuk mengurai aspek-aspek wacana yang lebih kaya dan membumi. Berdasarkan hakekat interdisiplin, analisis

(32)

wacana akhirnya membuka diri untuk menerima masukan dan dukungan dari pemikiran dan teori disiplin di luar kebahasaan. Teori-teoti Semiotika, strukturalisme genetik, resepsi, intertekstual, hingga dekonstruksi, sesungguhnya muncul berangkat dari cara pandang melampaui disiplin linguistik dan sastra murni yang mengungkung. Kesadaran yang terwadahi ke dalam feminisme, orientalisme, dan poskolonialisme, juga akibat gerak pemikiran yang menerabas batas secara interdisipliner itu. Studi dan analisis wacana pada akhirnya memperoleh bentuknya sebagai disiplin dengan banyak mendapatkan masukan dari para tokoh postrukturalisme.

Michel Foucault2, salah satu tokoh postrukturalis, merupakan salah satu

pemikir yang memiliki peranan penting dalam menyumbangkan pemikirannya terhadap studi wacana. Foucault memandang wacana atau diskursus sebagai pembicaraan tentang aturan-aturan dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan yang bermakna, pada satu rentang historis tertentu. Wacana juga berarti sebuah mekanisme pengaturan yang bekerja sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan profesionalisme. Wacana mengisolasi, mendefinisikan, memproduksi obyek pengetahuan.3 Wacana bagi Foucault

memiliki relasi dengan kekuasaan yang datangnya dari orang yang memiliki kekuasaan itu dan dari orang yang memiliki pemikiran kreatif. Mereka yang memiliki kekuasaan dan pengetahuan membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan antara kelompok orang yang mengangkat diri mereka dan mengaturnya4 Dengan

demikian Foucault menempatkan wacana sebagai strategi --Foucault menyebutnya “elemen taktis”—politis dan ideologis, dalam pengertiannya yang luas, untuk mempertahankan dan membangun kekuasaan. Pandangan itulah yang menempatkan Foucault sebagai salah satu tokoh yang memiliki peranan penting dalam perkembangan teori analisis wacana.

Foucault telah memainkan peran utama dalam perkembangan analisis wacana melalui karya teoritis dan penelitian praktis. Marianne Jorgensen dan louise J. Phillips mencermati Foucault sebagai sosok yang menganut premis konstruksionis sosial umum yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rejim pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan yang salah. Lebih lanjut dikatakan Horgensen dan louise J. Phillips, bahwa mayoritas pendekatan analisis wacana kontemporer mengikuti konsepsi Foucault tentang wacana, yakni sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberi makna. Di sini wacana-wacana yang berbeda-beda berada secara berdampingan atau saling berjuang untuk mendapatkan hak untuk kebenaran. Batas-batas makna yang dimaksud oleh Foucault tersebut adalah bangunan ide-ide kebenaran yang diciptakan secara kewacanaan.5

Eriya to, A alisis Wa a a, Pe ga tar A alisis Teks Media Yogyakarta: LKI“, , hl .

-Mudji “utris o da He dar Putra to, Teori-Teori Ke udayaa Yogyakarta: Ka isius, , hl . .

I id., hl . .

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data keadaan awal bertujuan untuk mengetahui apakah kelompok eksperimen 1 dan kelompok eksperimen 2 mempunyai.. 40 kemampuan awal yang sama atau tidak,

Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa, analisis data adalah proses mencari dan menyususn secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,

Analisis data keadaan awal bertujuan untuk mengetahui apakah kelompok eksperimen dan kelom- pok kontrol mempunyai kemampuan awal yang sama atau tidak, sebelum

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Independent Sample Test (uji -t) karena bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan

Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa, analisis data adalah proses mencari dan menyususn secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,

Teknik analisis data pada bagian reduksi data ini setelah peneliti mendapatkan hasil wawancara dari narasumber yang bersangkutan, maka peneliti akan merangkum, memilah dan

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bahwa penelitian ini merupakan bentuk penelitian deskriptif analisis yang memiliki sifat eksploratif kualitatif yang

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan uji anova 1 jalur (one way ANOVA) yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pertumbuhan pada